Chapter
1
Hey,
namaku Sandy. Mahasiswa tingkat akhir di salah satu universitas swasta di
Jakarta yang kurang terkenal. Yah, memang kampusku bukan kampus favorite. Aku
kuliah disana juga dengan berbagai macam pertimbangan. Selain karena biayanya
yang relatif terjangkau, tempatnya pun bisa aku jangkau dari rumahku. Dekat.
Oya,
aku juga kerja part time sebagai barista di salah satu tempat ngopi-ngopinya
anak muda. Haha, bukan starbucks. Mungkin bisa jadi suatu saat bakal jadi
saingannya. Hahaha.
Caffe
ini adalah milik om ku. Sebenarnya, aku tidak mungkin bisa kuliah jika tanpa
bantuan beliau. Namun, karena aku tidak mau dibantu secara Cuma-Cuma, aku
memutuskan untuk bekerja disini. Gajinya lumayan untuk membantu membiayai
adikku yang masih duduk di bangku SMP.
Malam
ini pengujung cukup rame. Kebanyakan orang pacaran. Yah, maklum malam ini
adalah malam minggu. Jadi ya tidak heran jika banyak muda-mudi nongkrong santai
disini sambil pacaran. Atau pacaran sambil nongkrong? Malam ini aku tidak kebagian jatah sebagai
peracik kopi, tapi aku berdiri di bagian kasir. Haha, bukan yang pertama
kalinya juga.
“Mas,
big gingerbread Soy Latte sama, emm kamu mau apa Gan?” Aku menengadah dan
dadaku secara tiba-tiba berdegup kencang. Gila, apa yang terjadi denganku?
Maksutku, aku deg-deg an melihat cowok didepanku ini? Yang benar saja?!
“Eem,
Cinnamon Mocha aja. Yang medium aja Ben.” Teman cowok disebelahnya menjawab
tanpa mengalihkan pandangannya dari gadgetnya. Anak muda jaman sekarang,
pegangannya sudah handphone yang canggih-canggih.
“Oh,
oke. Jadi gua pesen Big Gingerbread Soy Latte satu sama Medium Cinnamon Mocha
nya satu.” Cowok yang dipanggil Ben oleh temannya tadi yang entah mengapa
membuat dadaku deg-deg an tak karuan mengulangi pesanannya.
“Oke,
jadi Big Gingerbread Soy Latte sama Medium Cinnamon Mocha? Ada lagi kak yang
mau ditambah?” Aku berusaha seprofesional mungkin walau jujur, wajah cowok
didepanku ini bikin aku kebat-kebit. Entah, aku sendiri tidak tahu mengapa.
“Uda
itu aja Mas.” Aku lalu menyebutkan nominal harga dan menandai dua gelas
pesanannya dan aku berikan ke Hilman. Peracik handal caffe ini.
“Oke,
silahkan ditunggu ka, terima kasih.” Aku masih memperhatikannya. Masih
memperhatikan juga ketika dia merangkul temannya dan membisikkan kata-kata
ditelinga temannya yang membuat temannya mencubit pinggangnya. Aneh, di mataku
mereka tidak seperti teman. Mereka seperti pacaran.
***
“Tuh,
kamu diperhatiin terus tuh sama mas-mas kasirnya.” Kataku pada Beno sambil
menyeruput kopiku. Beno menengok ke arah mas-mas si penjaga kasir dan membuat
mas-mas si penjaga kasir membuang muka dengan malu-malu.
“Masa
sih Gan? Halah, bilang aja kamu cemburu.”
“Kamu
kan ganteng, wajar lah dimanapun jadi pusat perhatian. Gak cewek, gak cowok homo.
Resikoku lah punya pacar ganteng.” Aku menjawab dengan nada sedatar mungkin.
Walau kalau boleh jujur, aku mulai jengah. Sudah hampir dua bulan aku pacaran
dengan Beno dan aku mulai risih dengan dampak dari kegantengan pacarku ini.
