Tak
terasa sudah akan liburan semester lagi. Bedanya, setelah liburan aku bakal
naik ke kelas dua. Haha. Namun ada beberapa hal yang masih mengganjal.
Pertama,
mengapa Taufik masih saja diam? Bukannya aku menginginkan dia berkoar-koar pada
keluargaku kalau aku gay. Bukan seperti itu. Hanya saja, diamnya kali ini
membuatku ngeri. Aku selalu berpikiran jika dia sedang merencanakan sesuatu
yang jahat. Sesuatu yang mungkin mirip dengan penyiksaan atau semacamnya.
Kedua,
Revan. Anak ini masih ada disini. Jelas aku bingung karena dia punya butik di
Jakarta. Bagaimana bisa Revan meninggalkan bisnisnya dalam waktu yang begitu
lama? Apakah dia tidak merindukan keluarganya? Atau dia tidak takut bisnisnya
hancur dia tinggal begitu saja? Ah, entahlah.
Ketiga,
test semester dua. Dari dua hal diatas hal ini yang paling mendesak. Karena
besok Senin kita sudah akan mengikuti test semester genap. Engga salah kan jika
aku, Hendra dan Herry kali ini belajar bareng? Di rumah Herry kali ini. Jujur,
Herry pernah cerita kalau dia agak paranoid ke rumahku sekarang. Katanya
rumahku dekat dengan rumah Taufik, jadi ya begitulah. Akhir-akhir ini aku
memang lebih banyak menghabiskan waktu dirumah Herry.
“Hey,
ngalamun aja.” Herry memelukku dari belakang sambil mengarahkan mug yang baru
saja dia bawa ke bibirku. Susu. Aku suka susu memang. Yang ditambah gula atau
creamer. Itu enak sekali. Sungguh. Hendra sedang keluar membeli makanan kecil
by the way.
“Makasih
Her,” aku meregangkan tubuhku. Kemudian menyandarkan kepalaku pada dada Herry
yang memang masih dibelakangku.
“Trus,
kita mau mulai belajar darimana?” Herry masih dibelakangku. Tangannya juga
masih memelukku.
“Besok
Matematika sama Bahasa Inggris. Kita fokus di dua mata pelajaran itu aja dulu.”
Kataku sambil melepaskan diri dari pelukan Herry.
“Hei,
sorry suwi. Warungnya agak jauh jeh.” Hendra baru saja nongol. Aku tahu karena
suara langkahnya. Hendra tidak pernah berjalan dalam diam. Itu salah satu
alasan aku melepaskan diri dari pelukan Herry. Walau jujur, itu berat. Kalian
boleh menamaiku berlebihan, but to be honest dada Herry adalah salah satu
tempat ternyaman di dunia.
“Haha,
pancen sih. Makanya aku males pergi tadi. Hahaha,” Jawaban pacarku ini langsung
disambut bantal melayang oleh Hendra.
“Matematika
dulu atau Inggris dulu?”
“Dua-duanya
menyebalkan.” Kataku menjawab pertanyaan Hendra. Aku bukan anak bodoh. Aku
pernah menceritakannya pada kalian, hanya saja aku juga bukan siswa cerdas luar
biasa. Aku cukup pintar untuk masuk limabelas besar tapi cukup bodoh untuk
masuk sepuluh besar.
“Aku
artikan Matematika lebih dulu. Ini kisi-kisinya, aku juga punya materi soal.
Nih,” Hendra mengeluarkan beberapa lembar soal dan menyerahkannya padaku dan
juga Herry.
“Kalian
jawab dulu, nanti jawabannya bakal aku periksa.” Lanjut Hendra.
“Yakin
jawabanmu bakal bener Hen?”
“Aku gak
mungkin jadi juara dua seprovinsi kalau menjawab soal-soal itu saja ora bisa.”
Jawab Hendra agak kesal. Ya ya, ranking satu semester kemaren juga Hendra. Dia
memang pintar.
“Oke. Gua
harap pemerasan otak gua kali ini bakal ada manfaatnya buat rapot gua besok.
Minimal masuk lima besar lah!” kataku mulai membaca soal-soal yang tadi
diberikan oleh Hendra. Oke, matematika. Untuk bahasa Inggris sepertinya aku
tidak begitu buruk. Setidaknya aku agak jago. Setidaknya . . .
