FOLLOW ME

Sabtu, 26 Oktober 2013

THE SERIES 8

Aku sudah diperbolehkan untuk sekolah. Yah, sebenarnya aku sudah sangat bosan sekali di rumah, jadi aku mengatakan kalau aku sudah merasa mampu untuk berangkat sekolah. Burungku masih diperban jika kalian mau tahu. Masalah antara aku, Taufik dan juga Herry belum menemukan titik temu. Aku juga tidak tahu kalau ternyata Taufik mengompor-ngompori mama dan mengatakan jika Herry itu siswa kelas satu yang suka bikin rusuh dan juga bodoh. Okay, yang kedua aku nggak komentar tapi kalau yang pertama aku jelas tidak terima. Manusia kan diciptakan dengan kemampuan otak yang berbeda-beda. Wajar dong kalau mungkin Herry agak sedikit kurang dalam pelajaran? Kan bukan salah dia juga kan?
Namun untungnya mama tidak terprovokasi sama sekali. Menurut mama, Herry itu anak baik. Selain itu mama juga tidak mempermasalahkan IQ Herry yang tidak genap. Ha, pacaran kan harus menerima pacar apa adanya. Jiah, bahasanya. Namun aku sangat bangga dengan mamaku itu, pemikirannya sangat dewasa. Yah, memang usianya juga sudah dewasa sih.
“Gimana Sen? Udah sembuh?” Hendra menepuk pundakku dari belakang.
“Yah lumayan. Udah enakan kena celana.” Hendra Cuma meringas meringis aja. Bulusnya kayaknya dia pernah ngrasain apa yang aku rasain sekarang.
“Sekrang-sengkring gitu ya? Perbannya uda dilepas belom?”
“Uda diganti. Cuma masih belom boleh tanpa perban.”
“Pasti bengkak.”
“He’eh dan bentuknya jelek banget!” aku juga nggak ngerti. Sebelum disunat dulu, tititku unyu-unyu banget lho.
“Itu kan karena bengkak. Ntar kalau udah sembuh total bakal balik lagi kok. Santai.” Mungkin memang benar, ini hanya efek bengkak.
“Herry belom berangkat ya?” Hendra bertanya sambil meletakkan tasnya ke meja dan duduk dibangku sebelahku.
“Kayaknya sih gua belom liat dia dari tadi. Kaga masuk kali.”
“Herry? Nggak masuk?” aku dan Hendra saling pandang sesaat kemudian saling menggeleng-gelengkan kepala sendiri. Herry memang agak kurang cepat menangkap materi yang diberikan oleh guru, namun bukan berarti dia pemalas. Setahuku, Herry belom pernah absen tidak masuk kelas, kecuali kalau dia membolos bersamaku dan Hendra. Itu tidak masuk hitungan kan? Lagipula itu termasuk dalam hitungan cuti bersama, versi kami bertiga tentu saja. Kalian kan tahu, pelajar tidak memiliki hak cuti bersama. Menyebalkan.
Ternyata Herry memang tidak masuk. Sudah setengah delapan dan guru yang mengajar pun sudah berkumandang dari setengah jam yang lalu. Aku khawatir, tidak biasanya Herry tidak masuk tanpa mengabariku atau Hendra. Pikiran-pikiran buruk bahwa Herry mungkin saja kecelakaan atau apa sempat terlintas di otakku. Aku mengiriminya sms, terkirim tapi tidak dibalas. Akhirnya dengan menunduk dan meminta bantuan Hendra untuk sedikit menutupiku aku menelpon Herry.
Sial! Kenapa tidak diangkat coba? Aku yang tengah gusar dengan jalan pikiranku sendiri tentang apa yang tengah terjadi dengan Herry dibuat sedikit tersentak ketika Hendra menyenggol lenganku.
“Apa sih lo Hen?” aku mengangkat kepalaku dan mendapati tatapan sangar Bu Emi yang tepat dihujamkan ke dalam manik-manik mataku. Mampus gua!
“Arseno Erlangga Prawiro silahkan segera meninggalkan kelas dan temui saya saat jam istirahat.”