Banyak
cewek-cewek yang sok centil dan tak sedikit cowok-cowok yang ganjen mencoba
menarik perhatian Beno. Padahal ada aku disitu. Ah, sudahlah. Toh mereka tidak
tahu kalau aku ini pacarnya. Keadaan ini jauh berbeda saat aku berpacaran
dengan Denny. Bukan berarti Denny tidak menarik, hanya saja Denny cuek. Dia
tidak menggubris semua tatapan menggoda yang diarahkan padanya. Beno? Dia
terlalu ramah. Jadi ya begitulah!
“Plis
lah jangan mulai! Aku sayang kamu, bosen tahu bahas ini lagi, ini lagi. Kamu
gak percaya gitu sama perasaan aku ke kamu?”
“Percaya.”
“Ya
udah. Pulang yuk, uda malem nih. Oya, malam ini aku nginep kostanmu ya? Hehe,
kangen.” Aku menatap curiga ke arah Beno.
“Kangen
apaan?”
“Kangen
itu kamu yang ngejepit-jepit.” Aku menendang kakinya lewat kolong meja dan
membuat Beno sedikit mengaduh. Alamat begadang nih malam minggu.
***
Aku
pernah, dengan sangat jelas menceritakan kepada kalian bahwa aku bukan dari
golongan anak pintar. Aku kurang cerdas. Atau bodoh, yah kasarnya begitu. Tapi,
tidak ada orang bodoh kan? Yang ada hanya orang pemalas. Jadi ya, mungkin aku
pemalas.
Aku
memang malas hari ini. Bayangkan saja, Matematika, Kimia lalu disusul Fisika.
Yah, tepat seperti jam sekarang ini. Aku tengah mendengarkan guru Fisikaku
mendongeng entah hal apa yang aku kurang paham.
Menurutku,
pelajaran Fisika itu tidak penting. Yah, kecuali kalau kalian ingin menjadi
ilmuwan atau bergerak dibidang hal yang meruwetkan tersebut. Jujur, buat apa
sih kita menjatuhkan kelereng lalu diitung kecepatannya dan bla la blanya. Ada
lagi nih yang lebih kepo, seperti soal yang
tengah ditulis guruku di white board.
“Pak
Rudi mengendarai mobilnya dengan kecepatan bla bla bla. Lalu dia bla bla bla,
dan berangkat dari rumah pukul bla bla bla. Jarak rumah dengan tempat
tujauannya adalah bla bla bla. Pukul berapakah kira-kira Pak Rudi tiba di
tujuan?”
What
the hell? Adakah soal yang lebih kepo dari ini? Maksutku, apakah guruku tidak
mempertimbangkan macet? Hey, ini Jakarta!! Trus kalau Pak Rudi kecelakaan lalu
mati? Mana kita tau dia nyampe di tempat tujuan jam berapa! Belum lagi kalau
dia kena razia polisi? Lagipula, logikanya gak mungkin dong orang mengendarai
mobil lempeng aja kecepatannya? Iya kan? Ini soal kurang cerdas dan berbobot!
“Gan?”
Aku menoleh ke belakang dan melihat Beno yang tengah menatapku dengan jahil.
“Apaan?”
Jelas Fisika adalah salah satu penghancur mood terbaikku saat ini.
“Ijin
kencing.” Beno masih berbisik lirih. Ijin kencing? Well, ini seperti menemukan
mata air di gurun tandus. I can not reject this idea. Tanpa menunggu waktu lama,
aku langsung mengangkat jariku.
Pak
Asril, nama guru Fisikaku. Terlihat eksited, mungkin beliau mengira aku
bersedia menjawab soal yang sudah dia tulis di white board, but he’s wrong. Aku
mau ijin ke toilet, dan walaupun aku sempat melihat tatapan kecewa di matanya,
itu sama sekali tidak mengubah keputusanku untuk tetap ijin ke toilet. I must
or I’ll die.
Tinggal
lima menit sebelum akhirnya istirahat, jadi ya aku memutuskan untuk agak lama
di toilet. Tepat saat aku keluar dari unior, Beno muncul.
“Udahan
kencingnya?”
