Posisiku
dan Herry yang tengah berpelukan jelas seperti orang pacaran. Dilihat dari segi
kaum homo tepatnya. Karena mamaku ternyata tidak berpikir demikian. Dia biasa
saja. Atau aku yang terlalu berlebihan ya? Entahlah. Hanya saja, fakta bahwa
mamaku begitu antusias melihat Herry yang sekian lama tidak bermain ke rumah
sepertinya membuatku merasa agak tenang. Calon mantu yang ideal kan ma? Hahaha.
“Kalian
boleh belajar, tapi jangan tidur terlalu larut. Okay? Besok kalian harus
sekolah.”
“Okay
Mom,” jawabku sambil menutup pintu. Oh iya, kunci! Aku tidak menginginkan
kehadiran Revan lagi. Tidak untuk malam ini.
“So, kita
sampai mana Her tadi.”
“Kamu
bilang, ‘I Love You’,” Aku menimpuk kepalanya dengan bantal.
“Maksutku
pelajaran yang kita pelajari tadi.”
“Emang
kita tadi belajar? Aku malah belom buka buku sama sekali Sen.” Oh yeah, kita
memang belum belajar. Shit, bahkan buku pelajaran kita pun masih tertutup
dengan indah. I am sorry mom, mungkin aku dan Herry bakal tidur larut. Karena
belajar. Yah, karena belajar. Don’t think the dirty things guys.
***
Aku
menguap beberapa kali. Semalam, kita belajar hingga jam 11 malam dan bangun jam
5 pagi. Di Tangerang dulu, mungkin bukan hal yang waw, tapi semejak pindah
kesini, jam tidurku mulai lebih panjang. Normalnya, jam 9 aku tidur dan bangun
jam 6. Jadi aku tidak perlu menjelaskan kepada kalian kenapa aku menguap
beberapa kali. Aku ngantuk!
Namun
jika dilihat dari 8 soal yang aku yakin jawab dengan benar dan dua sisanya aku
yakin 70 persen benar, aku merasa begadang semalamanku ada manfaatnya juga.
“Soal no.
5 dan 8 tadi sulit. Aku lupa teorinya.” Yah, kita lagi di kantin dan masih
membahas soal ulangan yang tadi. Khas pelajar yang baik kan kita?
“Emang
yang lainnya koe iso jawab Her?” Pertanyaan Hendra emang agak kurang ajar. Tapi
jika diliat dari kebiasaan Herry yang biasanya bertanya padaku atau Hendra
selama ulangan berlangsung –kalian bisa bilang mencontek, aku tidak keberatan-
aku rasa pertanyaan Hendra tadi masih terdengar sangat sopan.
“Biso
Hen, Cuma kui no. 5 karo 8 susah poll.”
“Kenapa
gak tanya sama aku atau Hendra tadi?” tanyaku sambil memasukkan sebongkah bakso
ke mulutku.
“Aku
pengen tanya sama kalian kalo pas belajar, kalo pas ulangan aku pengen usaha
sendiri.” Aku dan Hendra langsung berpandangan mendengar jawaban Herry.
Agaknya, pacarku ini bukan hanya fisiknya saja yang semakin seksi. Cara
berpikirnya pun, seksi.
“Tumben
banget Her!”
“Aku kan
pengen pinter Hend!” mereka –Herry dan Hendra maksutku- sedang terlibat adu
mulut hebat ketika Taufik masuk kantin. Mereka mungkin tidak memperhatikan
kedatangan Taufik, tapi aku melihatnya. Dan sorot matanya. Benci, amarah,
dendam? Dan?
“Jesus
Christ!” pekikku agak tertahan.
“Sen, ono
opo Sen?” Herry agak panik mendengar pekikkanku tadi. Aku memang jarang menyebut
nama Tuhanku, jujur. Kecuali aku tengah ketakutan atau sangat bahagia.
“Gak papa
Her,” Dan kali ini karena ketakutan. Sekelebat pemandangan tadi. Seperti
penglihatan dan agak mengerikan. Ya Tuhan, aku harap itu hanya imajinasiku.
Hanya imajinasiku. Hanya imajinasiku.
“Sen? Ke
kelas yo!”
“Eh eh,
iya ya.”
