FOLLOW ME

Selasa, 01 April 2014

THE SERIES 18

Sudah lebih dari sebulan dan tidak ada tanda-tanda jika ingatan Herry akan kembali. Sempat terbesit kecurigaan jika Herry hanya berpura-pura saja, namun aku tepis jauh anggapan itu. Entahlah, karena kami di kelas yang berbeda hubungan kami pun semakin menjauh. Bahkan jika berpapasan saja hanya terlontar senyum ringan. Senyum ramah seadanya.
Aku sendiri semakin giat belajar, latihan karate dan juga move on. Hahhaha, aku ingin melanjutkan studyku ke luar negeri. Jika kalian berpikir bahwa salah satu alasannya adalah karena Herry, aku jawab bukan. Aku sudah ikhlas. Lagipula, ada Galih dan Hendra.
Kuliah di luar negeri sebenarnya sudah menjadi mimpiku sejak SMP. Dan aku hanya ingin mewujudkan mimpiku. Harvard atau Yale. Dua kampus itu menjadi incaranku. Dan aku harus mulai dari sekarang, dari kelas dua SMA!
“Mas, kunci mobil mas yang bawa?” Aku bertanya pada Galih yang sedang mencuci mobil Papa.
“Engga Den. Terakhir kali kan Aden yang make.”
“Iya sih Mas, Seno lupa naruh dimana.” Aku masuk kembali kedalam rumah. Mengublek-ublek hampir semua ruangan. Perasaan, aku gak pernah seteledor ini meletakkan kontak mobil.
“Di kamarmu cah bagus.” Deg!
“Kakek buyut?” Gosh! Eh emang dia gosh sih. Tapi, setelah sekian lama? Kok baru muncul?
“Munculnya selalu tiba-tiba dan unpredictable! Seno uda merasa gila lho bisa ngobrol sama orang meninggal.”
“Ya wong cuman kamu yang bisa kakek ajak bicara.” Aku menutup pintu kamarku serapat mungkin. Aku yakin, kalau lihat di film-film aku pasti seperti ngobrol sendiri. Jadi daripada aku dikira gila, stres dan sebagainya, aku memilih untuk menutup pintu kamarku rapat-rapat dan berbicara sangat pelan.
“Kamu mesti ati-ati lho Le.” Aku mengublek-ublek tas kecilku yang tadi ditunjuk oleh kakek buyut bahwa kontak mobilku disitu.
“Lho emang kenapa Kek?” aku masih mengatur volume suaraku serendah mungkin.
“Taufik. . .”
Tok Tok Tok. Suara ketukan di pintu kamarku menginterupsi apa yang akan disampaikan kakek buyutku. Dengan enggan, aku melangkah membuka pintu.
“Mas Galih?”
“Tadi Mas seperti ngeliat ada orang masuk kamar Aden, siapa Den?” Deg! Masa Galih bisa ngeliat kakek buyut juga?
“Kaga ada orang kok Mas.” Galih masih celingukkan sebelum akhirnya mengangguk dan berlalu dari kamarku. Aku menoleh ke sekelilingku dan mendapati bahwa kakek buyutku sudah tidak ada. Apa maksutnya dengan Taufik?
***

