FOLLOW ME

Rabu, 30 April 2014

BARISTA 3

Chapter 3

Gani Pov
Di hari Minggu yang lumayan cerah ini, cuaca yang sangat jarang terjadi di musim hujan begini. Aku menghabiskan waktuku keliling Mall. Sebenarnya, aku hanya ingin mampir ke Gramedia. Ada buku yang harus aku beli. Eem, komik sih sebenarnya. Sendirian.
Beno ke gereja, Radit? Aku yakin dia dan Risky masih terbaring di atas ranjang. Denny? Aku tidak mungkin terus-terusan merepotkannya. Maksutku, kita sudah menjadi mantan. Apalagi, Denny sepertinya masih punya feeling untukku. Jadi ya, aku tidak ingin dibilang memberi harapan palsu.
Aku keliling sebentar sebelum akhirnya masuk Gramedia. Dua telingaku tersumpal headset. Yah, ini memang kebiasaanku kalau sedang berpergian sendirian. Tidak ada teman yang bakalan diajak mengobrol, jadi? Mending dengerin musik saja.
Tanganku tepat akan meraih komik one piece yang ke 69, maksutku komik One Piece seri 69, ketika tangan lain juga akan mengambil komik itu. Tangan kita saling bersentuhan sedikit. Oke, fine! Ini mirip kejadian di ftv menyeh-menyeh begitu. Waktu seakan terhenti, lalu aku menoleh secara slow motion lalu ada bling-bling di wajahku ala bintang iklan ponds. Maafkan aku.
Hanya saja kejadiannya memang begitu. Minus slow motion dan bling-bling pastinya. Atau rambut tergerai ala Sandra Dewi di iklan clear.
“Ambil aja,” Denny. Ya, kebetulan gak kebetulan yang mungkin ala ftv menyeh-menyeh itu tadi.
“Thanks, tapi dibelakang masih banyak kok. Jadi kamu gak perlu cari ke toko lain.” Denny tersenyum sebelum akhirnya mengambil komik itu juga. Kebetulan komik one piece nya memang masih banyak.
“Sendirian? Beno mana?”
“Ya, Beno ke gereja. Kamu? Sendirian juga?” Denny mengangguk pelan. Dulu aku pernah bilang kan kalau Denny itu cool? Yah, dia memang cool.
“Habis ini mau kemana?” Aku menggeleng pelan.
“Gak ada, paling pulang terus ngerjain PR terus bobo.”
“Kamu? Ngerjain PR?” Denny bertanya dengan nada tak percaya. Seolah-olah. . . Ini penghinaan. Semalas itukah aku, hingga mengerjakan PR di rumah begitu tabu untukku?
“Don’t be a jerk.”
“Sorry, but kita bisa kok ngerjain PR bareng. Tapi sebelum itu nonton dulu yuk?”
“Emang ada film bagus?”
“Captain America bagus kok. Kata Tantra sih bagus. Aku lihat review nya juga lumayan oke.” Aku menimbang-nimbang sesaat. Minggu ini aku memang free. Maksutku, aku tidak ada janji dengan Beno buat ngedate or something. Dengan Radit pun tidak ada. Aku yakin di otak Radit namaku pun bahkan tidak ada untuk hari ini, so?
“Oke. Emang uda beli tiketnya? Biasanya full kan kalau film-film kek gini.”
“Tenang, pasti dapet kok.”
Aku dan Denny langsung naik ke lantai atas. Jadi inget pas dulu aku dan dia masih pacaran. Entah, aku bahkan tidak yakin kita masih bisa jalan bareng seperti ini setelah dulu kita pernah saling benci sesaat. Aku juga tidak begitu kaget melihat mbak-mbak Cineplex yang agak terlalu ‘ramah’ melayani Denny. Haah, Denny dan Beno memang memiliki beberapa kesamaan. Ganteng dan popular.
Hanya saja mereka berbeda. Beno hangat, Denny dingin. Di sekolah, penggemar Beno jauh lebih banyak. Dia selalu up to date soal style. Tau mana yang bagus di tubuhnya dan mana yang bakalan kelihatan jelek di tubuhnya. Dia selalu tampil hampir sempurna di semua kondisi. Sekolah, rumah, hang out, intinya Beno enggak pernah terlihat enggak keren dimanapun dia berada.
Denny? Penggemarnya juga sebenarnya tidak kalah banyak dengan Beno. Hanya saja tidak blak-blakan. Denny cuek, dalam hal penampilan ataupun etika. Bukan berarti dia suka membolos atau bagaimana, dia hanya terlihat seperti bad boy. Padahal tidak. Aku tahu dia penyayang, aku tahu dia orangnya tidak tegaan, aku tahu dia kadang menyepelekan kebahagiaannya sendiri. Hmm, karena itu juga aku putus dengannya. Kadang aku menyesal, tapi kadang tidak. Beno dan Denny sebenarnya tidak pantas untukku. Apa yang bisa dibanggakan dariku kecuali wajah yang manis? Tak ada. Aku enggak manly, enggak smart, enggak kaya-kaya banget.
Lamunanku buyar begitu melihat Denny membawa dua bungkus popcorn dan dua gelas minuman.
“Masuk yuk, uda mau dimulai tuh filmnya.” Aku mengangguk sambil tersenyum ringan dan mengambil satu gelas minuman dari tangan Denny. Penyesalanku putus dengannya semakin besar. Jujur, aku masih menyayanginya. Beno, maafkan aku.
Kita dapat tempat duduk yang lumayan strategis. Filmnya memang bagus. Pantas saja jika film ini menjadi box office di beberapa negara.
“Kamu mau langsung pulang atau ke rumahku? Kita bisa ngerjain PR bareng.” Seharusnya aku bisa bilang tidak. Seharusnya, aku bisa memperkecil kemungkinan cinta yang semakin tumbuh lagi setelah beberapa waktu yang lalu layu.
“Oke, boleh.” Aku memang bodoh!!
***

