Peringatan
keras!!
Cerita
ini penuh dengan adegan fulgar dan seks juga pertumpahan darah. Cieileh!! Jadi
kalo engga suka dengan tema seperti ini harap jangan dibaca. Thanks!
***
Bimo
Adiaguna
Titris
adalah istri yang sempurna. Gue tahu, dia juga ibu yang ideal untuk Damian. Gue
terus memperhatikan wanita yang sudah gue nikahi sekitar delapan tahun itu
dengan intensitas yang mungkin bisa ngebuat lo jengah.
“Kenapa
sih mas? Ada yang salah? Damian sayang, susunya dihabisin dong.” Gue
menggeleng, walaupun gue tau persis bini gue itu kaga bakal ngeliat gelengan
kepala gue karena dia tengah sibuk dengan Damian.
“Enggak
sayang. Kamu makin cantik saja kalau aku perhatikan.” Gue jujur, beneran jujur.
Istri gue itu memang cantik, dan dia tengah merona sekarang.
“Mom,
Damie mau jus jeruk.”
“Hey
jagoan, habisin dulu susunya.” Gue berjalan ke belakang Damian dan
menggelitikinya. Membuat putra semata wayang gue itu kegelian namun malah
tertawa kencang.
“Tapi
Damie mau jus jeruk Daddy, please?” Puppy eyes itu, nurun dari siapa sih ini
anak gue? Wajahnya sih persis kayak gue, tapi matanya itu ehm, mirip Daniel.
Aah, Daniel.
“Mas?
Kok tumben sih jam segini masih dirumah?” Kata istri gue sembari menyerahkan
segelas jus jeruk ke Damian. Selalu luluh jika menghadapi puppy eyes macam
milik Damian ini. Oh ya, macam milik Daniel juga. Sepagi ini dan sudah kangen
aja sama itu anak.
Gue
berdeham, merasa bersalah juga karena disini ada istri tapi yang gue pikirin
malah orang lain. Laki-laki lagi!!
“Ini
bentar lagi juga uda mau berangkat. Kamu gak suka aku lama-lama di rumah?”
Tanya gue sambil merengkuh Titris kepelukan gue. Jujur, untuk menghapus rasa
bersalah karena sudah memikirkan orang lain selain dirinya.
“Aah
kamu mas, tumben aja. Jarang-jarang kan? Oh ya ada kue itu, mau mas bawa ke
kantor? Sekali-kali buat anak kantor mas.”
“Boleh,”
Gue mencium pipi Titris lembut. Memang, gue selalu berangkat pagi untuk sekedar
menemani Daniel sarapan di apartementnya. Hari ini, gue pengen sarapan bareng
keluarga gue. Walau pikiran gue gak bisa jauh dari Daniel. Apa gue dipelet ya
ama itu anak?
***
Joshua
Daniel Pradipta
“Hell
shit!!”
“Language
Dan, mulut lo tu ya!” Aku mengambil tissu dan membersihkan kemejaku yang
ketetesan saus sialan itu, dan mengabaikan perkataan Evan barusan. Bercak merah
itu tetap gak bisa hilang. Haduh, mana ntar ada meeting lagi sama distributor.
“Ya
abis ini saos kurang ajar banget tumpah di baju gue!!”
“Salahin
aja tangan lo itu.” Aku melirik Evan dengan sarkastis tingkat dewa. Aah, kalau
harus balik ke apartment buat ganti baju tanggung, pasti ntar telat. Meeting
jam sepuluh lagi. Tapi gak mungkin kan pake kemeja bercak merah lumayan gede
tepat di dada gini? Crap banget!
“Uda
sih, ntar beli aja baru di abang-abang pinggir jalan mau ke kantor itu.”
“What?
Lo bilang apa itu tadi? Beli di pinggir jalan? Lo pengen gue gatal-gatal?” Sial
tetep gak mau hilang seberapapun kerasnya usahaku.
“Tumben
lo gak bawa jas atau jaket gitu?”
“Meeting
pake jaket? Mending lo gorok gue Van!”