***
Kalian
tau? Classmeting kali ini berbeda. Kenapa aku sebut berbeda? Karena aku bisa
menikmati classmeting kali ini bersama pacarku. Herry. Haha, berbeda dengan
tahun lalu dimana aku hanya menikmatinya bersama Hendra. Kali ini aku memang
tidak tampil. Sengaja, karena aku juga tidak punya banyak waktu untuk latihan.
Penerimaan rapot masih minggu depan. Namun setidaknya, dari apa yang dapat aku
kerjakan selama test kemarin aku yakin bakal masuk sepuluh besar. Hmm, yakin!
Aku
tengah berada di kantin bareng Herry. Rasanya malas saja bergabung bersama
anak-anak yang lain di aula sekolah. Yah, paling acaranya juga itu-itu aja.
Beda dengan HUT sekolahku kemaren dimana kelasku menampilkan acara tarian
specta. Atau classmeting semester lalu dimana aku tampil akustik dan tengah
galau hebat. Classmeting kali ini pasti hambar. Hahaha.
Hendra?
Dia anggota OSIS dan kebetulan juga salah satu panitia classmeting semester
ini. Jadi dia sibuk luar biasa. Mondar-mandir seperti setrikaan.
Aku
menyesap es teh ku sekali lagi. Bukan berarti karena classmeting lantas kantin
jadi sepi. Kantin tetap rame. Yah, sepertinya mereka juga bosan dengan
classmeting semester ini. Jelas karena aku tidak ada dalam daftar pengisi
acara. Kalian boleh mengataiku sombong, tapi faktanya aku memang selebritis di
kota kecil ini.
“Kita mau
kemana Her? Bosen nih?” kataku setelah kembali dari dalam kantin. Aku minta
tambah es teh.
“Lha
emang boleh keluar beb? Kan gerbange dijaga Pak Satpam.” Aku mendesah pelan.
Iya ya. Anak-anak boleh pulang setelah jam satu. Dan ini, masih jam sepuluh
pagi.
“Nonton
aja yuk? Sopo ngerti ada yang seru!” Aku mengedarkan pandanganku dengan malas.
“Iya
deh.” Kataku akhirnya setelah aku melihat bahwa kantin ini juga mulai
membosankan.
Saat aku
dan Herry ke aula, sudah ada Widi dan Nahayu disana. Mereka sepertinya sangat
menikmati band yang tengah berada di atas panggung. Aku melihat Hendra tengah
sibuk dengan beberapa anak senior. Dan sempat melambaikan tangan padaku dan
Herry.
Hmm,
setelah liburan aku bakal jadi senior juga. Kelas dua. Katanya sih, kelas dua
itu lagi bandel-bandelnya. Haha.
Bakal
punya adek kelas juga. Kaga kebayang sumpah!
Band yang
baru saja tampil dan membawakan lagu –entah itu apa aku tidak tau judulnya-
baru saja turun. MC nya yang baru saja berbisik-bisik dengan Hendra dan
terlihat Hendra mengangguk antusias membuatku agak merinding. Pasti ada
kaitannya denganku. Pasti!
“Oke,
pagi guys! Masih semangat dong ya?!” MC nya cewek dan cowok. Semuanya angkatan
senior. Yang cewek aku kenal sedikit. Namanya Lisa, dulu baik banget waktu MOS.
Maksutku, dia hampir tidak pernah menghukumku walaupun tahu aku salah. Entah
karena dia takut atau karena dia suka padaku.
“Kali ini
bakal ada surprise dari salah satu adek Junior kita, cowok yang paling
digandrungi seantero sekolah, ada yang tahu siapa?”
Dan
anak-anak mulai melirikku dan meneriakkan namaku. I feel bad for this akward
moment.
“Oke,
kayaknya tanpa menebak-nebak juga semua uda pada tau ya?! Kita sambut Arseno
Erlangga Prawiro!!” Norak! Aku sama sekali gak tahu skenario ini. Dan aku juga
tidak ada dalam list pengisi acara? Kenapa bisa? Aku melirik Hendra yang tengah
senyum-senyum sendiri sambil mengacungkan dua ibu jarinya. Si kunyuk!! Tega
bener tu anak!
