FOLLOW ME

Sabtu, 09 November 2013

THE SERIES 11


Permainan kartu pun segera dimulai. Aku agak menelan ludah, seperti kata Revan tadi. Aku memang lemah dalam main kartu. Entahlah, aku selalu unlucky dalam bermain kartu. Selalu dapat kartu yang buruk. Seperti sekarang ini, belom apa-apa, aku sudah kalah. Dengan terpaksa aku melepas satu sandal rumahku.
“Woiy, apa-apaan tuh! Curang woiy!” Revan jelas tidak terima. Mungkin dia maunya aku melepas bajuku.
“Heh, kata lo tadi kan lepas apa yang gua kenakan. Lha sandal ini kan juga gua kenakan, serah gua donk.” Akhirnya setelah berdebat agak alot, Revan terima juga. Aku melirik yang lainnya. Hendra memakai jaket, kemeja, kaos dalam dan celana pendek. Aman, setidaknya menelanjangi Hendra akan butuh waktu cukup lama. Aku tidak berminat melihat Revan telanjang. Namun aku berharap dia lah yang kalah. Karena permainan ini akan berakhir kalau ada salah satu dari kita yang sudah telanjang bulat.
Galih? Dia memakai kaos dan celana jeans panjang. Galih yang telanjang? Entah kenapa aku tidak ingin hal ini terjadi. Aku seperti tidak ‘rela’. Entahlah, aku hanya ingin aku yang melihat Galih polos tanpa busana. Permainan dilanjut. Dan hatiku sibuk berdoa. Jelas aku tidak mau telanjang! Tapi nyatanya, yang menempel ditubuhku tinggal boxer pendekku. Kalah dua kali lagi, maka penisku akan jadi tontonan.
Aku sudah deg-degan parah. Tinggal aku dan Galih. Kartu Revan dan Hendra sudah habis dari tadi. Mata Revan nyalang, sepertinya dia uda engga sabar ingin melihatku dalam balutan celana dalam saja. Skak! Kartuku jelek-jelek semua lagi! Satu hal yang aku syukuri, aku tidak kalah. Ini pertama kalinya aku menang. Aku akui itu. Dan sepertinya juga karena Galih yang sengaja mengalah. Galih langsung melepas kaosnya dan-aku melirik Revan- membuat Revan menelan ludah beberapa kali. Sama sepertiku. Badan Galih makin ‘jadi’. Entahlah, Galih jadi terlihat lebih seksi dimataku.
“Oke, ayo dilanjut lagi!” Revan tambah semangat! Yaiyalah, dia yang paling jago! Jadi mengalahkan Revan itu mustahil! Ohhh, aku harap bukan aku dan Hendra yang kalah. Tapi, Hendra juga sama jagonya dengan Revan. Buktinya dia masih berpakaian lengkap. Yang artinya belom kalah sama sekali. Mulutku sibuk komat-kamit. I mean, berdoa dalam hati ternyata kurang manjur. Jadi aku harus lebih kenceng dalam berdoa. Jangan sampai aku kalah! That’s it! Arggh, salahku sendiri yang masuk dalam kandang singa. Jelas tau kalau aku lemah main kartu masih nekad ikut maen. Haduh.
Ternyata aku memang sedang sial. Aku kalah! Telanjang sudah. Oke, fine! Tidak ada yang mengejekku. Hendra bahkan mengagumi tubuhku. Revan? Dia hampir meneteskan air ludahnya. Penisku memang bukan ukuran 17cm seperti di cerita-cerita gay pada umumnya. Hanya 14cm, namun setidaknya aku masih 14 tahun. Oke, hampir 15. Dan kemungkinan penisku akan bertambah panjang masih ada.
Galih? Dia melirikku dan langsung menarikku keluar. Memakaikan bajuku kembali tanpa mengindahkan protes yang keluar dari mulut comel Revan.
“Aden gak bilang kalo lemah dalam main kartu?” Baru kali ini aku merasa Galih bertanya sangat lembut padaku. What? What happen to me?
“Tadi Revan juga uda bilang! Permisi mas, aku mau tidur.”
“Iya Den, maaf saya tadi lancang.” Mendengar kata-katanya, aku berbalik dan sedikit tersenyum padanya. Hal yang sangat jarang atau malah belum pernah aku lakukan.
“Makasih mas.” Kataku singkat dan langsung masuk kamar. Bodohnya aku, mungkin karena grogi atau apa, entahlah aku tidak tau. Namun yang aku masuki bukan kamarku yang tadi buat main kartu melainkan kamar Galih. Mati gaya karena beberapa saat kemudian Galih juga masuk kamar. Damn it! So fucking arggghhh. . .
“Aden salah kamar?” Aku blingsatan.
“Engga, malam ini mau tidur disini. Kamarku ada Revan, males.”
“Oh, kalau begitu saya tidur di luar saja den.” Aduh, aku jadi enggak enak sendiri.
“Jangan lah mas. Diluar dingin.”
“Tapi Den, gak sopan kalo saya tidur sama majikan saya sendiri.” Aku mikir keras. Seriusan nih ya, bukan karena aku ingin modus tidur seranjang dengan Galih. Bukan, aku masih ada rasa takut dekat dengan Galih. Hanya saja ada rasa lain yang lebih besar yang diam-diam sudah menyelinap dalam hatiku.
“Mas tidur bawah aja, ada kasur tambahan kok di lemari. Ya? Seno takut tidur sendirian.” Gilak! Aku gilak! Maksutku, aku mulai manja dengan Galih? Ya Tuhan!
“Iya den.”
***