“Uda
deh, buruan gih berangkat. Ntar kita telat nih.” Akhirnya mau gak mau dan yah,
kalau kita lama-lama disini juga gak bakal bikin waktu ikutan berhenti, jadi ya
harus ke kantor dengan kemeja bebercak noda merah lumayan gede. Gila,
salah-salah bisa dikira darah mens nih! Atau malah aku dituduh abis bunuh anak
orang?
Jam
segini juga pasti belum ada mall yang buka. Kalaupun sudah ada yang buka, belum
ada store yang buka. Hhh!! Salah satu alasan I hate Monday! Selalu terburu-buru
dan fuck yeah, making a little mistake tapi efeknya gede kayak gini.
Aku
menepikan mobilku ke abang-abang yang memang selalu jual baju-baju di pinggir
jalan dekat kantor tanpa melepas sunglasses hitamku. Ini abang dari rumah jam
berapa ya? Atau rumahnya memang di sekitar sini? Aku berusaha sekuat mungkin
mengabaikan Evan yang tertawa nyegir dan terlihat puas –Kalau dia bukan
temanku, aku pasti sudah membunuhnya sekarang, dan melemparnya ke jalan tol,
ingatkan aku bahwa dia masih temanku- melihatku yang akhirnya membeli baju si
abang-abang pinggir jalan ini.
“Stop
laughing you son of bitch!!”
“Hahaha,
pertama kali dalam history. Joshua Daniel Pradipta sang ‘branded slave’ beli
baju merk gak jelas! Pinggir jalan pulak! Apa pula itu?”
“Shut
up, atau gue turunin lo disini?”
“Gak
papa kali, udah deket ini sama kantor.” Evan bisa menjadi teman yang sangat
pengertian. Tapi kadang dia sama busuknya dengan para koruptor di Indonesia.
Dan aku memilih diam. Mengabaikan cengiran Evan yang lama-lama semakin ganggu.
Setelah
selesai melakukan finger print aku berlalu menuju pantry. Jam segini biasanya
masih sepi. Aku mengambil gelas dan mengambil kopi sachetan yang selalu
tersedia disitu. Sepetinya Bagus –Salah satu office boy di kantor ini- yang
rutin membeli untuk anak-anak kantor. Aku ‘branded slave’? sepertinya tidak
juga, tidak salah maksutku. Aku percaya bahwa, jika sudah mempunyai ‘nama’
berarti kualitasnya sudah bisa dipercaya juga kan?
Aku
mengaduk kopiku, sambil tangan kiriku melepas kancing kemejaku satu persatu.
Tanggung, ganti baju aja sekalian disini. Aku melakukannya secara perlahan.
Karena yah, aku juga masih sibuk menyesap kopiku pelan-pelan. Haha, seharusnya
aku fokus ganti baju dulu kali ya? Baru menikmati kopi. Tapi mungkin aku sedang
melatih kemampuan otakku untuk bisa melakukan multi tasking layaknya
smartphone.
Gila,
aku terkekeh sendiri dengan pemikiranku.
Aku
sukses melepas kemeja bercak noda merah mengerikanku itu. Namun belum bernafsu
memakai kemeja baru yang aku beli tadi. Aku memeriksanya dengan teliti. Not bad
juga sih sebenarnya.
“Ehm,
ini pantry bukan studio foto untuk L’Men.” Aku menoleh kearah sumber suara.
Uki. Hhh, pagi-pagi ngajak berantem aja ini anak.
Aku
mengabaikannya dan mulai memakai baju baruku. Setelah dirasa rapi, aku segera
mengambil gelas kopiku yang baru aku minum seperempat dan tas kerjaku.
“Tapi
gue lihat lo kayak enjoy banget ngeliat gue shirtless tadi.” Kataku tepat saat
dekat dengan Uki. Uki memalingkan wajahnya. Mungkin kesal? Who cares? Not me of
course.
