FOLLOW ME

Minggu, 03 November 2013

THE SERIES 9

“Mobil barumu Sen?” Tanya Hendra penuh kekaguman. Aku dan Hendra sedang menuju alun-alun. Rencananya, aku bakal traktir dia Bakso sambal setan. Rumornya sih rasanya mantap, apalagi sambalnya, setan abis!
“He eh, gimana? Keren kan? Bangga kan elo jadi penumpang pertama?”
“Weleh, aku sing pertama iki Sen? Wuih, mantep!” jujur, aku juga tidak bisa melepaskan senyum ini dari bibirku. Faktanya, pertama aku punya mobil baru, kedua Herry masih peduli padaku. Yah, walaupun dia menanyakan kabarku secara sembunyi-sembunyi.
“Sambalnya emang setan!” Kataku sambil kembali menyeruput es tehku. Tepatnya es teh ketigaku.
“Hahaha, tapi bikin nambah. Uhh ahh uhh ahh.” Aku tertawa sendiri melihat tingkah Hendra yang kepedesan. Anganku jadi melayang ke seseorang. Herry. Dia pasti rakus sekali kalau sedang makan bakso. Mungkin bisa nambah bermangkok-mangkok. Bibirnya yang bakal merah karena kepedasan, keringatnya yang mengalir karena kepanasan dan cara dia melapnya yang laki banget. Aku merindukannya. Aku merindukan pacarku.
“Sen, enggak dihabisin punyamu?” aku tergugah dari lamunanku tentang Herry.
“Bentar lagi Hend. Pulang yok, udah sore ini.”
“oke.”
***


