Sudah
lebih dari sebulan dan tidak ada tanda-tanda jika ingatan Herry akan kembali.
Sempat terbesit kecurigaan jika Herry hanya berpura-pura saja, namun aku tepis
jauh anggapan itu. Entahlah, karena kami di kelas yang berbeda hubungan kami
pun semakin menjauh. Bahkan jika berpapasan saja hanya terlontar senyum ringan.
Senyum ramah seadanya.
Aku
sendiri semakin giat belajar, latihan karate dan juga move on. Hahhaha, aku
ingin melanjutkan studyku ke luar negeri. Jika kalian berpikir bahwa salah satu
alasannya adalah karena Herry, aku jawab bukan. Aku sudah ikhlas. Lagipula, ada
Galih dan Hendra.
Kuliah di
luar negeri sebenarnya sudah menjadi mimpiku sejak SMP. Dan aku hanya ingin
mewujudkan mimpiku. Harvard atau Yale. Dua kampus itu menjadi incaranku. Dan
aku harus mulai dari sekarang, dari kelas dua SMA!
“Mas,
kunci mobil mas yang bawa?” Aku bertanya pada Galih yang sedang mencuci mobil
Papa.
“Engga
Den. Terakhir kali kan Aden yang make.”
“Iya sih
Mas, Seno lupa naruh dimana.” Aku masuk kembali kedalam rumah. Mengublek-ublek
hampir semua ruangan. Perasaan, aku gak pernah seteledor ini meletakkan kontak
mobil.
“Di
kamarmu cah bagus.” Deg!
“Kakek
buyut?” Gosh! Eh emang dia gosh sih. Tapi, setelah sekian lama? Kok baru
muncul?
“Munculnya
selalu tiba-tiba dan unpredictable! Seno uda merasa gila lho bisa ngobrol sama
orang meninggal.”
“Ya wong
cuman kamu yang bisa kakek ajak bicara.” Aku menutup pintu kamarku serapat
mungkin. Aku yakin, kalau lihat di film-film aku pasti seperti ngobrol sendiri.
Jadi daripada aku dikira gila, stres dan sebagainya, aku memilih untuk menutup
pintu kamarku rapat-rapat dan berbicara sangat pelan.
“Kamu
mesti ati-ati lho Le.” Aku mengublek-ublek tas kecilku yang tadi ditunjuk oleh
kakek buyut bahwa kontak mobilku disitu.
“Lho
emang kenapa Kek?” aku masih mengatur volume suaraku serendah mungkin.
“Taufik.
. .”
Tok Tok
Tok. Suara ketukan di pintu kamarku menginterupsi apa yang akan disampaikan
kakek buyutku. Dengan enggan, aku melangkah membuka pintu.
“Mas
Galih?”
“Tadi Mas
seperti ngeliat ada orang masuk kamar Aden, siapa Den?” Deg! Masa Galih bisa
ngeliat kakek buyut juga?
“Kaga ada
orang kok Mas.” Galih masih celingukkan sebelum akhirnya mengangguk dan berlalu
dari kamarku. Aku menoleh ke sekelilingku dan mendapati bahwa kakek buyutku
sudah tidak ada. Apa maksutnya dengan Taufik?
***
“Lo mau
ngajak gua ke kebun yang dulu itu Van?” Kalian ingat kebun kopi yang dulu
dipegang oleh Taufik? Yang isinya cowok-cowok muda ganteng? Yah, kebun itu
dipegang Revan sekarang. Eem, tepatnya dia yang mengajukan diri dengan sangat
semangat dan antusias. Aku, kurang lebih memahami alasannya.
“Emang
sekarang lagi panen kopi?”
“Ya
enggak dodol! Tapi mereka kan harus bersihin rumput liar, milihin kopi yang
sudah masak, jemur kopinya.”
“Gua kira
tugas mereka cuman metik doang.” Aku menjawab tanpa rasa bersalah.
“Kayaknya
lo emang harus lebih belajar lagi deh Sen, yang kita terima itu kan kopi dalam
bentuk bubuk, lo pikir tinggal mereka kunyah trus uda jadi bubuk gitu?”
