FOLLOW ME

Jumat, 31 Januari 2014

THE SERIES 17

Jujur aku ketakutan setengah mati, walaupun aku tidak menunjukkannya secara nyata. Namun situasi ini benar-benar bikin aku ngeri. Aku dan Herry masih dalam kondisi telanjang bulat, dan pakaian kita sudah terlempar entah kemana. Aku manarik nafas secara perlahan. Taufik masih fokus dengan jalan yang menurutku semakin asing. Dia belum menyuruhku dan Herry melakukan hal-hal yang lebih aneh. Entahlah, apa rencananya kali ini. Herry sendiri terlihat cuek dengan melihat ke arah jendela. Tidak sepertiku yang masih malu-malu dengan menutupi kemaluanku, Herry tidak melakukan itu. Satu tangannya dibuat menyangga wajahnya dan satu tangannya lagi tergeletak begitu saja disamping pahanya.
Mungkin, dan hanya mungkin jika situasinya berbeda, aku mungkin akan terangsang dengan pemandangan yang disuguhkan Herry ini. Namun sepertinya rasa takut lebih mendominasiku saat ini. Alih-alih, berpikiran ke seks, aku malah sibuk memikirkan kehidupanku beberapa jam yang akan datang. Akankah aku masih hidup, atau nanti aku sudah bakal jadi bangkai?
“Kenapa kalian begitu pendiam heh? Biasanya kalian selalu mesra dimana saja.” Aku membuang mukaku ke arah jendela. Aku membenci Taufik. Dan aku yakin aku tidak akan pernah bisa memaafkannya. Tidak akan bisa.
“Dudu urusanmu.” Herry menjawab dengan ketus. Wajahnya pun masih menghadap keluar. Jawaban tadi sepertinya memicu kemarahan Taufik.
“Rasah macem-macem koe lonte cilik! Uripmu ra bakal dowo!” Taufik menghadap belakang. Matanya berkilat penuh kemarahan.
“Koe sing rasah macem-macem! Aku ra wedi mbek awakmu!” Herry agak memajukan wajahnya hingga wajah mereka begitu dekat. Aku ketakutan jujur. Bukan karena mereka akan berantem, tapi lebih ke kemudi mobil. Taufik menoleh ke belakang, sehingga jelas dia tidak melihat kedepan. Aku tahu jalanan sepi dan lurus, tapi . . .
“Fik, itu truck!” Aku berteriak sebisaku. Truck itu baru saja muncul dari arah berlawanan. Dengan kecepatan tinggi. Dan mungkin karena panik, Taufik langsung banting stir. Fatal, mobil kita menabrak pagar pembatas yang hanya terbuat dari anyaman bambu.
Aku masih sadar ketika mobil kita berguling-guling.
Aku juga masih sadar ketika Herry menarikku agar keluar dari mobil.
Namun saat aku mendengar ledakkan itu, pandanganku menggelap.
Terakhir yang aku ingat, Herry berada di atasku. Ya, dia melindungiku.
***