Aku masih berdiri disini dan tidak tahu aku mesti ngapain. Mau mengetuk pintu tanganku terasa berat, namun untuk pulangpun rasa-rasanya kakiku seperti diganjal berton-ton baja. Ketok enggak ya? Ketok? Enggak? Ketok? Enggak?
“Lho Mas Seno? Lagi ngapain Mas?” aduh, malunya ketahuan sama ibunya Herry.
“Ini bu nyariin Herry.”
“Herry baru aja berangkat ke kali tuh mas! Mau mandi, air PAMnya lagi mati. Yuk ditunggu didalam saja. Atau mau nyusul?” bayangan melihat Herry tengah mandi memang mengasyikkan, namun aku memutuskan untuk menunggu disini saja. Aku juga toh baru pertama ke kali kedu. Takutnya ntar nyasar lagi.
“Monggo-monggo mas, nyusun sewu lho tempatnya kotor dan sempit.”
“Aduh, engga kok bu. Tempatnya nyaman.”
“Mas Seno mau minum apa mas? Kebetulan Ibu tadi lagi bikin wedang ronde.” Dahiku mengernyit. Papa sering sih bilang wedang ronde wedang ronde gitu, tapi aku belom pernah nyoba. Pengen sih, tapi engga ah. Tubuhku lagi engga fit ntar kena minuman yang belom pernah aku minum bisa berulah perutku.
“Teh aja Bu kalo ada. Maaf ya Bu ngrepotin.” Dasar tidak tahu malu! Biarin ah! Toh sudah ditawari ini tadi kok. Ibunya Herry ternyata banyak cerita. Bikin aku engga mati gaya. Mulai cerita masa kecilnya Herry, trus cerita-cerita misteri di kampung ini. Bener-bener deh! Serasa didongengin!
“Lho Seno?” aku tidak menyadari kehadirannya. Sungguh, karena jika dia tidak bertanya seperti tadi aku tidak sadar jika Herry sudah pulang. Terlalu terbuai dengan cerita misteri tadi.
“Udah lama?” tanya Herry lagi.
“Lumayan.” Jawabku singkat.
“Ooh, ke kamarku aja yok.” Setelah permisi sebentar dengan ibunya Herry aku mengekor Herry dari belakang dengan diam. Aku dan Herry sama-sama diam.
Hmm, ini pertama kalinya aku masuk kedalam kamarnya Herry. Tidak sesuai dugaanku, kamar Herry sangat rapi. Aku memilih duduk di kursi meja belajarnya. Mengamati Herry yang tengah melepas handuknya dan berganti baju. Dia tetap sama. Tubuhnya masih semenggiurkan pertama kali aku melihatnya. Tititnya agaknya bertambah besar sedikit. Mungkin. Atau karena dia sedang agak tegang? May be.
“Ono perlu opo Sen?” aku menggeleng pelan.
“Enggak ada. Cuma kangen kamu aja.” Kataku jujur. Buat apa aku tengsin untuk mengejar cinta Herry? Mulai sekarang aku hanya ingin Herry tahu bahwa aku menyayanginya tulus. Herry mengambil nafas panjang.
“Kenapa bisa kangen?” akhirnya dia bertanya. Aku mendongakkan kepalaku. Menatapnya sedalam yang aku bisa sebelum akhirnya Herry memalingkan wajahnya.
“Aku juga engga ngerti. Wajahmu selalu manari-nari di ingatanku, sekeras aku berusaha cuek ke kamu, sekeras itu pula bayangmu muncul kembali. Aku tak pernah mengharapkan kamu akan melabuhkan lagi hatimu untukku Her, aku pelan-pelan membunuh harapan itu. Pelan-pelan membunuh perasaanku. Dan aku tak bisa. Ini puncaknya, aku kangen kamu.” Aku dengan jujur mengakui bahwa kalimat tadi adalah hasil dari mencontek sebuah novel yang aku lupa judul dan pengarangnya. Gila ya, uda ngopy lupa pula judul dan pengarangnya. Keterlaluan sekali.
Herry mendekatiku, aku menyadari itu. Dia memelukku dari belakang hingga aku larut dalam dekapannya.
“Aku juga kangen kamu. Tapi aku enggak bisa lagi sama kamu.”
“Kenapa Her?” aku merasakan dekapan Herry yang semakin erat. Bibirnya yang menciumi rambutku.
“Kamu engga perlu tahu alasannya. Kamu mau janji satu hal sama aku?”
“Janji apa Her?”
“Janji kamu bakal bahagia walau tanpa aku.” Aku merasakan puncak rambutku basah. Herry menangis? Kenapa? Pelan aku menolehkan wajahku dan semakin tidak mengerti. Ekspresi terluka dan kalah tergambar jelas di mata Herry. Bukannya yang terluka seharusnya aku? Statusku sekarang sudah jelas. Aku bukan pacar Herry lagi. Aku bangkit berdiri dan memeluk Herry seerat yang aku bisa.
“Bahagiaku itu bahagiamu.” Kataku pelan sebelum keluar dari kamar Herry. Aku melarang keras diriku sendiri untuk menangis. Ini bukan akhir dari segalanya, aku tahu. Tapi aku mencintainya dan aku juga sangat tahu dia mencintaiku!
Aku melajukan mobilku secepat yang aku bisa. Aku hanya ingin cepat tiba di rumah. Mandi, lalu tidur dan melupakan semuanya. Air mataku mulai menitik satu demi satu hingga akhirnya jebol dan membanjiri pipiku. Ya Tuhan, aku benar-benar kehilangan dia sekarang. Dia melepaskanku! Dengan sekenanya aku mengusap air mataku. Pandangan mataku yang buram membuatku tidak melihat ada seseorang yang tengah menyebrang. Begitu aku menyadari, sudah sangat terlambat untuk menginjak rem.
***