“Lo gak
usah sesewot itu juga kali.” Aku melempar wajahku ke arah jendela. Kebun ini
masih sama. Hanya saja, sudah ada beberapa pria yang lebih tua. Sepertinya
Revan menambah pegawai baru. Walaupun yang muda-muda lebih banyak jumlahnya.
“Kita
parkir di depan pondok saja Den.” Galih yang sedari tadi diam meminta
persetujuanku yang aku jawab hanya dengan anggukan.
Ada
beberapa pondok disini. Pondok yang ini lumayan besar, mungkin paling besar.
Ada tiga ruangan. Dua untuk tempat tidur dan satu lagi untuk ruang kerja,
akhir-akhir ini Revan lebih sering tidur di pondok ini daripada di rumah. Salah
satu alasan kenapa aku jarang mengobrol dengan Revan beberapa minggu terakhir
ini.
Pondok
yang lain digunakan untuk tidur beberapa pekerja disini. Jaga malam, karena
disini ada mesin penggiling kopi dan juga beberapa hewan ternak. Takut ada yang
mencuri. Mungkin.
Baru
beberapa menit kita masuk ke dalam pondok, BRESS!!! Hujan gede! Aku termenung,
perasaan tadi sore masih cerah.
“Ulala,
kita terjebak deh.” Revan berkata sambil keluar dari pondok. Beberapa saat
kemudian dia masuk lagi bersama seorang laki-laki. Masih muda dan bajunya yang
basah menunjukkan lekuk tubuhnya yang proposional. Aku menelan ludah, sudah
berapa bulan aku tidak berhubungan seks? Bahkan mungkin onani?
“Kita
nginep disini.” Revan kembali berkata sambil mengambilkan handuk kering untuk
pemuda tadi.
“Kita kan
bawa mobil Rev, gua pulang ah!!” Kataku sebal. Aku benci kebun! Apalagi harus
tidur disini!
“Silahkan!
Tapi jalanan yang becek, kemungkinan longsor, cuaca cerah aja jalanannya susah
apalagi ujan deres begini! Lagipula Toyota Camry lo terlalu mungil tauk! By the
way, kenalin ini Herman, salah satu pekerja disini.” Anak yang bernama Herman
itu menyalamiku dan Galih dengan senyuman akrab. Revan pinter banget sih
memilih lakik.
Revan
membantu melepas baju Herman yang basah, dan dengan gaya yang aku tau dengan
pasti menggoda Herman saat Revan juga membantunya mengeringkan badan. Dasar
jablay!! Mereka pasti ada sesuatu. Tapi saat aku melihat lekuk tubuh Herman
yang sekarang terpampang nyata, lelaki homo mana yang gak bakalan meleleh? He’s
hot!!
“Oke, gua
mau rehat dulu.” Kata Revan sambil mengerling padaku dan sedikit menyeret
Herman.
“Sepertinya
yang dibilang Den Revan bener Den, kita menginap saja malam ini. Aden laper?
Ada mie rebus di belakang.” Aku agak kaget juga.
“Mas
Galih sering kemari?”
“Lumayan
Den.”
“Ooh,
karena cowoknya ganteng-ganteng ya disini?” Ya Tuhan, aku cemburu? Atau gila?
“Buat
saya, Den Seno tetap yang terganteng.” Bibirnya hanya terpaut beberapa senti
sebelum akhirnya semakin dekat dengan bibirku.
“Sen,
kalo lo laper ada mie rebus di belakang.” Revan menginterupsi tepat saat bibir
Galih menyentuh bibirku. Dasar jalang sialan!
“Oops,
sorry.” Permintaan maaf Revan jelas tidak tulus jika melihat wajahnya yang
setengah nyengir, selebar cengiran kuda.
“Gua kaga
bakalan ganggu lagi, janji!!” aku mendengus sebal sebelum akhirnya mengikuti
Galih ke belakang pondok. Aku dan Galih tidak berpacaran kalau kalian ingin
tahu. Hanya saja, beberapa kali kita berciuman. Tidak lebih, hanya ciuman.
