FOLLOW ME

Minggu, 26 Januari 2014

THE SERIES 16

Tak terasa sudah akan liburan semester lagi. Bedanya, setelah liburan aku bakal naik ke kelas dua. Haha. Namun ada beberapa hal yang masih mengganjal.
Pertama, mengapa Taufik masih saja diam? Bukannya aku menginginkan dia berkoar-koar pada keluargaku kalau aku gay. Bukan seperti itu. Hanya saja, diamnya kali ini membuatku ngeri. Aku selalu berpikiran jika dia sedang merencanakan sesuatu yang jahat. Sesuatu yang mungkin mirip dengan penyiksaan atau semacamnya.
Kedua, Revan. Anak ini masih ada disini. Jelas aku bingung karena dia punya butik di Jakarta. Bagaimana bisa Revan meninggalkan bisnisnya dalam waktu yang begitu lama? Apakah dia tidak merindukan keluarganya? Atau dia tidak takut bisnisnya hancur dia tinggal begitu saja? Ah, entahlah.
Ketiga, test semester dua. Dari dua hal diatas hal ini yang paling mendesak. Karena besok Senin kita sudah akan mengikuti test semester genap. Engga salah kan jika aku, Hendra dan Herry kali ini belajar bareng? Di rumah Herry kali ini. Jujur, Herry pernah cerita kalau dia agak paranoid ke rumahku sekarang. Katanya rumahku dekat dengan rumah Taufik, jadi ya begitulah. Akhir-akhir ini aku memang lebih banyak menghabiskan waktu dirumah Herry.
“Hey, ngalamun aja.” Herry memelukku dari belakang sambil mengarahkan mug yang baru saja dia bawa ke bibirku. Susu. Aku suka susu memang. Yang ditambah gula atau creamer. Itu enak sekali. Sungguh. Hendra sedang keluar membeli makanan kecil by the way.
“Makasih Her,” aku meregangkan tubuhku. Kemudian menyandarkan kepalaku pada dada Herry yang memang masih dibelakangku.
“Trus, kita mau mulai belajar darimana?” Herry masih dibelakangku. Tangannya juga masih memelukku.
“Besok Matematika sama Bahasa Inggris. Kita fokus di dua mata pelajaran itu aja dulu.” Kataku sambil melepaskan diri dari pelukan Herry.
“Hei, sorry suwi. Warungnya agak jauh jeh.” Hendra baru saja nongol. Aku tahu karena suara langkahnya. Hendra tidak pernah berjalan dalam diam. Itu salah satu alasan aku melepaskan diri dari pelukan Herry. Walau jujur, itu berat. Kalian boleh menamaiku berlebihan, but to be honest dada Herry adalah salah satu tempat ternyaman di dunia.
“Haha, pancen sih. Makanya aku males pergi tadi. Hahaha,” Jawaban pacarku ini langsung disambut bantal melayang oleh Hendra.
“Matematika dulu atau Inggris dulu?”
“Dua-duanya menyebalkan.” Kataku menjawab pertanyaan Hendra. Aku bukan anak bodoh. Aku pernah menceritakannya pada kalian, hanya saja aku juga bukan siswa cerdas luar biasa. Aku cukup pintar untuk masuk limabelas besar tapi cukup bodoh untuk masuk sepuluh besar.
“Aku artikan Matematika lebih dulu. Ini kisi-kisinya, aku juga punya materi soal. Nih,” Hendra mengeluarkan beberapa lembar soal dan menyerahkannya padaku dan juga Herry.
“Kalian jawab dulu, nanti jawabannya bakal aku periksa.” Lanjut Hendra.
“Yakin jawabanmu bakal bener Hen?”
“Aku gak mungkin jadi juara dua seprovinsi kalau menjawab soal-soal itu saja ora bisa.” Jawab Hendra agak kesal. Ya ya, ranking satu semester kemaren juga Hendra. Dia memang pintar.
“Oke. Gua harap pemerasan otak gua kali ini bakal ada manfaatnya buat rapot gua besok. Minimal masuk lima besar lah!” kataku mulai membaca soal-soal yang tadi diberikan oleh Hendra. Oke, matematika. Untuk bahasa Inggris sepertinya aku tidak begitu buruk. Setidaknya aku agak jago. Setidaknya . . .
***