“Lo mau ngajak gua ke kebun yang dulu itu Van?” Kalian ingat kebun kopi yang dulu dipegang oleh Taufik? Yang isinya cowok-cowok muda ganteng? Yah, kebun itu dipegang Revan sekarang. Eem, tepatnya dia yang mengajukan diri dengan sangat semangat dan antusias. Aku, kurang lebih memahami alasannya.
“Emang sekarang lagi panen kopi?”
“Ya enggak dodol! Tapi mereka kan harus bersihin rumput liar, milihin kopi yang sudah masak, jemur kopinya.”
“Gua kira tugas mereka cuman metik doang.” Aku menjawab tanpa rasa bersalah.
“Kayaknya lo emang harus lebih belajar lagi deh Sen, yang kita terima itu kan kopi dalam bentuk bubuk, lo pikir tinggal mereka kunyah trus uda jadi bubuk gitu?”
“Lo gak usah sesewot itu juga kali.” Aku melempar wajahku ke arah jendela. Kebun ini masih sama. Hanya saja, sudah ada beberapa pria yang lebih tua. Sepertinya Revan menambah pegawai baru. Walaupun yang muda-muda lebih banyak jumlahnya.
“Kita parkir di depan pondok saja Den.” Galih yang sedari tadi diam meminta persetujuanku yang aku jawab hanya dengan anggukan.
Ada beberapa pondok disini. Pondok yang ini lumayan besar, mungkin paling besar. Ada tiga ruangan. Dua untuk tempat tidur dan satu lagi untuk ruang kerja, akhir-akhir ini Revan lebih sering tidur di pondok ini daripada di rumah. Salah satu alasan kenapa aku jarang mengobrol dengan Revan beberapa minggu terakhir ini.
Pondok yang lain digunakan untuk tidur beberapa pekerja disini. Jaga malam, karena disini ada mesin penggiling kopi dan juga beberapa hewan ternak. Takut ada yang mencuri. Mungkin.
Baru beberapa menit kita masuk ke dalam pondok, BRESS!!! Hujan gede! Aku termenung, perasaan tadi sore masih cerah.
“Ulala, kita terjebak deh.” Revan berkata sambil keluar dari pondok. Beberapa saat kemudian dia masuk lagi bersama seorang laki-laki. Masih muda dan bajunya yang basah menunjukkan lekuk tubuhnya yang proposional. Aku menelan ludah, sudah berapa bulan aku tidak berhubungan seks? Bahkan mungkin onani?
“Kita nginep disini.” Revan kembali berkata sambil mengambilkan handuk kering untuk pemuda tadi.
“Kita kan bawa mobil Rev, gua pulang ah!!” Kataku sebal. Aku benci kebun! Apalagi harus tidur disini!
“Silahkan! Tapi jalanan yang becek, kemungkinan longsor, cuaca cerah aja jalanannya susah apalagi ujan deres begini! Lagipula Toyota Camry lo terlalu mungil tauk! By the way, kenalin ini Herman, salah satu pekerja disini.” Anak yang bernama Herman itu menyalamiku dan Galih dengan senyuman akrab. Revan pinter banget sih memilih lakik.
Revan membantu melepas baju Herman yang basah, dan dengan gaya yang aku tau dengan pasti menggoda Herman saat Revan juga membantunya mengeringkan badan. Dasar jablay!! Mereka pasti ada sesuatu. Tapi saat aku melihat lekuk tubuh Herman yang sekarang terpampang nyata, lelaki homo mana yang gak bakalan meleleh? He’s hot!!
“Oke, gua mau rehat dulu.” Kata Revan sambil mengerling padaku dan sedikit menyeret Herman.
“Sepertinya yang dibilang Den Revan bener Den, kita menginap saja malam ini. Aden laper? Ada mie rebus di belakang.” Aku agak kaget juga.
“Mas Galih sering kemari?”
“Lumayan Den.”
“Ooh, karena cowoknya ganteng-ganteng ya disini?” Ya Tuhan, aku cemburu? Atau gila?
“Buat saya, Den Seno tetap yang terganteng.” Bibirnya hanya terpaut beberapa senti sebelum akhirnya semakin dekat dengan bibirku.
“Sen, kalo lo laper ada mie rebus di belakang.” Revan menginterupsi tepat saat bibir Galih menyentuh bibirku. Dasar jalang sialan!
“Oops, sorry.” Permintaan maaf Revan jelas tidak tulus jika melihat wajahnya yang setengah nyengir, selebar cengiran kuda.
“Gua kaga bakalan ganggu lagi, janji!!” aku mendengus sebal sebelum akhirnya mengikuti Galih ke belakang pondok. Aku dan Galih tidak berpacaran kalau kalian ingin tahu. Hanya saja, beberapa kali kita berciuman. Tidak lebih, hanya ciuman.
Sebenarnya, sudah hampir empat kali Galih memintaku menjadi pacarnya. Hanya saja, aku masih trauma. Walaupun aku bilang sudah ikhlas tadi, tetap saja jika melihat Herry aku masih saja berharap suatu saat nanti dia akan kembali mengingatku. Mengingat cintanya padaku.
Kabar terakhir yang aku dengar dia sudah pacaran dengan cewek adik kelas, aku bisa apa?
Sudahlah, mengingat Herry hanya akan membuka luka lama. Dan aku masih belum mau membuat luka baru. Bukan berarti aku meragukan cinta Galih untukku, hanya saja seperti yang sudah aku bilang tadi. Aku masih belum siap. Hatiku belum utuh kembali.
“Mie rebus atau mau mie goreng Den?”
“Rebus aja Mas, telornya dua.” Jawabku sambil duduk di kursi kayu dekat meja.
Galih memang tampan, aku akui itu. Tapi modal dalam berpacaran tidak cukup hanya dengan cinta dan modal tampang yang oke saja kan? Entahlah, kalau di ingat-ingat memoriku bersama Herry, aku tidak percaya dia melupakanku sedemikian mudahnya. Aku tahu dia hilang ingatan, namun tidak adakah secuil pun memory yang dia ingat tentang aku? Yang katanya adalah pacar pertamanya?
“Ini Den, lumayan buat angetin badan hujan-hujan gini.” Aku melempar senyum ringan sebelum aku mulai menyantap mie rebusku. Enak dan beda. Buahaha, mie rebus apanya yang beda coba?
***