***
Aku
seperti berada di gurun yang sangat luas. Sangat luas. Dan aku merasa haus.
Tempat ini panas sekali. Aku baru tahu di kota ini ada gurun. Lalu mengapa aku
bisa ada di tempat ini? Mama? Papa? Eyang? Herry? Hendra? Dimana mereka? Kenapa
aku sendirian?
Ya Tuhan,
aku haus sekali.
Danau?
Itu danau? Air?
Aku
menuju kesana, tempat dimana aku melihat danau dan air yang begitu jernih. Aku
membuka semua bajuku dan berendam di danau. Aku juga meminumnya. Airnya jernih,
dan aku tidak peduli karena aku haus sekali. Aku haus sekali.
“Senoo.”
Suara parau itu. Kakek buyutkah? Ular itu? Sudah lama sekali aku tidak bertemu
ular tanpa ekor itu. Kenapa dia ada disini? Bukannya dia disawahnya eyang?
Aku
menyadari kakiku dibelit. Tapi tidak sakit. Belitan ini sangat terasa seperti
pijatan. Lalu tiba-tiba kabut putih dan. . .
“Eyang
buyut?” kataku tidak yakin. Jelas wajahnya terlihat sama seperti yang aku lihat
di rumah eyang. Hanya saja, terlihat lebih muda? Dan benar kata eyang, kakek
buyut sangat tampan.
“Canggahku,
mreneo le.” Aku merasa sungkan. Aku sedang tidak berpakaian. Dan aku malu untuk
keluar dari air danau ini.
“Rasah
isin, mreneo canggahku. Canggahku sing bagus dewe.” Aku keluar dari air dan
memakai celanaku secara cepat. Dan kakek buyut hanya tertawa melihat tingkahku.
“Eyang?”
kakek buyut tersenyum sambil menepuk-nepuk pasir disebelahnya. Mengisyaratkan
agar aku duduk disana.
Lama aku
duduk disebelah kakek buyut dan kakek buyut hanya terdiam. Sebelum akhirnya
beliau mengambil nafas panjang.
“Pesenku
siji Seno, ati-ati. Ati-ati.” Kata kakek buyut sebelum kabut putih itu muncul
dan kakek buyut lenyap.
Aku
kelabakkan, dengan gusar aku mencari ke segala arah. Berharap bisa menemukan
kakek buyut lagi. Hati- hati? Apa maksutnya? Aku bahkan tidak mengerti.
“Eyang
buyut?! Eyang! Seno engga ngerti eyang!”
“Aden,
kenapa Aden Seno ada disini?” Orang itu. Aku mengenalnya.
“Pak
Karyo?” aku masih tidak mengerti. Kemana kakek buyut dan kenapa ada pak Karyo
disini?
“Den Seno,
bapak titip Taufik Den, Taufik tersesat Den! Taufik tersesat!”
“Pak
Karyo! Taufik jahat pak, Taufik. . .” Belum sempat aku menyelesaikan
kata-kataku kabut putih itu kembali datang. Dan pak Karyo lenyap. Aku meratap.
Dan aku kembali ke gurun tadi. Kemanapun aku melangkah, tetap sama. Gurun yang
panas. Dimana danau yang tadi?
“Seno
pengen pulang, Seno pengen pulang.”
“Ssst,
jangan nangis Den. Saya jadi sedih.”
“Mas
Galih?”
“Iya, ini
Mas Den. Sini Den, kita pulang bareng.” Aku segera menggapai tangan Galih yang
terulur. Eyang buyut sudah meninggal begitu juga dengan Pak Karyo. Galih masih
hidup. Galih hidup, aku ikut dia.
Aku
terlonjak dari tempat tidurku. Keringat dingin membanjiri tubuhku. Mimpi, tadi
itu Cuma mimpi. Tapi. . .
Aku
merasakan ada orang lain ditempat tidurku. Aku menyalakan lampu kamarku dan
melihat Galih.
“Tadi
Aden, teriak-teriak. Maaf lancang, saya hanya ingin memastikan Aden Seno
baik-baik saja.” Aku mengusap wajahku frustasi. Mimpi tadi masih menghantuiku.
Terlihat sangat nyata dan begitu mengusikku.