Aku masih panik sendiri. Mondar-mandir di depan ruang ICU. Aku sudah menghubungi kedua orangtuaku. Tuhan, apa yang aku lakukan tadi? Menabrak orang! Selamatkan orang itu ya Tuhan! Please!
“Seno, nak kamu enggak apa-apa sayang?” ibuku yang baru saja datang langsung memelukku. Tempat tadi sepi, tidak ada orang sama sekali. Aku juga sempat kebingungan sebelum akhirnya membopong orang tadi dan membawanya ke rumah sakit dengan mobilku. Aku tidak mungkin meninggalkannya. Konsekuensinya jelas, mungkin bisa saja aku dipenjara. Walaupun tidak ada saksi mata.
Akhirnya salah satu dokter yang menangani orang yang aku tabrak tadi keluar.
“Keadaan pasien bagaimana dok?”
“Tidak ada luka serius. Hanya saja beberapa tulang rusuknya ada yang retak. Dia masih muda, pasti akan cepat pulih. Nanti dia sudah bisa dipindahkan ke kamar inap.” Aku bisa bernafas lega sekarang. Dengan rasa takut-takut aku dibelakang papaku masuk kedalam ruangan tempat pasien. Pasien itu melihatku dan papaku lalu tersenyum. Dia tersenyum? Padahal aku sudah menabraknya! Bisa saja dia meninggal atau mungkin cacat!
“Terima kasih sudah membawa saya ke rumah sakit.” Aku hanya tersenyum kecil. Apalagi yang bisa aku lakukan selain ini untuk menebus kesalahanku?
“Saya tidak akan membawa kasus ini kejalur hukum jika. . .” Deg. Dia akan meminta uangkah? Memeras papa dan mamaku? Apakah dia sudah tahu kalau yang menabraknya adalah cucu satu-satunya keluarga Prawiro?
“Tidak ada saksi mata. Omongan anda akan dianggap ngawur kalopun anda melaporkan ini ke polisi.” Pasien itu melihat ke arah Paman Pri dan terlihat sedikit terkejut.
“Pak Pri, putra dari Prawiro?”
“Jangan macam-macam dengan keponakanku.” Setelah mendengar nada sarat ancaman dari Paman Pri, baru pasien itu menoleh ke arahku. Memperhatikanku dengan seksama dan sangat teliti.
“Keponakan yang manis dan tampan, saya juga salut dengan keberaniannya. Saya yakin anda tidak ingin dia terkurung dalam jeruji besi kan?” aku hanya bisa menelan ludah. Bukankah aku masih dibawah umur? Aku tidak mungkin dipenjara kan? Apakah kenyataan kalau aku tidak mempunyai SIM juga akan semakin memberatkanku?
“Apa mau anda?”
“Saya ingin bekerja untuk keluarga anda setelah saya sembuh. Jadi sopir, tukang kebun atau apa saja.” Papa dan Paman Pri saling bertatapan sebelum akhirnya Papa mengangguk. Orang ini aneh, kenapa sebegitu inginnya dia bekerja untuk paman Pri atau Papa? Ah, masa bodoh. Yang penting orang ini akan sembuh kan? Dia tidak akan cacat kan? Aku tidak bisa membayangkan jika orang yang aku tabrak ini mengalami kecacatan. Beban mental yang akan aku tanggung.
***