Mau tidak
mau, aku akhirnya naik ke atas panggung. Aku tidak mau nanti ada seruan,
“disuruh tidak mau, memalukan!” Tidak, aku tidak ingin.
“Waduh,
makin ganteng aja nih si Seno, iya gak guys?” dan seruan itu makin kencang. Aku
mengabaikannya sedikit.
Beberapa
teriakan konyol seperti, “Uda punya pacar belom?”
“Gimana sunatnya?
Berhasil?” atau
“Seno
sama Herry pacaran ya? Lengket banget tiap hari.” Oke, kabar waktu itu kalau
aku disunat memang menyebar tanpa aku tahu siapa yang menyebarkannya. Aku tidak
ingin menduga-duga. Toh tidak penting juga. Dan persepsi mereka tentang aku dan
Herry yang pacaran, aku tahu mereka hanya bercanda.
Aku
mengambil gitar, bukan gitarku. Dan mulai menyetingnya agar sesuai keinginanku.
Seruan-seruan gaje agak teredam saat aku mulai memetik gitar. Aku memutuskan
untuk menyanyi Thousand Years, Christina Perrie. Setidaknya, itu perasaanku
saat ini.
***
“Lagu itu
buat aku ya?” Herry senyum-senyum sendiri.
“Ge eR!”
aku menjawab singkat sambil membuka pintu mobilku setelah aku mematikan
alarmnya tadi.
“Haha,
ngaku! Eh beb, itu kotak apa yang ada di depan kaca mobil?” aku melongokkan
kepalaku dan keluar lagi dari mobil.
Untuk yg sedang
berbahagia, Seno dan Herry
Aku
menelengkan kepalaku bingung, siapa? Maksutku siapa yang memberi kotak ini?
Dengan perasaan agak linglung aku membawa kotak itu kedalam mobil.
“Untuk
kita katanya.” Kataku sambil menyerahkannya pada Herry. Aku menghidupkan mesin
mobil. Sudah jam tiga lebih, otomatis kita sudah boleh pulang tentunya.
“ASSUUU!”
aku hampir menginjak pedal rem saat mendengar umpatan Herry.
“Kenapa
Her?” Herry menunjukkan sebuah kertas dengan tulisan warna merah. Bukan darah,
karena tidak ada bau amis. Itu hanya spidol dengan warna merah.
Sebentar lagi permainan akan dimulai, kalian
pemainnya, aku sang sutradara.
Taufik
Setidaknya
Taufik tidak pengecut. Dia menyertakan namanya di dalam surat itu. Umpatan
Herry juga beralasan. Ada bangkai tikus didalam kotak itu yang tadi langsung
dilempar keluar oleh Herry.
“Si
Taufik edan!” Herry mengumpat tidak jelas. Sumpah serapah keluar dari bibirnya.
Aku sendiri bergidik ngeri. Jika dulu Taufik bisa menyiksa Herry sedemikian
rupa, dia juga sangat mungkin bisa menyiksaku. Sangat mungkin. Apalagi Taufik
masih mempunyai kartu as ku. Dia tahu rahasia terbesarku. Kalian mungkin akan memberikanku
ide gila serupa, “Kenapa tidak lapor polisi?”. Yah, itu ide hebat. Apalagi jika
mengingat aku cucu eyang Prawiro, polisi juga pasti akan cepat mengusutnya.
Dengan konsekuensi, Taufik akan membeberkan semua rahasiaku. Mungkin keluargaku
tidak akan percaya, namun bisa jadi mereka percaya. Dan aku tidak mau bertaruh
pada hal besar ini. Tidak, aku tidak berani.
***
Aku
menceritakannya pada Revan. Setidaknya dia tahu juga kalau aku gay dan
menceritakannya pada seseorang mungkin akan sedikit membantu meringankan
pikiranku.
“Ini mah
gila Sen!”
“Gua kaga
ngerti mesti gimana lagi, bingung, takut gua!”
“Sen,
serius deh. Lo kenapa gak come out aja sih sama Bulek sama Pak Lek?” Aku
menatap ngeri ke arah Revan begitu mendengar saran gilanya.
“Beda
kali Van! Lo punya sodara, lha gua anak tunggal! Gua takut mereka kecewa terus
gak nganggep gua lagi! Gua butuh mereka Van.”