“Saya
permisi Den.” Aku memegang tangan Galih saat dia melewatiku.
“Mas,
temani Seno tidur ya? Seno takut mimpi buruk.”
***
Apa yang
aku minta semalam ke Galih itu gila! Oh ya, dan tidak tahu malu. Bagaimana
mungkin aku meminta Galih menemaniku tidur? Bagaimana mungkin aku bisa
mengucapkannya? Oh shit! Aku sudah mengucapkannya. Bahkan terbangun di
pelukannya! Double shit!
“Heh, lo
ngapain sih uring-uringan? Uda bunting lo ya?”
“Sialan
lo!” aku melempar bantal yang sedari tadi aku peluk tepat ke arah Revan.
“Lagian,
lagak lo kayak ibu-ibu lagi hamil muda!”
“Emang lo
pernah ngrasain?”
“Belom,
tapi hampir mirip gua liatnya.”
“Sial lo!
Tumben lo dirumah, biasanya juga ngelayap.”
“Haha,
ini masih pagi, buruh-buruh eyang lo belom pada keringetan. Jadi gua ngapain
pergi? Kaga ada yang diliat ini.” Revan mulai centil. Aku tahu apa yang akan
terjadi selanjutnya. RCD, Revan Curhat Dimulai.
“Ganjen
lo ye.” Kataku sambil mengganti-ganti chanel tv.
“Eim,
abis gimana Sen? Biasanya buruhnya kalo istirahat atau jam sore gitu ganti
bajunya suka digubuk terbuka. Ganti kolor juga kadang disitu.” Aku hampir
tersedak remot tv yang aku pegang.
“Serius
lo?” Njirr, kok aku jadi agak interest gini?
“Eim,
ngapain gua bohong coba? Lo kaga tau?”
“Gua kan
jarang ke kebun Rev.”
“Ntar
sore lo ikut gua deh. Kaga bakal nyesel tauk!” aku menimbang-nimbang sesaat.
“Engga
deh, lo aja!”
“Jiah,
gaya lo! Lo gak pengen liat?” Ini banci satu bener-bener jago bikin iman
goyang.
“Yakin,
gua uda punya laki ini.”
“Yaelah,
lo kan Cuma ngeliat doang. Lo juga kaga bakal jalan sama tukang kebun lo
sendiri kan? Ayolah? Ntar banyak titit-titit berayun-ayun bebas lho.”
“Sial lo
ya Rev! Iya deh gua ikut ntar.” Sial, imanku goyah. Imanku goyah.
“Nah, itu
baru sepupu gue.” Hih!
***
“Lo gak
bilang kalau kita bakal dianter Galih.” Aku membisikkan kata-kata itu cukup
pelan. Sehingga aku yakin Galih yang duduk di belakang kemudi tidak
mendengarnya.
“Bokap lo
bilang, lo boleh pergi kalau dianter Galih. Gua bisa apa?” Revan juga tidak
kalah pelan dalam berbisik. Aku membuang muka.
Bagaimanapun
juga, melihat orang ganti baju itu bukanlah tindakan terpuji. Dan aku diantar
oleh Galih. Perfect!
Aku turun
dari mobil dan memakai kaca mata hitamku. Matahari masih cukup terang sehingga
membuat mataku agak silau. Revan didepan, dia sepertinya sudah sangat hapal
dengan daerah ini. Padahal dia baru beberapa hari disini. Aku? Aku bahkan belum
pernah ke kebun kopi yang ini. Eyang belum pernah menunjukkan yang satu ini.
“Ini
kebunnya eyang juga Mas?” tanyaku pada Galih. Maksutku, aku takut Revan salah.
“Iya Den,
ini kebun milik eyang Prawiro.” Aku mengangguk. Mungkin masih banyak kebun dan
sawah milik eyang yang aku tak tahu. Eyangku orang kaya. Ya ya ya, I knew that.
Revan
menarikku untuk berjalan bersebelahan dengannya.
“Siap-siap,
mereka masih muda-muda. Pura-pura tidak tertarik, jangan melihat ke arah titit
mereka terlalu lama. Okay? You hear me?”
“I heard
you. Kaga usah ngajarin gua!”