“Kamar kamu gak berubah Den.” Kataku begitu masuk ke kamar Denny. Disini, kenanganku dan Denny juga banyak. Di meja belajarnya juga masih ada fotoku bersama dia waktu dulu. Aku semakin pahit menelan ludah.
“Malas aja mau ngerubah-rubahnya. Lagian yang dulu desain ini kan kamu.” Aku tersenyum masam. Memang aku, aku yang mengusulkan wallpaper dinding bergambar one piece. Komik kesukaan kita berdua, bertiga sih sebenarnya karena Radit juga suka one piece.
Kita bahkan sampai memesan karena gambar one piece jarang ditemukan. Aku juga yang mengatur letak almari, tempat tidur dan meja belajar. Cover bed yang aku pilih  juga ternyata masih Denny pakai.
“Jujur aku masih sayang kamu Gan. Tapi, aku gak ingin memaksakan kehendak aku lagi. Aku tahu kamu bahagia sama Beno.” See? Dia memang selalu begitu. Selalu lebih mementingkan kebahagian orang lain daripada dirinya sendiri. Dulu karena dia ingin Felix bahagia, dia juga mengorbankan perasaannya sendiri. Hingga kita berdua putus.
Aku tersenyum dan mengambil fotoku berdua dengan Denny yang diletakkan di meja belajar. Aku tersenyum mengingat kenangan-kenangan itu.
“Do you remember?” Aku mengangguk.
“Gan? Kamu masih sayang sama aku?” Aku berpaling dan menghadap Denny. Wajahnya sendu, matanya penuh harap. Seharusnya, tanpa bicara pun Denny sudah tahu perasaanku jika melihat mataku.
“Aku gak bisa Den, aku ada Beno. Dan aku juga sayang sama dia. Aku gak bisa.” Denny memelukku.
“Aku tahu, aku tahu. Dan aku ngerti.”
***

