FOLLOW ME

Kamis, 02 Januari 2014

THE SERIES 15

Posisiku dan Herry yang tengah berpelukan jelas seperti orang pacaran. Dilihat dari segi kaum homo tepatnya. Karena mamaku ternyata tidak berpikir demikian. Dia biasa saja. Atau aku yang terlalu berlebihan ya? Entahlah. Hanya saja, fakta bahwa mamaku begitu antusias melihat Herry yang sekian lama tidak bermain ke rumah sepertinya membuatku merasa agak tenang. Calon mantu yang ideal kan ma? Hahaha.
“Kalian boleh belajar, tapi jangan tidur terlalu larut. Okay? Besok kalian harus sekolah.”
“Okay Mom,” jawabku sambil menutup pintu. Oh iya, kunci! Aku tidak menginginkan kehadiran Revan lagi. Tidak untuk malam ini.
“So, kita sampai mana Her tadi.”
“Kamu bilang, ‘I Love You’,” Aku menimpuk kepalanya dengan bantal.
“Maksutku pelajaran yang kita pelajari tadi.”
“Emang kita tadi belajar? Aku malah belom buka buku sama sekali Sen.” Oh yeah, kita memang belum belajar. Shit, bahkan buku pelajaran kita pun masih tertutup dengan indah. I am sorry mom, mungkin aku dan Herry bakal tidur larut. Karena belajar. Yah, karena belajar. Don’t think the dirty things guys.
***

Aku menguap beberapa kali. Semalam, kita belajar hingga jam 11 malam dan bangun jam 5 pagi. Di Tangerang dulu, mungkin bukan hal yang waw, tapi semejak pindah kesini, jam tidurku mulai lebih panjang. Normalnya, jam 9 aku tidur dan bangun jam 6. Jadi aku tidak perlu menjelaskan kepada kalian kenapa aku menguap beberapa kali. Aku ngantuk!
Namun jika dilihat dari 8 soal yang aku yakin jawab dengan benar dan dua sisanya aku yakin 70 persen benar, aku merasa begadang semalamanku ada manfaatnya juga.
“Soal no. 5 dan 8 tadi sulit. Aku lupa teorinya.” Yah, kita lagi di kantin dan masih membahas soal ulangan yang tadi. Khas pelajar yang baik kan kita?
“Emang yang lainnya koe iso jawab Her?” Pertanyaan Hendra emang agak kurang ajar. Tapi jika diliat dari kebiasaan Herry yang biasanya bertanya padaku atau Hendra selama ulangan berlangsung –kalian bisa bilang mencontek, aku tidak keberatan- aku rasa pertanyaan Hendra tadi masih terdengar sangat sopan.
“Biso Hen, Cuma kui no. 5 karo 8 susah poll.”
“Kenapa gak tanya sama aku atau Hendra tadi?” tanyaku sambil memasukkan sebongkah bakso ke mulutku.
“Aku pengen tanya sama kalian kalo pas belajar, kalo pas ulangan aku pengen usaha sendiri.” Aku dan Hendra langsung berpandangan mendengar jawaban Herry. Agaknya, pacarku ini bukan hanya fisiknya saja yang semakin seksi. Cara berpikirnya pun, seksi.
“Tumben banget Her!”
“Aku kan pengen pinter Hend!” mereka –Herry dan Hendra maksutku- sedang terlibat adu mulut hebat ketika Taufik masuk kantin. Mereka mungkin tidak memperhatikan kedatangan Taufik, tapi aku melihatnya. Dan sorot matanya. Benci, amarah, dendam? Dan?
“Jesus Christ!” pekikku agak tertahan.
“Sen, ono opo Sen?” Herry agak panik mendengar pekikkanku tadi. Aku memang jarang menyebut nama Tuhanku, jujur. Kecuali aku tengah ketakutan atau sangat bahagia.
“Gak papa Her,” Dan kali ini karena ketakutan. Sekelebat pemandangan tadi. Seperti penglihatan dan agak mengerikan. Ya Tuhan, aku harap itu hanya imajinasiku. Hanya imajinasiku. Hanya imajinasiku.
“Sen? Ke kelas yo!”
“Eh eh, iya ya.”
***