Beberapa kali aku menengok keadaannya dan semakin merutuki diri sendiri. Seharusnya aku lebih cepat! Pak Hadi dan Bu Lilies memang tidak menyalahkanku, tapi tetap saja aku merasa bersalah. Aku tahu malaikat kecilku akhir-akhir ini tengah bermasalah. Namun aku kira hanya masalah kecil. Seperti sedang berantem dengan pacar seksinya atau mungkin sekolahnya yang tengah membosankan.
Sampai Revan menceritakannya padaku. Sedikit terkejut juga. Dan tidak mengira, Taufik yang aku kenal begitu menyayangi malaikat kecilku tega melakukan semua ini. Jika ingat itu, ingin rasanya aku membunuhnya sekarang juga. Bedebah itu selamat. Sedangkan malaikat kecilku dan kekasihnya masih koma.
“Lih, Seno gimana?” aku mendongakkan kepalaku. Revan.
“Masih belum ada perkembangan Mas Revan. Masih koma.”
“Herry?” Aku menghembuskan nafasku perlahan.
“Masih sama. Dia juga masih koma Mas.” Revan memutuskan untuk duduk disampingku.
“Seharusnya waktu Seno pergi dengan mobilnya pagi itu gua ikutin! Seharusnya ini semua gak bakal terjadi, seandainya saja gua lebih peka, seandainya saja. . .” Aku melihat Revan menitikkan air matanya. Aku sadar yang sedih dan terpukul karena kejadian ini bukan hanya aku saja. Eyang Prawiro, Pak Hadi, Bu Lilis bahkan Bu Marini pun merasa terpukul. Dan Hendra.
Hendra dari tadi masih didalam. Setiap berkunjung, dia selalu mengajak berbicara Seno. Menceritakan kejadian-kejadian lucu di sekolah. Hal yang sama yang juga sering aku lakukan.
Aku sudah tau sejak lama jika Seno, malaikat kecilku. Aku menganggapnya seperti itu sejak dia menabrakku dan membawaku ke rumah sakit. Dan Herry mempunyai hubungan khusus. Cara mereka menatap satu sama lain sudah membuatku yakin bahwa aku tidak mungkin bisa masuk diantaranya. Namun harapan itu sempat tumbuh saat Seno pernah menatapku dengan cara berbeda.
Aku tidak pernah menuntut balasan akan perasaanku. Asal malaikat kecilku bahagia, itu lebih dari cukup. Asal malaikat kecilku bisa bangun lagi dari tidur panjangnya, aku rela melakukan apa saja. Apa saja.
Hendra baru saja keluar, seperti biasa matanya sembab. Dia menatapku dan Revan bergantian sebelum akhirnya memutuskan untuk ambruk di pelukan Revan. Tangisnya menjadi. Sudah hampir dua minggu Seno dan Herry koma. Namun kami masih berharap. Baru dua minggu, baru dua minggu. Itu yang selalu aku katakan untuk menghibur diriku sendiri.
***

Pak Hadi dan Bu Lilis baru saja pulang, malam ini aku menjaga malaikat kecilku lagi. Aku menggenggam tangannya yang sedingin mayat. Aku manatap wajahnya yang sekarang bertambah putih karena pucat.
“Den Seno, saya kangen lihat senyum Aden. Lihat wajah jahil Aden, lihat bandelnya Aden. Sampai kapan Aden bakal tertidur Den? Hendra setiap dateng nangis lho Den, Bapak dan Ibu juga. Aden enggak kasihan? Eyang juga drop kesehatannya karena mikirin Aden. Saya sayang sama Aden. Kalau bisa, saya pengen gantiin posisi Aden.” Aku masih saja mengoceh tidak karuan saat aku merasakan ada gerakan-gerakan kecil di dalam genggaman tanganku. Wajahku berbinar, tanpa menunggu lebih lama, aku langsung memanggil dokter jaga.
***

Kalian berisik! Ingin aku teriakkan seperti itu, namun bibirku kelu. Seperti ada yang diganjalkan di bibirku. Entah itu apa. Seberkas cahaya yang terlalu silau diarahkan ke kedua mataku secara bergantian yang membuatku ingin berteriak protes. Namun bibirku masih saja kelu.
“Seno, sayang. Ini Mama sayang.” Aku melihat samar-samar. Ya Mama, Seno dimana Ma? Nyatanya pertanyaan itu tidak keluar dari bibirku. Aku hanya seperti bergumam. Padahal setahuku, aku sudah mengatakannya dengan cukup lantang. Aku juga mendengar gumaman-gumaman lain. Ah, aku capek sekali. Bolehkah aku berbaring lagi? Karena rasanya berat sekali membuka kedua bola mataku. Herry? Oh iya, dimana Herry? Aah, mataku berat sekali. . .
***