Beno Pov
“Tumben lo gak sama Gani Ben?” Tantra yang baru saja selesai bilas menghampiriku yang masih duduk-duduk di lobby. Aku dan dia baru saja selesai nge gym bareng. Entahlah sejak kapan aku mulai ingin terlihat seksi, kekar dan dewasa. Aku iri pada Denny, dia terlihat seksi tanpa harus dia berusaha keras. Dan aku mengkhawatirkan Ganiku.
Selama ini Gani memang tidak ada tanda-tanda akan selingkuh atau bahkan balikkan lagi sama Denny, tapi aku tahu pasti Gani masih menyayangi Denny.
“Dia ada acara, tumben lo nanyain Gani? Kangen? Baru juga Sabtu kemaren lo ketemu.” Aku bertanya balik.
“Kampret lo! Dia kan manis Ben! Bikin kangen emang.” Deg. Aku mencoba mengontrol perasaan asing yang mulai merebak.
“Jangan bilang lo naksir dia?” Tanyaku mulai was was.
“Kaga Ben, gua masih doyan cewek kali, yuk cabut yuk ah!” Aku menghela nafas sebentar sebelum akhirnya keluar dari tempat gym. Satu hal yang paling aku benci dari sifat Gani adalah dia tidak sadar dengan pesona dirinya sendiri. Senyumnya, cemberutnya itu magnet bagi laki-laki. Bahkan laki-laki straight  sekalipun. Buktinya Ian, Tantra dan anak-anak belakang lainnya memperlakukan Gani secara spesial. Aku kadang cemburu. Dan Gani sama sekali tidak pernah sadar.
“Bro, lo oke kan? Gak lagi kesurupan?” Tantra menepuk bahuku dari samping.
“Sialan lo?! Gua cuman lagi mikir bego!”
“Mikir atau galau lo? Kelamaan ngejomblo sih lo! Tuh si Ribka, Sella, kan cantik-cantik! Perhatian lagi sama lo, lo gak tertarik gitu?”
“Gua lagi males pacaran Tan,”
“Jangan-jangan bener lagi lo ada apa-apa sama Gani ya? Hayo? Ngaku lo?” Aku menjitak kepala Tantra. Cukup membuatnya sedikit meringis.
“Ngadep depan kalau lagi nyetir tuh!”
“Ciye ngambeg, kalau lo gak ada apa-apa sama Gani, boleh dong gua deketin Gani? Heh?”
“Mau mati lo?” Kataku spontan.
“Tuh kan. Ciye,” Aku langsung terdiam. Entahlah, aku sama sekali tidak bisa konsen. Kangen Gani.
“Thanks ya Tan!” Kataku begitu sampai di depan sebuah butik. Butik milik Mamaku
“Yakin gak mau gua tungguin Ben? Banyak tante girang lho didalem.”
“Yaelah, kan ada nyokap gua! Masak iya nyokap gua tega gua jadi santapan tante girang?”
“Oke lah, gua cabut duluan bro!” Aku mengangkat tanganku. Setelah mobil Tantra tidak terlihat, baru aku masuk kedalam butik. Sebenarnya males gila aku harus menemani mamaku, tapi ya itu ancamannya uang jajannya bakal dikurangi. Curang banget kan? Licik!
“Uda selese Ma?” Aku yang sudah agak hapal dengan letak butik ini langsung menuju tempat Mamaku menghabiskan sebagian waktunya. Yah, sejak aku dan Mas Yoga sudah beranjak gede, Mama mutusin buat mencari kesibukkan lain. Dan, viola butik inilah kesibukkan Mama sekarang.
“Sebentar lagi sayang.”
“Come on, ini Minggu lho Ma.” Aku sebenarnya sore ini mau ngapelin Gani. Uda kangen banget.
“Iya, bentar lagi kok. Daripada bawel kamu kasih pesanan ini ke tamu yang nunggu di depan tuh.”
“Males ah.” Jawabku langsung. Super males.
“Eh, eh, eh, kamu mau uang jajan kamu Mama kurangi? Ayo ah, uda ganteng gitu harus nurut sama Mama.” Tu kan? Tu kan? Andelannya motong uang jajan. Lebay nih Mama.
Dengan agak bersungut-sungut aku mengambil satu kantong plastik cukup besar. Masih agak kurang ikhlas aku menemui tamu yang sedang menunggu di depan. Kok tadi aku kayak enggak lihat ya?
“Mas, ini pesanan punya mas ya?” Aku berusaha ramah. Yah, bisa dibilang, aku memang berbakat jadi pramuniaga toko. Senyumku maut kalau kata Gani. Tuh kan Gani lagi. Efek kangen nih.
Mas-mas yang aku taksir berusia sekitar 20 tahunan itu menoleh dan bangkit berdiri. Lha kok?
“Beno? Lo ngapain disini?”
“Elo San? Haha, bantuin nyokap. Minggu gini kan pekerjanya pada libur San. Ini bener pesenan lo?”
“He eh, buat seragam baru caffee. Lo jarang main ke caffee sekarang.”
“Males San kalau sendirian. Hahaha.”
“Kan bisa gua temenin ntar.” Eh? Kok aku ngrasa ada yang lain dengan Sandy ya? Apa ya? Lebih sok akrab ke aku?
“Haha, yang ada gua ganggu lo kerja.” Dan obrolan pun berlanjut. Setidaknya mengurangi sedikit kebeteanku.
***

