“Mobil
barumu Sen?” Tanya Hendra penuh kekaguman. Aku dan Hendra sedang menuju
alun-alun. Rencananya, aku bakal traktir dia Bakso sambal setan. Rumornya sih
rasanya mantap, apalagi sambalnya, setan abis!
“He eh,
gimana? Keren kan? Bangga kan elo jadi penumpang pertama?”
“Weleh,
aku sing pertama iki Sen? Wuih, mantep!” jujur, aku juga tidak bisa melepaskan
senyum ini dari bibirku. Faktanya, pertama aku punya mobil baru, kedua Herry
masih peduli padaku. Yah, walaupun dia menanyakan kabarku secara sembunyi-sembunyi.
“Sambalnya
emang setan!” Kataku sambil kembali menyeruput es tehku. Tepatnya es teh
ketigaku.
“Hahaha,
tapi bikin nambah. Uhh ahh uhh ahh.” Aku tertawa sendiri melihat tingkah Hendra
yang kepedesan. Anganku jadi melayang ke seseorang. Herry. Dia pasti rakus
sekali kalau sedang makan bakso. Mungkin bisa nambah bermangkok-mangkok.
Bibirnya yang bakal merah karena kepedasan, keringatnya yang mengalir karena
kepanasan dan cara dia melapnya yang laki banget. Aku merindukannya. Aku
merindukan pacarku.
“Sen,
enggak dihabisin punyamu?” aku tergugah dari lamunanku tentang Herry.
“Bentar
lagi Hend. Pulang yok, udah sore ini.”
“oke.”
***
Aku masih
berdiri disini dan tidak tahu aku mesti ngapain. Mau mengetuk pintu tanganku
terasa berat, namun untuk pulangpun rasa-rasanya kakiku seperti diganjal
berton-ton baja. Ketok enggak ya? Ketok? Enggak? Ketok? Enggak?
“Lho Mas
Seno? Lagi ngapain Mas?” aduh, malunya ketahuan sama ibunya Herry.
“Ini bu
nyariin Herry.”
“Herry
baru aja berangkat ke kali tuh mas! Mau mandi, air PAMnya lagi mati. Yuk
ditunggu didalam saja. Atau mau nyusul?” bayangan melihat Herry tengah mandi
memang mengasyikkan, namun aku memutuskan untuk menunggu disini saja. Aku juga
toh baru pertama ke kali kedu. Takutnya ntar nyasar lagi.
“Monggo-monggo
mas, nyusun sewu lho tempatnya kotor dan sempit.”
“Aduh,
engga kok bu. Tempatnya nyaman.”
“Mas Seno
mau minum apa mas? Kebetulan Ibu tadi lagi bikin wedang ronde.” Dahiku
mengernyit. Papa sering sih bilang wedang ronde wedang ronde gitu, tapi aku
belom pernah nyoba. Pengen sih, tapi engga ah. Tubuhku lagi engga fit ntar kena
minuman yang belom pernah aku minum bisa berulah perutku.
“Teh aja
Bu kalo ada. Maaf ya Bu ngrepotin.” Dasar tidak tahu malu! Biarin ah! Toh sudah
ditawari ini tadi kok. Ibunya Herry ternyata banyak cerita. Bikin aku engga
mati gaya. Mulai cerita masa kecilnya Herry, trus cerita-cerita misteri di
kampung ini. Bener-bener deh! Serasa didongengin!
“Lho
Seno?” aku tidak menyadari kehadirannya. Sungguh, karena jika dia tidak
bertanya seperti tadi aku tidak sadar jika Herry sudah pulang. Terlalu terbuai
dengan cerita misteri tadi.
“Udah
lama?” tanya Herry lagi.
“Lumayan.”
Jawabku singkat.
“Ooh, ke kamarku
aja yok.” Setelah permisi sebentar dengan ibunya Herry aku mengekor Herry dari
belakang dengan diam. Aku dan Herry sama-sama diam.