Sebenarnya,
sudah hampir empat kali Galih memintaku menjadi pacarnya. Hanya saja, aku masih
trauma. Walaupun aku bilang sudah ikhlas tadi, tetap saja jika melihat Herry
aku masih saja berharap suatu saat nanti dia akan kembali mengingatku.
Mengingat cintanya padaku.
Kabar
terakhir yang aku dengar dia sudah pacaran dengan cewek adik kelas, aku bisa
apa?
Sudahlah,
mengingat Herry hanya akan membuka luka lama. Dan aku masih belum mau membuat
luka baru. Bukan berarti aku meragukan cinta Galih untukku, hanya saja seperti
yang sudah aku bilang tadi. Aku masih belum siap. Hatiku belum utuh kembali.
“Mie
rebus atau mau mie goreng Den?”
“Rebus
aja Mas, telornya dua.” Jawabku sambil duduk di kursi kayu dekat meja.
Galih
memang tampan, aku akui itu. Tapi modal dalam berpacaran tidak cukup hanya
dengan cinta dan modal tampang yang oke saja kan? Entahlah, kalau di
ingat-ingat memoriku bersama Herry, aku tidak percaya dia melupakanku
sedemikian mudahnya. Aku tahu dia hilang ingatan, namun tidak adakah secuil pun
memory yang dia ingat tentang aku? Yang katanya adalah pacar pertamanya?
“Ini Den,
lumayan buat angetin badan hujan-hujan gini.” Aku melempar senyum ringan
sebelum aku mulai menyantap mie rebusku. Enak dan beda. Buahaha, mie rebus
apanya yang beda coba?
***
“Mas mau
ngapain?” Aku bertanya pada Galih yang tengah melepas bajunya.
“Ganti
bajulah Den, kan mau tidur.” Iya sih, tapi baru kali ini aku melihatnya ganti
baju didepanku. Dan saat Galih melepas kain terakhir yang menempel di tubuhnya,
dia berbalik menghadapku.
“Menurut
Den Seno, saya seksi tidak?” Aku menelan ludah beberapa kali. Tubuh indah Galih
terpampang polos dan nyata di hadapanku.
“Seksi
mas. Gak pake baju mas tidurnya? Lagi hujan deras gini, ntar masuk angin.”
Sebenarnya, aku sangat menikmati acara Galih yang sedang berbugil ria
didepanku. Hanya saja, aku takut lepas kendali. Minta diperkosa misalnya.
“Kan ada
Aden yang bisa ngangetin.” Aku gelagapan. Gila, aku tak menyangka Galih akan
seberani ini memancingku. Apa dengan bugil saja belum cukup hingga dia harus
mendekat ke tempat aku berbaring?
Aku
seperti terhisap oleh daya tarik fisik yang dimiliki Galih. Jujur, aku meleleh.
Siap untuk disantap. Bibir Galih hampir sangat dekat ketika pintu kamar
pondokku terbuka.
“Seno,
kamu . . .”
Kaget,
itu yang langsung membuatku mendorong Galih kesamping.
“Herry?
Ngapain kamu disini? Kok tau aku disini?”
“Itu gak
penting!! Jelasin dulu apa yang aku lihat barusan itu! Kamu tega ya Sen!” Aku
kembali tersentak. Herry mengingatku? Dia beneran mengingatku?
“Her, ini
gak sesuai yang kamu sang. . .”
“Kenapa
gak bilang? Kita kan bisa main bertiga? Hmmm?” Ya Tuhan! Benarkah Herry yang
baru saja mengatakan kalimat itu? Main bertiga? Threesome?
“Lih,
kamu gak ikutan gabung? Aku tahu kamu pengen banget nikmatin tubuh Seno kan?
Ayolah, gak usah malu-malu.” Aku sudah yakin kalau Galih akan menolak ajakan
gila Herry, namun lagi-lagi aku dibuat kaget, terkejut, tercengang dan lain
sebagainya apapun itu kalian menyebutnya.
Galih
mendekat ke arah kami berdua dan dia memelukku dari belakang. Kata-kata protes
hampir keluar dari bibirku tepat saat Herry menciumnya dengan brutal. Sedangkan
tangan Galih mulai bergerilya melepas kancing kemejaku dan mulai menggarapi
putingku. Jari-jari Galih terus-menerus mencubit-cubit ringan putingku. Kedua
tanganku di pegang erat oleh Herry sementara bibirnya terus-menerus menciumku.
