Permainan
kartu pun segera dimulai. Aku agak menelan ludah, seperti kata Revan tadi. Aku
memang lemah dalam main kartu. Entahlah, aku selalu unlucky dalam bermain
kartu. Selalu dapat kartu yang buruk. Seperti sekarang ini, belom apa-apa, aku
sudah kalah. Dengan terpaksa aku melepas satu sandal rumahku.
“Woiy,
apa-apaan tuh! Curang woiy!” Revan jelas tidak terima. Mungkin dia maunya aku
melepas bajuku.
“Heh,
kata lo tadi kan lepas apa yang gua kenakan. Lha sandal ini kan juga gua
kenakan, serah gua donk.” Akhirnya setelah berdebat agak alot, Revan terima
juga. Aku melirik yang lainnya. Hendra memakai jaket, kemeja, kaos dalam dan
celana pendek. Aman, setidaknya menelanjangi Hendra akan butuh waktu cukup
lama. Aku tidak berminat melihat Revan telanjang. Namun aku berharap dia lah
yang kalah. Karena permainan ini akan berakhir kalau ada salah satu dari kita
yang sudah telanjang bulat.
Galih?
Dia memakai kaos dan celana jeans panjang. Galih yang telanjang? Entah kenapa
aku tidak ingin hal ini terjadi. Aku seperti tidak ‘rela’. Entahlah, aku hanya
ingin aku yang melihat Galih polos tanpa busana. Permainan dilanjut. Dan hatiku
sibuk berdoa. Jelas aku tidak mau telanjang! Tapi nyatanya, yang menempel
ditubuhku tinggal boxer pendekku. Kalah dua kali lagi, maka penisku akan jadi
tontonan.
Aku sudah
deg-degan parah. Tinggal aku dan Galih. Kartu Revan dan Hendra sudah habis dari
tadi. Mata Revan nyalang, sepertinya dia uda engga sabar ingin melihatku dalam
balutan celana dalam saja. Skak! Kartuku jelek-jelek semua lagi! Satu hal yang
aku syukuri, aku tidak kalah. Ini pertama kalinya aku menang. Aku akui itu. Dan
sepertinya juga karena Galih yang sengaja mengalah. Galih langsung melepas
kaosnya dan-aku melirik Revan- membuat Revan menelan ludah beberapa kali. Sama
sepertiku. Badan Galih makin ‘jadi’. Entahlah, Galih jadi terlihat lebih seksi
dimataku.
“Oke, ayo
dilanjut lagi!” Revan tambah semangat! Yaiyalah, dia yang paling jago! Jadi
mengalahkan Revan itu mustahil! Ohhh, aku harap bukan aku dan Hendra yang
kalah. Tapi, Hendra juga sama jagonya dengan Revan. Buktinya dia masih
berpakaian lengkap. Yang artinya belom kalah sama sekali. Mulutku sibuk
komat-kamit. I mean, berdoa dalam hati ternyata kurang manjur. Jadi aku harus
lebih kenceng dalam berdoa. Jangan sampai aku kalah! That’s it! Arggh, salahku
sendiri yang masuk dalam kandang singa. Jelas tau kalau aku lemah main kartu
masih nekad ikut maen. Haduh.
Ternyata
aku memang sedang sial. Aku kalah! Telanjang sudah. Oke, fine! Tidak ada yang
mengejekku. Hendra bahkan mengagumi tubuhku. Revan? Dia hampir meneteskan air
ludahnya. Penisku memang bukan ukuran 17cm seperti di cerita-cerita gay pada
umumnya. Hanya 14cm, namun setidaknya aku masih 14 tahun. Oke, hampir 15. Dan
kemungkinan penisku akan bertambah panjang masih ada.
Galih?
Dia melirikku dan langsung menarikku keluar. Memakaikan bajuku kembali tanpa
mengindahkan protes yang keluar dari mulut comel Revan.
“Aden gak
bilang kalo lemah dalam main kartu?” Baru kali ini aku merasa Galih bertanya
sangat lembut padaku. What? What happen to me?
“Tadi
Revan juga uda bilang! Permisi mas, aku mau tidur.”
“Iya Den,
maaf saya tadi lancang.” Mendengar kata-katanya, aku berbalik dan sedikit
tersenyum padanya. Hal yang sangat jarang atau malah belum pernah aku lakukan.
“Makasih
mas.” Kataku singkat dan langsung masuk kamar. Bodohnya aku, mungkin karena
grogi atau apa, entahlah aku tidak tau. Namun yang aku masuki bukan kamarku
yang tadi buat main kartu melainkan kamar Galih. Mati gaya karena beberapa saat
kemudian Galih juga masuk kamar. Damn it! So fucking arggghhh. . .
“Aden
salah kamar?” Aku blingsatan.
“Engga,
malam ini mau tidur disini. Kamarku ada Revan, males.”
“Oh,
kalau begitu saya tidur di luar saja den.” Aduh, aku jadi enggak enak sendiri.
“Jangan
lah mas. Diluar dingin.”
“Tapi
Den, gak sopan kalo saya tidur sama majikan saya sendiri.” Aku mikir keras.
Seriusan nih ya, bukan karena aku ingin modus tidur seranjang dengan Galih.
Bukan, aku masih ada rasa takut dekat dengan Galih. Hanya saja ada rasa lain
yang lebih besar yang diam-diam sudah menyelinap dalam hatiku.
“Mas
tidur bawah aja, ada kasur tambahan kok di lemari. Ya? Seno takut tidur
sendirian.” Gilak! Aku gilak! Maksutku, aku mulai manja dengan Galih? Ya Tuhan!
“Iya
den.”
***
Aku tidak
bisa tidur. Mataku enggan terpejam. Aku melirik kebawah dan melihat Galih yang
sudah tertidur pulas disana. Lampu ranjang yang temaram semakin memperindah
parasnya. Sebenarnya siapa Galih? Tidakkah dia punya keluarga? Tidakkah dia
punya rumah? Aku tidak tau apa-apa tentang Galih. Aku sibuk ketakutan kepadanya
selama ini.
Benarkah
dia hanya pemuda kampung? Parasnya begitu tampan. Kulit coklatnya merata.
Seperti tanning. Atau sebenarnya dia hanya menyamar? Hasyah Sen! Pikiran lo
kejauhan! Tapi seriusan deh, warna coklatnya merata bahkan hingga ke penisnya.
Ingat? Aku pernah melihatnya telanjang. Dan, oh sudahlah. Lupakan. Aku hanya
tidak ingin mengingatnya. Warnanya yang kecoklatan, sedikit berurat. Dengan
bebuluan halus disana. Stop! Don’t remember it!
Mau tidak
mau, aku jadi melirik selangkangan Galih, yang untungnya memakai baju lengkap.
Urgghh, I can not handle this. Bobo ah!
***
Sebenarnya,
aku sudah bangun dari tadi. Hanya saja, aku masih pura-pura memejamkan mataku.
Bayangkan saja, Galih baru saja masuk ke kamar hanya dengan berlilitkan handuk.
Mungkin dia habis mandi. Lalu apakah aku akan bangun dan membuka mataku
kemudian kesempatan melihat Galih berganti pakaian jadi kandas? Tidak! Sayang
banget! Makanya, aku masih pura-pura tertidur.
Aku tau
ini sama halnya dengan mengintip. Aku tau ini tidak sopan. Tapi aku yakin kalau
kalian berada di posisiku seperti saat ini, kalian juga akan melakukan hal yang
sama. Tidak? Selamat, berarti kalian lelaki straight. Eh tunggu dulu, kalau
kalian straight buat apa kalian membaca cerita ini? Hah, aku melantur.
Galih
memang lelaki yang dewasa. Aku akui itu, tubuhnya juga sudah menunjukkan darah
kematangan. Darah kematangan? What the hell is that? Sudahlah, maksutku
lihatlah perut Galih yang rata. Mungkin bertekstur keras, aku akan mencoba
menyentuhnya suatu hari nanti, eh?
Dadanya
yang bidang dengan sedikit puting yang melenting. Sedikit puting yang
melenting? Gilak! Bahasaku makin kacau!
Mengapa
baru aku sadari sekarang? Galih begitu tampan?
“Den,
bangun den. Udah pagi.” Aku mengulet sebentar. Tentu saja pura-pura. Ingat? Aku
sudah bangun dari tadi, jadi aku juga sudah mengulet dari tadi.
“Jam
berapa mas?”
“Setengah
delapan den.” Aku mengucek mataku sebentar dan langsung berlalu ke kamarku.
Mandi, dan kemudian ikut sarapan bareng oma dan opa di ruang makan. Hari ini
kita rencana mau ke Ancol. Sayangnya, cerita di Ancol aku skip. Males sih, gak
ada bahan. Wkwkwkwk, dasar penulis abal-abal!
***
Hubunganku
dengan Galih entah kenapa makin dekat. Maksutku, aku yang makin sok akrab
dengannya. Galih? Sikap dia masih sama. Sopan dan jaga jarak. Oh ya, ini adalah
hari pertama di semester dua aku masuk sekolah. Seneng? Enggak juga. Karena
nanti aku pasti bakalan bertemu dengan Herry. Kalian pikir karena aku sekarang
sudah tidak lagi takut dengan Galih dan menganggap kalau Galih itu tampan,
berarti aku sudah move on? Tidak sama sekali. Aku masih sering memimpikan
Herry. Bagaimanapun juga, dia cute. Oke, oke, aku masih mencintai Herry. Aku
akui itu! Walaupun aku dan Herry pacaran tidak lebih dari sebulan, tapi aku
bukan orang yang gampang berpindah ke lain hati. Cukup sulit untuk move on dari
Herry. Apalagi, sekarang aku bakal tiap hari bertemu dia. Aahhh.
Taufik?
Sejak kepulanganku dari Jakarta, aku sudah melihatnya beberapa kali. Dan aku
mengacuhkan dia. Maksutku, kalau aku mengingat kejadian di toko buku tempo hari
yang lalu, aku jadi eneg liat Taufik. Munafik!
“Ntar
saya jemput jam berapa den?”
“Kayaknya
ntar pulang lebih awal mas. Ini kan baru hari pertama masuk. Ntar aku sms aja,
atau Mas Galih mau nunggu?” kataku sebelum turun dari mobil.
“Eem,
saya tunggu aja den.”
“Yakin?
Gak takut mati bosen ntar?”
“Mboten
den.” Kata Galih sambil tersenyum. Baru kali ini dia memberiku senyum semanis
ini. Dia semakin tampan saja.
“Seno
turun dulu mas.”
“Monggo
den.” Aku langsung turun dari mobil tanpa menunggu Galih yang akan membukakan
pintu untukku. Ironis ya, mobil yang dulu menabraknya sekarang malah dia setir
sendiri. Uuh, aku kangen nyetir mobil.
“Sen!”
Aku menoleh kebelakang dan sedikit surprise. Hendra dengan penampilan barunya.
Apa yang aku pikirkan selama ini memang tidak salah. Hendra keren! Kemaren,
kita potong rambut bareng, dan aku membelikannya beberapa seragam. Sepatu juga
iya. Karena sepatuku kegedean untuk Hendra. Dan viola! Dia keren! Terbukti
beberapa teman sekelas kita memuji penampilan baru Hendra.
“Lo jadi
artis sekarang!” Kataku sambil menepuk bahunya pelan.
“Haha,
tetep wae kalah mbek koe Sen!” aku tertawa pelan. Dan ketika aku menoleh ke
arah pintu. Ada dia. Herry. Ada sesuatu yang berubah dalam penampilannya. Dia
semakin cokelat. Bahkan lebih cokelat dari Galih. Agak hitam, tapi dia tetap
cute. Aku menatapnya tak berkedip. Ternyata aku masih merindukannya. Aku masih
mendambanya. Cintaku masih sebesar saat aku masih menjadi kekasihnya.
Pandangan
mataku kepergok oleh Herry dan dia memberiku senyum kikuk. Aku membalas
senyumnya sebelum akhirnya aku kembali fokus pada cerita Hendra. Maaf ya Hen,
bukannya aku tidak mendengarkan ceritamu. Hanya saja mantanku baru saja lewat.
Hahaha.
Tidak
bisa aku pungkiri, bukan hanya warna kulitnya saja yang berubah semakin hitam.
Dia dulu kuning langsat sebenarnya. Eem, dua minggu yang lalu. Mungkin dia
tanning. Ah, sudahlah! Perubahan Herry juga di bentuk tubuhnya yang semakin
‘jadi’. Aku bisa melihat ototnya yang bersembulan di balik seragam putih SMAnya
yang ngepas badan. Entahlah, dia menjadi semakin sensual? Beberapa kali aku
mencuri pandang ke arahnya. Dia juga sudah kembali ceria seperti dulu saat
sebelum putus denganku. Deg, mungkin karena Taufik. Yah? Sapa lagi? Mungkin
Taufik lah yang membuat Herry kembali bersemangat. Sudah sejauh itukah hubungan
mereka? Hatiku ciut dan nelangsa.
Untungnya
hari ini memang pulang lebih awal. Guru-guru ada meeting. Aku langsung menuju
mobilku di parkiran. Hendra hari ini membantu ayahnya yang sedang panen jagung.
Jadi ya, aku pulang sendiri. Sama Galih ding maksutku. Agak sedikit terkejut
juga saat aku hampir sampai mobilku. Galih berada di luar dengan badan senderan
ke pintu mobil. Pose khas model –aku tidak tau apakah dia sengaja berpose
seperti itu atau tidak sengaja- dan terlihat dewasa?
“Mas?”
“Oh,
Aden. Mari den.” Galih membukakan pintu untukku dan aku langsung masuk. Mungkin
karena kelelahan atau apa, namun kemudian aku jatuh tertidur.
***
Aku
merasakan tanganku tidak bisa bergerak. Terasa berat sekali saat aku ingin
menariknya. Aku membuka mataku dan sadar akan satu hal. Tangan dan kakiku
terikat. What the hell? Apa maksutnya ini? Aku memperhatikan sekelilingku dan
aku sama sekali tidak mengenali tempat ini. Aku dimana? Dan kenapa tangan dan
kakiku terikat.
Aku
terbaring di sebuah dipan dengan tangan juga kakiku yang terikat sehingga
membentuk huruf X. Aku berusaha sekuat mungkin untuk melepas ikatanku, namun
percuma. Terlalu kuat! Dan aku frustasi.
Aku
mendengar suara langkah kaki yang mendekat lalu membuka pintu. Aku kenal orang
itu. Aku tersenyum, dia datang untuk membebaskanku kah? Dia mau melepaskan
ikatanku kah?
“Mas
Galih, tolong Seno mas.” Aku melihat sudut bibir Galih yang melengkung keatas
dengan sinis. Senyumku pun pudar.
“Wah,
rugi donk. Masa aku yang iket aku yang lepasin?” aku memproses kata-kata Galih
barusan dengan super cepat.
Galih
menculikku?
Apa yang
dia mau? Uang tebusankah?
“Lo
nyulik gua? Lepasin!”
“Sst,
aden mau teriak-teriak juga percuma! Ini di tengah hutan den! Gak ada orang!”
Kata Galih sambil menyeringai puas. Dengan congkak dia berjalan ke arahku.
“Lo butuh
uang tebusan berapa hah?!” lagi-lagi Galih tersenyum sinis.
“Aku gak
butuh duit Aden Arseno Erlangga Prawiro.” Galih berkata begitu sambil menarik
sebuah benda dari kantongnya. Ya Tuhan, pisau lipat! Dia mau membunuhku kah?
“Jangan
gila! Lo bakal dipenjara tauk!” aku bergidik ngeri. Aku akan mati?
“Aku gak
gila den.” Kata dia sambil mendekatkan pisau itu kearahku. Aku menutup mataku. Ngeri!
Namun beberapa saat kemudian terdengar bunyi seperti sobekan kain. Pisau itu
bukan untuk membunuhku, namun untuk menyobek seragam SMA ku.
“Badan
aden mulus, putingnya warna merah muda. Aku suka lho den.” Seragam putihku
sudah terkoyak. Bibirku kelu. Apa yang akan Galih lakukan? Menyodomiku sebelum
membunuhku?
“Aku suka
puting aden.” Galih mendekatkan ujung pisaunya ke putingku. Menusuknya sedikit
dan darah segar merembes keluar. Galih psycho!
“Maaf
den.” Katanya sambil menghisap darah yang keluar dari sisi bawah putingku.
Bagian yang tadi dia tusuk dengan pisaunya. Hanya tusukan kecil memang, tapi. .
.
Mulutnya
sekarang sudah berpindah ke putingku. Meghisap dengan ganas. Layaknya bayi yang
baru menyusu ke ibunya. Perih, tapi aku juga terang. . . ah sudahlah. Aku
sedang diperkosa!!
“Benar-benar
sempurna. Tampan dan menggemaskan! Taukah aden? Aku sudah menginginkan aden
sejak melihat aden di rumah sakit itu! Membayangkan bagaimana rasanya mencicipi
tubuh aden seutuhnya.” Aku semakin bergidik ngeri. Galih benar-benar sarap!
Psycho! Sadist!
Sekarang
matanya tengah memperhatikan celana abu-abuku. Shit!
“Celana
ini tidak dibutuhkan disini den Seno.” Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya
pasrah. Ikatannya terlalu kuat, mulutku pun sudah dibekap. Galih sekarang
berkutat untuk melepas celana abu-abuku. Dan mungkin karena agak kesulitan
mengingat kakiku yang terikat, dia merobeknya dengan pisau lagi. Juga tidak
butuh waktu lama hingga dia juga merobek celana dalam hitamku. Tubuhku sudah
tidak ada yang tertutupi kain lagi sekarang. Telanjang sudah.
Dan Galih
tersenyum penuh kemenangan. Apalagi jika melihat kondisi penisku yang mengacung
dengan tegak! Shit! Organku yang satu itu tidak bisa berbohong. Aku menikmati
isapan Galih tadi pada putingku.
“Aden
ngaceng.” Katanya berbisik di telingaku sedangkan tangannya mulai meremas-remas
penisku. Dan sekarang bibirnya menggantikan tangannya. Aku antara terangsang,
takut, ngeri, enak bercampur jadi satu. Galih menyelomoti batangku dengan
semangat. Seakan-akan itu adalah lolipop terenak di dunia. Dan tubuhku merespon
dengan sangat jujur.
Hingga
akhirnya penisku akan ejakulasi, ah ah ah. Sebentar lagi. . .
***
“Den,
bangun den! Udah sampai rumah.” Aku terlojak dan membuka mataku. Lho? Kok aku
didalam mobil? Lho kok? Seragamku masih utuh. Lalu aku melihat ke depan. Galih
dengan wajah bingung dan khawatir tengah memperhatikanku. Ada apa ini
sebenarnya? Yang tadi itu Cuma mimpi? Oh shit! That was a great dream!! Yeah,
it’s was a great dream!!
“Den?
Aden gak papa?”
“Gak papa
kok mas.” Kataku sambil tersenyum dan keluar dari mobil. Apa aku sedesperate
itu? Hingga memimpikan having sex dengan Galih? Dan, ya Tuhan!! Bondage lagi!
Jangan-jangan aku ada kelainan? Ini mulai gila!!!
Bersambung
. . .
belum ada samnya ya mas????????,
BalasHapusNo sex scene please...
BalasHapusCeritanya keren, jgn dbikin mesum...!!!
Ya... Ya... Ya...
Please...