“Mas mau ngapain?” Aku bertanya pada Galih yang tengah melepas bajunya.
“Ganti bajulah Den, kan mau tidur.” Iya sih, tapi baru kali ini aku melihatnya ganti baju didepanku. Dan saat Galih melepas kain terakhir yang menempel di tubuhnya, dia berbalik menghadapku.
“Menurut Den Seno, saya seksi tidak?” Aku menelan ludah beberapa kali. Tubuh indah Galih terpampang polos dan nyata di hadapanku.
“Seksi mas. Gak pake baju mas tidurnya? Lagi hujan deras gini, ntar masuk angin.” Sebenarnya, aku sangat menikmati acara Galih yang sedang berbugil ria didepanku. Hanya saja, aku takut lepas kendali. Minta diperkosa misalnya.
“Kan ada Aden yang bisa ngangetin.” Aku gelagapan. Gila, aku tak menyangka Galih akan seberani ini memancingku. Apa dengan bugil saja belum cukup hingga dia harus mendekat ke tempat aku berbaring?
Aku seperti terhisap oleh daya tarik fisik yang dimiliki Galih. Jujur, aku meleleh. Siap untuk disantap. Bibir Galih hampir sangat dekat ketika pintu kamar pondokku terbuka.
“Seno, kamu . . .”
Kaget, itu yang langsung membuatku mendorong Galih kesamping.
“Herry? Ngapain kamu disini? Kok tau aku disini?”
“Itu gak penting!! Jelasin dulu apa yang aku lihat barusan itu! Kamu tega ya Sen!” Aku kembali tersentak. Herry mengingatku? Dia beneran mengingatku?
“Her, ini gak sesuai yang kamu sang. . .”
“Kenapa gak bilang? Kita kan bisa main bertiga? Hmmm?” Ya Tuhan! Benarkah Herry yang baru saja mengatakan kalimat itu? Main bertiga? Threesome?
“Lih, kamu gak ikutan gabung? Aku tahu kamu pengen banget nikmatin tubuh Seno kan? Ayolah, gak usah malu-malu.” Aku sudah yakin kalau Galih akan menolak ajakan gila Herry, namun lagi-lagi aku dibuat kaget, terkejut, tercengang dan lain sebagainya apapun itu kalian menyebutnya.
Galih mendekat ke arah kami berdua dan dia memelukku dari belakang. Kata-kata protes hampir keluar dari bibirku tepat saat Herry menciumnya dengan brutal. Sedangkan tangan Galih mulai bergerilya melepas kancing kemejaku dan mulai menggarapi putingku. Jari-jari Galih terus-menerus mencubit-cubit ringan putingku. Kedua tanganku di pegang erat oleh Herry sementara bibirnya terus-menerus menciumku.
Lama-lama perlawananku melemah. Aku mulai menikmati permainan bertiga ini. Bahkan, aku mengalungkan kedua tanganku pada leher Herry dan balas menciumnya dengan ganas. Sedangkan jari-jari Galih tengah sibuk dengan celanaku. Berusaha melepasnya seefisien mungkin. Aku merasakan jemari Galih yang mengelus kejantananku beberapa kali dengan gerakan yang seperti tidak disengaja yang membuatku langsung ereksi parah. Aku butuh klimaks!
Aku membanting Herry ke atas ranjang dan menindihnya. Sementara tanganku meraih Galih dan menuntunnya agar lebih liar menggarapi tubuhku. Aku terbuai, aku bahkan tak menggubris fakta bahwa apa yang tengah kami lakukan ini seperti film porno. Bahkan mungkin lebih hot dari film porno.
Sementara aku dan Herry yang tengah sibuk berciuman, Galih tengah sibuk mempersiapkan aku untuk menerima kejantanannya masuk kedalam tubuhku. Dan aku merintih saat batang tumpul itu mencoba membobol pertahananku. Aku tahu aku memang bukan perawan lagi, hanya saja tetap sakit pada awalnya. Dan saat Galih mulai memompanya maju mundur aku terlonjak.
***

