FOLLOW ME

Selasa, 05 November 2013

THE SERIES 10

Aku memilih untuk duduk dibelakang. Dan karena Galih tidak mengajakku mengobrol aku memutuskan untuk menyibukkan diriku sendiri dengan game di gadgetku. Setidaknya ini bisa mengalihkanku dari rasa takutku pada Galih, even dia menatapku saja tidak. Kita sedang dalam perjalanan menjemput Hendra. Yah, untung saja Hendra sudah stand by di depan Gapura kampungnya. Jadi setidaknya akan lebih menghemat waktu.
“Kok suwi banget tho Sen?” sesuai dugaanku, Hendra bakal protes.
“iya, sorry.” Sengaja aku tidak menjelaskan bahwa salah satu penyebab kita agak kesiangan adalah Galih yang mandinya kayak perawan kembang desa. Luamaaaaa banget! Entah dia onani atau apa, tapi yang jelas dia hampir memakan waktu 45 menit di kamar mandi. Aku saja hanya 30 menit.
Aku kembali menyibukkan diriku sendiri dengan game lagi. Setidaknya Hendra dan Galih sudah terlibat obrolan seru. Ini juga menjadi salah satu pertanyaan yang terus  berputar-putar di kepalaku. Galih sopan dan cepat akrab dengan hampir semua orang. Bahkan menjadi kepercayaan papa. Aku? Aku ketakutan setangah mati dengannya! Jadi? Ada yang salah dengan diriku? Mungkin aku bukanlah type kebanyakan orang. Atau, entahlah! Aku sendiri tidak bisa menjelaskan ketakutanku pada Galih.
“Kita mau ke toko buku yang mana Hen?” selaku pada Hendra yang sedang ‘ngecuprus’ panjang lebar dengan Galih.
“Yang didepan Matahari saja Sen! Lebih murah dan komplit.” Aku mengangguk dan sibuk kembali dengan gadgetku. Toko buku disini bukan Gramedia. Di kota kecil ini tidak ada Gramedia, no mall, no bioskop! Kalian tahu rasanya? Namun sebagai gantinya kota ini menawarkan anti macet, anti banjir, anti panas, setidaknya sepanjang aku tinggal disini, kota ini selalu adem. Kepercayaan dan kebersamaan warganya pun cukup solid. Hampir semua orang di kota ini saling mengenal. Gilak! Kecelakaan kecil saja bisa langsung menyebar beritanya-minus kecelakaan yang aku buat tentu saja. Dan Matahari yang dikatakan Hendra tadi bukanlah Matahari Dept. Store seperti yang ada dipikiran kalian. Itu hanya toko pakaian biasa, tidak terlalu besar. Hanya kesamaan nama yang mungkin disengaja untuk menunjang penjualan di tokonya. Mungkin.
“Oke. Mas Galih tau tempatnya kan?” Galih mengangguk pelan. Dia selalu sopan memang terhadapku. Bahkan segan? Aku juga tidak tau. Aku kembali menyibukkan diriku dengan smartphoneku. Game yang tadi aku pause sudah menanti. Hendra dan Galih sudah mengobrol seru lagi. Memakai bahasa jawa tentu saja. Dan aku tidak begitu ngerti. Sekali-kali mereka tertawa-tawa tidak jelas. Aku memutar kedua bola mataku sebelum mengambil earphoneku dan mulai memasangnya di telingaku. Dengan suara yang cukup kencang hingga obrolan Hendra dan Galih sama sekali tidak terdengar.
Aku tidak pernah mengobrol dengan Galih. Mungkin hanya bicara satu atau dua kalimat. Jelas itu bukan mengobrol. Mengobrol itu tepat seperti apa yang dilakukan oleh Hendra dan Galih sekarang. Kenapa aku bisa begitu ketakutan dengan Galih? Oh please, aku saja belum menemukan jawaban atas pertanyaanku sendiri.
Saat sudah berada di toko buku, menurutku ini toko buku memang toko buku paling luas disini. Paling komplit juga. Namun komik keluaran terbaru belum bisa didapatkan. Mungkin menunggu satu atau dua bulan lagi. Aku melihat-lihat komik dan beberapa majalah. Aku tidak tertarik dengan novel. Itu akan hanya membuatmu berharap kehidupanmu akan seperti novel yang kamu baca. Bertemu, jatuh cinta lalu bahagia selamanya. Clasic story! Kenyataannya tidak semudah itu. Tidak ada cinta sejati. Apalagi di dunia gay. Impossible! Beberapa majalah fashion dan majalah pria aku ambil. Lumayan untuk mengisi waktu luang. Da Man, Cosmo dan Men’s Health jelas aku ambil. Sayang sekali dilewatkan.