Aku seperti berada di gurun yang sangat luas. Sangat luas. Dan aku merasa haus. Tempat ini panas sekali. Aku baru tahu di kota ini ada gurun. Lalu mengapa aku bisa ada di tempat ini? Mama? Papa? Eyang? Herry? Hendra? Dimana mereka? Kenapa aku sendirian?
Ya Tuhan, aku haus sekali.
Danau? Itu danau? Air?
Aku menuju kesana, tempat dimana aku melihat danau dan air yang begitu jernih. Aku membuka semua bajuku dan berendam di danau. Aku juga meminumnya. Airnya jernih, dan aku tidak peduli karena aku haus sekali. Aku haus sekali.
“Senoo.” Suara parau itu. Kakek buyutkah? Ular itu? Sudah lama sekali aku tidak bertemu ular tanpa ekor itu. Kenapa dia ada disini? Bukannya dia disawahnya eyang?
Aku menyadari kakiku dibelit. Tapi tidak sakit. Belitan ini sangat terasa seperti pijatan. Lalu tiba-tiba kabut putih dan. . .
“Eyang buyut?” kataku tidak yakin. Jelas wajahnya terlihat sama seperti yang aku lihat di rumah eyang. Hanya saja, terlihat lebih muda? Dan benar kata eyang, kakek buyut sangat tampan.
“Canggahku, mreneo le.” Aku merasa sungkan. Aku sedang tidak berpakaian. Dan aku malu untuk keluar dari air danau ini.
“Rasah isin, mreneo canggahku. Canggahku sing bagus dewe.” Aku keluar dari air dan memakai celanaku secara cepat. Dan kakek buyut hanya tertawa melihat tingkahku.
“Eyang?” kakek buyut tersenyum sambil menepuk-nepuk pasir disebelahnya. Mengisyaratkan agar aku duduk disana.
Lama aku duduk disebelah kakek buyut dan kakek buyut hanya terdiam. Sebelum akhirnya beliau mengambil nafas panjang.
“Pesenku siji Seno, ati-ati. Ati-ati.” Kata kakek buyut sebelum kabut putih itu muncul dan kakek buyut lenyap.
Aku kelabakkan, dengan gusar aku mencari ke segala arah. Berharap bisa menemukan kakek buyut lagi. Hati- hati? Apa maksutnya? Aku bahkan tidak mengerti.
“Eyang buyut?! Eyang! Seno engga ngerti eyang!”
“Aden, kenapa Aden Seno ada disini?” Orang itu. Aku mengenalnya.
“Pak Karyo?” aku masih tidak mengerti. Kemana kakek buyut dan kenapa ada pak Karyo disini?
“Den Seno, bapak titip Taufik Den, Taufik tersesat Den! Taufik tersesat!”
“Pak Karyo! Taufik jahat pak, Taufik. . .” Belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku kabut putih itu kembali datang. Dan pak Karyo lenyap. Aku meratap. Dan aku kembali ke gurun tadi. Kemanapun aku melangkah, tetap sama. Gurun yang panas. Dimana danau yang tadi?
“Seno pengen pulang, Seno pengen pulang.”
“Ssst, jangan nangis Den. Saya jadi sedih.”
“Mas Galih?”
“Iya, ini Mas Den. Sini Den, kita pulang bareng.” Aku segera menggapai tangan Galih yang terulur. Eyang buyut sudah meninggal begitu juga dengan Pak Karyo. Galih masih hidup. Galih hidup, aku ikut dia.
Aku terlonjak dari tempat tidurku. Keringat dingin membanjiri tubuhku. Mimpi, tadi itu Cuma mimpi. Tapi. . .
Aku merasakan ada orang lain ditempat tidurku. Aku menyalakan lampu kamarku dan melihat Galih.
“Tadi Aden, teriak-teriak. Maaf lancang, saya hanya ingin memastikan Aden Seno baik-baik saja.” Aku mengusap wajahku frustasi. Mimpi tadi masih menghantuiku. Terlihat sangat nyata dan begitu mengusikku.
“Saya permisi Den.” Aku memegang tangan Galih saat dia melewatiku.
“Mas, temani Seno tidur ya? Seno takut mimpi buruk.”
***