Aku melihat sekelilingku dan menatap Galih yang tertidur di bawah. Aku menepuk-nepuk pipiku sesaat kemudian merogoh celanaku. Basah sedikit. Gila! Aku mimpi basah! Threesome lagi. Ini adalah mimpi terliar sepanjang aku hidup di dunia. Gilak! Edan! Threesome!
Aku mengusap wajahku dan mengacak-acak rambutku dengan gaya frustasi. Diluar masih hujan deras. Awet bener hujannya. Aku kembali menoleh ke arah Galih yang masih tertidur dengan sangat pulas. Jelas dia berpakaian lengkap dan tidak telanjang. Jadi? Dan pastinya mustahil Herry tiba-tiba berada disini kan? Yaelah, di dalam mimpi apa yang mustahil?
Aku turun dari ranjang dan berjalan menuju ke belakang pondok. Sambil mengambil air hangat dan meneguknya pelan-pelan aku kembali termenung. Kalau aku mempunyai kemampuan khusus melihat mahkluk halus, kenapa yang aku lihat hanya kakek buyut? Bukan berarti aku ingin melihat setan-setan yang lain. Hanya saja, kenyataan ini menguatkan aku bahwa sebenarnya aku hanyalah bocah biasa seperti bocah lainnya.
Aku tidak pernah mengalami gangguan mistis. Ya hanya dengan kakek buyut.
“Hey, Aden kok disini?”
“Tadi kebelet pipis Mas, Mas sendiri ngapain?” Aku berbalik dan tersenyum ringan. Sekilas aku seperti melihat Herry, lalu aku sadar bahwa itu Galih. Mungkin aku terlalu merindukannya bak orang gila.
“Tadi Mas kebangun, lalu lihat Aden gak ada di tempat tidur. Makanya Mas cariin, Mas khawatir terjadi apa-apa sama Aden.” Aku kembali dibuat tersenyum. Seandainya aku bisa membuka hatiku kembali dan membuang harapan bahwa Herry akan mengingatku lagi suatu saat nanti, mungkin pria di depanku ini yang pertama kali akan aku pertimbangkan. Hahaha.
“Aden baik-baik saja kan?” Aku mengangguk lemah menjawab pertanyaan Galih.
“Ayo Mas tidur lagi, masih malam ini.”
“Iya Den.” Aku berjalan mendahului Galih saat aku mendengar bunyi seperti orang jatuh. Aku langsung menoleh dan melihat Galih yang terjatuh ke lantai. Dan belum sempat aku bergerak, sesuatu seperti membungkam mulutku yang membuat kesadaranku semakin lama semakin menipis.
***