Aku tahu dia akan menanyakan kondisi kekasihnya, namun aku masih belum bisa memberikan jawaban. Herry sudah sadar juga. Namun kondisinya masih belum stabil. Aku kembali menatap wajah malaikat kecilku yang sekarang sudah nampak lebih hangat. Dia memang tampan. Dia memang seperti malaikat. Dia sempurna, dia malaikat kecilku.
“Buburnya mau lagi Den?”
“Seno sudah kenyang Mas.” Padahal baru dua suap. Bagaimana mungkin malaikat kecilku sudah kenyang?
“Atau Aden mau saya kupasin buah?” Lagi-lagi wajah tampan itu menggeleng. Aku menarik nafas perlahan.
“Kalau Aden makan saja susah, gimana mau sembuh? Gimana nanti mau ketemu Herry?” Malaikat kecilku menoleh ke arahku. Mata belonya menatapku heran seakan-akan tidak mengerti apa yang baru saja aku ucapkan.
“Herry butuh suport dari Aden, jadi Aden harus sembuh. Harus lebih kuat. Aden makan lagi ya?” perlahan wajah itu mengangguk.
Proses penyembuhan malaikat kecilku tergolong cepat kata dokter. Bahkan dokter bilang ada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan secara medis tentang proses penyembuhan malaikat kecilku. Pernah suatu ketika aku melihat Seno seperti berbicara dengan orang lain. Padahal setahuku disana tidak ada orang. Pernah aku menganggap malaikat kecilku sedikit mengalami trauma dan gangguan kejiwaan. Namun anggapan itu salah. Respon Seno terhadap kita normal. Segalanya normal, hanya terkadang dia sering terlihat seperti berbicara dengan orang lain tapi tidak ada siapa-siapa.
Herry dan Seno berada di tempat yang sama ketika mobil itu meledak. Mereka juga divonis hampir sama. Namun proses penyembuhan Seno setelah bangun dari koma benar-benar luar biasa. Dia sudah bisa berbicara dengan normal, tidak memerlukan alat bantuan pernafasan lagi, hanya infus di tangan kirinya yang masih menempel. Jika dibandingkan dengan Herry yang masih memerlukan semua alat itu.
“Mas, bedebah itu dimana?” Aku sedikit kurang mengerti akan pertanyaan itu sebelum akhirnya aku paham.
“Dia kabur Den.” Itu faktanya. Lukanya memang tidak separah Seno dan Herry. Dan dia kabur saat semua orang sibuk mengurus Herry dan Seno yang memang sangat kritis waktu itu.
“Masih dalam pencarian polisi. Aden tenang saja, saya sudah tahu semuanya dari Revan.”
“Mama Papa? Sudah tahu juga Mas?” tanyanya sesaat setelah diam. Aku menggeleng. Yang tahu hanya aku. Bu Lilies dan Pak Hadi hanya tahu jika Taufik berencana menyulik Herry dan Seno. Itu yang dikatakan Revan. Setidaknya sewaktu Pak Hadi hendak memukul Taufik dan memaki-makinya, Taufik pun tidak mengelak. Dia juga tidak menceritakan kebenarannya.
“Tinggalin Seno sendiri mas, Seno pengen istirahat.” Aku mengangguk pelan sebelum akhirnya berjalan keluar.
***


“Dia dimana kek?” Aku menoleh kesamping menyadari kehadiran kakek buyutku. Sampai sekarang aku masih merasa aneh sendiri. Kakek buyutku sudah meninggal dan aku berbicara dengannya sekarang. Kadang aku merasa seperti orang gila. Bahkan tidak jarang aku menganggap diriku juga sudah mati, sehingga bisa berkomunikasi dengan orang mati juga. Namun sepertinya tidak benar.
Aku masih bisa merasakan tangan hangat Galih yang selalu menggenggamku. Kebiasaan dia jika tengah menyuapiku. Kebiasaan dia yang entah mengapa membuatku merasakan kenyamanan.
“Dia akan kembali, tapi kamu gak usah takut.” Aku menarik nafasku perlahan. Ya aku masih bernafas, tanda kalau aku masih hidup kan?
“Herry?”
“Dia baik-baik saja, dia akan sembuh.” Aku belum bertemu Herry. Aku tahu keadaannya pasti lebih parah dariku. Dia melindungiku sewaktu mobil itu meledak.
“Semua akan baik-baik saja.” Aku mengangguk pelan mendengar ucapak kakek buyutku sebelum akhirnya aku memejamkan mataku. Aku memang butuh istirahat.
***