***
Uki
Bagus Walantaga
Aku
harus ke psikiater! Harus! Apa-apaan itu tadi? Aku terangsang melihat Daniel
shirtless? Pasti ada yang gak beres di otakku! Pasti! Aku baru tahu Daniel
mempunyai tatto di lengan dan dadanya. Sounds weird, but I like it. Or may be,
aku terlalu excited sampai juniorku memberontak ingin melihat tatto Daniel
lebih dekat?
Gila,
aku harus memasukkan jadwal bertemu psikiater ke agendaku minggu ini, kalau
bisa secepatnya! Forget about Daniel, lupakan bentuk tubuhnya yang ramping
namun berotot pas itu. Lupakan tatto yang minta untuk disentuh itu, lupakan
puting merah jambu yang benar-benar minta untuk dijilat itu.
Shit!
Aku bukan gay! aku bukan gay! aku bukan gay!
Eh,
kenapa aku turun kebawah ya tadi? Oh iya, kuenya Pak Bimo. Aku lapar!!
Setelah
aku menemukan kue yang tadi dibilang Bagus berada di kulkas, aku segera naik ke
lantai dua. Ke kubikelku, membuka laptopku dan mulai membuka email sambil
mulutku menikmati kue yang katanya dibawa oleh Pak Bimo tadi pagi. Tumben tuh
si Pak Bos. Gak biasa-biasanya doi bawa kue gini ke kantor. Boro-boro bawa kue,
pas dia ultah aja gak ada traktiran apa-apa. Pelit ya bosku? Ah sudahlah, yang
penting dia gak bawel-bawel amat soal kerjaan. Yang penting tepat waktu ama
deadlinenya.
“Mas
Uki, nanti sebelum meeting disuruh naik ke lab sama Mas Daniel.” Hah?
“Dia
bilang gitu Gus? Kok gak telepon aja sih?”
“Waduh
kalau yang itu saya ndag tahu mas. Saya permisi dulu mas.”
“Oke-oke.”
Aku menutup laptopku. Tinggal setengah jam lagi sebelum meeting sama
distributor, ini si Daniel apa-apaan juga minta aku ke atas. Gak ngomong tadi
aja waktu di pantry sekalian.
Aku
segera naik ke atas, daripada nanti Daniel ngomel-ngomel gak jelas. Satu hal
yang aku tidak suka saat Daniel ngomel adalah kata-katanya yang gak pernah
disaring. Bisa banget setajam silet atau bahkan lebih tajam. Belum mau meluncur
dari mulutnya aja uda bikin gatal.
Aku
melihat Daniel dengan baju baru. Aku belum pernah melihat dia memakai baju itu
sebelumnya. Baju yang dia pakai di pantry tadi. Agak terlalu ketat sepertinya.
Aah, aku tidak notice tadi sewaktu di pantry. Dan baju ketat itu membuat
putingnya agak terlihat menonjol. Shit! Shit! Psikiater! Psikiater! Darurat!
“Kenapa
Dan?” Aku terpaksa bertanya duluan karena sepertinya Daniel tidak mempunyai
inisiatif untuk membuka bibir merahnya itu. Bibir yang terlalu sensual untuk
dimiliki seorang lelaki. Sound like I am gay. Arghhhh!!
“Ini
ada barang-barang dari Grand Multi Chemical, lo yang order atau gimana?
Kayaknya gue gak ada minta.”
“Cuman
gegara ini lo minta gue ke atas?” Kesel banget aku sama ini anak.
“Lah
daripada ditelpon ntar lo nanya ‘yang mana barang-barangnya?’ ato ‘masa sih?
Gue aja gak liat barangnya, mana gue tahu.’ Jadi mending gue nyuruh lo langsung
keatas.”
“Uda
pasti gue gitu ya? Bukan punya Pak Deddy? Vina? Atau Ranti gitu? Bisa aja malah
yang minta Mbak Amelia. Sales bukan cuman gue kali.”
“Tapi
sales yang berhubungan sama GMC itu elo sama Pak Deddy. Nah Pak Deddy gak
ngantor karena mesti ke Nutrifood. Ya tinggal elo dong.”