Apa yang aku minta semalam ke Galih itu gila! Oh ya, dan tidak tahu malu. Bagaimana mungkin aku meminta Galih menemaniku tidur? Bagaimana mungkin aku bisa mengucapkannya? Oh shit! Aku sudah mengucapkannya. Bahkan terbangun di pelukannya! Double shit!
“Heh, lo ngapain sih uring-uringan? Uda bunting lo ya?”
“Sialan lo!” aku melempar bantal yang sedari tadi aku peluk tepat ke arah Revan.
“Lagian, lagak lo kayak ibu-ibu lagi hamil muda!”
“Emang lo pernah ngrasain?”
“Belom, tapi hampir mirip gua liatnya.”
“Sial lo! Tumben lo dirumah, biasanya juga ngelayap.”
“Haha, ini masih pagi, buruh-buruh eyang lo belom pada keringetan. Jadi gua ngapain pergi? Kaga ada yang diliat ini.” Revan mulai centil. Aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. RCD, Revan Curhat Dimulai.
“Ganjen lo ye.” Kataku sambil mengganti-ganti chanel tv.
“Eim, abis gimana Sen? Biasanya buruhnya kalo istirahat atau jam sore gitu ganti bajunya suka digubuk terbuka. Ganti kolor juga kadang disitu.” Aku hampir tersedak remot tv yang aku pegang.
“Serius lo?” Njirr, kok aku jadi agak interest gini?
“Eim, ngapain gua bohong coba? Lo kaga tau?”
“Gua kan jarang ke kebun Rev.”
“Ntar sore lo ikut gua deh. Kaga bakal nyesel tauk!” aku menimbang-nimbang sesaat.
“Engga deh, lo aja!”
“Jiah, gaya lo! Lo gak pengen liat?” Ini banci satu bener-bener jago bikin iman goyang.
“Yakin, gua uda punya laki ini.”
“Yaelah, lo kan Cuma ngeliat doang. Lo juga kaga bakal jalan sama tukang kebun lo sendiri kan? Ayolah? Ntar banyak titit-titit berayun-ayun bebas lho.”
“Sial lo ya Rev! Iya deh gua ikut ntar.” Sial, imanku goyah. Imanku goyah.
“Nah, itu baru sepupu gue.” Hih!
***