Sejak aku keluar dari rumah sakit, aku sudah jarang sekali bertemu dengan kakek buyut. Bahkan jika aku seperti orang gila atau menirukan adegan-adegan sinetron dengan memanggil-manggilnya pun masih nihil.
Sudahlah, mungkin kemarin itu hanya efek obat-obatan yang terlalu banyak dijejalkan ke tubuhku. Mungkin membuatku sedikit berimajinasi. Aku melangkahkan kakiku menuju kamar dimana Herry dirawat. Aneh, seharusnya Herry pun sudah diperbolehkan pulang sepertiku. Lalu mengapa dia masih disini? Sebetulnya, aku masih dilarang menjenguk Herry oleh Galih. Namun aku melanggarnya. Yah, bagaimanapun aku merindukannya. Aku merindukan pacarku, apa itu salah?
Tanpa mengetuk pintu, aku langsung masuk ke kamar dimana Herry sedang dirawat. Ada Ibu dan Bapaknya Herry yang langsung tersenyum begitu melihatku.
“Siang Bu, Pak.” Sapaku sambil tersenyum dan memusatkan perhatianku pada Herry. Dia agak kurusan sekarang. Tapi tetap ganteng.
“Hey Her,” Herry terlihat bingung sesaat sebelum akhirnya menoleh pada kedua orangtuanya.
“Ini Mas Seno Her, masa kamu lupa juga nak?” Perkataan Ibunya Herry langsung membuat alarm di otakku siaga satu. Jangan bilang, jangan bilang!!
“Sini Mas, Ibu perlu bicara sebentar.” Aku mengikuti langkah Sekar yang keluar dari kamar inap.
“Herry mengalami benturan keras di kepala Mas, jadi . . .”
“Dia hilang ingatan?” Sambarku langsung. Agak konyol memang, karena aku kira kejadian seperti ini hanya akan ada di televisi saja, maksutku sinetron.
“Iya dan tidak Mas. Herry hampir mengingat semua orang, kecuali momen setelah dia lulus SMP. Herry tidak mengenali Hendra, Mas Seno, Galih. Yang Herry ingat hanya masa-masa SMP kebawah Mas.” Aneh, maksutku ada gitu amnesia model begitu? Atau ini hanya akal-akalan Herry saja buat ngerjain aku? Bisa jadi, anak itu kan iseng!
“Bu, boleh saya ngobrol berdua sama Herry?”
“Iya Mas, boleh! Silahkan Mas!” Aku dan Ibunya Herry masuk lagi ke dalam kamar inap, namun tidak lama kemudian Sekar menarik suaminya untuk keluar.
“Her, kamu beneran gak inget siapa aku?” Tanyaku begitu merasa keadaan sudah cukup aman. Herry melihatku berkali-kali dari atas hingga bawah dan sebaliknya. Setelah agak lama, dia lalu menggelengkan kepalanya.
“Her! Please lah jangan bercanda! Gak lucu tauk! Masak kamu gak inget kalau kita ini paca . . .” Aku menghentikan diriku sendiri berkata bodoh. Iya kalau Herry bercanda, kalau dia lupa ingatan beneran gimana? Ngomong ke dia kalau aku ini pacarnya? Yang jelas dia kaga bakalan percaya! Jijik iya! Sial!
***