“Tapi
gue gak ngrasa minta barang ke GMC deh.”
“Liat
dulu lah barangnya, lo kan pelupa!” Aku menghampiri Daniel. Sebisa mungkin
mengabaikan sepasang puting yang tercetak jelas di kemeja kekecilannya hari
ini. Dia sengaja memakai kemeja kekecilan buat pamer badan atau gimana sih?
Bikin gak konsen saja!
“Aah,
fruit juice extract! Ini projectnya Pak Deddy buat FIA.”
“Anjir!
FIA kan masih lama. Yakin punyanya Pak Deddy? Kok dia gak ada email gue atau
apa kek gitu.”
“Tanya
aja sama orangnya. Gua kan bukan Deddy.” Daniel sepertinya ingin melakukan
sesuatu namun diurungkan. Mungkin karena ada Herman dan Andy yang entah sedang
sibuk mengerjakan entah apa itu di lab.
***
Evan
Sutedjo
“Uki
itu lucu ya?”
“.
. .”
“Mukanya
memerah gitu tadi pas gue godain di Pantry.”
“.
. .”
“Kayaknya
sih dia bottom.”
“.
. .”
“Van
please? Gue jadi kayak orang gila gini ngomong monolog gak ada yang nanggepin.”
Aah, jadi gue harus ngasih pendapat nih ceritanya? Sepertinya ucapan gue
kemarin lusa itu bener, gak ada istilah cowok straight dalam kamus hidupnya
Daniel. Semua orang kantor –minus Daniel pastinya- tahu kalau Uki itu suka
dengan Hita. Pun sebaliknya, jadi tinggal nunggu waktu saja mereka secara
officialy jadian. Lalu apa tadi Daniel bilang, ‘Uki tersipu waktu dia godain?’
Hell no.
“Beban
kerja lo uda overload ya Dan?”
“Anjir!!
Lo kata gue stress!”
“Nah,
itu lo ngeh! Boo, Uki itu straight! Gue berani taruhan deh.” Puppy eyes Daniel
langsung berbinar.
Red
Alart! Red Alart! Red Alart!
“Yakin
lo Uki straight?”
“Yakin.”
“Demi
apa?”
“Demi
gaji gue bulan depan.”
“Fix,
kalau gue bisa dapetin Uki, gaji lo bulan depan buat gue.” Shit! Ini ular
beludak satu emang liciknya melebihi tokoh-tokoh antagonis di sinetron.
“Eh,
apa-apaan itu? Gak bisa, gak mau gue.”
“Aah,
cemen emang lo. Kalo lo emang yakin sama apa yang elo yakinin ya seharusnya lo
gak takut.”
“Anjing.”
“Atau
sebenarnya elo yang suka sama Uki ya? Ngaku deh lo?”
“Monyet.”
“Hah,
atau lo uda dientot sama Uki?” Ini anak bibir sama kelakuan sama aja level
buruknya.
“Taik
bener lo.”
“So.
. .?” Gue menghela nafas selama beberapa saat. Shit! Shit! Kapan sih gue bisa
menang dari ini anak? Dari jaman SD, SMP, SMA lalu kuliah, gue selalu kalah.
Masih mending jadi yang kedua atau ketiga. Rangking gue selalu jauh dibelakang
Daniel. Masuk sepuluh besar aja udah syukur.
“Oke.”
Gue akhirnya berkata setelah menimbang-nimbang ke belakang. Uki pasti straight.
Pasti! Please Uki, prove ke gue kalau lo itu emang straight.
“Siapin
tabungan lo buat biaya kehidupan lo bulan depan darling.” Daniel menjentikkan
jarinya, lalu menyesap green tea latenya.
“Satu
Minggu, itu waktu buat lo.” Kata-kata gue itu dalam sekejab langsung
memusnahkan senyum jumawa Daniel.
“What
a heck! Lo gila, telur ayam netes aja butuh waktu 21 hari!”
“Itu
urusan induk ayam sama Tuhan ya bukan sama gue.”