Akhir- akhir ini aku jadi pendiam. Hendra, bahkan papa dan mamaku dan semua orang di rumah pun menyadarinya. Putus dari Herry mungkin adalah salah satu penyebabnya. Namun bukan hanya itu. Galih-pemuda yang aku tabrak beberapa waktu lalu sudah mulai bekerja di rumahku. Sebagai sopir baruku tentu saja. Bagi papa, aku dinyatakan belum layak untuk mengemudikan mobil sendiri-mengingat kejadian tempo hari dulu, aku menurut saja, biarlah. Gara-gara kejadian kecelakaan tersebut. Apa hubungannya sifatku yang menjadi pendiam dengan Galih? Entah, setiap kali aku bertatapan dengannya ada rasa takut yang amat sangat. Aku juga tidak mengerti, cara dia menatapku membuat aku bergetar ketakutan untuk alasan yang tidak aku pahami. Aku tidak tahu!
“Sen, kamu enggak istirahat?” aku menoleh sesaat ke arah Hendra lalu menggeleng.
“Aku nitip es teh aja.” Kataku sambil merogoh sakuku dan menyerahkan selembar uang lima ribuan kepada Hendra. Hendra menatapku sesaat sebelum akhirnya keluar kelas. Aku kembali sibuk dengan catatanku, walaupun aku tahu pikiranku tidak disana. Kenapa aku begitu takut dengan Galih? Aku tidak mungkin bisa begini terus. Enggga bisa! Latihan karate? Untuk jaga-jaga! Mungkin rasa takutku terhadap Galih bisa aku hilangkan jika aku mempunyai selfdeffense. Oke! Latihan karate! Semoga hal ini dapat mengurangi rasa takutku terhadap Galih yang terlalu berlebihan.
Sepulang sekolah aku ditemani Hendra keliling untuk mencari tempat pelatihan karate yang bagus. Aku sengaja tidak menunggu Galih. Persetan dengannya! Dia hanya membuatku paranoid. Akhirnya setelah berkeliling, kita menemukan tempatnya juga. Aku juga menyarankan Hendra untuk ikutan daftar, tentu saja aku yang bayar. Aku tidak ingin sendirian. Setelah mengurus birokrasi yang cukup ringkas, aku dan Hendra bisa mulai berlatih minggu depan. Satu minggu 3 kali. Yaitu Senin, Jum’at dan Sabtu. Pulangnya kita naik angkot. Disini tidak ada taksi kalau kalian ingin tahu.
Saat akan memasuki rumah, aku mendapati mama yang tengah menyiram bunga di taman.
“Seno pulang ma.”
“Lho, kamu enggak dijemput Galih?” aku menggeleng. Dan tepat sebelum mamaku bertanya lagi, aku buru-buru masuk kedalam rumah.
Didalam kamarku, aku mulai bertanya-tanya pada diriku sendiri. Kenapa aku begitu takut dengan Galih? Apa yang dia punya yang aku tidak tahu? Ketakutanku dengannya jelas-jelas tidak masuk akal. Badanku lebih tinggi dan besar dibandingkan Galih. Jadi untuk apa aku takut padanya? Untuk apa? Arrgggggh! Menyebalkan! Galih juga tidak pernah berbuat yang aneh-aneh. Tapi perasaan takut, cemas dan khawatir jika didekat Galih ini apa artinya?
Tok tok tok
Hmm, aku segera meletakkan komik onepiece ku-padahal kalian tahu aku tidak membacanya dari tadi dan segera bergegas ke pintu. Deg, Galih.
“Tadi Aden kemana?” pertanyaan itu wajar, namun entah mengapa bulu kudukku jadi meremang.
“Tadi nyari perlengkapan sekolah dulu mas. Maaf engga sempat ngabarin.” Galih hanya mengangguk ringan sebelum akhirnya kembali ke pekarangan depan. Aku menutup pintu dan menarik nafas lega. Bahkan tanganku sampai berkeringat dingin. Sudahlah, jika aku sudah mulai latihan karate mungkin rasa takutku ke Galih bisa aku kurangi. Mungkin.
***


Dulu, aku mencintai hari Minggu. I love Sunday. Tapi sekarang tidak lagi, semenjak ada Galih. Bayangkan saja, kalian akan bertemu dengan orang yang membuat kalian phobia dalam intensitas waktu yang jelas lebih lama. Sejak kejadian aku menabrak Galih, papaku melarangku untuk berpergian kecuali ditemani seseorang. Dan keputusan papa ini membuatku gila dan merasa dicurangi. Ini tidak adil! Itu hanya sebuah kecelakaan! Dan kebebasanku direnggut gara-gara kecelakaan yang pastinya tidak aku sengaja.
Aku membolak-balik semua koleksi komik dan majalah yang aku punya. Haah, semua sudah aku baca! Jenuh sekali aku di kamar seharian. Namun jika aku keluar kamar ada kemungkinan aku akan berpapasan dengan Galih. Dan hal ini jelas sangat aku hindari. Berbagai teori telah aku pikirkan dan aku masih belum menemukan teori yang tepat atas ketakutanku dengan Galih. Galih menghormatiku. Itu pasti, dia selalu memanggilku ‘aden’, tidak peduli ada orangtuaku atau tidak. Sikapnya, cara dia menatapku sama sekali tidak ada yang aneh. Namun tetap saja, aku ketakukan setiap kali bertemu dengannya atau bertatapan mata dengannya. It’s so fucking annoying!!
Drrt drrt drt
Aku menoleh dan mengambil smartphoneku yang terletak di meja samping ranjangku. Hendra.