Hmm, ini
pertama kalinya aku masuk kedalam kamarnya Herry. Tidak sesuai dugaanku, kamar
Herry sangat rapi. Aku memilih duduk di kursi meja belajarnya. Mengamati Herry
yang tengah melepas handuknya dan berganti baju. Dia tetap sama. Tubuhnya masih
semenggiurkan pertama kali aku melihatnya. Tititnya agaknya bertambah besar
sedikit. Mungkin. Atau karena dia sedang agak tegang? May be.
“Ono
perlu opo Sen?” aku menggeleng pelan.
“Enggak
ada. Cuma kangen kamu aja.” Kataku jujur. Buat apa aku tengsin untuk mengejar
cinta Herry? Mulai sekarang aku hanya ingin Herry tahu bahwa aku menyayanginya
tulus. Herry mengambil nafas panjang.
“Kenapa
bisa kangen?” akhirnya dia bertanya. Aku mendongakkan kepalaku. Menatapnya
sedalam yang aku bisa sebelum akhirnya Herry memalingkan wajahnya.
“Aku juga
engga ngerti. Wajahmu selalu manari-nari di ingatanku, sekeras aku berusaha
cuek ke kamu, sekeras itu pula bayangmu muncul kembali. Aku tak pernah
mengharapkan kamu akan melabuhkan lagi hatimu untukku Her, aku pelan-pelan
membunuh harapan itu. Pelan-pelan membunuh perasaanku. Dan aku tak bisa. Ini
puncaknya, aku kangen kamu.” Aku dengan jujur mengakui bahwa kalimat tadi
adalah hasil dari mencontek sebuah novel yang aku lupa judul dan pengarangnya.
Gila ya, uda ngopy lupa pula judul dan pengarangnya. Keterlaluan sekali.
Herry
mendekatiku, aku menyadari itu. Dia memelukku dari belakang hingga aku larut
dalam dekapannya.
“Aku juga
kangen kamu. Tapi aku enggak bisa lagi sama kamu.”
“Kenapa
Her?” aku merasakan dekapan Herry yang semakin erat. Bibirnya yang menciumi
rambutku.
“Kamu
engga perlu tahu alasannya. Kamu mau janji satu hal sama aku?”
“Janji
apa Her?”
“Janji
kamu bakal bahagia walau tanpa aku.” Aku merasakan puncak rambutku basah. Herry
menangis? Kenapa? Pelan aku menolehkan wajahku dan semakin tidak mengerti.
Ekspresi terluka dan kalah tergambar jelas di mata Herry. Bukannya yang terluka
seharusnya aku? Statusku sekarang sudah jelas. Aku bukan pacar Herry lagi. Aku
bangkit berdiri dan memeluk Herry seerat yang aku bisa.
“Bahagiaku
itu bahagiamu.” Kataku pelan sebelum keluar dari kamar Herry. Aku melarang
keras diriku sendiri untuk menangis. Ini bukan akhir dari segalanya, aku tahu.
Tapi aku mencintainya dan aku juga sangat tahu dia mencintaiku!
Aku
melajukan mobilku secepat yang aku bisa. Aku hanya ingin cepat tiba di rumah.
Mandi, lalu tidur dan melupakan semuanya. Air mataku mulai menitik satu demi
satu hingga akhirnya jebol dan membanjiri pipiku. Ya Tuhan, aku benar-benar
kehilangan dia sekarang. Dia melepaskanku! Dengan sekenanya aku mengusap air
mataku. Pandangan mataku yang buram membuatku tidak melihat ada seseorang yang
tengah menyebrang. Begitu aku menyadari, sudah sangat terlambat untuk menginjak
rem.
***
Aku masih
panik sendiri. Mondar-mandir di depan ruang ICU. Aku sudah menghubungi kedua
orangtuaku. Tuhan, apa yang aku lakukan tadi? Menabrak orang! Selamatkan orang
itu ya Tuhan! Please!