“Satu
bulan.” Gila, Uki beneran bisa jadi homo kalau didekati manusia licik macam
Daniel ini selama sebulan.
“Satu
minggu. Deal or No Deal.” Gue gak nyerah gitu aja.
“Lo
kata lagi kuis? Come on Van? Senin ampe Jum’at kerja, mana sempet gue flirting
ke Uki. Gila tega bener lo ya babi panggang!”
“Oke,
dua Minggu. Tawaran terakhir.” Daniel berpikir sebentar. Benar-benar berpikir
sepertinya. Dan lumayan bikin surprise, karena selama ini itu anak gak pernah
berpikir sebelum bertindak. Selalu bertindak dulu baru berpikir.
“Oke,
dua Minggu.” Gue merasa diatas angin. Pasalnya, Daniel mengatakan dua minggu
tadi dengan nada ragu-ragu dan tak yakin. Hahaha.
***
Gue
membuka kamar kost gue dengan perasaan bosan. Entah ya, kadang gue iri banget
sama Daniel. Kita sahabatan dari kecil, sampai akhirnya sama-sama tahu kalau
kita berdua gay, nyari sekolah selalu bareng dan selalu diterima barengan juga,
yah walau beda kelas kadang, nyari kerjaan pun bareng. Di PT Saviour ini,
adalah tempat pertama gue kerja. Bagi Daniel juga yang pertama karena kita
nyarinya barengan.
Yang
gue iri dari Daniel?
Gak
usah bahas fisik lah ya, semua mata pasti lebih tertuju ke Daniel daripada gue.
Dan gue udah belajar lebih dari sepuluh tahun untuk menyadari hal itu. Pernah
jatuh cinta sama Daniel? Sayangnya belom, sayang sih iya. Gimanapun juga,
Daniel udah kayak sodara buat gue. Sama dia, gue bisa cerita apa aja. I mean it
tentang apa aja.
Kalau
nafsu? Haha, pernah dan sampai sekarang kadang masih. Gue enggak pernah
memungkiri kalau Daniel emang hot. Dan kalau pas tidur bareng, tangan gue selalu
usil masuk ke celananya. Selama ini sih, Daniel fine-fine aja dan gak pernah
protes.
Pernah
making sex sama Daniel? Belom. Berharap? Engga, thanks. Gue gak mungkin
ngorbanin persahabatan lama ini cuman buat hal sepele semacam seks. Yang gue
tahu buat dapetin seks di tahun 2014 ini sangatlah gampang. Gue gak jelek-jelek
amat, jadi ya tinggal pasang aplikasi macam grindr atau jack D, gue pasti bisa
dapet. Tapi bukan itu, gue tipe yang lebih mengutamakan relationship. Gila, old
school banget ya gue.
Pernah
lihat Daniel bugil? Kalau cuman pake kolor, pernah dan sering! Kalau telanjang
bulat, sayang sekali itu udah lama banget. Terakhir kali gue lihat Daniel sama
penisnya itu pas kita masih SMP kelas satu. Masih belum ada apa-apanya. Jembut
aja belum tumbuh. Hahaha.
Eh,
kok gue jadi kayak sesi tanya jawab gini?
Gue
meletakkan tas kerja gue dan rebahan diranjang. Menghidupkan ipod yang gue
sambungkan ke speaker dengan suara pelan. Aah, istirahat sebentar sebelum turun
nyari makan.
Gue
tadi pulang sendiri, Daniel sepertinya mau memulai aksinya menaklukkan Uki.
Sebenarnya menang atau kalah dalam taruhan kali ini sih tidak berarti. Gue
cuman pengen Daniel belajar satu hal, ada yang namanya cowok straight di dunia
ini. Seseorang harus mengingatkan Daniel akan hal itu, dan gue gak keberatan
dengan tugas mulia untuk mengingatkan Daniel.
Lagu
Hurt Christina Aguilera masih mengalun ketika gue mendengar ada yang mengetuk
pintu kamar kost gue. Saat posisi udah pewe kayak gini, paling males kalau
diganggu. Seriusan!