“Kecewa
sih pasti Sen, orang tua mana sih yang pengen anaknya gay? Tapi gua yakin Bulek
sama Pak Lek pasti ngerti lo kok. Mereka kan sayang banget sama lo Sen.” Aku menghela
nafas berkali-kali. Berharap bahwa ancaman Taufik hanya iseng belaka. Tapi. . .
Jika
Taufik bisa membuat Herry merah biru seperti yang dulu itu, bukan hal yang
tidak mungkin dia juga akan melakukannya padaku. Mengoral penis Taufik? Aku
mual membayangkannya. Jijik!
“Entahlah
Van, gua bingung. Liat ntar nya aja gimana.” Aku baru saja mau berbaring ketika
pintu kamarku diketuk seseorang.
“Ya?” Aku
membuka dengan agak malas. Mengingat, aku baru saja curhat tentang masalah
terberat sepanjang usiaku.
“Ditunggu
Ibu sama Bapak di ruang makan Den.” Entah sejak kapan Galih mulai memanggil
kedua orang tuaku dengan sebutan Bapak dan Ibu. Dulu masih dengan sebutan Den
Besar. Ah, taulah! Secara Galih kesayangan Papa dan Mama.
“Iya
Mas,” kataku tersenyum sambil menoleh ke arah Revan.
“Makan
malam kaga lo?”
“Jiah,
kaga usah lo tawarin juga gua bakal makan malam.” Aku menggelengkan kepalaku
dan mengikuti Galih ke ruang makan. Semuanya sudah ada di ruang makan. Paman
Pri, Lek Tien, Papa, Mama, Eyang dan Taufik. Ya Taufik dan Bu Marini. Bu Marini
memelukku sesaat dan menciumi pipiku.
“Bener-bener
makin gagah dan ganteng ya Angga sekarang.” Bu Marini masih memandangiku dengan
ekspresi gemas.
“Ya kan
Mamanya super model Jakarta.” Sahut Papaku sambil mengerling genit pada Mama.
“Mantan
model Pa.” Mamaku tersipu juga mendengar pujian Papa secara tidak langsung itu.
Ampun dah!
Aku
melirik Taufik sekilas, tumben amat Bu Marini dan Taufik ikut makan malam
bareng keluargaku? Maksutku, Taufik akan membeberkannya sekarang?
“Seno, sini
cu eyang ambilke nasinya.” Eyang mengambilkan piring bersih untukku. Kali ini
aku tidak protes dengan nasi yang diambilkan Eyang yang pastinya cukup untuk
membuat kenyang dua orang kuli bangunan. Pikiran dan mataku terpusat pada
Taufik. Aku benar-benar takut dia akan membocorkan hubunganku dengan Herry
sekarang.
“Liburan
semester besok kamu mau liburan kemana Sen?” Papa bertanya padaku yang masih
dengan ogah-ogahan memasukkan nasi ke mulutku.
“Sepertinya
di rumah saja Pak Hadi, saya dan Dek Angga sudah punya planning liburan, ya kan
Dek?” Aku mau tidak mau mengangguk. Benar katanya, dia sutradara, aku pemain.
“Bagus
donk kalo gitu, Papa pengen kamu mulai belajar soal perkebunan. Manajemennya
bagaimana, Taufik saja bisa dipercayai satu perkebunan.”
“Aku gak
yakin bisa Pa.”
“Lho?
Kamu kan belum mencoba Sen, jangan pesimis dulu lah.”
“Ues-ues
tho rasah ngomongke kebun-kebun dhisik! Seno masih terlalu bocah! Makan yang
banyak Cu, ayam bakarnya mau lagi ndak?”
“Uda
Eyang, Seno uda kenyang.” Aku memaksakan senyum sebelum akhirnya meninggalkan
meja makan.
“Seno
duluan, Seno ngantuk.” Terdengar tidak sopan memang. Tapi aku muak melihat
wajah Taufik di meja makan. Senyumnya mengandung muslihat, tipu daya. Hah, dia
benar-benar psycho!
***
“Gua
merinding liat senyum Taufik tadi di sepanjang makan malam! Setelah lo cerita
plus kasih liat surat ancaman itu, gua jadi takut setengah mati sama tuh anak!
Bener-bener monster! Lo kayaknya mesti hati-hati deh Sen!” cerocos Revan begitu
dia masuk kamarku.