“Sen!”
“Napa Hen?”
“Sadar gak tho kalau kamu kiey jadi pusat perhatian?” mendengar perkataan Hendra barusan aku langsung mengedarkan pandanganku. Hmm, banyak orang yang tadinya sedang melihatku langsung pura-pura sibuk kembali. Yah, aku sudah terbiasa. Aku memang seperti selebritis di kota kecil ini. Entahlah, apa karena aku calon pewaris orang terkaya di kota ini? Atau karena aku anak kota yang nyemplung ke kota kecil? Atau karena wajahku yang tampan? Hahaha! Ngaco! Aku rasa aku ketiga-tiganya.
“Cuekkin aja lah!” kataku cuek sambil kembali berjalan mencari-cari buku bagus.
“Kamu mau pakek opo wae tetep keren sih!” aku membalikkan tubuhku saat mendengar Hendra mengucapkan kata-kata tadi. Itu terdengar seperti kata ‘rajukkan?’ atau kupingku saja yang bermasalah?
Aku hanya mengenakan kaos dalam putih tanpa lengan, beruntungnya aku bahwa bulu ketekku belum tumbuh. Begitupun dengan bulu-bulu di penisku, sekarang sih sudah ada sedikit-sedikit. Celana batik robek-robek-hadiah dari sepupuku (Revan, anak tanteku-kakak mama. Pusing deh kalian), sepatu Nike kesayanganku dan jam tangan Tag Heuer, hadiah dari oma dan opa saat ulang tahunku yang ke empat belas. Ngomong-ngomong soal Revan, dia adalah anak dari tante Nia, kakak mamaku. Jika papaku 2 bersaudara yaitu papa dan paman Pri. Mamaku tiga bersaudara. Tante Nia, tante Sara dan mamaku tentu saja. Hanya saja tante Sara sudah meninggal karena kecelakaan. Belum menikah pula. Revan itu adalah designer terkemuka di Jakarta. Agak melambai sih dan terus terang hanya Revan yang tau kalau aku ini gay. Padahal aku tidak pernah cerita ke dia. Kata Revan sih aku keliatan gaynya dari caraku menatap laki-laki ganteng. Hahaha!
“Coba aku yang make pasti keliatan norak.” Aku hanya tertawa kecil mendengar ucapan Hendra barusan. Dulu aku pernah bilang kan kalau Hendra itu cukup cute?
“Yang penting elonya nyaman.” Kataku sambil lalu. Lalu aku melihat dua orang yang tidak mungkin bersama. Mustahil! Herry dan Taufik! Ngapain mereka berdua di toko buku? Herry di toko buku? Sulit dipercaya! Barengan Taufik! God help! Bitch please! Aku mengendap-endap agar lebih dekat dengan mereka tanpa ketahuan. Menghiraukan Hendra yang tengah sibuk memilih buku. Rasa penasaran mengalahkan gengsiku untuk tidak mendekati mereka.
Mereka mengobrol dalam bahasa jawa. Hhh, dekat saja aku belum tentu paham. Apalagi jaraknya jauh begini? Tapi rangkulan Taufik itu cukup menggangguku. Apa-apaan ini? Bukankah Taufik sendiri yang bilang supaya aku jangan jadi gay? Lha trus? Oke, rangkulan sesama cowok itu wajar, wajar banget malah. Tapi, tetap aja aku. . . Arghhh! Kill me please! Dia merangkul bekas pacarku! Aku balik arah! Persetan! Aku tidak akan menganggap mereka ada lagi di dunia ini!
“Lo udah selesai Hen?”
“Dari tadi. Kamu aku cari engga ada dimana-mana.”
“Ya udah, balik yuk.” Hendra hanya mengangguk ringan sambil mengikuti dalam diam. Mungkin dia bingung kenapa mood ku berubah secepat ini. Tadi baik-baik saja dan sekarang tiba-tiba menjadi menyebalkan. Aah, nanti bisa aku jelaskan. Yang penting sekarang aku mau pergi dari toko buku ini.