Gani Pov
“Dit, gua mau nanya donk. Serius nih.” Radit yang tengah sibuk menyalin PR yang tadi aku kerjakan bareng Denny langsung mendongak. Actually Denny yang ngerjain. Aku? Aku sibuk main barbie sama Lita. Hahaha.
“Nanya apaan?”
“Kalau misal nih ya, misal lho ya, gua CLBK sama Denny gimana ya? Misal lho ya gua bilang.”
“Ya gak papa.” Aku sedikit terkejut dengan jawaban Radit. Maksutku, aku kira tadi dia akan memarahiku atau memberi wejangan-wejangan ala Mama Dedeh.
“Kok bisa?”
“Ya bisa, lo kan labil banget Gan. Gua uda ngeduga banget kok lo bakal nanya kek gini ke gua. Dari dulu gua juga uda nunggu. Ternyata lebih lama dari perkiraan gua.” Radit menjawab masih sambil sibuk menyalin PR ku.
“Maksut lo lebih lama apaan?”
“Lo itu masih sayang Denny, gua aja tanpa lo bilang pake misal-misal gitu juga gua uda ngeh. Tapi surprised juga sih lo nyadarnya baru sekarang. Setelah hampir empat bulan lo macarin Beno.”
“Gua kan sayang juga sama Beno Dit.” Aku merebahkan tubuhku di atas ranjang.
“Tapi gak mungkin lo pacarin dua-duanya kan? Lo dulu gegabah sih mutusin Denny.”
“Eh Nek, kalo lihat situasi dulu wajar donk gua mutusin Denny!” Aku seperti tidak terima begitu saja disalahkan begitu.
“Lagian lo kan juga ikut andil pas gua putus sama Denny.”
“Ya udah, trus mau gimana lagi sekarang? Gak mungkin lo mutusin Beno trus balik lagi ke Denny kan?”
“Kayaknya gua bakal pusing nih. Arggggh!!” Aku menjatuhkan diriku ke atas ranjang.
“Uda lah Gan gak usah belagak kayak Bella deh, yang direbutin Edward sama Jacob.” Mendengar perkataan Radit aku langsung meliriknya sengit.
***