“Seno,
nak kamu enggak apa-apa sayang?” ibuku yang baru saja datang langsung
memelukku. Tempat tadi sepi, tidak ada orang sama sekali. Aku juga sempat
kebingungan sebelum akhirnya membopong orang tadi dan membawanya ke rumah sakit
dengan mobilku. Aku tidak mungkin meninggalkannya. Konsekuensinya jelas,
mungkin bisa saja aku dipenjara. Walaupun tidak ada saksi mata.
Akhirnya
salah satu dokter yang menangani orang yang aku tabrak tadi keluar.
“Keadaan
pasien bagaimana dok?”
“Tidak
ada luka serius. Hanya saja beberapa tulang rusuknya ada yang retak. Dia masih
muda, pasti akan cepat pulih. Nanti dia sudah bisa dipindahkan ke kamar inap.”
Aku bisa bernafas lega sekarang. Dengan rasa takut-takut aku dibelakang papaku
masuk kedalam ruangan tempat pasien. Pasien itu melihatku dan papaku lalu
tersenyum. Dia tersenyum? Padahal aku sudah menabraknya! Bisa saja dia
meninggal atau mungkin cacat!
“Terima
kasih sudah membawa saya ke rumah sakit.” Aku hanya tersenyum kecil. Apalagi
yang bisa aku lakukan selain ini untuk menebus kesalahanku?
“Saya
tidak akan membawa kasus ini kejalur hukum jika. . .” Deg. Dia akan meminta uangkah?
Memeras papa dan mamaku? Apakah dia sudah tahu kalau yang menabraknya adalah
cucu satu-satunya keluarga Prawiro?
“Tidak
ada saksi mata. Omongan anda akan dianggap ngawur kalopun anda melaporkan ini
ke polisi.” Pasien itu melihat ke arah Paman Pri dan terlihat sedikit terkejut.
“Pak Pri,
putra dari Prawiro?”
“Jangan
macam-macam dengan keponakanku.” Setelah mendengar nada sarat ancaman dari
Paman Pri, baru pasien itu menoleh ke arahku. Memperhatikanku dengan seksama
dan sangat teliti.
“Keponakan
yang manis dan tampan, saya juga salut dengan keberaniannya. Saya yakin anda
tidak ingin dia terkurung dalam jeruji besi kan?” aku hanya bisa menelan ludah.
Bukankah aku masih dibawah umur? Aku tidak mungkin dipenjara kan? Apakah
kenyataan kalau aku tidak mempunyai SIM juga akan semakin memberatkanku?
“Apa mau
anda?”
“Saya
ingin bekerja untuk keluarga anda setelah saya sembuh. Jadi sopir, tukang kebun
atau apa saja.” Papa dan Paman Pri saling bertatapan sebelum akhirnya Papa
mengangguk. Orang ini aneh, kenapa sebegitu inginnya dia bekerja untuk paman
Pri atau Papa? Ah, masa bodoh. Yang penting orang ini akan sembuh kan? Dia
tidak akan cacat kan? Aku tidak bisa membayangkan jika orang yang aku tabrak
ini mengalami kecacatan. Beban mental yang akan aku tanggung.
***
Akhir-
akhir ini aku jadi pendiam. Hendra, bahkan papa dan mamaku dan semua orang di
rumah pun menyadarinya. Putus dari Herry mungkin adalah salah satu penyebabnya.
Namun bukan hanya itu. Galih-pemuda yang aku tabrak beberapa waktu lalu sudah mulai
bekerja di rumahku. Sebagai sopir baruku tentu saja. Bagi papa, aku dinyatakan
belum layak untuk mengemudikan mobil sendiri-mengingat kejadian tempo hari
dulu, aku menurut saja, biarlah. Gara-gara kejadian kecelakaan tersebut. Apa
hubungannya sifatku yang menjadi pendiam dengan Galih? Entah, setiap kali aku
bertatapan dengannya ada rasa takut yang amat sangat. Aku juga tidak mengerti,
cara dia menatapku membuat aku bergetar ketakutan untuk alasan yang tidak aku
pahami. Aku tidak tahu!
“Sen,
kamu enggak istirahat?” aku menoleh sesaat ke arah Hendra lalu menggeleng.