Tapi,
daripada ntar si tamu ngetuk pintunya makin ganas. Dia pasti tahu ada orang
didalam karena tadi gue sempat ikut bernyanyi bersama Miss Aguilera. Mungkin
dia terganggu dengan suara gue tadi? Aah
Dengan
ogah-ogahan gue bangkit dari ranjang. Gue harus mastiin bahwa ranjang gue tadi
bebas dari lem. Efek lengketnya berasa banget.
“Hei,
sorry ganggu. Lo ada charger Iphone kaga?” Holy crap! Gue pasti keliatan kaco,
I mean gue masih pake pakaian kerja yang uda kusut. Rambut acak-acakkan ala
abis diperkosa marathon sama satu pleton tentara. Gua pasti keliatan GAK
BANGET.
“Hy,
are you there?” Jari-jari macho itu menari-nari tepat didepanku.
“Oh,
sorry. Eh, butuh apa lo tadi Ren?” Yup, yang ngetok-ngetok kamar gue tadi si
Reno. The hot guy yang sering gue sama Daniel intipin tiap Jum’at malam.
“Charger
buat Iphone gue. Lo ada gak?”
“Oke
bentar.” Gue masuk kembali ke kamar.
Mengambil chargeran yang gak pernah gue cabut dari stop kontak. Selalu nempel
disana semenjak gue beli.
“Thanks
ya.”
“Welcome,
emang kenapa charger punya lo?”
“Kabelnya
putus.” Ha? Kok bisa? Digigit?
“Gue
potong pake gunting pas gue kesel tadi.” Kata Reno seperti tahu keheranan yang
tercetak jelas di wajah gue. Dan mendengar pengakuan Reno tadi wajah gue
langsung bias. Oke, gue emang punya charger dua. Satu yang selalu nempel di
kostan dan satu yang selalu gue bawa kemana-mana. Tapi tetep aja, gue gak rela
itu charger gue kabelnya ntar dipotong-potong juga.
“Tenang
aja, charger lo aman sama gue. Gue balikkin ntar kalau batere gue uda penuh.”
Gue akhirnya menghembuskan nafas lega.
“Oke.”
“Once
again, thanks ya.” Dia tersenyum. Reno tersenyum! Inget tadi pertanyaan gue
pernah jatuh cinta sama Daniel apa kaga? Kayaknya gue jatuh cinta, tapi bukan
sama Daniel. Sama Reno!
***
Bimo
Adiaguna
“Don’t
act like you won’t it.” Gue gak bisa menyembunyikan kekesalan gue sama Daniel
setelah lebih dari sepuluh menit dia mengacuhkan gue. Gue bela-belain pulang
awal dari kantor, beli kue coklat dengan sedikit cheese dan hazelnut kesukaan
dia, tapi apa yang gue dapat?
“I
want break up.” Shit! Not again.
“Kenapa?
Ada lelaki lain?” Gue gak bisa marah walau gue pengen. Daniel bukan kucing,
bukan tipe yang cuman pengen duit dari gue. Sepanjang kita pacaran, dia bahkan
gak pernah minta apa-apa.
Dia
juga gak pantes jadi simpanan, tapi gue gak mau ngebuang keluarga gue gitu aja.
“Gak
ada mas. Gue capek aja.” Gue merengkuh pundaknya. Merebahkan kepalanya ke dada
gue. Sesuatu yang gue tahu pasti bisa sedikit meredakan emosi Daniel.
“I
love you.” Hanya itu kata-kata yang bisa keluar dari bibir gue setelah kita
berdua terdiam cukup lama.
“I
know.”
“I
won’t let you go.” Daniel semakin merapatkan tubuhnya.
“Then
stay with me? Just for tonight?” Dilema. Tapi akhirnya gue mengangguk.
“Tapi
dimamam dulu kuenya. Gue keluar dulu ngabarin Titris.” Daniel hanya mengangguk.
Wajah mendungnya justru semakin memperjelas ketampanannya. He’s mine. He’s
mine. Gue mengatakan itu berulang-ulang sambil jemari gue mencari nomor telepon
Titris.