“Lo gak bilang kalau kita bakal dianter Galih.” Aku membisikkan kata-kata itu cukup pelan. Sehingga aku yakin Galih yang duduk di belakang kemudi tidak mendengarnya.
“Bokap lo bilang, lo boleh pergi kalau dianter Galih. Gua bisa apa?” Revan juga tidak kalah pelan dalam berbisik. Aku membuang muka.
Bagaimanapun juga, melihat orang ganti baju itu bukanlah tindakan terpuji. Dan aku diantar oleh Galih. Perfect!
Aku turun dari mobil dan memakai kaca mata hitamku. Matahari masih cukup terang sehingga membuat mataku agak silau. Revan didepan, dia sepertinya sudah sangat hapal dengan daerah ini. Padahal dia baru beberapa hari disini. Aku? Aku bahkan belum pernah ke kebun kopi yang ini. Eyang belum pernah menunjukkan yang satu ini.
“Ini kebunnya eyang juga Mas?” tanyaku pada Galih. Maksutku, aku takut Revan salah.
“Iya Den, ini kebun milik eyang Prawiro.” Aku mengangguk. Mungkin masih banyak kebun dan sawah milik eyang yang aku tak tahu. Eyangku orang kaya. Ya ya ya, I knew that.
Revan menarikku untuk berjalan bersebelahan dengannya.
“Siap-siap, mereka masih muda-muda. Pura-pura tidak tertarik, jangan melihat ke arah titit mereka terlalu lama. Okay? You hear me?”
“I heard you. Kaga usah ngajarin gua!”
“Okay, this is paradise for a gay like us.” Kata Revan masih berupa bisikkan. Revan menyibak sebuah dahan dan aku terkesiap. Ada gubug disitu. Beberapa buruh sedang bekerja, beberapa diantaranya tengah beristirahat. Tidak ada titit bertaburan seperti kata Revan. Hanya mereka memang bertelanjang dada. Dan anehnya, kenapa buruhnya masih muda-muda? Aku belum pernah melihat yang seperti ini. Oh yeah, bahkan kebun ini pun belum pernah ditunjukkan eyang padaku. Lalu bagaimana Revan tahu dan aku tidak tahu?
Melihat kedatanganku mereka yang beristirahat seperti agak sungkan. Yah, sepertinya mereka memang sudah mengenalku. Jadi mungkin melihat mereka telanjang akan mustahil. Mereka akan segan padaku, right?
“Kebun ini dikelola oleh Mas Taufik.” Galih menyebutkan nama itu di telingaku. Revan? Dia sudah bergenit ria dengan para buruh.
“Taufik? Kok bisa mas? Dia kan masih sekolah? Dan Eyang? Kenapa bisa? Ke Taufik? I don’t get it.” Aku gak ngerti. Kenapa eyang menyerahkan kebun ini untuk digarap Taufik? Oke, aku tahu kebun dan sawah eyang terlalu banyak. Tapi ada Paman Pri ada Papaku juga sekarang. Atau mungkin orang lain. Tapi Taufik? Mengingatnya saja sudah membuatku muak.
“Kalo yang itu saya ndak tau Den. Tapi kebun ini memang dibawah pengawasan Mas Taufik.” Begitu banyakkah hal yang aku tidak tahu?
“Permisi Den.” Aku mengangguk dan tersenyum samar ketika ada buruh muda lewat didepan kami. Dan aku agak terkesiap ketika samar-samar aku melihat bekas luka di punggung pemuda itu.
Wait? Herry juga pernah ada bekas luka seperti itu. Taufik? Aku melihat sekeliling. Semua buruh disini muda. Wajahnyapun tidak ada yang jelek. Taufik? Ini juga korban si psycho keparat itu? Itu sebabnya dia merekrut buruh muda?
Aku mengejar pemuda yang tadi lewat didepan kami.
“Ini luka kenapa Mas?” pemuda itu memalingkan wajahnya.
“Terkena ranting kopi Den. Permisi Den.” Pemuda itu pasti tidak akan mengaku. Dari ekspresi ketakutannya tadi. Dia pasti tidak akan mengaku. Aku berkeliling, dengan Galih dibelakangku. Tidak semua pemuda mempunyai luka biru. Hanya ada dua. Pemuda yang tadi dan yang sekarang tengah berada di gubuk. Aku juga baru sadar, ada beberapa yang tidak muda lagi. Mungkin 30an. Yang tadi beristirahat di gubuk sementara yang lainnya bekerja ketika aku sampai tadi.
Ada 3 yang berusia 30an. Mereka kaki tangan Taufik kah? Dilihat dari badan mereka yang kekar berotot jelas, hantaman mereka pasti akan menyakitkan. Ya Tuhan, aku telah berprasangka yang bukan-bukan! Padahal hanya dua orang yang terluka, dan mungkin memang benar karena luka terkena ranting kopi. Mungkin Taufik tidak sejahat yang aku pikir.
Tidak sejahat yang aku pikir? Heh, dia bisa menyiksa Herry begitu rupa. Dan wait? Kenapa sampai sekarang Taufik belum mengadukanku? Jelas dia sudah melihat aku dan Herry pacaran lagi sekarang. Bahkan lebih mesra. Kenapa seolah-olah dia diam? Taufik merestui hubunganku dengan Taufik? Mustahil! Bahkan lebih mustahil jika seandainya Taylor Swift berpakaian seperti Gaga.
Herry? Ya Tuhan, aku belom mendapat satu sms pun darinya sejak tadi pagi. Aku mengambil ponselku dan langsung memencet nomor yang jelas sangat aku hapal.
Tidak ada jawaban.
Aku coba lagi, hingga tiga kali.
Nihil. Tetap tidak ada jawaban.
“Mas, Taufik biasanya dateng jam berapa?” Tanyaku pada salah satu buruh.
“Oh, hari ini Mas Taufik tidak berangkat. Ada urusan katanya Den.”
Shit! Herry, Herry, Herry!!
“Mas Galih, kita pulang sekarang.”
“Tapi Den. . .”
“Sekarang!” Revan dan Galih yang tidak tahu apa-apa ikut cemas melihat kepanikkanku. Bahkan, Galih tidak keberatan aku yang pegang kemudi. Aku ngebut. Dan aku seperti kesetanan. Aku baru sadar, Taufik psycho. Dan dia bisa melakukan apa saja, apa saja! Aku merinding tiba-tiba. Ya, Taufik bisa melakukan apa saja.
***