“Den Seno belum makan dari tadi pagi,” Galih masuk ke kamarku dan duduk diatas ranjang. Aku tidak menoleh ke arahnya sama sekali. Aku masih mengamati foto-foto Herry di ponselku. Aku tahu ini konyol, tapi yang terjadi pada Herry memang benar adanya. Sudah dua minggu kita berdua masuk kelas lagi dan Herry memang tidak mengenali semua orang. Para guru, teman-teman barunya. Kecuali teman-teman dia sewaktu SMP.
Kata dokter, ingatannya bisa saja pulih. Namun itu semua tergantung waktu dan kondisi psikis Herry juga. Dan sialnya lagi, di kelas dua ini aku dan Herry beda kelas. Bisa saja aku meminta kepala sekolah untuk menukar kami agar kami satu kelas lagi. Namun itu akan terdengar sangat kekanakan sekali.
“Den?”
“Seno gak laper Mas,” Aku menjawab masih dengan tatapan ku ke ponsel.
“Aden jangan egois.” Mendengar nada bicara Galih yang agak emosi aku akhirnya menoleh juga. Aku menatap wajahnya dan agak terkejut. Wajahnya terlihat lelah dan kurang tidur.
“Aden sibuk memikirkan orang yang bahkan tidak bisa mengingat Aden, tapi Aden tidak memikirkan perasaan Ibu, Bapak, Eyang yang setiap hari cemas akan kondisi Aden yang mengurung diri di kamar terus. Pulang sekolah langsung ke kamar, makan sedikit, tidak teratur. Bisa kan Aden memikirkan perasaan mereka? Mereka yang sayang sama Aden.” Aku sebenarnya ingin menyanggah. Tapi aku membungkam mulutku lagi. Galih benar, aku tidak seharusnya terpuruk seperti ini hanya untuk Herry.
Aku sudah berusaha sekuat mungkin untuk membantu memulihkan ingatannya. Menunjukkan poto-poto dia dan aku. Poto-poto Herry bersama aku dan Hendra. Bahkan diary nya juga aku tunjukkan.
Herry sama sekali tidak berusaha ingin ingatannya pulih. Dia terkesan bahagia dengan kehidupannya yang sekarang. Selama ini aku selalu beranggapan bahwa Herry hanya sedang sakit. Dia lupa ingatan. Namun fakta bahwa dia sekarang bahkan tidak menggubrisku maupun Hendra aku abaikan. Hendra sudah lelah, dia pernah bilang dia tidak akan memaksa Herry lagi mengingat persahabatan kita. Karena itu konyol. Dia seakan-akan tidak berusaha mengingatku atau Hendra. Lalu apa yang aku lakukan selama ini? Apakah yang dikatakan Galih benar? Aku egois? Tapi bukankah aku juga terluka?
“Seno pengen jus mangga Mas.” Galih tersenyum sebelum akhirnya berdiri.
“Ayo keluar Den, mumpung mangga di sebelah rumah lagi berbuah. Banyak yang udah mateng lho.” Aku memaksakan diriku untuk bangun dari tempat dudukku.
“Duluan aja Mas, Seno mau cuci muka dulu.” Galih lagi-lagi tersenyum.
“Iya, Mas tunggu di depan.” Eeh, apa dia bilang tadi? Mas tunggu di depan? Biasanya dia panggil dirinya sendiri dengan sebutan ‘saya’.
***