***

Ternyata seperti ini rasanya patah hati. Okay, aku patah hati memang sudah agak lama. Namun kali ini, rasanya luka itu seperti dibuka lagi. Perih, sakit yang pernah aku alami dulu saat Herry melepasku kini seperti timbul lagi. Aku seperti di ingatkan seperti apa rasanya. Aku harus move on! Harus! Britney saja bisa move on selepas ditinggal Kevin Federline, kenapa aku tidak bisa? Mungkin liburan semester satu ini aku ke Jakarta saja? Ke tempat tante Nia? Setidaknya tidak akan ada Herry atau Taufik disana. Setelah berpikir sejenak, aku keluar kamar. Minta ijin ke mama dan papa.
Aku mendapati mereka berdua di teras sedang bersama Paman Pri dan Lek Tien. Satu-satunya orang yang kurang nyaman dengan Galih selain aku hanya Paman Pri. Lainnya? Seperti melupakan begitu saja jika Galih adalah orang yang aku tabrak dengan permintaannya yang aneh.
“Ma, Seno boleh minta sesuatu?”
“Apa sayang?” Mama menoleh ke arahku dan tersenyum lembut. That’s my mom!
“Liburan semester ini Seno ke Jakarta ya? Ke tempat Tante Nia.” Papaku yang sedang membaca koran langsung menoleh. Kenapa nih? Enggak dibolehinkah? Karena nolehnya itu lho. Segitunya banget.
“Boleh sayang, sama Galih ya?” Kali ini bola mataku serasa mau keluar. Sama Galih? Why? Maksutku, aku kan sedang ingin liburan dan aku ingin sendiri bukan dengan orang yang bisa membuatku ketakutan setiap saat. Mamaku kadang-kadang suka ngelawak nih. Tapi engga tau tempat dan waktu.
“Ma! Ini kan liburan! Come on!”
“Ya gini, kalau enggak sama Galih ya enggak usah ke Jakarta.” Aku menirukan kata-kata papaku tadi dengan bersungut-sungut.
“Ntar deh Seno pikir-pikir dulu. Masih lama ini.” Kataku sambil berlalu. Galih, Galih, Galih dan Galih! Semuanya Galih. Apa-apa harus ditemani Galih! Oh shit! He is not my bodyguard! Not my boyfriend too!
Hmm, kalau lagi nganggur engga ada gawe gini jadi kepikiran yang kemaren. Kenapa Herry sama Taufik bisa barengan? Jangan-jangan mereka janjian. Sepertinya akrab banget. Apa iya Herry ninggalin aku buat Taufik? Hhh, satu minggu lagi bakalan ada test semester satu. Dan aku terlalu malas untuk sekedar belajar. Hahaha, masih seminggu ini. Enaknya ngapain ya? Main ke sawah aja kali ya? Kali aja ketemu ular tanpa ekor kayak kemaren. Hahaha, ngaco! Namun daripada aku bete setengah gila disini dan kepikiran yang enggak-enggak?
Aku keluar mengendap-endap agar tidak ketahuan papa dan mama yang sedang berada di teras rumah. Aku mungkin memang butuh udara segar. Jam segini pasti masih banyak buruh yang bekerja di sawah. Ini kan baru jam empat. Eem, menuju setengah lima tepatnya.
Saat aku berjalan, beberapa orang tersenyum dan menundukkan kepalanya. Yah, aku sudah terbiasa juga dengan perlakuan ini. Padahal sebenarnya aku agak risih. Aku bukanlah pangeran atau apa. Dan sangat tidak pantas menerima perlakuan seperti itu. Tapi ya sudahlah.
Sawah ini luar biasa menyejukkan. Hawanya yang segar, angin sepoi-sepoinya dan juga hamparan hijau tanaman padi yang masih muda. Dugaanku salah, hanya ada dua orang yang masih berada di sawah, dan itupun mereka siap-siap mau pulang.
“Monggo Mas Seno.” Sapa mereka begitu akan melewatiku. Aku hanya tersenyum dan menganggukkan kepalaku. Aku berjalan pelan ke arah gubuk dan duduk disana.