“Aku
nitip es teh aja.” Kataku sambil merogoh sakuku dan menyerahkan selembar uang
lima ribuan kepada Hendra. Hendra menatapku sesaat sebelum akhirnya keluar
kelas. Aku kembali sibuk dengan catatanku, walaupun aku tahu pikiranku tidak
disana. Kenapa aku begitu takut dengan Galih? Aku tidak mungkin bisa begini
terus. Enggga bisa! Latihan karate? Untuk jaga-jaga! Mungkin rasa takutku
terhadap Galih bisa aku hilangkan jika aku mempunyai selfdeffense. Oke! Latihan
karate! Semoga hal ini dapat mengurangi rasa takutku terhadap Galih yang
terlalu berlebihan.
Sepulang
sekolah aku ditemani Hendra keliling untuk mencari tempat pelatihan karate yang
bagus. Aku sengaja tidak menunggu Galih. Persetan dengannya! Dia hanya
membuatku paranoid. Akhirnya setelah berkeliling, kita menemukan tempatnya
juga. Aku juga menyarankan Hendra untuk ikutan daftar, tentu saja aku yang
bayar. Aku tidak ingin sendirian. Setelah mengurus birokrasi yang cukup
ringkas, aku dan Hendra bisa mulai berlatih minggu depan. Satu minggu 3 kali.
Yaitu Senin, Jum’at dan Sabtu. Pulangnya kita naik angkot. Disini tidak ada
taksi kalau kalian ingin tahu.
Saat akan
memasuki rumah, aku mendapati mama yang tengah menyiram bunga di taman.
“Seno pulang
ma.”
“Lho,
kamu enggak dijemput Galih?” aku menggeleng. Dan tepat sebelum mamaku bertanya
lagi, aku buru-buru masuk kedalam rumah.
Didalam
kamarku, aku mulai bertanya-tanya pada diriku sendiri. Kenapa aku begitu takut
dengan Galih? Apa yang dia punya yang aku tidak tahu? Ketakutanku dengannya
jelas-jelas tidak masuk akal. Badanku lebih tinggi dan besar dibandingkan
Galih. Jadi untuk apa aku takut padanya? Untuk apa? Arrgggggh! Menyebalkan!
Galih juga tidak pernah berbuat yang aneh-aneh. Tapi perasaan takut, cemas dan
khawatir jika didekat Galih ini apa artinya?
Tok tok
tok
Hmm, aku
segera meletakkan komik onepiece ku-padahal kalian tahu aku tidak membacanya
dari tadi dan segera bergegas ke pintu. Deg, Galih.
“Tadi
Aden kemana?” pertanyaan itu wajar, namun entah mengapa bulu kudukku jadi
meremang.
“Tadi
nyari perlengkapan sekolah dulu mas. Maaf engga sempat ngabarin.” Galih hanya
mengangguk ringan sebelum akhirnya kembali ke pekarangan depan. Aku menutup
pintu dan menarik nafas lega. Bahkan tanganku sampai berkeringat dingin.
Sudahlah, jika aku sudah mulai latihan karate mungkin rasa takutku ke Galih
bisa aku kurangi. Mungkin.
***
Dulu, aku
mencintai hari Minggu. I love Sunday. Tapi sekarang tidak lagi, semenjak ada
Galih. Bayangkan saja, kalian akan bertemu dengan orang yang membuat kalian
phobia dalam intensitas waktu yang jelas lebih lama. Sejak kejadian aku
menabrak Galih, papaku melarangku untuk berpergian kecuali ditemani seseorang.
Dan keputusan papa ini membuatku gila dan merasa dicurangi. Ini tidak adil! Itu
hanya sebuah kecelakaan! Dan kebebasanku direnggut gara-gara kecelakaan yang
pastinya tidak aku sengaja.