“Baik Bu.” Biasanya aku selalu berdebat dengan hukuman dan aku selalu menang. Tentu saja karena nama keluargaku, kali ini aku tidak minat. Lagipula aku bisa mencari Herry. Persetan lah dengan Bu Emi nanti! Itu bisa diatasi oleh Paman Pri! Aku segera mengirim sms pada Hendra agar dia nanti membawakan tasku kalau pulang nanti. Aku segera menuju parkiran dan menghidupkan mesin mobilku. Secara resmi memang aku belom dibelikan mobil oleh papa dan mama. Ini mobil eyang dan karena eyang hari ini tidak ada agenda keluar rumah, eyang menyarankan agar aku membawa mobilnya demi keselamatanku. Eyang memang lebay!
Jujur aku memang tidak begitu suka dengan mobil besar seperti ini. Merepotkan! Dan guncangannya kerasa banget kalau Cuma sendirian naikinnya. Pencarian pertamaku jelas ke rumah Herry. Satu yang aku syukuri, mobil besar ini muat masuk gapura kampungnya Herry. Segera aku parkirkan mobil ini di halaman rumah Herry yang cukup luas. Cukup ragu-ragu juga sih buat mengetuk pintu, namun akhirnya aku membulatkan tekad untuk mengetuk. (halah, bahasanya itu lho).
“Lho mas Seno? Ndak sekolah tho mas?” Ibunya Herry langsung bertanya begitu tahu tamunya adalah aku.
“Hemm, Herry ada bu?”
“Lho Herry sudah berangkat dari tadi pagi mas.” Eh? Herry berangkat sekolah? Tapi kenapa batang hidungnya sama sekali tidak tampak di sekolah tadi?
“Oh begitu bu. Kalo gitu Seno pamit dulu bu.”
“Lho iki piye tho? Herry mbolos ya mas?”
“Engga kok Bu, Seno yang telat bangun. Kirain Herry masih di rumah.”
“Oh gitu! Mas Seno iki ono-ono wae.” Aku hanya melempar senyum ringan menanggapi ucapan Ibunya Herry. Aku bingung! Mesti nyari kemana aku? Herry, kenapa sih sms ku nggak kamu bales sama sekali? Mending aku pulang! Tapi bagaimana kalau Herry kecelakaan di jalan? Secara itu anak kan kalau bawa motor suka ngasal. Moset ( Motor Setan). Gila, pacarku satu ini bikin aku khawatir setengah mampus! Aku harus mencari kemana? Alun-alun? Ya, sapa tau pacarku itu suntuk belajar terus nongkrong di alun-alun.
Segera aku melajukan mobilku ke alun-alun. Enaknya kota ini adalah bebas macet, mau pagi,  siang ataupun malam lancar jaya. Haha.
Ternyata nihil, Herry tidak berada di alun-alun. Oya, tempat pertama dia ngajak aku kencan! Pasti disana! Aku agak sedikit kencang melajukan mobilku. Mengabaikan goncangan tak nyaman ketika ban mobilku berciuman dengan lobang jalan. Dan hasilnya? Tetap Herry tidak tampak. Shit! Mendingan aku pulang sajalah. Kota sekecil ini kalau ada kecelakaan pasti langsung tersebar. Lagi pula aku juga sudah males balik ke sekolah, ketemu Bu Emi yang mau ngomel-ngomel? Engga ah, makasih!
Mamaku sedang merawat tanaman bunga-bunganya di depan ketika aku turun dari mobil dan langsung masuk rumah. Pikiranku kacau dan aku ingin tidur. Sedikit istirahat mungkin akan membantuku cepat relax.
***


Seharian kemarin aku sama sekali tidak mendapat kabar dari Herry, entah untuk apa alasan dia. Karena dia toh menghubungi Hendra. Dan Hendra lah yang mengabarkan kepadaku jika Herry baik-baik saja. Apa coba maunya si Herry? Aku juga sudah siap-siap marah ketika aku melihat Herry baru saja memasuki kelas.
“Her! Kamu kok. . .”
“Res, ijolan tempat duduk! Tak bogem koe nek ra gelem!” potong Herry tanpa mengindahkan ucapanku. Tukeran tempat duduk? Berarti Herry memilih untuk menjauhiku. Ada apa dengannya? Aku salah apa? Menjengkelkan! Aku perlu bicara dengan Herry! Harus.
Ketika istirahat pertama tiba, aku langsung menarik Herry tanpa mengindahkan Hendra. Aku membawa Herry ke halaman belakang sekolah, tempat yang biasanya jarang sekali dilalui oleh para siswa.
“Kamu kenapa sih?”
“Kenapa opo tho?” Herry menjawab dengan kalem. Sangat kalem sehingga membuatku tergoda untuk menonjoknya.
“Menghindariku! Mau kamu apa Her?”
“Gak mau opo-opo.”
“Aku kan pacarmu!” Aku sedikit lirih untuk kalimat ini. Takut ada orang lain yang mendengarnya.
“Pacar? Kan kamu yang maksa aku jadi pacarmu! Wes ah, aku mau balik ke kelas.” Shit! What’s wrong with him? Dia jutek amat.
Sepanjang pelajaran aku tidak bisa konsentrasi. Aku sekali lagi ingin tahu kenapa Herry menjadi sedingin freezer kepadaku, namun melihat kecuekkan dan betapa dinginnya tadi dia menyikapiku aku tidak mau lagi bertanya. Tengsin! Jadi satu-satunya solusi aku harus menyelidikinya sendiri. Tanpa sepengetahuan Herry tentu saja. Tengsin dong kalau ketahuan aku masih ngarep. Dia cuek, aku juga harus bisa pura-pura lebih cuek. Sebodo amat!
“Hen, yok kantin!” ajakku pada Hendra yang baru saja selesai merapikan catatannya.
“Oke, lha Herry diajak ora?”
“ENGGA USAH!!” aku memang sedikit berbicara agak keras. Bukan supaya Herry juga mendengarkannya, tapi aku memang agak kesal. Hendra hanya bisa mengikutiku dengan wajah heran. Heran melihatku yang bener-bener terlihat cuek dengan Herry, begitupun sikap Herry denganku. Namun bukan berarti aku cuek sedalam-dalamnya. Di luar aku cuek, namun didalam hati aku kangen banget sama Herry. Aku uring-uringan tentu saja. Namun itu semua tidak menyurutkan nafsu makanku. Hati boleh galo, tapi makan musti kudu harus tetap jalan!
“Koe ada apa tho sama Herry?”
“Nggak ada apa-apa Hen, santai aja.”
“Yakin? Lha kok kayak cuek-cuekkan gitu?” aku melirik Herry yang sengaja makan tidak jauh dariku.
“Mboh lah ra weruh!!” jawabku sedikit emosi. Hendra tertegun sesaat mendengar ucapanku.
“Tumben kamu pake bahasa jawa. Emang udah ngerti?”
“Ngerti sih ngerti tapi kalo mau ngomongnya aku agak belibet.”
“Herry ngelirik kita terus lho.” Kata Hendra sambil dagunya diangkat ke arah tempat Herry duduk.
“Biarin aja, engga usah digubris!” Mungkin aku sakit hati atau apa dengan kecuekkan Herry tadi. Pokoknya aku harus menyelidikinya. Ada apa dengan Herry? Kenapa tingkahnya jadi brengsek begitu?
“Sen, ngko kancani aku ya?” Hendra sedikit membuyarkan lamunanku.
“Kemana? Ngapain?”
“Nemuin kakak kelas, mau ngebahas soal HUT sekolah kita.”
“Hah? Sekolah kita ulang tahun? Kapan?” Aku mungkin hanya satu dari banyaknya kelas satu yang tidak tahu kalau sekolah ini mau ulang tahun sebentar lagi.
“Masih sekitar satu bulan lagi. Ntar aku itu mau ngambil pengumuman resminya. Sekalian kita mau bahas kelas kita mau nampilin opo gitu.” Aduh aku jadi ngerasa engga berguna banget jadi ketua kelas. Tapi beberapa hari ini kan aku emang enggak masuk jadi wajar lah aku kurang begitu ngerti situasinya.
“Ues, teko tenang Sen!! Aku kan wakilmu, berarti selama koe enggak masuk, semua udah aku handle kok!” Hendra emang wakil ketua kelas. Tapi dia juga termasuk anggota OSIS, sehingga wajar dia tahu lebih dulu event-event yang akan diadakan di sekolah dibandingkan aku.
“Oke, ntar aku suruh anak-anak jangan pulang dulu. Kita rapat sekalian mau nampilin apa, walo paling banter juga band!”
“Hampir semua kelas pasti ngluarin Band Sen! Jadi kalo bisa yang beda dikit lah.” Akhirnya aku dan Hendra ngobrol ngalur ngidul tentang konsep nanti. Bahkan aku jadi tidak sadar dengan mata Herry yang masih mengamati kita dengan seksama.
Ada tiga dari banyak pendapat yang memiliki suara tertinggi. Ada Band, Drama dan Tarian. Seru juga debat kayak gini. Karena sepuluh menit kemudian, Band resmi dicoret. Tinggal Tarian dan Drama. Engga butuh waktu lama untuk kita nentuin apa yang bakal kita tampilkan untuk HUT sekolah kita, apalagi kita masih kelas satu. Harus bisa tampilkan yang berbeda.
Kita memilih Tarian, terinspirasi dari iklan rokok di televisi, kita bakal gabungin tari warok, modern dance, street dance dan juga salah satu tari tradisional daerah sini. Konsepnya sudah dapat. Dan tanpa disuruh, banyak anak yang sudah mendaftarkan dirinya. Salut!! Karena setahuku anak-anak paling malas kalau disuruh tampil. Aku? Aku ikut bagian jadi penari. Hhh, sudahlah, pasti bakal menyenangkan nantinya. Sekalian bisa mengendapkan pikiranku sementara dari Herry. Karena dia memilih untuk tidak terlibat langsung.
***

Aku, Hendra dan Aris tengah berdiskusi dengan salah satu pelatih sanggar tari di kota ini. Rencananya, kita minta diajari tari warok. Kalo street dancenya kebetulan aku mempunyai video pelatihannya, dan aku sudah hafal diluar kepala gerakan-gerakannya. Lagian di kota sekecil ini, street dance pasti belum begitu booming. Paling yang mereka tahu hanya kuda lumping. Kita bakal mencampurkan dua jenis tarian ini.
Finnally, kita bisa juga ngebuat mas-mas ini mau mengajari kita dengan harga yang bersahabat. Karena ternyata teman-teman sekelasku menolak untuk menggunakan uangku. Jadi resmi ini menggunakan uang khas kelas. Sepulang sekolah kita latihan, hingga sore bahkan tidak jarang hingga larut. Memix musik yang bakal kita gunakan untuk tarian unik ini. Bahkan anak-anak sekelasku yakin kalau kelas kitalah yang paling beda. Karena lainnya rata-rata mengeluarkan band. Total tarian kita berdurasi 25 menit. Lumayan kan? Makanya kita butuh stamina yang cukup. Dan Herry? Hubunganku dan dia masih menggantung tidak jelas. Entahlah, aku tidak tahu. Aku akan berkonsentrasi pada masalah itu nanti. Jangan sampai mengganggu event ini. Aku udah excited banget pengen segera tampil.
Semakin hari gerakan kita uda kebentuk dan enak dilihat. Aku saja berdecak kagum melihat rekaman saat-saat kita latihan. Kebersamaan, kerjasama, disiplin waktu, benar-benar sesuatu yang tidak murah. Tinggal lima hari lagi, aku dan Hendra juga sudah sibuk membahas kostum. Karena kebetulan penarinya laki-laki semua, kita memutuskan kostum yang simple dan jauh dari kata ribet. Hahaha, aku kan bisa pamer otot-ototku yang sudah semakin jadi juga kulit putihku. Hahaha.
Mau tahu sesuatu? Aku adalah anak lelaki terputih disekolah ini! Tidak percaya? Itulah kenyataannya! Embel-embel bahwa aku adalah ‘anak ibu kota’- sepertinya mereka masih saja tidak bisa membedakan antara Tangerang dan Jakarta. Aku juga harus memakluminya. Bagi mereka aku dari dan besar di kota besar, maka enggak heran hampir semua gaya berpakaianku dicontek abis-abisan. Titik.
***

Aku tengah berkutat dengan laptopku diteras rumah. Melihat-lihat hasil rekaman saat kita latihan. Kadang aku tertawa sendiri, lalu kemudian wajah itu tanpa sengaja ke shoot. Herry. Desir kangen di dadaku semakin nyata. Sudah berapa hari aku tidak mengobrol dengannya? Padahal kita baru saja jadian. Dan tanpa aku tau demi alasan apa Herry mengabaikannku dan mencampakkanku begitu saja.
“Hei, anak mama kok bengong?” Mamaku menepuk pundakku dari belakang.
“Haha! Mama ngagetin aja! Seno engga bengong ma.”
“Kalo engga bengong trus ngapain? Nih, tadi Lek Tukah bikin kue kering lho. Mau nyobain engga?” aku memandangi toples kecil yang berada di tangan kiri mamaku. Berisi kue kering yang sepertinya enak untuk disantap.
“Bagi donk ma.” Mamaku langsung nyengir dan mengulurkan toples kecil itu agar mudah aku raih. Akhirnya mama juga jadi nanya-nanya tentang sekolahku. Dan dengan excited aku menceritakan tentang HUT sekolahku, dimana nantinya wali murid juga bakal diundang. Aku juga memperlihatkan rekaman-rekaman saat kita semua pada latihan.
“Keren lho! Gagah gitu tariannya. Itu si Herry kok jarang main kesini sekarang Sen?” aku tergagap sendiri dengan pertanyaan mamaku. Aku tidak mungkin menjelaskan yang sebenarnya. Karena aku juga tidak tahu alasan sebenarnya kenapa Herry menjauhiku begitu saja.
“Woey, tumben nih ibu dan anak kompakkan ngrumpi di teras.” Papa muncul dari pintu depan sambil membawa koran.
“Kata siapa Pa tumben? Kita kompak selalu ya Sen?” aku hanya meringis kecil mendengar perkataan mamaku dan segera duduk disamping papaku.
“Mana nih Pa mobilnya Seno? Seno kan udah sunat, udah sembuh malah! Tapi mobilnya engga dibeli-beliin juga!”
“Kata siapa belom dibeliin? Sini kamu ikut Papa!” aku berjalan mengekor dibelakang papaku. Papaku mengajakku ke halaman belakang, emang sih selama aku mengikuti pelatihan tari warok, aku jadi jarang memperhatikan lingkungan rumah eyang. Dan sekarang mataku benar-benar tidak percaya dengan apa yang aku lihat sendiri.
“Itu mobil Seno?” aku masih tidak mempercayainya. Sungguh. Toyota Camry keluaran terbaru dengan modif keren. Warna biru pulak. I love my first car!
“I love you Pa.”
“Jadi Cuma sama papa doang nih I love you nya.” Aku meringis kecil sebelum akhirnya memeluk mamaku yang cantik ini.
“Seno sayang mama.”
“Mama juga sayang kamu nak. Nih kuncinya, kamu cobain gih!! Dijaga ya sayang.”
“Pastinya donk mam!”
Dengan engga sabar aku segera masuk kedalam mobil baruku. Aku yakin mama dan papa sudah beliin mobil ini lama untukku. Memodifnya menjadi seperti ini engga cepat. Orangtuaku emang bener-bener ngerti gimana seleraku. Dengan hati yang masih kebat-kebit, aku melajukan mobilku ke rumah Hendra. Dia juga harus ikut ngrasain betapa happynya aku sekarang ini.
Namun senyumku pudar begitu tahu ada motor Herry didepan rumah Hendra. Ngapain Herry di rumahnya Hendra? Aku memutuskan untuk mematikan mesin mobilku dan pergi mengendap-endap tepat disamping rumah Hendra agar aku bisa menguping pembicaraan mereka. Lagipula, mereka kan belom ada yang tahu mobil baruku, jadi tidak akan menyangka kalau itu aku. Jadi deg-degan gini.
“Mosok Seno gak nakok ake kabarku sih Hen?”
“Lha emang ora kok Her! Lagian nopo tho koe musuhan mbek Seno?” Ha? Maksutnya apaan tuh? Jadi Herry ngarep aku nanyain kabar dia lewat Hendra gitu? Berarti dia masih ada feeling dong pastinya? Trus kenapa dia jauhin aku? Tanpa sadar aku jadi garuk-garuk kepala sendiri.
“Jahat banget tho Seno kiey!”
“Sing tegel kiey koe Her! Seno salah opo sih sampe koe cuek banget koyo gak kenal?”
“Urusan pribadi ah! Ues ya, aku balik dhisik! Suwun lho PR’e.”
“Yoh, ati-ati Her!” aku memastikan motor Herry sudah hilang dari pandangan sebelum aku akhirnya keluar dan mengetuk pintu depan rumah Hendra. Engga perlu menunggu waktu lama hingga akhirnya Hendra membuka pintunya dan memasang wajah bingung.
“Ono opo Sen? Tumben kamu main sini.”
“Ikut gua test drive!” kataku cepat sambil menarik tangan Hendra.


Bersambung. . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

leave comment please.