“Lo
nya kelamaan!” Aku menjawab dengan agak kesal.
“Yah,
kan kalau ijinnya barengan ntar dikiranya homo.” Aku membuang wajahku dan
berniat berlalu dari toilet, tepat saat Beno memegang tanganku dan agak sedikit
menyeretku masuk kedalam salah satu toilet yang kosong.
“Ben,
lo apa-apaan sih?”
“Sssst,
aku kangen.” Ujarnya sambil bibirnya menuju bibirku. Aku memejamkan mataku.
Beno berbeda dengan Denny. Secara keseluruhan. Beno tidak pernah takut untuk
mengajakku bermesraan walau di tempat umum sekalipun. Yah, seperti sekarang
ini. Di dalam toilet dan ini bukan yang pertama kalinya. Ini juga bukan ciuman
‘kangen’ seperti yang dibilang Beno tadi. Ini jenis ciuman yang menuntut
penuntasan dengan seks. Dan toilet? Maksutku? Are you serious? Toilet? Better
idea please? Kuburan China atau semak belukar may be?
“Ben,
stop! Kalo dilanjutin kita bakalan dicurigai!”
“Bentar
lagi istirahat Gan.”
“Nah
justru itu, aku gak yakin bakal diem aja kalau penis kamu bersarang di pantatku
sekarang.” Beno bengong sebentar sebelum akhirnya tersenyum mesum.
“Oke.
Kamu keluar duluan, biar gak pada curiga.” Aku membuka pintu toilet dan
mengintip sedikit. Setelah aku rasa aman, aku melenggang keluar toilet seperti
tidak terjadi apa-apa. Hmmm, aku rasa memang tidak terjadi apa-apa kan?
***
Kuliah
hari ini cukup padat. Ini sudah jam 4 sore dan aku baru bisa pulang ke rumah.
Aku berjalan dengan santai ketika aku mendengar suara agak keras dibelakangku.
Ada motor Honda CBR yang jatuh, sepertinya diserempet mobil yang sudah kabur
entah kemana. Aku menghampirinya, melihat sang empunya motor kesusahan saat mau
berdiri lagi. Masih pelajar SMA.
“Mas,
lo baik-baik aja?” Aku bertanya sambil berusaha menepikan motornya dan juga
membantu anak SMA ini berdiri. Dua hal yang sulit dilakukan secara bersamaan.
“Gua
oke kok mas. Thanks.” Anak ini berusaha melepas helm nya. Deg! Bukankah dia
cowok yang beberapa hari lalu ke caffe? Dia masih SMA?
“Yakin?
Mau istirahat di rumah gua dulu? Lo kayak masih syok gitu. Rumah gua deket dari
sini.” Cowok ini menatapku agak curiga sebentar. Aku maklum, di Jakarta kan
emang banyak modus penipuan ataupun perampokkan.
“Gua
janji gak bakal ngapa-ngapain lo dan gua juga gak maksa lo kok.” Aku berusaha
meyakinkannya. Entah untuk alasan apa, hanya saja aku ingin menghabiskan waktu
lebih banyak dengannya. Entah, baru kali ini aku begitu tertarik dengan
laki-laki. Hal yang sama sekali belum pernah aku alami.
Dia
terlihat menimang-nimang keadaannya sebelum akhirnya mengangguk lemah. Jujur,
hatiku bersorak saat dia menganggukkan kepalanya. Yah, aku merasa seperti ABG
yang sedang jatuh cinta. Ha? Jatuh cinta? Dengan lelaki? Masih SMA? Pikiranku
sepertinya mabok karena kuliah tadi sepertinya.
“Nama
gua Sandy.” Aku memperkenalkan diriku saat menyuguhi dia teh manis hangat.
Orang tuaku sedang bekerja. Biasanya pulang malam. Ayahku tukang ojek sedangkan
ibuku penjual di pasar. Yah, seperti yang aku katakan jika aku tidak dibantu om
ku aku tidak akan bisa kuliah.