“Seandainya gua engga pernah kesini, mungkin gua kaga bakal ketemu Herry dan engga bakalan juga ngalamin perih kayak gini.” Aku mulai berguman sendiri. Mengeluarkan uneg-unegku. Aku tidak mungkin cerita ke Hendra. Dia tidak tau atau belom tahu kalau aku gay dan pernah pacaran dengan Herry. Mungkin kalau dia tahu dia bakalan kecewa dan mungkin dia bakal menjauhiku. Aku belom siap untuk itu. Belom siap untuk kehilangan sahabat terbaikku.
Mungkin karena aku asyik melamun aku tidak menyadari satu hal. Ada yang berbeda di kakiku. Terasa agak berat. Aku menunduk dan sedikit terkejut. Ular hitam besar tanpa ekor itu bergelung di kakiku. Dia tidak membelitku, hanya bergelung. Takut? Pasti! Tapi aku juga penasaran. Kenapa ular ini tidak menyakitiku? Maksutku, halo? Kenapa dia malah bergelung MANJA seperti ini di kakiku? Seolah-olah aku adalah majikannya? Ular kan bukan anjing atu kucing kan?
“Hei, lo siapa sih?” Okay, call me gila, stres atau sejenisnya. Nyatanya, aku memang mengajak ular ini berbicara. Ampun dah! Okay, aku gila! Itu keputusannya! Mungkin aku menganggap diriku sendiri Harry Potter. Tapi apa yang terjadi selanjutnya bikin aku bergidik. Ular itu bergerak dan melepas gelungan manjanya dari kakiku. Ular itu menatapku!
Matanya masih merah, tepat seperti yang aku ingat dulu. Sen! Do not to do this! Do not to do this! Tapi nyatanya akal sehatku dikalahkan oleh rasa penasaranku. Aku berjongkok dan menetap ular itu lebih intens. Ular itu menjulur-julurkan lidahnya seperti ingin mengatakan sesuatu. Oh please Sen! Dimana-mana, semua ular itu menjulur-julurkan lidahnya! Iya sih.
Ular itu lalu merayap pergi. Tapi entah kenapa, sesuatu yang tidak bisa aku jelaskan dengan logikaku. Aku merasa nyaman. Seperti ada semangat baru dalam hidupku. Aah, entahlah ini delusi atau kenyataan. Aargh! Pulang ah, uda sore ini. Ntar papa mama nyap-nyap lagi.
Aku mengendap-endap lagi untuk mencapai kamarku. Untunglah tidak ketahuan. Dunia tidak berakhir hanya karena Taufik dan Herry mungkin-hanya mungkin-jadian. Dan ide liburan ke Jakarta bersama Galih tidaklah terlalu buruk. Di Jakarta tidak ada papa dan mama, jadi aku bisa bebas kemana saja dan Galih juga bebas ngapain aja. Okay, tiga minggu lagi! Jakarta, I’m coming! This is so simple! Take it easy.
***

Ujian semester sudah berlalu. Dan sekarang tengah class meeting. Cukup seru juga walaupun aku sudah jenuh setengah mati. Aku nanti bakal tampil akustik. Aku memlih lagu ‘cry me a river’ milik JT. Mungkin Herry tidak bakal mengerti, tapi setidaknya lagu ini memang untuk dia. Aku merasa dibodohi. Kenyataan jika Herry dan Taufik mungkin-hanya mungkin telah jadian sangat menggangguku. Dan cry me a river sangat mewakili perasaanku saat ini.
Saat sudah di atas panggung, aku tau mungkin tidak ada yang bakal mengerti apa yang aku nyanyikan. Hanya mungkin. Karena setahuku dari tadi belom ada yang menyanyikan lagu berbahasa Inggris. Entah karena mereka tidak bisa atau karena mereka tidak tahu. Aduh meremehkan sekali aku. Haha.
Aku mulai memainkan gitarku. Menyanyikan dengan segenap perasaanku. Supaya sampai ke Herry. Supaya dia tau betapa hancurnya aku. Tidak aku sangka saat aku sudah selesai menyanyikan lagu, tepuk tangan riuh terdengar sekali. Emangnya mereka ngerti apa yang aku nyanyikan tadi? Atau Cuma buat menghormatiku saja? Aah sudahlah, mengapa perlu aku pikirkan?
“Koe top Sen!” sambut Hendra begitu aku sudah turun dari atas panggung bersama gitarku.
“Emang elo ngerti apa yang gua nyanyiin tadi?” Hendra dengan segera menggeleng.