Aku tidak bisa tidur. Mataku enggan terpejam. Aku melirik kebawah dan melihat Galih yang sudah tertidur pulas disana. Lampu ranjang yang temaram semakin memperindah parasnya. Sebenarnya siapa Galih? Tidakkah dia punya keluarga? Tidakkah dia punya rumah? Aku tidak tau apa-apa tentang Galih. Aku sibuk ketakutan kepadanya selama ini.
Benarkah dia hanya pemuda kampung? Parasnya begitu tampan. Kulit coklatnya merata. Seperti tanning. Atau sebenarnya dia hanya menyamar? Hasyah Sen! Pikiran lo kejauhan! Tapi seriusan deh, warna coklatnya merata bahkan hingga ke penisnya. Ingat? Aku pernah melihatnya telanjang. Dan, oh sudahlah. Lupakan. Aku hanya tidak ingin mengingatnya. Warnanya yang kecoklatan, sedikit berurat. Dengan bebuluan halus disana. Stop! Don’t remember it!
Mau tidak mau, aku jadi melirik selangkangan Galih, yang untungnya memakai baju lengkap. Urgghh, I can not handle this. Bobo ah!
***


Sebenarnya, aku sudah bangun dari tadi. Hanya saja, aku masih pura-pura memejamkan mataku. Bayangkan saja, Galih baru saja masuk ke kamar hanya dengan berlilitkan handuk. Mungkin dia habis mandi. Lalu apakah aku akan bangun dan membuka mataku kemudian kesempatan melihat Galih berganti pakaian jadi kandas? Tidak! Sayang banget! Makanya, aku masih pura-pura tertidur.
Aku tau ini sama halnya dengan mengintip. Aku tau ini tidak sopan. Tapi aku yakin kalau kalian berada di posisiku seperti saat ini, kalian juga akan melakukan hal yang sama. Tidak? Selamat, berarti kalian lelaki straight. Eh tunggu dulu, kalau kalian straight buat apa kalian membaca cerita ini? Hah, aku melantur.
Galih memang lelaki yang dewasa. Aku akui itu, tubuhnya juga sudah menunjukkan darah kematangan. Darah kematangan? What the hell is that? Sudahlah, maksutku lihatlah perut Galih yang rata. Mungkin bertekstur keras, aku akan mencoba menyentuhnya suatu hari nanti, eh?
Dadanya yang bidang dengan sedikit puting yang melenting. Sedikit puting yang melenting? Gilak! Bahasaku makin kacau!
Mengapa baru aku sadari sekarang? Galih begitu tampan?
“Den, bangun den. Udah pagi.” Aku mengulet sebentar. Tentu saja pura-pura. Ingat? Aku sudah bangun dari tadi, jadi aku juga sudah mengulet dari tadi.
“Jam berapa mas?”
“Setengah delapan den.” Aku mengucek mataku sebentar dan langsung berlalu ke kamarku. Mandi, dan kemudian ikut sarapan bareng oma dan opa di ruang makan. Hari ini kita rencana mau ke Ancol. Sayangnya, cerita di Ancol aku skip. Males sih, gak ada bahan. Wkwkwkwk, dasar penulis abal-abal!
***


Hubunganku dengan Galih entah kenapa makin dekat. Maksutku, aku yang makin sok akrab dengannya. Galih? Sikap dia masih sama. Sopan dan jaga jarak. Oh ya, ini adalah hari pertama di semester dua aku masuk sekolah. Seneng? Enggak juga. Karena nanti aku pasti bakalan bertemu dengan Herry. Kalian pikir karena aku sekarang sudah tidak lagi takut dengan Galih dan menganggap kalau Galih itu tampan, berarti aku sudah move on? Tidak sama sekali. Aku masih sering memimpikan Herry. Bagaimanapun juga, dia cute. Oke, oke, aku masih mencintai Herry. Aku akui itu! Walaupun aku dan Herry pacaran tidak lebih dari sebulan, tapi aku bukan orang yang gampang berpindah ke lain hati. Cukup sulit untuk move on dari Herry. Apalagi, sekarang aku bakal tiap hari bertemu dia. Aahhh.
Taufik? Sejak kepulanganku dari Jakarta, aku sudah melihatnya beberapa kali. Dan aku mengacuhkan dia. Maksutku, kalau aku mengingat kejadian di toko buku tempo hari yang lalu, aku jadi eneg liat Taufik. Munafik!
“Ntar saya jemput jam berapa den?”
“Kayaknya ntar pulang lebih awal mas. Ini kan baru hari pertama masuk. Ntar aku sms aja, atau Mas Galih mau nunggu?” kataku sebelum turun dari mobil.
“Eem, saya tunggu aja den.”
“Yakin? Gak takut mati bosen ntar?”
“Mboten den.” Kata Galih sambil tersenyum. Baru kali ini dia memberiku senyum semanis ini. Dia semakin tampan saja.
“Seno turun dulu mas.”
“Monggo den.” Aku langsung turun dari mobil tanpa menunggu Galih yang akan membukakan pintu untukku. Ironis ya, mobil yang dulu menabraknya sekarang malah dia setir sendiri. Uuh, aku kangen nyetir mobil.
“Sen!” Aku menoleh kebelakang dan sedikit surprise. Hendra dengan penampilan barunya. Apa yang aku pikirkan selama ini memang tidak salah. Hendra keren! Kemaren, kita potong rambut bareng, dan aku membelikannya beberapa seragam. Sepatu juga iya. Karena sepatuku kegedean untuk Hendra. Dan viola! Dia keren! Terbukti beberapa teman sekelas kita memuji penampilan baru Hendra.
“Lo jadi artis sekarang!” Kataku sambil menepuk bahunya pelan.
“Haha, tetep wae kalah mbek koe Sen!” aku tertawa pelan. Dan ketika aku menoleh ke arah pintu. Ada dia. Herry. Ada sesuatu yang berubah dalam penampilannya. Dia semakin cokelat. Bahkan lebih cokelat dari Galih. Agak hitam, tapi dia tetap cute. Aku menatapnya tak berkedip. Ternyata aku masih merindukannya. Aku masih mendambanya. Cintaku masih sebesar saat aku masih menjadi kekasihnya.
Pandangan mataku kepergok oleh Herry dan dia memberiku senyum kikuk. Aku membalas senyumnya sebelum akhirnya aku kembali fokus pada cerita Hendra. Maaf ya Hen, bukannya aku tidak mendengarkan ceritamu. Hanya saja mantanku baru saja lewat. Hahaha.
Tidak bisa aku pungkiri, bukan hanya warna kulitnya saja yang berubah semakin hitam. Dia dulu kuning langsat sebenarnya. Eem, dua minggu yang lalu. Mungkin dia tanning. Ah, sudahlah! Perubahan Herry juga di bentuk tubuhnya yang semakin ‘jadi’. Aku bisa melihat ototnya yang bersembulan di balik seragam putih SMAnya yang ngepas badan. Entahlah, dia menjadi semakin sensual? Beberapa kali aku mencuri pandang ke arahnya. Dia juga sudah kembali ceria seperti dulu saat sebelum putus denganku. Deg, mungkin karena Taufik. Yah? Sapa lagi? Mungkin Taufik lah yang membuat Herry kembali bersemangat. Sudah sejauh itukah hubungan mereka? Hatiku ciut dan nelangsa.
Untungnya hari ini memang pulang lebih awal. Guru-guru ada meeting. Aku langsung menuju mobilku di parkiran. Hendra hari ini membantu ayahnya yang sedang panen jagung. Jadi ya, aku pulang sendiri. Sama Galih ding maksutku. Agak sedikit terkejut juga saat aku hampir sampai mobilku. Galih berada di luar dengan badan senderan ke pintu mobil. Pose khas model –aku tidak tau apakah dia sengaja berpose seperti itu atau tidak sengaja- dan terlihat dewasa?
“Mas?”
“Oh, Aden. Mari den.” Galih membukakan pintu untukku dan aku langsung masuk. Mungkin karena kelelahan atau apa, namun kemudian aku jatuh tertidur.
***

Aku merasakan tanganku tidak bisa bergerak. Terasa berat sekali saat aku ingin menariknya. Aku membuka mataku dan sadar akan satu hal. Tangan dan kakiku terikat. What the hell? Apa maksutnya ini? Aku memperhatikan sekelilingku dan aku sama sekali tidak mengenali tempat ini. Aku dimana? Dan kenapa tangan dan kakiku terikat.
Aku terbaring di sebuah dipan dengan tangan juga kakiku yang terikat sehingga membentuk huruf X. Aku berusaha sekuat mungkin untuk melepas ikatanku, namun percuma. Terlalu kuat! Dan aku frustasi.
Aku mendengar suara langkah kaki yang mendekat lalu membuka pintu. Aku kenal orang itu. Aku tersenyum, dia datang untuk membebaskanku kah? Dia mau melepaskan ikatanku kah?
“Mas Galih, tolong Seno mas.” Aku melihat sudut bibir Galih yang melengkung keatas dengan sinis. Senyumku pun pudar.
“Wah, rugi donk. Masa aku yang iket aku yang lepasin?” aku memproses kata-kata Galih barusan dengan super cepat.
Galih menculikku?
Apa yang dia mau? Uang tebusankah?
“Lo nyulik gua? Lepasin!”
“Sst, aden mau teriak-teriak juga percuma! Ini di tengah hutan den! Gak ada orang!” Kata Galih sambil menyeringai puas. Dengan congkak dia berjalan ke arahku.
“Lo butuh uang tebusan berapa hah?!” lagi-lagi Galih tersenyum sinis.
“Aku gak butuh duit Aden Arseno Erlangga Prawiro.” Galih berkata begitu sambil menarik sebuah benda dari kantongnya. Ya Tuhan, pisau lipat! Dia mau membunuhku kah?
“Jangan gila! Lo bakal dipenjara tauk!” aku bergidik ngeri. Aku akan mati?
“Aku gak gila den.” Kata dia sambil mendekatkan pisau itu kearahku. Aku menutup mataku. Ngeri! Namun beberapa saat kemudian terdengar bunyi seperti sobekan kain. Pisau itu bukan untuk membunuhku, namun untuk menyobek seragam SMA ku.
“Badan aden mulus, putingnya warna merah muda. Aku suka lho den.” Seragam putihku sudah terkoyak. Bibirku kelu. Apa yang akan Galih lakukan? Menyodomiku sebelum membunuhku?
“Aku suka puting aden.” Galih mendekatkan ujung pisaunya ke putingku. Menusuknya sedikit dan darah segar merembes keluar. Galih psycho!
“Maaf den.” Katanya sambil menghisap darah yang keluar dari sisi bawah putingku. Bagian yang tadi dia tusuk dengan pisaunya. Hanya tusukan kecil memang, tapi. . .
Mulutnya sekarang sudah berpindah ke putingku. Meghisap dengan ganas. Layaknya bayi yang baru menyusu ke ibunya. Perih, tapi aku juga terang. . . ah sudahlah. Aku sedang diperkosa!!
“Benar-benar sempurna. Tampan dan menggemaskan! Taukah aden? Aku sudah menginginkan aden sejak melihat aden di rumah sakit itu! Membayangkan bagaimana rasanya mencicipi tubuh aden seutuhnya.” Aku semakin bergidik ngeri. Galih benar-benar sarap! Psycho! Sadist!
Sekarang matanya tengah memperhatikan celana abu-abuku. Shit!
“Celana ini tidak dibutuhkan disini den Seno.” Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya pasrah. Ikatannya terlalu kuat, mulutku pun sudah dibekap. Galih sekarang berkutat untuk melepas celana abu-abuku. Dan mungkin karena agak kesulitan mengingat kakiku yang terikat, dia merobeknya dengan pisau lagi. Juga tidak butuh waktu lama hingga dia juga merobek celana dalam hitamku. Tubuhku sudah tidak ada yang tertutupi kain lagi sekarang. Telanjang sudah.
Dan Galih tersenyum penuh kemenangan. Apalagi jika melihat kondisi penisku yang mengacung dengan tegak! Shit! Organku yang satu itu tidak bisa berbohong. Aku menikmati isapan Galih tadi pada putingku.
“Aden ngaceng.” Katanya berbisik di telingaku sedangkan tangannya mulai meremas-remas penisku. Dan sekarang bibirnya menggantikan tangannya. Aku antara terangsang, takut, ngeri, enak bercampur jadi satu. Galih menyelomoti batangku dengan semangat. Seakan-akan itu adalah lolipop terenak di dunia. Dan tubuhku merespon dengan sangat jujur.
Hingga akhirnya penisku akan ejakulasi, ah ah ah. Sebentar lagi. . .
***

“Den, bangun den! Udah sampai rumah.” Aku terlojak dan membuka mataku. Lho? Kok aku didalam mobil? Lho kok? Seragamku masih utuh. Lalu aku melihat ke depan. Galih dengan wajah bingung dan khawatir tengah memperhatikanku. Ada apa ini sebenarnya? Yang tadi itu Cuma mimpi? Oh shit! That was a great dream!! Yeah, it’s was a great dream!!
“Den? Aden gak papa?”
“Gak papa kok mas.” Kataku sambil tersenyum dan keluar dari mobil. Apa aku sedesperate itu? Hingga memimpikan having sex dengan Galih? Dan, ya Tuhan!! Bondage lagi! Jangan-jangan aku ada kelainan? Ini mulai gila!!!


Bersambung . . .

2 komentar:

  1. belum ada samnya ya mas????????,

    BalasHapus
  2. No sex scene please...
    Ceritanya keren, jgn dbikin mesum...!!!
    Ya... Ya... Ya...
    Please...

    BalasHapus

leave comment please.