“Okay,
this is paradise for a gay like us.” Kata Revan masih berupa bisikkan. Revan
menyibak sebuah dahan dan aku terkesiap. Ada gubug disitu. Beberapa buruh
sedang bekerja, beberapa diantaranya tengah beristirahat. Tidak ada titit
bertaburan seperti kata Revan. Hanya mereka memang bertelanjang dada. Dan
anehnya, kenapa buruhnya masih muda-muda? Aku belum pernah melihat yang seperti
ini. Oh yeah, bahkan kebun ini pun belum pernah ditunjukkan eyang padaku. Lalu
bagaimana Revan tahu dan aku tidak tahu?
Melihat
kedatanganku mereka yang beristirahat seperti agak sungkan. Yah, sepertinya
mereka memang sudah mengenalku. Jadi mungkin melihat mereka telanjang akan
mustahil. Mereka akan segan padaku, right?
“Kebun
ini dikelola oleh Mas Taufik.” Galih menyebutkan nama itu di telingaku. Revan?
Dia sudah bergenit ria dengan para buruh.
“Taufik? Kok
bisa mas? Dia kan masih sekolah? Dan Eyang? Kenapa bisa? Ke Taufik? I don’t get
it.” Aku gak ngerti. Kenapa eyang menyerahkan kebun ini untuk digarap Taufik?
Oke, aku tahu kebun dan sawah eyang terlalu banyak. Tapi ada Paman Pri ada
Papaku juga sekarang. Atau mungkin orang lain. Tapi Taufik? Mengingatnya saja
sudah membuatku muak.
“Kalo
yang itu saya ndak tau Den. Tapi kebun ini memang dibawah pengawasan Mas Taufik.”
Begitu banyakkah hal yang aku tidak tahu?
“Permisi
Den.” Aku mengangguk dan tersenyum samar ketika ada buruh muda lewat didepan
kami. Dan aku agak terkesiap ketika samar-samar aku melihat bekas luka di
punggung pemuda itu.
Wait?
Herry juga pernah ada bekas luka seperti itu. Taufik? Aku melihat sekeliling.
Semua buruh disini muda. Wajahnyapun tidak ada yang jelek. Taufik? Ini juga
korban si psycho keparat itu? Itu sebabnya dia merekrut buruh muda?
Aku
mengejar pemuda yang tadi lewat didepan kami.
“Ini luka
kenapa Mas?” pemuda itu memalingkan wajahnya.
“Terkena
ranting kopi Den. Permisi Den.” Pemuda itu pasti tidak akan mengaku. Dari
ekspresi ketakutannya tadi. Dia pasti tidak akan mengaku. Aku berkeliling,
dengan Galih dibelakangku. Tidak semua pemuda mempunyai luka biru. Hanya ada
dua. Pemuda yang tadi dan yang sekarang tengah berada di gubuk. Aku juga baru
sadar, ada beberapa yang tidak muda lagi. Mungkin 30an. Yang tadi beristirahat
di gubuk sementara yang lainnya bekerja ketika aku sampai tadi.
Ada 3
yang berusia 30an. Mereka kaki tangan Taufik kah? Dilihat dari badan mereka
yang kekar berotot jelas, hantaman mereka pasti akan menyakitkan. Ya Tuhan, aku
telah berprasangka yang bukan-bukan! Padahal hanya dua orang yang terluka, dan
mungkin memang benar karena luka terkena ranting kopi. Mungkin Taufik tidak
sejahat yang aku pikir.
Tidak
sejahat yang aku pikir? Heh, dia bisa menyiksa Herry begitu rupa. Dan wait?
Kenapa sampai sekarang Taufik belum mengadukanku? Jelas dia sudah melihat aku
dan Herry pacaran lagi sekarang. Bahkan lebih mesra. Kenapa seolah-olah dia
diam? Taufik merestui hubunganku dengan Taufik? Mustahil! Bahkan lebih mustahil
jika seandainya Taylor Swift berpakaian seperti Gaga.
Herry? Ya
Tuhan, aku belom mendapat satu sms pun darinya sejak tadi pagi. Aku mengambil
ponselku dan langsung memencet nomor yang jelas sangat aku hapal.
Tidak ada
jawaban.
Aku coba
lagi, hingga tiga kali.