“Gua
Beno.” Anak itu berkata sambil tersenyum. Tampan! Walaupun sepertinya dia orang
kaya, dia tidak memandang rendah rumahku. Dia biasa-biasa saja bahkan terlihat
nyaman duduk di kursi.
“Lo
yakin kaga ada yang luka Ben? Lutut lo?”
“Kaga,
cuman punggung gua agak perih.”
“Coba
gua lihat.” Beno tanpa protes membuka kancing kemeja seragamnya dan
menurunkannya sedikit.
“Lecet
ini Ben, bentar gua ambil alkohol sama obat merah dulu.” Aku berusaha
mengendalikan degup jantungku dengan mencari-cari obat merah dan alkohol. Aku
selalu menyimpan peralatan P3K. Yah walaupun hanya obat merah dan plester
doang.
Aku
membersihkan luka itu dengan rintihan Beno mengiringinya. Yah, aku mengerti sih
perihnya luka ditetesi alkohol. Setelah aku yakin tidak kotor, aku baru
membubuhkan obat merah dan menutupnya dengan plester.
“Thanks
ya San.” Beno lagi-lagi tersenyum dan jantungku kembali bertalu-talu. Aku yakin
sekarang, aku jatuh cinta pada Beno!!
***
“Kamu
pulang sendirian Gan?” Aku menganggukan kepalaku tanpa menoleh ke arahnya.
“Beno?”
“Katanya
dia mau jemput Mamanya.” Sekarang aku menoleh, “Mau ngajak pulang bareng? To
the point aja kali Den!!”
Denny
tersenyum. Yah, dia masih tampan. Begitulah, Denny-mantan pacarku.
“Iya,
pulang bareng yok.” Aku tahu bahwa hari ini cuaca sangat panas. Radit tengah
berduaan dengan pacarnya. Si adek kelas, Risky. Jadi tawaran pulang bareng ini
aku sambut dengan histeris.
“Oke.”
Aku segera naik ke atas boncengan. Sayangnya, Denny tidak membawaku ke rumah
Radit, tapi kerumahnya sendiri.
“Lita
kangen sama kamu. Makanya aku bawa kamu ke rumahku.” Kata Denny seperti tau apa
yang ada di pikiranku.
“Lita
yang kangen atau kamu yang kangen?” Niatnya sih aku hanya bercanda. Tapi
melihat senyumnya yang misterius aku jadi tau jawabannya. Denny juga kangen
aku!!
“Lit,
ada Mas Gani nih!!” Teriak Beno begitu masuk ke dalam rumah. Lita, anak itu
masih terlihat lucu dan menggemaskan langsung meninggalkan acara tv yang sedang
dia tonton dan langsung menghambur ke arahku.
“Masssssss
Gaaaaaani, Lita kangen! Mas Gani udah jarang main kesini sekarang!”
“Mas
lagi sibuk!” Kataku sambil mengangkat tubuh Lita tinggi-tinggi.
“Hayo!
Kamu uda makan belom?” Tanyaku lagi
setelah menurunkan Lita kembali ke daratan.”
“Belom,
Mas Denny belom masak.”
“Iyaaa,
aku masakin buat kamu. Mau makan apa kamu heh anak bandel.”
“Telor
ceplok aja Mas.” Jawab Lita sambil kembali ke acara tv nya yang tadi. Hey! Jadi
dia kangennya cuman sebentar sama aku? Dasar anak kecil labil!
“Mau
bantuin aku masak gak Beb?” Aku menoleh ke arah Denny.
“Sorry,
kebiasaan dulu. Maaf.”
“Gak
papa.” Bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah, jantungku sempat berpacu tadi.
Tuhan, mungkinkah aku mengalami CLBK?
Aku
mengikuti Denny ke dapur. Yang jelas, sepertinya tata letaknya masih belum
berubah. Masih sama.
“Lha
mbak Walmi emang kenapa Den?” Mbak Walmi adalah pembantu rumah tangga di rumah
Denny.