Kepalaku serasa pusing dan pening. Aku mencoba membuka mataku walau terasa seperti lengket karena lem alteco. Ruangan ini asing. Cahaya berpendar-pendar di atas kepalaku sebelum akhirnya aku dengan jernih bisa melihat ruangan ini dengan jelas. Kaki dan tanganku terikat. Aku mencoba mengingat-ingat kenapa aku bisa berada disini.
“Kamu sudah bangun anak manis?” Taufik? Suara itu? Aku merinding seketika. Ya Tuhan. Aku sudah akan mengakatan kata-kata umpatan ketika aku sadari bahwa mulutku ternyata ditutup lakban. Dasar sialan!
“Well, Well,” Taufik menyeringai puas ketika melihatku yang terlihat tidak berdaya.
“Ton, bawa anak itu kemari.” Aku menoleh ke arah anak yang dipanggil Ton itu yang sekarang telah berlalu ke belakang.
“Ini adalah salah satu pondok yang jarang sekali dikunjungi oleh orang-orang. Karena apa? Karena pondok ini angker. Buahahaha.” Taufik tertawa seperti orang gila.
Tidak lama kemudian orang yang bernama Ton itu kembali dengan membawa seseorang. Ya ampun Galih!! Tangannya terikat dan Galih terlihat sama tidak berdayanya sepertiku. Taufik berjalan mendekatiku yang langsung membuatku was-was dan waspada. Dia mendekatkan sebuah belati tepat dileherku.
“Ton, lepas ikatannya.” Tanpa suara si Ton langsung melepas ikatan Galih. Galih terlihat akan memukul Ton tapi tidak jadi ketika melihat belati yang berada di dekat leherku.
“Den. . . .”
“Ssssh, kamu bergerak sedikit, pisau ini juga akan bergerak semakin dekat ke kulitnya. Hihihi.” Wajah Galih semakin pucat.
“Sekarang buka semua bajumu. Kalau tidak mau maka baju anak ini yang akan aku buka paksa.” Galih tercekat. Begitu pun dengan aku. Aku lupa fakta bahwa walaupun psiko, Taufik tetaplah homo. Mana mungkin dia tidak ngiler melihat Galih?
Yang aku salut adalah pembawaan Galih yang tetap tenang. Walaupun wajahnya pucat, tapi dia tidak gemetar. Dengan kalem dia membuka semua bajunya hingga telanjang bulat.
“Ngaceng, aku pengen kontolmu ngaceng.” Galih seperti akan protes tapi tidak jadi. Gila, andai saja ada celah sedikit aku untuk bebas. Karateku bisa di andalkan jika hanya melawan dua orang ini. Setidaknya aku butuh bebas.
Disaat aku sibuk mencari cara agar lipatan tanganku bebas, Galih tengah berusaha membangkitkan penisnya.
“Ckckck, Ton bantu tuh bocah biar ngaceng.” Yang bernama Ton itu tangannya langsung menggenggam penis Galih. Galih menepis tangan itu dengan kasar.
“Sst sst kalo kamu tidak kooperatif, mungkin bocah ini yang akan menggantikanmu telanjang bulat.” Galih lalu terdiam. Bahkan ketika si Ton mulai mengoral penisnya. Aku memejamkan mataku. Aku tidak ingin melihatnya, aku tidak ingin!
“Lihat!! Lihat!! Lihat baik-baik!! Makanya jadi adik itu jangan membangkang! Mas Adi akan menghukum semua orang yang coba-coba ingin merebut hatimu Dek Angga. Buahahaha.”
Aku semakin bergidik ketakutan.


Bersambung. . .

2 komentar:

  1. Anonim4/03/2014

    Great !!! Udah lewat konflik baru,, tapi kok konfliknya cepet banget ya mas?

    BalasHapus
  2. Sumpah semua tulisan lo keren , gua udah baca semuanya dan semuanya keren . Selamat , dan maaf baru koment sekarang , lanjutin bro , kalo bisa publish di sosed ato dimna hitu biar banyak yg bisa baca

    BalasHapus

leave comment please.