Thinking!
Gue harus bisa memberi ide yang cukup jelas kenapa malam ini enggak balik
rumah.
Nada
ringtone masih terdengar.
Come
on thinking!
“Halo
mas,” Shit, udah diangkat lagi!
“Halo
sayang, cuman pengen ngabarin aku gak bisa pulang malam ini. Ada project yang
musti aku handle.” Titris terdiam cukup lama disana. Dia pasti marah. Pasti.
“Gak
bisa besok aja mas? Harus malam ini?”
“Justru
biar besok weekend aku bisa di rumah. Malam ini aku nginep kantor paling.
Lembur sampai pagi soalnya.”
“.
. .”
“Sama
Daniel, kamu bisa telepon dia kalau gak percaya.”
“Oke
mas, jangan terlalu dipaksa juga. Gak baik buat kesehatan.” Ada desah nafas
kecewa disana.
“Iya.
I love you.”
“I
love you too.” Klik, sambungan diputus.
“Lembur?
Gak capek lo boong terus-terusan mas?” Daniel berdiri disana. Dengan atasan
piyama yang tidak dikancing dan boxer pendek pas badan. Damn!
“Jangan
ikut memperparah mood gue yang lagi down.”
“Wanna
cokelat?” Daniel tersenyum sambil mengangkat kue yang entah kenapa sudah
tinggal setengah potong. Ini yang selalu gue iri dari Daniel, dia makan
sebanyak yang dia mau dan gak pernah gendut.
***
Joshua
Daniel Pradipta
Aku
pernah bilang, aku benci hari Senin kan? Jadi gak perlu lah ya aku ulang-ulang
lagi alasannya kenapa. Seperti pengendara motor didepanku yang dari tadi bikin
aku gemas sendiri. Dua motor, berjalan pelan, saling ngobrol dan kedua kaki
mereka dikaitkan ke motor satu sama lain. Mereka pikir ini jalan milik kakek
mereka? Mereka pikir mereka lagi parade?
Dan
di jalanan yang cukup padat ini sama sekali tidak memungkinkanku untuk
menyalip. Shit! Setengah menyesal juga lewat rute jalan sempit kayak gini.
But,
it’s okay. Hari ini adalah hari resmi dimulainya taruhanku dengan Evan. Dua
minggu dari sekarang. Lumayan kan kalau dapat satu bulan gajinya Evan? Bisa
buat liburan ke Raja Ampat. Barang dua hari. Wkwkwkwk.
Kemacetan
tadi di jalan tidak membuat senyumku pudar, walau jujur aku cukup kesal tadi.
Tapi sudahlah ya, bayangan liburan di Raja Ampat lebih menarik.
Bahkan
Iin pun sempat heran karena aku sapa tadi.
Aku
naik ke lantai dua. Dan mendapati meja Uki kosong. Uki Bagus Walantaga belum
hadir. Aku melihat jam dinding yang terletak persis di atasku. Shit! Masak si
rajin itu telat ngantor? Kan gak mungkin banget.
“Eh,
si Uki belom dateng nih Hit?” Aku bertanya pada Hita yang kubikelnya sebelahan
sama kubikel milik Uki. Jujur, aku gak bisa membayangkan bekerja di kubikel
sekecil ini. Thanks ruanganku cukup besar bahkan untuk aku guling-guling gila
disana.
“Dia
hari ini gak ngantor.”
“Sakit?”
Bukan karena aku khawatir tentu saja, hanya saja semua rencanaku bisa failed.
“Enggak,
ada ketemu klien di Indesso. Trus lanjut ke Heinz ABC.”
“Thanks.”
Aku berlalu dan naik ke lantai tiga. Kecewa, mogol atau apalah bahasanya. Dan entah
kenapa, kejadian-kejadian menjengkelkan si motor yang gandengan mesra tadi
kembali membayang dan membuat kekesalanku semakin meningkat.
Arrrrgggggggggggggggggh!!
TBC