Aku
membolak-balik semua koleksi komik dan majalah yang aku punya. Haah, semua
sudah aku baca! Jenuh sekali aku di kamar seharian. Namun jika aku keluar kamar
ada kemungkinan aku akan berpapasan dengan Galih. Dan hal ini jelas sangat aku
hindari. Berbagai teori telah aku pikirkan dan aku masih belum menemukan teori
yang tepat atas ketakutanku dengan Galih. Galih menghormatiku. Itu pasti, dia
selalu memanggilku ‘aden’, tidak peduli ada orangtuaku atau tidak. Sikapnya,
cara dia menatapku sama sekali tidak ada yang aneh. Namun tetap saja, aku
ketakukan setiap kali bertemu dengannya atau bertatapan mata dengannya. It’s so
fucking annoying!!
Drrt drrt
drt
Aku
menoleh dan mengambil smartphoneku yang terletak di meja samping ranjangku.
Hendra.
Tmenin ke tko bku.
Aku
berpikir sejenak sebelum membalasnya.
Ok, gw jmput lo
Tidak
butuh waktu lama hingga Hendra mengiyakan balasanku lewat sms. Aku segera bergegas
kedepan untuk meminta ijin pada orangtuaku. Berharap aku diperbolehkan membawa
mobilku lagi. Mobilku tidak mengalami kerusakkan yang berarti, bahkan bisa
dibilang sangat sehat. Tidak terdapat lecet juga, benar-benar dalam kondisi
yang sangat sempurna.
“Pa, Ma,
Seno ijin ke toko buku bareng Hendra.” Kataku tepat setelah duduk disamping
mamaku.
“Ya, kamu
bilang ke Galih gih biar dianterin.” Ucapan Mamaku ini membuat bola mataku
berputar tanpa kendali. Demi Tuhan!
“Seno kan
bisa bawa mobil sendiri Ma.”
“Dan
nabrak orang lagi?” sejak kapan papaku menjadi sarkas begini?
“Kamu
diantar Galih atau tidak pergi sama sekali.” Aku memutar bola mataku sekali
lagi sebelum akhirnya beranjak kebelakang untuk mencari Galih. Ya Tuhan, aku
seperti pangeran yang dibuang dan dicopot gelar pangerannya. Dulu aku dimanja,
apapun yang aku minta selalu di iyakan. Sekarang? Aku seperti dikekang.
Aku
mengetuk kamar Galih. Dulunya ini gudang karena memang tempat ini tidak
terpakai. Sekarang? Sudah disulap menjadi kamar yang nyaman oleh Galih tentu
saja. Ketukanku sepertinya tidak diindahkan atau memang Galih tidak sedang
berada di kamarnya? Tidak mungkin! Jam segini, hari Minggu dia pasti masih
tidur. Setidaknya aku tahu pasti tentang kebiasaannya yang satu ini. Dia memang
ditugaskan khusus untuk menjadi sopir pribadiku. Jadi Minggu adalah waktu dia
bersantai karena aku tidak sekolah. Lagipula, aku berangkat ke gereja bersama
Papa dan Mamaku.
Aku
membuka pintu kamar Galih. Tidak dikunci. Penasaran juga dengan isi kamarnya.
Siapa tahu ternyata dia menyimpan banyak mayat disini yang dibekukan? Atau
dijadikan eksperimen gila? Terlalu banyak nonton film! Kamar ini gelap, jelas
karena kordennya saja belum dibuka. Setelah aku menutup pintu aku berjalan
pelan sambil meraba-raba untuk menuju ke jendela dan menyingkapkan korden yang
menutupinya. Kamar Galih seketika terang benderang dan membuatku terkesiap.
Tidak,
Galih tidak sedang menyembelih orang atau memutilasinya. Tidak! Khayalan kalian
terlalu tinggi! Tidak ada yang aneh dengan kamar Galih. Mungkin ini juga
menjadi salah satu hal yang tidak aku mengerti. Galih begitu ‘normal’, namun
mengapa aku begitu takut padanya?