Nihil.
Tetap tidak ada jawaban.
“Mas,
Taufik biasanya dateng jam berapa?” Tanyaku pada salah satu buruh.
“Oh, hari
ini Mas Taufik tidak berangkat. Ada urusan katanya Den.”
Shit!
Herry, Herry, Herry!!
“Mas
Galih, kita pulang sekarang.”
“Tapi
Den. . .”
“Sekarang!”
Revan dan Galih yang tidak tahu apa-apa ikut cemas melihat kepanikkanku.
Bahkan, Galih tidak keberatan aku yang pegang kemudi. Aku ngebut. Dan aku
seperti kesetanan. Aku baru sadar, Taufik psycho. Dan dia bisa melakukan apa
saja, apa saja! Aku merinding tiba-tiba. Ya, Taufik bisa melakukan apa saja.
***
Kekhawatiranku
mungkin berlebihan. Herry baik-baik saja. Dia sedang berada di teras saat aku
datang. Handphone nya sedang tidak ada pulsa. Dan sewaktu aku menelepon tadi,
dia sedang mandi. Ya ampun, aku cemas sekali. Dan karena aku meminta, aku tidur
di rumah Herry hari ini. Kebetulan besok Senin, kakak kelas ada UAN. Jadi aku
dan Herry libur. Galih dan Revan pulang. Dan ketika melihat wajah Galih, rasa
bersalahku kembali muncul. He love me, and I hurt him. Again and again.
“Maaf Den
Seno, tempatnya seadanya.”
“Gak papa
Bu, justru Seno yang minta maaf. Uda ngrepotin
Ibu.”
“Sst, gak
popo. Yo ues, Ibu tinggal dulu ya?” Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.
“Calon
mertua kamu baik tho?” Herry muncul dari balik pintu dan menutupnya. Oh ya, dia
juga menguncinya.
“Apaan
sih?!” aku agak tersipu.
“Kamu
tadi kenopo Sen? Mukamu pucet banget lho tadi.”
“Gak
Papa, coba buka bajumu Her,” Herry langsung tersenyum misterius.
“Apaan
sih! Jangan piktor lah!” kataku agak keki.
“Aku
cuman pengen liat lukamu aja. Uda sembuh belom.” Sambungku.
“Lihat
yang lain juga boleh kok beb.” Kata Herry sambil melepas bajunya. Ketika dia
akan melepaskan celana kolornya, aku menimpuknya dengan bantal.
“Yang itu
enggak usah dilepas!” Herry tersenyum mesum lalu berbaring di ranjang. Aku
melihat punggungnya. Lukanya memang sudah agak samar-samar.
“Coba
balik badan.” Herry membalikkan badannya dan langsung menyilangkan tangannya ke
dada.
“Aku
malu.” Katanya sok imut.
“Jangan
kayak anak perawan!” kataku sambil memegangi tangannya dan mengangkatnya ke
atas. Luka depannya juga sudah agak kering.
“Hey, I
love you.” Jika saja bukan Herry yang mengucapkannya atau minimal bukan
logatnya, aku mungkin akan terbuai. Suasananya pas sekali. Tapi Herry, dengan
logat Inggris medoknya sama sekali tidak romantis. Dan aku . . .
“Jangan
ditahan kalo mau ketawa.” Kata Herry agak cemberut.
“Sorry,
sorry. I love you too.”
“Bikin
bayi yuk beb.” Aku terperangah sedikit dengan kata-katanya sebelum tanganku
menyusup ke celana kolornya.
“Pakai
tongkat sakti ini ya?” kataku sambil tersenyum mesum. Dia kira aku tidak bisa
mesum? Dia jelas salah besar.
Bersambung.
. ,
Asli... Chapter ini kocak abissss...
BalasHapusLanjutkan sodara!!!! (ง^-^)ง
Padahal niatnya aku bikin serem lho.
HapusAyo lagi dong kk
BalasHapusKayaknya upload nya blan depan.
HapusNunggu gajian buat beli quota modem.
Haha
Ayo dong kk post lagi jangan 1 satu 2 atau tiga langsung kk
BalasHapusNtar ya. Uda siap, cuman blom ada waktu buat ngepost nya.
Hapus