Sandy Pov
Aku baru saja beres mandi ketika Bram adikku berlari-lari kecil menghampiriku.
“Kenapa sih lo Bram?”
“Ibu Bang!! Ibu!!”
“Iya, kenapa sama nyokap?”
“Ibu keserempet mobil Bang!” Piring yang tengah aku bawa langsung terlepas begitu saja dari tanganku. Aku terdiam sesaat, entahlah, antara kaget, marah, takut, khawatir yang menjadi satu.
“Bang. . .?”
“Eh, dimana Ibu sekarang Bram?”
“Uda dibawa ke rumah sakit sama Bapak sama Om Rudi.” Aku segera bergegas berganti baju sebelum akhirnya mengajak Bram pergi ke rumah sakit. Mungkin aku berlebihan, karena nyatanya Ibuku tidak apa-apa. Hanya keserempet. Anak yang membawa mobil itu juga ada, aku menatapnya sekilas. Jelas aku marah, tapi masih bisa aku redam. Masih SMA, dan sepertinya aku pernah melihatnya. Tapi dimana?
“Semua biaya akan saya tanggung Bu, sekali lagi maaf. Saya benar-benar tidak sengaja.”
“Tidak sengaja kata lo?! Untung nyokap gua cuman keserempet, lo pikir bakal selese cuman dengan maaf hah?!” Aku menyahut dengan emosi. Rasanya benar-benar tidak terima.
“Sandy! Ini bukan salah Nak Radit!! Ibu tadi yang sibuk ngobrol dengan Bapak jadi tidak memperhatikan jalan.” Huh, jadi Ibuku malah sudah berkenalan dengan orang yang sudah menabraknya? Bagus sekali!!
***

Gani Pov.
Aku tadi pagi dijemput Denny, oh sudahlah kalian tidak usah bertanya apa alasannya, aku sedang tidak bergairah untuk menjelaskannya, oke? Jadi sewaktu tadi Radit BBM aku bahwa dia menyerempet orang, aku langsung panik. Aku tahu Radit suka ngebut, tapi dia jago nyetir kok. Ah, kalau sedang apes apapun bisa terjadi kan?
Aku dan Beno langsung menuju rumah-sakit-tempat-korban-tabrak-Radit-dirawat. Jujur aku panik. Aku lebih mencemaskan Radit sejujurnya. Walaupun dia nyablak, tapi aku tahu saat ini dia pasti kalut.
“Dit, Lo gak papa?” Aku langsung menghampiri Radit begitu melihatnya. Radit sendiri langsung memelukku dan aku bisa merasakan pundaknya yang bergetar.
“It’s okay Dit, I’m here.”
“Apanya yang oke? Dia nabrak nyokap gua tahu!” Aku mendongakkan kepalaku dan melihat Sandy? Sendy? Cindy? Aku lupa, siapapun itulah namanya. Aku mengedarkan pandanganku dan menemukan Ibu-Ibu paruh baya yang tangan dan kakinya di perban. Namun sepanjang penglihatanku dia baik-baik saja. Aku melepaskan pelukan Radit sebentar, lalu menghampiri ibu-ibu tadi.
“Ibu gak papa? Ada yang sakit Bu? Dokter gimana?”
“Ibu sehat nak, Ibu malah khawatir sama teman kamu. Dia masih syok.” Aku tersenyum lalu bertanya sekedar basa-basi dan memastikan bahwa sang korban bener-bener baik-baik saja dan menganggap masalah ini selesai. Aku juga bertanya pada dokter yang memang mengiyakan bahwa tidak ada luka serius. Hanya lecet dan memar.
“Oke Dit, yuk gua anter lo pulang.” Aku masih mendengar si Sandy? Sendy? Atau Cindy itu mengoceh tidak jelas. Aku tahu mungkin dia kesal atau apa, aku paham. Setelah aku pamit ke Beno aku langsung mengemudikan mobil Radit dengan kecepatan sedang.
“Gua takut Gan, gua takut.”
“Sssst, everything will be fine, everything will be fine Dit.” Aku sendiri ragu mengucapkan hal ini. Bagaimana kalau keluarga korban tidak terima? Lalu mereka melapor ke polisi? Aku tidak bisa membayangkan Radit di penjara, maksutku, he’s my best friend. Hah, semoga semua bakal baik-baik saja. Yah, semoga. . .


To be continued

1 komentar:

leave comment please.