Dia
sedang tertidur, tanpa busana kalau kalian ingin tahu. Ini yang sempat
membuatku terkesiap tadi. Dia memakai selimut tentu saja, hanya saja selimutnya
sudah turun hingga lutut. Dan yang aku lihat jelas bukan pemandangan
mengerikan. Ehm, menggiurkan kalau aku boleh sedikit jujur. Dia tidur telentang
dan itu membuat semua bagian depan tubuhnya terekspos dengan gamblang. Termasuk
perkakasnya yang sedang terkena serangan fajar. You know that I mean. Dia
memiliki struktur tubuh lelaki dewasa. Dadanya bidang dengan sedikit bulu-bulu
halus disana. Perutnya rata walaupun tidak ada enam pack terpampang disana. Dan
‘itu’nya tengah berdiri dengan tegak. Tidak sebesar punya Herry memang,
standart. Tapi tetap saja, aku ini gay! Dan gay mana yang tidak tertarik
melihat pemandangan tersebut? Galih termasuk memiliki wajah yang tidak bisa
disebut standart, walaupun dia juga tidak bisa dibilang sangat tampan.
“Den
Seno?” aku langsung tergagap. Suara Galih parau, apalagi dia baru bangun tidur.
Suara seraknya membuat aku seketika langsung merinding. Aku ketakutan! Entah
kemana larinya nafsuku tadi yang sempat terbesit ketika melihat tubuh Galih
terpampang nyata tanpa busana. Galih bangkit berdiri dan menarik selimutnya
agar menutupi kemaluannya.
“Ada
perlu apa den?” Ya Tuhan, buka mulutku! Kenapa kerongkonganku terasa kering?
Apa yang terjadi denganku?
“Den
Seno? Aden tidak apa-apa?” aku akhirnya bisa mengangguk.
“Minta
dianterin ke toko buku mas.” Mulutku akhirnya bisa dibuka juga.
“Iya den,
saya mandi dulu kalau begitu.” Aku mengangguk cepat sebelum akhirnya keluar
dari kamar Galih. Aku butuh udara segar!!
Sambil
menunggu Galih selesai mandi aku menuju kamar eyang. Sudah lama aku tidak
mengobrol dengan eyangku itu. Beliau memang lebih sering di kamar sekarang.
Kondisi tubuhnya kurang baik.
“Eyang?”
setelah mengetuk pintu kamar eyang, aku melongokkan kepalaku dan disambut
senyum hangat eyangku.
“Sini
putuku sing bagus dewe.” Aku tersenyum kecil. Ya iyalah ganteng sendiri, kan
emang aku cucu satu-satunya.
“Seno
kangen eyang.” Kataku sembari tidur disamping eyangku. Eyangku membelai-belai
rambutku dengan perlahan.
“Mau
eyang dongengin?” Aku mengangguk. Aku ingin menjadi anak kecil lagi. Tapi
bukankah aku memang masih kecil? Aku baru sunat lho.
Telingaku
mulai dibuai oleh tutur kata eyang yang lembut. Khas eyang kalau sedang
mendongeng. Cerita tentang eyang buyut. Aku sedikit terlonjak, teringat mimpi
yang sudah cukup lama. Ular yang berubah jadi eyang buyut itu. Kata eyang sih,
sewaktu muda eyang buyut itu cakep banget. Sayang kecakepannya tidak menurun ke
anak-anaknya. Apalagi cucu-cucunya. Papaku bukan berarti tidak ganteng, hanya
saja gantengnya papaku tuh standar banget. Untunglah wajahku 100 persen nurun
dari mama.
Eyang
masih membelai rambutku dan sedikit demi sedikit mataku mulai terpenjam dan aku
secara sadar atau tidak sadar seperti melihat foto eyang buyutku yang dikamar
eyang menangis. Aku membuka mataku lebih lagi. Menguceknya secara perlahan.
Foto itu normal, tidak ada yang aneh. Apa hanya khayalanku saja?
Aku baru
saja mau menanyakan eyang buyut meninggal karena apa, tapi tidak jadi karena
papaku tiba-tiba muncul dan memberitahu kalau Galih sudah menunggu di depan.
Haah, kasihan Hendra juga sih yang sudah menunggu terlalu lama.
Bersambung
. . .
hot!
BalasHapus