“Makasih mas.” Kataku pada Galih sebelum akhirnya keluar dari mobil.
“Iya Den, ati-ati.” Sekali lagi aku tersenyum. Hari ini berbeda, aku tahu ini akan sulit. Cobaan dalam cinta sejati bukanlah saat kita harus memaafkan saat dia berbuat salah. Seperti selingkuh misalnya. Tapi adalah saat kita melepaskannya. Aku melihat Herry sekarang bahagia, tanpa aku. Ironinya begitu. Jadi, aku hanya perlu menemukan kebahagiaanku sendiri. Aku pernah mengalaminya dulu. Melepaskan Herry. So, ini tidak akan sulit. Yah, aku pasti bisa!
“Hey Sen!” aku menoleh pada orang yang baru saja menepuk punggung balakangku. Hendra.
“Jiah, tumben lo berangkat siang?” kataku sambil mensejajarkan langkahku dengan langkahnya. Ini memang hampir jam tujuh. Yah, kalian tahu lah aku memang tidak pernah datang lebih awal dari setengah tujuh.
“Angkotnya penuh tadi. Liat tuh Sen, banyak adek kelas ngelirik kamu tuh!”
“Ngelirik elo kali! Lo kan panitia MOS!” Hendra tertawa perlahan. Namun memang iya, banyak adik kelas yang melirikku atau Hendra aku tidak tahu. Namun aku tidak tertarik. Masih pada bau kencur!
Aku tengah berada di kelas. Menyalin catatan Hendra. Sedikit sih, tapi aku harus mengejar ketinggalanku selama tidak masuk kemarin.
“Kamu reti ra Sen?” Hendra membawakan siomay pesananku dan juga es teh manis.
“Ngerti apaan?”
“Ada adek kelas nembak Herry!” hampir saja aku menjatuhkan siomay yang sedang aku makan.
“Dimana?” aku melongo sesaat. Maksutku, anak-anak sekarang berani sekali ya?
“Di depan kelasnya Herry. Kayaknya sih dikerjain anak kelas tiga.” Aku hanya bisa ber oooooo panjang. Aku kira sungguhan. Tapi tega amat itu kakak kelas. Maksutku kan MOS sudah berakhir. Jerit malam juga sudah dilaksanakan kalau tidak salah. Kok masih aja itu adik kelas mau dikerjain?
Dan saat itu juga ada anak kelas satu yang malu-malu di depan pintu. Cowok, cukup cute walaupun agak klemar-klemer.
“Ayo! Ayo tembak! Awas nek lenjeh ngono bakal diwudohi rame-rame!” Dibelakangnya, anak-anak kelas tiga sibuk memberi suport. Jiah, satu korban lagi. Namun, aku mengerti kenapa anak ini dikerjai kakak kelas. Dia agak lenjeh. Malu-malu, walaupun kalau diperhatikan dia cute, seperti yang aku bilang tadi.
Dengan malu-malu dan didorong anak-anak kelas tiga dia maju ke arahku dan Hendra. Aku dan Hendra saling menatap bingung. Namun masing-masing dari kita tetap stay cool.
“Kak Seno, ini surat dari saya.” Jangan baca selancar tulisan ini. Anak ini mengucapkan kalimat sependek tadi hampir membutuhkan waktu dua menit. Kalian tau lah.
“Surat cinta itu, surat cinta!!” Gemuruh anak-anak kelas tiga yang norak dan heboh sendiri. Untung bel masuk kelas berbunyi. Mereka segera berhamburan keluar dari kelasku. Anak itu juga akan keluar, namun aku pegang tangannya sebentar.
“Lo mau aja gitu dikerjain sama mereka?” Anak itu menunduk.
“Trus kenapa mereka milih gua? Itu mereka kayaknya harus dibikin inget siapa gua!” Aku sebenarnya tidak berniat mengucapkan itu, hanya saja aku terlalu kesal.
“Mereka gak milih kakak.” Jawaban yang keluar dari bibir anak ini membuatku sedikit bingung.
“Lha terus?”
“Aku yang milih sendiri mau nembak siapa. Mereka hanya ingin kita nembak kakak kelas. Kita bebas milih.” Anak itu memang menjawab dengan malu-malu. Dan kepala tertunduk.
“Terus lo milih gua? Maksut gua, lo homo gitu?” Wajah anak itu semakin memerah.
“Aku disuruh harus nembak cowok kak,” Kata anak itu sebelum akhirnya berlari keluar kelas. Ya, mungkin karena gayanya yang agak terlalu kalem itu, anak-anak kelas tiga jadi ngerjain dia semakin aneh.
“Aneh.” Gumamku pelan sebelum aku memasukkan surat yang tadi diberi adik kelas tadi ke dalam tas.


Bersambung . . .

1 komentar:

leave comment please.