Lama-lama
perlawananku melemah. Aku mulai menikmati permainan bertiga ini. Bahkan, aku
mengalungkan kedua tanganku pada leher Herry dan balas menciumnya dengan ganas.
Sedangkan jari-jari Galih tengah sibuk dengan celanaku. Berusaha melepasnya
seefisien mungkin. Aku merasakan jemari Galih yang mengelus kejantananku
beberapa kali dengan gerakan yang seperti tidak disengaja yang membuatku
langsung ereksi parah. Aku butuh klimaks!
Aku membanting
Herry ke atas ranjang dan menindihnya. Sementara tanganku meraih Galih dan
menuntunnya agar lebih liar menggarapi tubuhku. Aku terbuai, aku bahkan tak
menggubris fakta bahwa apa yang tengah kami lakukan ini seperti film porno.
Bahkan mungkin lebih hot dari film porno.
Sementara
aku dan Herry yang tengah sibuk berciuman, Galih tengah sibuk mempersiapkan aku
untuk menerima kejantanannya masuk kedalam tubuhku. Dan aku merintih saat
batang tumpul itu mencoba membobol pertahananku. Aku tahu aku memang bukan
perawan lagi, hanya saja tetap sakit pada awalnya. Dan saat Galih mulai
memompanya maju mundur aku terlonjak.
***
Aku
melihat sekelilingku dan menatap Galih yang tertidur di bawah. Aku
menepuk-nepuk pipiku sesaat kemudian merogoh celanaku. Basah sedikit. Gila! Aku
mimpi basah! Threesome lagi. Ini adalah mimpi terliar sepanjang aku hidup di
dunia. Gilak! Edan! Threesome!
Aku
mengusap wajahku dan mengacak-acak rambutku dengan gaya frustasi. Diluar masih
hujan deras. Awet bener hujannya. Aku kembali menoleh ke arah Galih yang masih
tertidur dengan sangat pulas. Jelas dia berpakaian lengkap dan tidak telanjang.
Jadi? Dan pastinya mustahil Herry tiba-tiba berada disini kan? Yaelah, di dalam
mimpi apa yang mustahil?
Aku turun
dari ranjang dan berjalan menuju ke belakang pondok. Sambil mengambil air
hangat dan meneguknya pelan-pelan aku kembali termenung. Kalau aku mempunyai
kemampuan khusus melihat mahkluk halus, kenapa yang aku lihat hanya kakek
buyut? Bukan berarti aku ingin melihat setan-setan yang lain. Hanya saja,
kenyataan ini menguatkan aku bahwa sebenarnya aku hanyalah bocah biasa seperti
bocah lainnya.
Aku tidak
pernah mengalami gangguan mistis. Ya hanya dengan kakek buyut.
“Hey,
Aden kok disini?”
“Tadi
kebelet pipis Mas, Mas sendiri ngapain?” Aku berbalik dan tersenyum ringan.
Sekilas aku seperti melihat Herry, lalu aku sadar bahwa itu Galih. Mungkin aku
terlalu merindukannya bak orang gila.
“Tadi Mas
kebangun, lalu lihat Aden gak ada di tempat tidur. Makanya Mas cariin, Mas
khawatir terjadi apa-apa sama Aden.” Aku kembali dibuat tersenyum. Seandainya
aku bisa membuka hatiku kembali dan membuang harapan bahwa Herry akan
mengingatku lagi suatu saat nanti, mungkin pria di depanku ini yang pertama
kali akan aku pertimbangkan. Hahaha.
“Aden
baik-baik saja kan?” Aku mengangguk lemah menjawab pertanyaan Galih.
“Ayo Mas
tidur lagi, masih malam ini.”
“Iya
Den.” Aku berjalan mendahului Galih saat aku mendengar bunyi seperti orang
jatuh. Aku langsung menoleh dan melihat Galih yang terjatuh ke lantai. Dan
belum sempat aku bergerak, sesuatu seperti membungkam mulutku yang membuat
kesadaranku semakin lama semakin menipis.