Tmenin ke tko bku.
Aku berpikir sejenak sebelum membalasnya.
Ok, gw jmput lo

Tidak butuh waktu lama hingga Hendra mengiyakan balasanku lewat sms. Aku segera bergegas kedepan untuk meminta ijin pada orangtuaku. Berharap aku diperbolehkan membawa mobilku lagi. Mobilku tidak mengalami kerusakkan yang berarti, bahkan bisa dibilang sangat sehat. Tidak terdapat lecet juga, benar-benar dalam kondisi yang sangat sempurna.
“Pa, Ma, Seno ijin ke toko buku bareng Hendra.” Kataku tepat setelah duduk disamping mamaku.
“Ya, kamu bilang ke Galih gih biar dianterin.” Ucapan Mamaku ini membuat bola mataku berputar tanpa kendali. Demi Tuhan!
“Seno kan bisa bawa mobil sendiri Ma.”
“Dan nabrak orang lagi?” sejak kapan papaku menjadi sarkas begini?
“Kamu diantar Galih atau tidak pergi sama sekali.” Aku memutar bola mataku sekali lagi sebelum akhirnya beranjak kebelakang untuk mencari Galih. Ya Tuhan, aku seperti pangeran yang dibuang dan dicopot gelar pangerannya. Dulu aku dimanja, apapun yang aku minta selalu di iyakan. Sekarang? Aku seperti dikekang.
Aku mengetuk kamar Galih. Dulunya ini gudang karena memang tempat ini tidak terpakai. Sekarang? Sudah disulap menjadi kamar yang nyaman oleh Galih tentu saja. Ketukanku sepertinya tidak diindahkan atau memang Galih tidak sedang berada di kamarnya? Tidak mungkin! Jam segini, hari Minggu dia pasti masih tidur. Setidaknya aku tahu pasti tentang kebiasaannya yang satu ini. Dia memang ditugaskan khusus untuk menjadi sopir pribadiku. Jadi Minggu adalah waktu dia bersantai karena aku tidak sekolah. Lagipula, aku berangkat ke gereja bersama Papa dan Mamaku.
Aku membuka pintu kamar Galih. Tidak dikunci. Penasaran juga dengan isi kamarnya. Siapa tahu ternyata dia menyimpan banyak mayat disini yang dibekukan? Atau dijadikan eksperimen gila? Terlalu banyak nonton film! Kamar ini gelap, jelas karena kordennya saja belum dibuka. Setelah aku menutup pintu aku berjalan pelan sambil meraba-raba untuk menuju ke jendela dan menyingkapkan korden yang menutupinya. Kamar Galih seketika terang benderang dan membuatku terkesiap.
Tidak, Galih tidak sedang menyembelih orang atau memutilasinya. Tidak! Khayalan kalian terlalu tinggi! Tidak ada yang aneh dengan kamar Galih. Mungkin ini juga menjadi salah satu hal yang tidak aku mengerti. Galih begitu ‘normal’, namun mengapa aku begitu takut padanya?
Dia sedang tertidur, tanpa busana kalau kalian ingin tahu. Ini yang sempat membuatku terkesiap tadi. Dia memakai selimut tentu saja, hanya saja selimutnya sudah turun hingga lutut. Dan yang aku lihat jelas bukan pemandangan mengerikan. Ehm, menggiurkan kalau aku boleh sedikit jujur. Dia tidur telentang dan itu membuat semua bagian depan tubuhnya terekspos dengan gamblang. Termasuk perkakasnya yang sedang terkena serangan fajar. You know that I mean. Dia memiliki struktur tubuh lelaki dewasa. Dadanya bidang dengan sedikit bulu-bulu halus disana. Perutnya rata walaupun tidak ada enam pack terpampang disana. Dan ‘itu’nya tengah berdiri dengan tegak. Tidak sebesar punya Herry memang, standart. Tapi tetap saja, aku ini gay! Dan gay mana yang tidak tertarik melihat pemandangan tersebut? Galih termasuk memiliki wajah yang tidak bisa disebut standart, walaupun dia juga tidak bisa dibilang sangat tampan.