“Percuma
juga, dia punya kartu AS gua, gua bisa apa?”
“Lo masih
rutin latihan karate kaga sih?” tanya Revan. Aku memang sempat cerita ke dia
kalau aku sempat latihan karate.
“Uda
jarang.”
“Mending
lo rutinin lagi lah Sen, lumayan kan lo ada bekel buat ntar ngelawan itu psycho!”
“Ya kali
ya? Uda ah, keluar lo! Gua mau molor nih!”
“Jiah,
boleh kali gua meluk elo sekali-kali. Lagian yang dibilang Bu Marini bener
juga, lo emang makin seksi Sen. Tapi masih seksian laki lo sih.”
“Keluar
kaga lo?”
“Jiah,
galak amat.”
***
Aku memikirkan
saran Revan berkali-kali. Namun sama sekali belum menemukan manfaatnya. Jika
Herry yang pandai berantem saja takluk di bawah Taufik, apalagi aku? Aku memang
tidak buruk dalam karate, tapi aku belum pernah berantem sungguhan. Latihan,
dan berantem sungguhan itu dua hal yang sangat berbeda.
Herry
memang tidak latihan karate, tapi dia sering berantem. Dan sering menang.
Setidaknya setelah pacaran denganku dia tidak atau mungkin jarang berantem
lagi. Faktanya, dia belajar beladiri secara real.
Aku? Aku
dalam latihan memang lumayan jago, tapi bagaimana nanti dalam berantem
sungguhan? Aku tidak yakin. Aku tidak yakin bisa memukul sekuat tenaga, aku
tidak yakin bakal setega itu. Apalagi mengingat Taufik adalah anaknya Pak Karyo
dan Bu Marini.
Argghh,
pusiang!!
Drrt drrt
drrt. Ada sms masuk.
Aku tunggu di lapangan basket
Taufik
Aku
mengerutkan keningku sebentar sebelum akhirnya masuk kedalam mobil. Ini hari
libur semester, memang sih sekolahku tetap buka. Namun buat apa Taufik
mengajakku ketemuan disana? Tapi bisakah aku menolak, jawabannya? sudah pasti.
TIDAK BISA!!
Aku
terkejut saat memarkirkan mobilku dekat lapangan basket dan melihat motor Herry
juga terparkir disitu. Jadi yang diundang bukan hanya aku ternyata.
“Oke,
kita pakai mobil Dek Angga saja, kamu gak keberatan kan Dek?” kata Taufik
sambil mengulurkan tangannya. Dalam diam aku memberikan kunci mobilku. Dengan
saling lirik, aku dan Herry masuk ke pintu belakang.
Taufik
menghidupkan mesin mobil. Aku tidak tahu aku dan Herry mau dibawa kemana, tempat-tempat
yang kami lewati masih asing.
“Oke,
kalian boleh melepas semua pakaian kalian sekarang! Tidak usah sungkan.
Khekhekhe.”
“Edan!”
Umpat Herry.
“Emm,
kalau kalian macam-macam ada temanku yang bakal menyerahkan foto-foto hot
kalian pada Bu Lilies dan Pak Hadi Prawiro. Jadi, kalian harus menjaga
keselamatanku. Hihihi.”
Bedebah!
Gaya bahasanya benar-benar psycho!
“Ayolah,
lepas baju kalian. Permainan kita tidak memerlukan satu helai benangpun
nantinya.”
Aku
menatap Herry yang mengangguk perlahan dalam diam. Dia mulai melepas kaos dan
celana panjangnya. Hal yang sama yang aku juga lakukan.
“Eiy,
eiy, kan Kak Adi bilang, semuanya Dek, SEMUANYA dilepas? Masa Dek Angga dan
pacarnya yang ganteng ini engga ngerti?”
Sekali
lagi aku dan Herry pandang-pandangan sebelum akhirnya kami berdua melepas
pakaian terakhir di tubuh kami. Aku secara otomatis menutupi barang berhargaku
dengan kedua tanganku.
“Bagus!
Dan kalian tidak butuh ini.” Kata Taufik sambil memungut semua pakaian kami dan
melemparkannya lewat jendela.
Sial!!
“Kak Adi
jamin kita bertiga akan bersenang-senang. Akan bersenang-senang. Hihihi.”
Bersambung.
. .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
leave comment please.