***
Kepalaku
serasa pusing dan pening. Aku mencoba membuka mataku walau terasa seperti
lengket karena lem alteco. Ruangan ini asing. Cahaya berpendar-pendar di atas
kepalaku sebelum akhirnya aku dengan jernih bisa melihat ruangan ini dengan
jelas. Kaki dan tanganku terikat. Aku mencoba mengingat-ingat kenapa aku bisa
berada disini.
“Kamu
sudah bangun anak manis?” Taufik? Suara itu? Aku merinding seketika. Ya Tuhan.
Aku sudah akan mengakatan kata-kata umpatan ketika aku sadari bahwa mulutku
ternyata ditutup lakban. Dasar sialan!
“Well,
Well,” Taufik menyeringai puas ketika melihatku yang terlihat tidak berdaya.
“Ton,
bawa anak itu kemari.” Aku menoleh ke arah anak yang dipanggil Ton itu yang
sekarang telah berlalu ke belakang.
“Ini
adalah salah satu pondok yang jarang sekali dikunjungi oleh orang-orang. Karena
apa? Karena pondok ini angker. Buahahaha.” Taufik tertawa seperti orang gila.
Tidak
lama kemudian orang yang bernama Ton itu kembali dengan membawa seseorang. Ya
ampun Galih!! Tangannya terikat dan Galih terlihat sama tidak berdayanya sepertiku.
Taufik berjalan mendekatiku yang langsung membuatku was-was dan waspada. Dia
mendekatkan sebuah belati tepat dileherku.
“Ton,
lepas ikatannya.” Tanpa suara si Ton langsung melepas ikatan Galih. Galih
terlihat akan memukul Ton tapi tidak jadi ketika melihat belati yang berada di
dekat leherku.
“Den. . .
.”
“Ssssh,
kamu bergerak sedikit, pisau ini juga akan bergerak semakin dekat ke kulitnya.
Hihihi.” Wajah Galih semakin pucat.
“Sekarang
buka semua bajumu. Kalau tidak mau maka baju anak ini yang akan aku buka
paksa.” Galih tercekat. Begitu pun dengan aku. Aku lupa fakta bahwa walaupun
psiko, Taufik tetaplah homo. Mana mungkin dia tidak ngiler melihat Galih?
Yang aku
salut adalah pembawaan Galih yang tetap tenang. Walaupun wajahnya pucat, tapi
dia tidak gemetar. Dengan kalem dia membuka semua bajunya hingga telanjang
bulat.
“Ngaceng,
aku pengen kontolmu ngaceng.” Galih seperti akan protes tapi tidak jadi. Gila,
andai saja ada celah sedikit aku untuk bebas. Karateku bisa di andalkan jika
hanya melawan dua orang ini. Setidaknya aku butuh bebas.
Disaat
aku sibuk mencari cara agar lipatan tanganku bebas, Galih tengah berusaha
membangkitkan penisnya.
“Ckckck,
Ton bantu tuh bocah biar ngaceng.” Yang bernama Ton itu tangannya langsung
menggenggam penis Galih. Galih menepis tangan itu dengan kasar.
“Sst sst
kalo kamu tidak kooperatif, mungkin bocah ini yang akan menggantikanmu
telanjang bulat.” Galih lalu terdiam. Bahkan ketika si Ton mulai mengoral
penisnya. Aku memejamkan mataku. Aku tidak ingin melihatnya, aku tidak ingin!
“Lihat!!
Lihat!! Lihat baik-baik!! Makanya jadi adik itu jangan membangkang! Mas Adi
akan menghukum semua orang yang coba-coba ingin merebut hatimu Dek Angga.
Buahahaha.”
Aku
semakin bergidik ketakutan.
Bersambung.
. .
Great !!! Udah lewat konflik baru,, tapi kok konfliknya cepet banget ya mas?
BalasHapusSumpah semua tulisan lo keren , gua udah baca semuanya dan semuanya keren . Selamat , dan maaf baru koment sekarang , lanjutin bro , kalo bisa publish di sosed ato dimna hitu biar banyak yg bisa baca
BalasHapus