Kekhawatiranku mungkin berlebihan. Herry baik-baik saja. Dia sedang berada di teras saat aku datang. Handphone nya sedang tidak ada pulsa. Dan sewaktu aku menelepon tadi, dia sedang mandi. Ya ampun, aku cemas sekali. Dan karena aku meminta, aku tidur di rumah Herry hari ini. Kebetulan besok Senin, kakak kelas ada UAN. Jadi aku dan Herry libur. Galih dan Revan pulang. Dan ketika melihat wajah Galih, rasa bersalahku kembali muncul. He love me, and I hurt him. Again and again.
“Maaf Den Seno, tempatnya seadanya.”
“Gak papa Bu, justru Seno yang minta maaf. Uda ngrepotin  Ibu.”
“Sst, gak popo. Yo ues, Ibu tinggal dulu ya?” Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.
“Calon mertua kamu baik tho?” Herry muncul dari balik pintu dan menutupnya. Oh ya, dia juga menguncinya.
“Apaan sih?!” aku agak tersipu.
“Kamu tadi kenopo Sen? Mukamu pucet banget lho tadi.”
“Gak Papa, coba buka bajumu Her,” Herry langsung tersenyum misterius.
“Apaan sih! Jangan piktor lah!” kataku agak keki.
“Aku cuman pengen liat lukamu aja. Uda sembuh belom.” Sambungku.
“Lihat yang lain juga boleh kok beb.” Kata Herry sambil melepas bajunya. Ketika dia akan melepaskan celana kolornya, aku menimpuknya dengan bantal.
“Yang itu enggak usah dilepas!” Herry tersenyum mesum lalu berbaring di ranjang. Aku melihat punggungnya. Lukanya memang sudah agak samar-samar.
“Coba balik badan.” Herry membalikkan badannya dan langsung menyilangkan tangannya ke dada.
“Aku malu.” Katanya sok imut.
“Jangan kayak anak perawan!” kataku sambil memegangi tangannya dan mengangkatnya ke atas. Luka depannya juga sudah agak kering.
“Hey, I love you.” Jika saja bukan Herry yang mengucapkannya atau minimal bukan logatnya, aku mungkin akan terbuai. Suasananya pas sekali. Tapi Herry, dengan logat Inggris medoknya sama sekali tidak romantis. Dan aku . . .
“Jangan ditahan kalo mau ketawa.” Kata Herry agak cemberut.
“Sorry, sorry. I love you too.”
“Bikin bayi yuk beb.” Aku terperangah sedikit dengan kata-katanya sebelum tanganku menyusup ke celana kolornya.
“Pakai tongkat sakti ini ya?” kataku sambil tersenyum mesum. Dia kira aku tidak bisa mesum? Dia jelas salah besar.


Bersambung. . ,

6 komentar:

  1. Asli... Chapter ini kocak abissss...

    Lanjutkan sodara!!!! (ง^-^)ง

    BalasHapus
    Balasan
    1. Padahal niatnya aku bikin serem lho.

      Hapus
  2. Anonim1/08/2014

    Ayo lagi dong kk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kayaknya upload nya blan depan.
      Nunggu gajian buat beli quota modem.
      Haha

      Hapus
  3. marmut ungu1/14/2014

    Ayo dong kk post lagi jangan 1 satu 2 atau tiga langsung kk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ntar ya. Uda siap, cuman blom ada waktu buat ngepost nya.

      Hapus

leave comment please.