Kalian tau? Classmeting kali ini berbeda. Kenapa aku sebut berbeda? Karena aku bisa menikmati classmeting kali ini bersama pacarku. Herry. Haha, berbeda dengan tahun lalu dimana aku hanya menikmatinya bersama Hendra. Kali ini aku memang tidak tampil. Sengaja, karena aku juga tidak punya banyak waktu untuk latihan. Penerimaan rapot masih minggu depan. Namun setidaknya, dari apa yang dapat aku kerjakan selama test kemarin aku yakin bakal masuk sepuluh besar. Hmm, yakin!
Aku tengah berada di kantin bareng Herry. Rasanya malas saja bergabung bersama anak-anak yang lain di aula sekolah. Yah, paling acaranya juga itu-itu aja. Beda dengan HUT sekolahku kemaren dimana kelasku menampilkan acara tarian specta. Atau classmeting semester lalu dimana aku tampil akustik dan tengah galau hebat. Classmeting kali ini pasti hambar. Hahaha.
Hendra? Dia anggota OSIS dan kebetulan juga salah satu panitia classmeting semester ini. Jadi dia sibuk luar biasa. Mondar-mandir seperti setrikaan.
Aku menyesap es teh ku sekali lagi. Bukan berarti karena classmeting lantas kantin jadi sepi. Kantin tetap rame. Yah, sepertinya mereka juga bosan dengan classmeting semester ini. Jelas karena aku tidak ada dalam daftar pengisi acara. Kalian boleh mengataiku sombong, tapi faktanya aku memang selebritis di kota kecil ini.
“Kita mau kemana Her? Bosen nih?” kataku setelah kembali dari dalam kantin. Aku minta tambah es teh.
“Lha emang boleh keluar beb? Kan gerbange dijaga Pak Satpam.” Aku mendesah pelan. Iya ya. Anak-anak boleh pulang setelah jam satu. Dan ini, masih jam sepuluh pagi.
“Nonton aja yuk? Sopo ngerti ada yang seru!” Aku mengedarkan pandanganku dengan malas.
“Iya deh.” Kataku akhirnya setelah aku melihat bahwa kantin ini juga mulai membosankan.
Saat aku dan Herry ke aula, sudah ada Widi dan Nahayu disana. Mereka sepertinya sangat menikmati band yang tengah berada di atas panggung. Aku melihat Hendra tengah sibuk dengan beberapa anak senior. Dan sempat melambaikan tangan padaku dan Herry.
Hmm, setelah liburan aku bakal jadi senior juga. Kelas dua. Katanya sih, kelas dua itu lagi bandel-bandelnya. Haha.
Bakal punya adek kelas juga. Kaga kebayang sumpah!
Band yang baru saja tampil dan membawakan lagu –entah itu apa aku tidak tau judulnya- baru saja turun. MC nya yang baru saja berbisik-bisik dengan Hendra dan terlihat Hendra mengangguk antusias membuatku agak merinding. Pasti ada kaitannya denganku. Pasti!
“Oke, pagi guys! Masih semangat dong ya?!” MC nya cewek dan cowok. Semuanya angkatan senior. Yang cewek aku kenal sedikit. Namanya Lisa, dulu baik banget waktu MOS. Maksutku, dia hampir tidak pernah menghukumku walaupun tahu aku salah. Entah karena dia takut atau karena dia suka padaku.
“Kali ini bakal ada surprise dari salah satu adek Junior kita, cowok yang paling digandrungi seantero sekolah, ada yang tahu siapa?”
Dan anak-anak mulai melirikku dan meneriakkan namaku. I feel bad for this akward moment.
“Oke, kayaknya tanpa menebak-nebak juga semua uda pada tau ya?! Kita sambut Arseno Erlangga Prawiro!!” Norak! Aku sama sekali gak tahu skenario ini. Dan aku juga tidak ada dalam list pengisi acara? Kenapa bisa? Aku melirik Hendra yang tengah senyum-senyum sendiri sambil mengacungkan dua ibu jarinya. Si kunyuk!! Tega bener tu anak!
Mau tidak mau, aku akhirnya naik ke atas panggung. Aku tidak mau nanti ada seruan, “disuruh tidak mau, memalukan!” Tidak, aku tidak ingin.
“Waduh, makin ganteng aja nih si Seno, iya gak guys?” dan seruan itu makin kencang. Aku mengabaikannya sedikit.
Beberapa teriakan konyol seperti, “Uda punya pacar belom?”
“Gimana sunatnya? Berhasil?” atau
“Seno sama Herry pacaran ya? Lengket banget tiap hari.” Oke, kabar waktu itu kalau aku disunat memang menyebar tanpa aku tahu siapa yang menyebarkannya. Aku tidak ingin menduga-duga. Toh tidak penting juga. Dan persepsi mereka tentang aku dan Herry yang pacaran, aku tahu mereka hanya bercanda.
Aku mengambil gitar, bukan gitarku. Dan mulai menyetingnya agar sesuai keinginanku. Seruan-seruan gaje agak teredam saat aku mulai memetik gitar. Aku memutuskan untuk menyanyi Thousand Years, Christina Perrie. Setidaknya, itu perasaanku saat ini.
***

“Lagu itu buat aku ya?” Herry senyum-senyum sendiri.
“Ge eR!” aku menjawab singkat sambil membuka pintu mobilku setelah aku mematikan alarmnya tadi.
“Haha, ngaku! Eh beb, itu kotak apa yang ada di depan kaca mobil?” aku melongokkan kepalaku dan keluar lagi dari mobil.

Untuk yg sedang berbahagia, Seno dan Herry
Aku menelengkan kepalaku bingung, siapa? Maksutku siapa yang memberi kotak ini? Dengan perasaan agak linglung aku membawa kotak itu kedalam mobil.
“Untuk kita katanya.” Kataku sambil menyerahkannya pada Herry. Aku menghidupkan mesin mobil. Sudah jam tiga lebih, otomatis kita sudah boleh pulang tentunya.
“ASSUUU!” aku hampir menginjak pedal rem saat mendengar umpatan Herry.
“Kenapa Her?” Herry menunjukkan sebuah kertas dengan tulisan warna merah. Bukan darah, karena tidak ada bau amis. Itu hanya spidol dengan warna merah.

Sebentar lagi permainan akan dimulai, kalian pemainnya, aku sang sutradara.
Taufik

Setidaknya Taufik tidak pengecut. Dia menyertakan namanya di dalam surat itu. Umpatan Herry juga beralasan. Ada bangkai tikus didalam kotak itu yang tadi langsung dilempar keluar oleh Herry.
“Si Taufik edan!” Herry mengumpat tidak jelas. Sumpah serapah keluar dari bibirnya. Aku sendiri bergidik ngeri. Jika dulu Taufik bisa menyiksa Herry sedemikian rupa, dia juga sangat mungkin bisa menyiksaku. Sangat mungkin. Apalagi Taufik masih mempunyai kartu as ku. Dia tahu rahasia terbesarku. Kalian mungkin akan memberikanku ide gila serupa, “Kenapa tidak lapor polisi?”. Yah, itu ide hebat. Apalagi jika mengingat aku cucu eyang Prawiro, polisi juga pasti akan cepat mengusutnya. Dengan konsekuensi, Taufik akan membeberkan semua rahasiaku. Mungkin keluargaku tidak akan percaya, namun bisa jadi mereka percaya. Dan aku tidak mau bertaruh pada hal besar ini. Tidak, aku tidak berani.
***

Aku menceritakannya pada Revan. Setidaknya dia tahu juga kalau aku gay dan menceritakannya pada seseorang mungkin akan sedikit membantu meringankan pikiranku.
“Ini mah gila Sen!”
“Gua kaga ngerti mesti gimana lagi, bingung, takut gua!”
“Sen, serius deh. Lo kenapa gak come out aja sih sama Bulek sama Pak Lek?” Aku menatap ngeri ke arah Revan begitu mendengar saran gilanya.
“Beda kali Van! Lo punya sodara, lha gua anak tunggal! Gua takut mereka kecewa terus gak nganggep gua lagi! Gua butuh mereka Van.”
“Kecewa sih pasti Sen, orang tua mana sih yang pengen anaknya gay? Tapi gua yakin Bulek sama Pak Lek pasti ngerti lo kok. Mereka kan sayang banget sama lo Sen.” Aku menghela nafas berkali-kali. Berharap bahwa ancaman Taufik hanya iseng belaka. Tapi. . .
Jika Taufik bisa membuat Herry merah biru seperti yang dulu itu, bukan hal yang tidak mungkin dia juga akan melakukannya padaku. Mengoral penis Taufik? Aku mual membayangkannya. Jijik!
“Entahlah Van, gua bingung. Liat ntar nya aja gimana.” Aku baru saja mau berbaring ketika pintu kamarku diketuk seseorang.
“Ya?” Aku membuka dengan agak malas. Mengingat, aku baru saja curhat tentang masalah terberat sepanjang usiaku.
“Ditunggu Ibu sama Bapak di ruang makan Den.” Entah sejak kapan Galih mulai memanggil kedua orang tuaku dengan sebutan Bapak dan Ibu. Dulu masih dengan sebutan Den Besar. Ah, taulah! Secara Galih kesayangan Papa dan Mama.
“Iya Mas,” kataku tersenyum sambil menoleh ke arah Revan.
“Makan malam kaga lo?”
“Jiah, kaga usah lo tawarin juga gua bakal makan malam.” Aku menggelengkan kepalaku dan mengikuti Galih ke ruang makan. Semuanya sudah ada di ruang makan. Paman Pri, Lek Tien, Papa, Mama, Eyang dan Taufik. Ya Taufik dan Bu Marini. Bu Marini memelukku sesaat dan menciumi pipiku.
“Bener-bener makin gagah dan ganteng ya Angga sekarang.” Bu Marini masih memandangiku dengan ekspresi gemas.
“Ya kan Mamanya super model Jakarta.” Sahut Papaku sambil mengerling genit pada Mama.
“Mantan model Pa.” Mamaku tersipu juga mendengar pujian Papa secara tidak langsung itu. Ampun dah!
Aku melirik Taufik sekilas, tumben amat Bu Marini dan Taufik ikut makan malam bareng keluargaku? Maksutku, Taufik akan membeberkannya sekarang?
“Seno, sini cu eyang ambilke nasinya.” Eyang mengambilkan piring bersih untukku. Kali ini aku tidak protes dengan nasi yang diambilkan Eyang yang pastinya cukup untuk membuat kenyang dua orang kuli bangunan. Pikiran dan mataku terpusat pada Taufik. Aku benar-benar takut dia akan membocorkan hubunganku dengan Herry sekarang.
“Liburan semester besok kamu mau liburan kemana Sen?” Papa bertanya padaku yang masih dengan ogah-ogahan memasukkan nasi ke mulutku.
“Sepertinya di rumah saja Pak Hadi, saya dan Dek Angga sudah punya planning liburan, ya kan Dek?” Aku mau tidak mau mengangguk. Benar katanya, dia sutradara, aku pemain.
“Bagus donk kalo gitu, Papa pengen kamu mulai belajar soal perkebunan. Manajemennya bagaimana, Taufik saja bisa dipercayai satu perkebunan.”
“Aku gak yakin bisa Pa.”
“Lho? Kamu kan belum mencoba Sen, jangan pesimis dulu lah.”
“Ues-ues tho rasah ngomongke kebun-kebun dhisik! Seno masih terlalu bocah! Makan yang banyak Cu, ayam bakarnya mau lagi ndak?”
“Uda Eyang, Seno uda kenyang.” Aku memaksakan senyum sebelum akhirnya meninggalkan meja makan.
“Seno duluan, Seno ngantuk.” Terdengar tidak sopan memang. Tapi aku muak melihat wajah Taufik di meja makan. Senyumnya mengandung muslihat, tipu daya. Hah, dia benar-benar psycho!
***

“Gua merinding liat senyum Taufik tadi di sepanjang makan malam! Setelah lo cerita plus kasih liat surat ancaman itu, gua jadi takut setengah mati sama tuh anak! Bener-bener monster! Lo kayaknya mesti hati-hati deh Sen!” cerocos Revan begitu dia masuk kamarku.
“Percuma juga, dia punya kartu AS gua, gua bisa apa?”
“Lo masih rutin latihan karate kaga sih?” tanya Revan. Aku memang sempat cerita ke dia kalau aku sempat latihan karate.
“Uda jarang.”
“Mending lo rutinin lagi lah Sen, lumayan kan lo ada bekel buat ntar ngelawan itu psycho!”
“Ya kali ya? Uda ah, keluar lo! Gua mau molor nih!”
“Jiah, boleh kali gua meluk elo sekali-kali. Lagian yang dibilang Bu Marini bener juga, lo emang makin seksi Sen. Tapi masih seksian laki lo sih.”
“Keluar kaga lo?”
“Jiah, galak amat.”
***

Aku memikirkan saran Revan berkali-kali. Namun sama sekali belum menemukan manfaatnya. Jika Herry yang pandai berantem saja takluk di bawah Taufik, apalagi aku? Aku memang tidak buruk dalam karate, tapi aku belum pernah berantem sungguhan. Latihan, dan berantem sungguhan itu dua hal yang sangat berbeda.
Herry memang tidak latihan karate, tapi dia sering berantem. Dan sering menang. Setidaknya setelah pacaran denganku dia tidak atau mungkin jarang berantem lagi. Faktanya, dia belajar beladiri secara real.
Aku? Aku dalam latihan memang lumayan jago, tapi bagaimana nanti dalam berantem sungguhan? Aku tidak yakin. Aku tidak yakin bisa memukul sekuat tenaga, aku tidak yakin bakal setega itu. Apalagi mengingat Taufik adalah anaknya Pak Karyo dan Bu Marini.
Argghh, pusiang!!
Drrt drrt drrt. Ada sms masuk.

Aku tunggu di lapangan basket

Taufik

Aku mengerutkan keningku sebentar sebelum akhirnya masuk kedalam mobil. Ini hari libur semester, memang sih sekolahku tetap buka. Namun buat apa Taufik mengajakku ketemuan disana? Tapi bisakah aku menolak, jawabannya? sudah pasti. TIDAK BISA!!
Aku terkejut saat memarkirkan mobilku dekat lapangan basket dan melihat motor Herry juga terparkir disitu. Jadi yang diundang bukan hanya aku ternyata.
“Oke, kita pakai mobil Dek Angga saja, kamu gak keberatan kan Dek?” kata Taufik sambil mengulurkan tangannya. Dalam diam aku memberikan kunci mobilku. Dengan saling lirik, aku dan Herry masuk ke pintu belakang.
Taufik menghidupkan mesin mobil. Aku tidak tahu aku dan Herry mau dibawa kemana, tempat-tempat yang kami lewati masih asing.
“Oke, kalian boleh melepas semua pakaian kalian sekarang! Tidak usah sungkan. Khekhekhe.”
“Edan!” Umpat Herry.
“Emm, kalau kalian macam-macam ada temanku yang bakal menyerahkan foto-foto hot kalian pada Bu Lilies dan Pak Hadi Prawiro. Jadi, kalian harus menjaga keselamatanku. Hihihi.”
Bedebah! Gaya bahasanya benar-benar psycho!
“Ayolah, lepas baju kalian. Permainan kita tidak memerlukan satu helai benangpun nantinya.”
Aku menatap Herry yang mengangguk perlahan dalam diam. Dia mulai melepas kaos dan celana panjangnya. Hal yang sama yang aku juga lakukan.
“Eiy, eiy, kan Kak Adi bilang, semuanya Dek, SEMUANYA dilepas? Masa Dek Angga dan pacarnya yang ganteng ini engga ngerti?”
Sekali lagi aku dan Herry pandang-pandangan sebelum akhirnya kami berdua melepas pakaian terakhir di tubuh kami. Aku secara otomatis menutupi barang berhargaku dengan kedua tanganku.
“Bagus! Dan kalian tidak butuh ini.” Kata Taufik sambil memungut semua pakaian kami dan melemparkannya lewat jendela.
Sial!!
“Kak Adi jamin kita bertiga akan bersenang-senang. Akan bersenang-senang. Hihihi.”


Bersambung. . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

leave comment please.