“Lagi
sakit Gan. Jadi ya harus bisa urus sendiri sampai mbak Walmi sehat lagi.” Aku
memperhatikan Denny lebih dalam. Seandainya dulu aku tidak gegabah memutuskan
Denny. Mungkin sekarang aku masih bahagia bersamanya. Tidak harus setiap hari
menahan kesal dan cemburu saat cewek-cewek centil dan cowok-cowok sekong
menggoda Beno bahkan dengan aku disampingnya. Dan reaksi Beno yang terlalu baik
pada mereka.
Aku
tahu mereka berdua berbeda dan aku juga paham tidak seharusnya aku membandingkan
mereka berdua. Hanya saja, aku mulai lelah dengan sikap Beno yang tidak bisa
tegas dengan para ‘fans’ nya. Toh dia bukan artis!! Dan ada aku! Beno bukan
tipe pacar yang brengsek, dia pacar yang baik. Perhatian dan cintanya tidak
pernah kurang. Dia juga hot di atas ranjang. Hanya saja, aku merasa dia terlalu
sempurna. Dan itu yang aku takutkan.
“Hey,
ngalamun aja. Lagi ada masalah?” Denny mengambil kursi dan duduk disampingku.
“Nothing.
Emang kamu uda selese masak buat Lita?” Denny mengangguk.
“Sekarang
cari makan buat kita berdua yuk? Aku ganti baju dulu.” Denny berdiri dan
menatap lama ke arahku.
“Gak
mau ikut aku ganti baju Gan?” Aku tersenyum mendengar ajakannya.
“You
suck! You know I can’t.”
“Hehe.”
Dia terkekeh sebelum akhirnya berlalu.
***
Denny
membawaku makan di sebuah warung bakso. Dulu, ini warung bakso langganan kita
berdua. Bakso sambal setan, hahaha. Yah, ini juga salah satu perbedaan Denny
dan Beno. Beno selalu membawaku ke tempat nongkrong yang dianggapnya romantis.
Caffe, starbucks, J Co, tempat-tempat yang kata anak muda sih ekslusif. Denny
berbeda. Dia pernah membawaku ke caffe atau starbucks tapi dia lebih sering
membawaku ke tempat seperti ini. Warung bakso, ayam bakar. Oke, enough! Aku
tidak mungkin terus menerus membandingkan mereka berdua kan? Maksutku, aku
terlihat sangat arogan, licik dan manipulatif! Belum tentu aku juga melakukan
yang terbaik untuk Beno.
Sudahlah.
“Kamu
beneran gak papa Gan?”
“Ha?
Gak kok, I’m fine.” Aku tersenyum, sebelum akhirnya aku melihat Honda CBR warna
merah dengan plat nomor yang sudah aku hafal berhenti di lampu merah di depan
tempat aku dan Denny makan. Di boncengannya bukan wanita berambut panjang
seperti alasan dia meninggalkanku tadi di sekolah. Tapi seorang laki-laki.
Mereka tidak mencolok, mereka berboncengan seperti orang pada umumnya. Bahkan
tidak ada pelukan.
Yang
membuatku kecewa adalah, kenapa tadi dia bilang mau menjemput Mamanya? Kalau
ternyata yang dia jemput bukan Mamanya? Kenapa harus berbohong? Dala sekejap
selera makanku hilang. Dan saat sang pengendara itu menoleh dan menyadari ada
aku disitu, aku semakin muak. Dia tidak turun melainkan langsung tancap gas.
Haaah,
sudahlah. Mungkin ini hukuman yang pantas buatku karena meninggalkan cowok
sebaik Denny dulu.
“Kita
pulang yuk Den, aku tiba-tiba merasa kenyang.”
“Ha?
Kenapa?” Denny masih akan membordirku dengan berbagai pertanyaan, namun saat
melihat air mataku hampir menitik dia terdiam.
“Oke,
baksonya dibungkus aja kalo gitu.” Aku hanya bisa mengangguk lemah. Setidaknya
akan ada penjelasan kan nantinya?
Tbc.
. .
Lanjutin please . Keren tapi sudut pandangnya rada belibet
BalasHapusUda ada lanjutannya tuh :)
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus