FOLLOW ME

Sabtu, 23 November 2013

THE SERIES 12

Aku memaksakan tubuhku untuk bangun. Daripada nanti mamaku datang ke kamarku dan membangunkanku dengan cara biadab, aku lebih memilih untuk memaksa diriku sendiri untuk meninggalkan ranjang nyamanku. Oh, I hate Monday. I already knew it.
Setelah aku siap, aku segera beranjak ke ruang makan dimana mama, papa, paman Pri, Lek Tien dan eyang sudah menantiku. Seperti biasa, aku memang selalu yang paling terakhir berada di meja makan. Sudahlah, aku tidak ingin berbagi alasannya dengan kalian. Menceritakan kepada kalian bahwa aku memang agak sulit bangun? Itu sama saja membeberkan aibku. Jadi aku tidak akan menceritakannya. Sungguh!
“Galih sakit, kamu nyetir sendiri ya?” Aku mendongakkan kepalaku ke atas dan menatap papaku tak percaya. Papa menyuruhku menyetir mobil sendiri? Yakin? Aku meraba telingaku sebentar, memastikan bahwa keduanya masih terpasang dengan benar disana. Maksudku, bukankah papaku sendiri yang dengan sangat keras melarangku menyetir mobil? Dan sekarang?
“Galih sakit pa? Sakit apa?” kenyataan ini lebih mengusikku. Ternyata Galih manusia juga. Dia bisa sakit, aku kira dia bandel hingga anti sakit. Analisaku salah.
“Badannya demam, mungkin karena kecapekkan. Gak papa kan kamu nyetir sendiri?”
“Iya pa.” Aku mengangguk. Entah kenapa aku kurang antusias. Nyetir sendiri, artinya aku tidak akan bisa memperhatikan Galih dari belakang. Mengamati tengkuknya yang seksi. Mencuri-curi pandang wajahnya dari kaca depan. Hah? Ada apa denganku?
Dengan lesu aku membawa mobilku lebih hati-hati. Aku tidak ingin menabrak orang lagi. Tidak. Amit-amit.
Aku memakirkannya tepat disamping mobil kepala sekolah. Sebelum meninggalkan lapangan parkir aku sempat melirik sinis ke arah mobilku. Bahkan mobil KepSek pun kalah mewah dari mobilku. Apa aku terlalu berfoya-foya? Apakah kehidupanku begitu glamor? Aku tidak merasa begitu, hanya saja di tempat ini aku merasa seperti ikan hiu yang terperangkap di kolam kecil. Semua orang tau tentangku, semua orang menghormatiku, semua orang tidak berani menentangku. Dan aku bosan.
Mungkin kalian menganggapku aneh, but seriously I need enemie! Aku butuh musuh! Seseorang yang berani menantangku, berani mengejekku. Ah, sudahlah itu tidak mungkin terjadi. Nama Prawiro terlalu berpengaruh disini.
Secara tidak sengaja aku berpapasan dengan Herry di koridor dan aku mengabaikannya. Lebih tepatnya, berusaha dengan keras mengabaikannya. Aku akui pesonanya masih sama seperti dulu. Bahkan mungkin lebih. Tapi aku harus meyakinkan diriku sendiri bahwa Herry telah mencampakkanku. Itu faktanya, itu kenyataannya. Demi Taufik! Okay, aku mungkin belum tahu kebenarannya. Namun jika ditilik dari hubungan keduanya yang semakin sering bersama, apa yang bisa aku simpulkan?
Beberapa kali aku memergoki mereka tengah bersama. Dan aku merasa di khianati oleh keduanya. Shit!
Tapi seberapapun aku berusaha membenci Harry, aku tidak bisa. Bayangan wajahnya masih menari-nari di benakku hampir sepanjang waktu. Senyum lepasnya, gaya bicaranya, sifat polosnya, gaya makannya. Hhh, aku hanya belum pernah bertemu orang yang sebebas itu. Demi Tuhan, aku masih mencintainya.
Dan yang lebih apes lagi, Hendra tidak masuk hari ini, congratullation to me! Aku bukannya kekurangan teman. Teman-teman sekelasku semua baik padaku, yah seperti yang kalian tahu karena aku cucu eyang Prawiro. Sedangkan Hendra? Dia bersikap apa adanya didepanku. Dia tidak pernah berpura-pura ramah didepanku. Dia berteman denganku tanpa topeng dan tanpa menjilat.
Aku mengikuti jalannya pelajaran dengan sangat bosan. Mungkin aku sudah sekarat saking bosannya.
***

Aku membawakan Hendra beberapa buah-buahan segar. Dia sakit, itu alasan kenapa dia tidak masuk hari ini. Galih sakit, Hendra juga sakit. Hmm.
“Wah, jadi ngerepotin Mas Seno niki.”
“Gak papa kok bu, Hendranya dimana bu?”
“Di kamar Mas, badannya panas. Uda ibu kasih obat tapi panasnya ndag turun.” Aku sudah hapal betul dimana letak kamar Hendra. Aku beberapa kali sering main kesini.
“Uda dibawa ke dokter bu?”
“Dereng mas.” Bu Kadarsih menjawab dengan agak malu-malu. Aku tahu, pasti karena masalah ekonomi. Hendra anak sulung dengan 2 adik yang masih kecil. SMP dan SD. Jadi Hendra harus sering mengalah. Mendahulukan kepentingan adik-adiknya dahulu.
“Hen. . .” baru kali ini aku melihat raut wajah Hendra yang pucat. Binar keceriaan sama sekali tak tampak di wajahnya walau dia berusaha tersenyum saat melihat kedatanganku,
“Koe tho Sen!” Aku mengisyaratkan Hendra untuk kembali berbaring saja, ketika dia berusaha untuk bangkit duduk. Aku memegang dahinya sesaat. Gilak, panasnya minta ampun. Aku segera keluar sebentar, mencari Bu Kadarsih yang sedang berada di dapur.
“Bu, Hendra di bawa ke rumah sakit saja. Panas banget tubuhnya, takutnya sakitnya bukan demam biasa.”
“Iya sih mas, tapi. . .”
“Ibu gak usah khawatir, ntar Seno yang urus administrasinya.”
“Bukan begitu mas, Hendra itu sudah merepoti mas Seno. Seragam, sepatu, diajak ke Jakarta. Ibu takut gak bisa balesnya Mas.”
“Bu, Hendra itu teman Seno. Seno juga gak ngarepin balesan apa-apa. Ya bu? Seno takut Hendra kena typhus atau demam berdarah.”
Akhirnya setelah agak berdebat, Bu Kadarsih mau juga membawa Hendra ke rumah sakit. Aku segera mengurus administrasinya, agar Hendra mendapat perawatan terbaik. Cukup mudah begitu mereka tahu namaku. Seperti yang kalian tau, derajat, harta, pangkat bisa membuat semua urusan cepat selesai. Indonesia, atau mungkin bahkan di seluruh dunia.
Seperti dugaanku, Hendra terkena typhus. Dia akan dirawat beberapa hari disini.
“Makasih Mas Seno, makasih. Ibu . . .”
“Uda bu, yang penting Hendra sembuh dulu.” Bu Kadarsih mengangguk. Aku membuang nafas sesaat. Dulu, mungkin jika aku dan Herry tidak pacaran dan putus begitu saja. Mungking, hanya mungkin kita bertiga masih akan terus bersama. Apa ini konsekuensiku karena terlalu memaksa Herry untuk jadi pacarku waktu itu?
Kasihan Hendra, dia bahkan belum tahu kenapa aku dan Herry tiba-tiba seperti orang asing. Namun mungkin aku tak kan menceritakannya, aku tak bisa kehilangan orang yang aku sayang lagi.
Setelah agak sore, aku pamit pulang. Bagaimanapun juga aku tidak ingin membuat mama dan papa khawatir. Aku menyempatkan untuk membeli buah-buahan lagi. Yang ini untuk Galih.
Aku menyenderkan kepalaku di atas stir. Apakah aku mulai jatuh cinta pada Galih? Apakah mungkin? Hh, aku tidak ingin terburu-buru menyimpulkan. Aku juga tidak ingin sakit untuk yang kedua kalinya.
***

Setelah beres mandi, aku pergi ke belakang, ke kamar Galih tentu saja. Kalian jangan berpikir kalau aku ingin mengintipnya lagi, aku hanya ingin menyerahkan buah-buahan yang tadi aku beli. Itu saja kok. Pintu kamar Galih terbuka dan aku melihat Lek Tukah sedang menyuapi Galih. Separah itu ya? Kok mama papa gak bawa Galih ke rumah sakit sih?
“Lho Mas Seno, mlebet tho mas.” Lek Tukah yang menyadari kehadiranku langsung mempersilakan aku masuk. Sedangkan Galih hanya menghadiahi aku senyum tipis. Galih ganteng. Titik.
“Iya Lek, ini Seno bawa buah-buahan buat Mas Galih.”
“Aden, maaf jadi ngrepotin.”
“Gak papa kok mas, tadi sepulang sekolah Seno sekalian beli.” Aku berdiri mematung. Hanya melihat Lek Tukah yang dengan teliti menyuapi Galih. Sepertinya Lek Tukah sudah menganggap Galih seperti anaknya sendiri. Apalagi terakhir ini Galih mengatakan kalau dia memang sudah tidak mempunyai sanak saudara sama sekali. Yang entah mengapa, aku tidak bisa mempercayai ucapannya. Entahlah, hanya saja kekikukannya semakin membuatku yakin jika dia memang tengah berbohong.
“Aduh, masakanku! Mas, tolong suapi Galih mas. Lek lupa belom masak buat makan malam.”
“Iya Lek.” Lek Tukah langsung bergegas keluar. Canggung. Itu yang aku rasakan.
“Uda Den, biar saya makan sendiri.” Aku tergagap.
“Gak papa mas, Seno suapin. Mas Galih masih lemas gitu.” Mungkin karena keadaannya yang memang masih lemas, Galih menurut saja.  Aku grogi, deg-degan. Saat suapanku sudah masuk ke mulut Galih dan entah mengapa dia tidak melepaskannya. Aku menatap matanya, dan fatal! Karena Galih juga tengah menatapku. Tatapannya sangat intim?
“Saya suka sama Den Seno.” Kata-kata itu meluncur mulus dari bibir  Galih dan membuatku tercekat. Dan tidak butuh lama hingga bibirnya menempel di bibirku. Melumatnya dengan sarat rindu. Dan aku. . . menikmatinya? Apakah itu artinya aku juga menyukai Galih?
Ciuman itu berakhir. Aku bersyukur tidak ada yang memergoki kami berdua, mengingat pintu kamar Galih yang masih terbuka lebar. Wajahku memanas dan aku yakin sudah semerah tomat rebus.
“Maafin saya den, saya gak bisa nahan diri.” Aku masih diam. Dan dengan diam pula aku tinggalkan kamar Galih begitu saja.
Aku bingung, aku tak tahu harus berbuat apa. Aku suka Galih? Sepertinya iya. Tapi aku masih mencintai Herry! Come on! Herry udah nendang lo! Ngapain lo masih ngarepin dia?
I know, I am just. . . . argggggggggh!! Let me die now!!
***

Untungnya, Galih masih sakit. Kenapa aku bilang untung? Aku hanya belom siap bertemu dengannya. Sejak kejadian dia menciumku, aku jadi terus memikirkan perasaanku untuknya. Aku akan move on. Aku janji pada diriku sendiri akan hal itu. Aku sudah menghapus semua foto-foto Herry dari handphone ku. Tapi belum dari laptopku. Okay, okay ini tidak adil. Tapi kan move on itu harus dilakukan secara bertahap. Betul tidak?
Oh God, aku jadi teringat peristiwa di kali kedu. Maksutku, aku bahkan belom pernah melihat Herry dalam kondisi ereksi!! Apa yang sedang aku pikirkan? Pikiran mesum macam apa ini?
Aku masih mengikuti jalannya pelajaran hari ini dengan malas. Aku tidak sabar menunggu jam pulang dan langsung tancap gas ke rumah sakit. Bagaimanapun juga, Hendra adalah salah satu orang yang bisa bikin aku membaik. Dia mood boosterku.
Hingga saat ini aku masih bersyukur atas kota ini yang anti macet. Berjalan dengan gontai di koridor rumah sakit dan sedikit risih dengan tatapan-tatapan ingin tahu di sekitarku.
Aku membuka kamar Hendra dan viola!! Ada Herry disana. Dia juga sama kagetnya denganku. Okay, it’s time to calm. Jangan sampai Herry berpikir kalau aku masih mengharapkannya. Cuih! BIG NO.
“Gimana Hend kondisi lo?” aku kentara sekali berusaha mengabaikan dan mengacuhkan makluk hitam manis yang jelas-jelas ada disitu. Tunggu, apa tadi aku bilang Herry itu hitam manis? Setidaknya kenyataannya memang begitu.
“Kata dokter besok uda boleh pulang Sen. Matur nuwun Sen. Aku berutang banyak sama kamu.”
“Uda lah, lo fokus buat sembuh aja dulu. Oke?”
“Sip bos!!” setelah itu aku dan Hendra terlibat obrolan yang seru. Lebih tepatnya, aku yang banyak cerita. Aku hanya tidak ingin menoleh ke samping dan melihat makluk yang sangat seksi dan juga masih aku cintai itu. Ingat, bahwa aku harus move on. Aku harus move on. Aku harus move on.
“Sen, aku pengen ngobrol mbek koe.” Deg. Ini pertama kalinya Herry mengajakku bicara. Aku menoleh, memasang wajah sekalem mungkin. Mungkin aku bakalan dapet Grammy.
“Ngobrol apaan?”
“Bisa ikut aku sebentar? Gak popo kan Hend, koe tak tinggal dhilit?” kata Herry yang ditujukan untuk Hendra. Aku menggeleng kuat-kuat, memberi isyarat agar Hendra berkata tidak. Harapanku kandas karena Hendra mengangguk dengan antusias. Mungkin Hendra berpikir bahwa aku dan Herry akan baikan dan tidak bakal musuhan lagi.
Sebelum keluar kamar, aku memelototi Hendra yang dibalasnya dengan cengiran lebar.
“Kantin?” tanya Herry tanpa menoleh ke arahku.
“Kantin rumah sakit? Mungkin kamu punya ide lebih buruk dari itu? Aku menyukai gagasan lain. Kantin pemakaman mungkin?”
Herry tertawa. Tawa yang sama yang dulu sangat memikatku. Sekarang pun masih sama, masih membuat dadaku bergemuruh tanpa kendali.
“Kita ke depan aja, make motorku aja. Biar gampang.” Aku mengangguk. Biar urusan ini cepat selesai, biar apa yang dia mau obrolkan ini cepat kelar. Dan aku bisa kembali fokus untuk move on.
Dia mengajakku makan nasi goreng. Enak, aku menyukainya. Herry memang tau cara menyenangkanku. Dari dulu. Seandainya. . . ah, sudahlah!
“Mau ngomongin apaan kamu?”
“Makan dulu aja. Aku gak buru-buru kok.” Aku mengunyah dengan geram. Mungkin kamu enggak buru-buru. Tapi aku jelas terburu-buru. Menghabiskan waktu yang lama dengan mantan pacar, ditambah lagi aku masih mencintainya itu hanya akan menimbulkan satu masalah. Harapan semu. Ya! Harapan kalau dia mau ngajak balikkan, harapan kalau dia ternyata masih cinta, dan aku tidak mau itu terjadi denganku. Tidak, terima kasih.
“Aku kangen kamu.” See? Tiga suku kata yang diucapkan Herry barusan mampu membuat aku berhenti mengunyah sebentar, mendongakkan kepalaku, menatap Herry dengan pandangan tidak mengerti. Apa maksut dari aku kangen kamu? Bukankah dia sendiri yang menyuruhku untuk bahagia walau tanpa dia?
Lalu sekarang apa? Dia ingin aku menampar diriku sendiri dari kenyataan bahwa aku sama sekali tidak bahagia tanpa dia? Seperti itukah? Kalau boleh jujur ya! Aku memang terlihat merana tanpa Herry dan apakah aku juga kangen Herry, jawabannya juga YA! Aku kangen Herry, aku kangen dipeluk dia, aku kangen mencium aroma tubuhnya.
“Makasih.” Kataku gugup dan pura-pura melanjutkan acara makanku. Aku tidak akan membalas dengan kata-kata, aku kangen kamu juga. Terlalu melodramatis. It’s real life.
Tidak banyak yang aku perbincangkan dengan Herry, hanya saja aku menikmati waktu bersamanya. Walau tanpa banyak mengobrol namun aku sangat bahagia? Aku tidak tau, aku seperti menemukan diriku yang dulu. Ah, entahlah.
Herry mengantarku hingga gang depan. Setelah aku turun secapat kilat dia mencium bibirku. Nafsu, rindu, hasrat berbaur jadi satu. Aku merasakan itu. Dia melepaskan ciuman kita setelah kurang lebih 10 menit. Nafasku dan nafasnya terengah-engah.
“Ake beneran kangen sama kamu. Aku hampir gila tanpa kamu.” Itu kata-katanya sebelum akhirnya wajahnya menjadi agak pucat. Aku menoleh dan kulihat ada Taufik disana. Kenapa?
Oh, apakah Herry takut terpegok selingkuh denganku? Ironis sekali. Bukankah mungkin mereka dulu yang selingkuh dibelakangku. Mungkin.
“Maaf, aku pulang dulu.” Dan tanpa menunggu jawabanku, Herry langsung tancap gas. Ada apa? Jika memang benar Herry dan Taufik mempunyai hubungan spesial dan Herry takut kepergok Taufik lalu kenapa ekspresi Herry berlebihan? Okay, mungkin hubungannya dengan Taufik akan putus atau apa-jika mereka memang mempunyai hubungan khusus. Namun ekspresi Herry tadi lebih ke takut? Dan kalah? Kenapa? Ada sesuatu yang tidak aku tahukah dibalik Herry yang mencampakanku begitu saja?
Dan Taufik terlibatkah?
Aku jadi teringat kata-kata Taufik yang menyuruhku untuk mengakhiri hubunganku dengan Herry. Dan beberapa hari kemudian, Herry bersikap aneh padaku. Tidakkah ini sangat berhubungan? Ya Tuhan! Apakah Herry diancam?
Aku melangkah dengan gontai.
“Darimana kamu dek sama Herry?” aku menatap Taufik sepintas dan menjadi muak karenanya. Aku membenci Taufik saat pertemuan awal kita dulu. Sepertinya, sekarang aku akan lebih membencinya.
Aku mengabaikannya dan tidak menjawab pertanyaannya. Aku benci Taufik, entah untuk alasan apa. Hanya saja, kemungkinan bahwa Herry diancam agar menjauhiku itu sangat besar. Maksutku, dari ciuman Herry tadi saja aku masih merasakan cinta yang begitu besar. Rasa mendamba dan rindu. Aku yakin itu.
Mama yang sedang berada di teras rumah memandangiku dengan heran. Aku juga jadi salting sendiri. Kenapa? Apakah bibirku bengkak karena ciuman tadi atau apa? Kenapa mama sampai memandangiku begitu?
“Mobil kamu kemana?” deng! Aku lupa! Masih di rumah sakit! Aduh emak!!



Bersambung . . .

4 komentar:

  1. Hei :)
    Well baru 2 hari ini aq ngenal blogmu n udah aq baca cerpen2 dari awal blog ini. Penilaian pribadi sih enjoy bgt n enak dbaca, ada kocaknya ada serunya ada harunya ada "panas"nya ada senengnya pokokna ada smua.
    Keep going yah..aq suka gaya penulisanmu yg mengalir n cukup detail itu plus ga ngebosenin ;)
    Klo bole bilang, sex scene/porn scene-nya dpertahanin aja, krn itu jd pelengkap jg. Lagian bahasa penyampaianmu enak kok n ga terkesan aneh/norak/murahan..I enjoy that :)
    Keep writing y, can't wait for the next chapter.
    Salam kenal ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oh God, thank you if you enjoy my story.

      Hapus
  2. Ga sabar nunggu kelanjutannya :)
    Keep up the good work nya ya..
    Semangat !

    BalasHapus
  3. Masih belom keluar yaa seri selanjutnya.....???
    Gak sabar kelanjutanya... :)

    BalasHapus

leave comment please.