“Den Seno?” aku langsung tergagap. Suara Galih parau, apalagi dia baru bangun tidur. Suara seraknya membuat aku seketika langsung merinding. Aku ketakutan! Entah kemana larinya nafsuku tadi yang sempat terbesit ketika melihat tubuh Galih terpampang nyata tanpa busana. Galih bangkit berdiri dan menarik selimutnya agar menutupi kemaluannya.
“Ada perlu apa den?” Ya Tuhan, buka mulutku! Kenapa kerongkonganku terasa kering? Apa yang terjadi denganku?
“Den Seno? Aden tidak apa-apa?” aku akhirnya bisa mengangguk.
“Minta dianterin ke toko buku mas.” Mulutku akhirnya bisa dibuka juga.
“Iya den, saya mandi dulu kalau begitu.” Aku mengangguk cepat sebelum akhirnya keluar dari kamar Galih. Aku butuh udara segar!!
Sambil menunggu Galih selesai mandi aku menuju kamar eyang. Sudah lama aku tidak mengobrol dengan eyangku itu. Beliau memang lebih sering di kamar sekarang. Kondisi tubuhnya kurang baik.
“Eyang?” setelah mengetuk pintu kamar eyang, aku melongokkan kepalaku dan disambut senyum hangat eyangku.
“Sini putuku sing bagus dewe.” Aku tersenyum kecil. Ya iyalah ganteng sendiri, kan emang aku cucu satu-satunya.
“Seno kangen eyang.” Kataku sembari tidur disamping eyangku. Eyangku membelai-belai rambutku dengan perlahan.
“Mau eyang dongengin?” Aku mengangguk. Aku ingin menjadi anak kecil lagi. Tapi bukankah aku memang masih kecil? Aku baru sunat lho.
Telingaku mulai dibuai oleh tutur kata eyang yang lembut. Khas eyang kalau sedang mendongeng. Cerita tentang eyang buyut. Aku sedikit terlonjak, teringat mimpi yang sudah cukup lama. Ular yang berubah jadi eyang buyut itu. Kata eyang sih, sewaktu muda eyang buyut itu cakep banget. Sayang kecakepannya tidak menurun ke anak-anaknya. Apalagi cucu-cucunya. Papaku bukan berarti tidak ganteng, hanya saja gantengnya papaku tuh standar banget. Untunglah wajahku 100 persen nurun dari mama.
Eyang masih membelai rambutku dan sedikit demi sedikit mataku mulai terpenjam dan aku secara sadar atau tidak sadar seperti melihat foto eyang buyutku yang dikamar eyang menangis. Aku membuka mataku lebih lagi. Menguceknya secara perlahan. Foto itu normal, tidak ada yang aneh. Apa hanya khayalanku saja?
Aku baru saja mau menanyakan eyang buyut meninggal karena apa, tapi tidak jadi karena papaku tiba-tiba muncul dan memberitahu kalau Galih sudah menunggu di depan. Haah, kasihan Hendra juga sih yang sudah menunggu terlalu lama.



Bersambung . . .

1 komentar:

leave comment please.