“Tapi suaramu enak banget Sen, empuk!”
“Hahaha, thanks! Kantin yuk, laper!”
“Siap bos!” Hendra adalah sahabat terbaikku. Itu tidak aku ragukan lagi. Bukan karena aku sering mentraktir dia. Dia tidak pernah minta di traktir. Dia yang paling tahan dengan sifatku yang kadang suka bossy. Dan kadang menyebalkan.
Aku dan Hendra sedang asyik makan siomay, ketika Herry masuk bersama Widi. Jangan anggap dia ada Sen, jangan pikirin dia. Jangan! Mereka memilih duduk di depanku dan Hendra. Herry melirikku beberapa kali yang tentu saja pura-pura aku abaikan. Padahal, aku hampir mengamati semua gerak-geriknya.
“Cabut yuk Hen, udah kan?” Hendra hanya mengangguk cepat. Agaknya ini anak belajar secara cepat bahwa aku dan Herry memang sedang terlibat masalah yang cukup serius. Eem, kira-kira kalau ajak Hendra liburan ke Jakarta gimana ya? Enggak usah ke rumah tante Nia, tapi ke rumah opa dan oma saja. Disana aku pasti lebih nyaman.
“Hen, lo liburan bakal kemana?”
“Paling bantuin ayahku garap sawah Sen, kenapa?”
“Ikut gua ke Jakarta, mau?” Hendra menoleh ke arahku secara tiba-tiba dengan raut wajah yang sulit aku jelaskan. Bahagia?
“Hmm, bapak ibuku pasti enggak ngijinin Sen.”
“Ntar aku yang minta ijin.” Hendra menatapku ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya mengangguk. Seenggaknya, ntar aku bakal jamu Hendra sebaik yang aku bisa. He is my best friend. Herry dan Taufik? Oh bitch! Go to the hell please! Disana masih banyak space kosong aku rasa.
***

Uhuiy, finally!! Aku, Hendra dan tentu saja. Ehm Galih sedang berada di bandara Jogja. Jakarta uiy, udah hampir enam bulan aku di kota kecil ini. Dari kota tempatku tinggal hingga menuju Jogja diperlukan waktu kurang lebih empat jam dengan mobil. Papa dan mama sendiri yang mengantar kami bertiga.
Soal tetek bengek di bandara tidak usahlah aku ceritakan. Seperti biasa, penerbangan lokal selalu delay. Tapi sudahlah, itu tidak penting. Begitu tiba di Cengkareng, Revan sudah stand by. Hmm, cepet juga ini anak. Kangen aku kali ya.
“Beuh, tambah cucok aja sih lo Sen. Gemes deh.” See? Aku pernah bilang kan kalau Revan ini agak melambai?
“Haha, bisa aja lo! Nih kenalin temen gua, Galih sama Hendra!” aku memajukan bibirku hingga dekat dengan telinga Revan, “Kalo Hendra jangan lo apa-apain ya! Awas! Kalo Galih, lo perkosa juga boleh. Hihi.” Bisikku tepat di telinga Revan. Revan secara insting langsung melirik Galih dan tersenyum geli.
“Oke deh ganteng!” katanya sambil mengerlip geli. Asli, sumpah jijay banget aku. Kok bisa sih tante Nia punya anak model gini? Untung adiknya Revan masih lelaki sejati. Sepanjang yang aku tahu sih. Tapi kalau ternyata sekong juga. Ya enggak tau deh. Wkwkwk. Aku bersama rombonganku -gile nih bahasa, berasa lagi ngarang pelajaran Bahasa Indonesia- langsung cabut menuju rumah opa dan oma. Karena rumah opa dan oma lebih gede, selain itu Cuma dihuni tiga orang. Opa, oma sama mbak Siti.
Begitu turun dari mobil, opa dan oma langsung memelukku. Mencium pipi dan keningku secara berlebihan. Efek kangen kali ya? Karena dulu semasa aku masih tinggal di Tangerang, setiap weekend aku pasti ke rumah opa dan oma. Dan sekarang sudah hampir enam bulan lebih aku tidak kemari. Wajar kalau mereka kangen. Hendra dan Galih juga disambut baik.
Aku dan Hendra satu kamar, tentu saja! Sedangkan Galih berada di kamar sebelah. Semoga, dengan liburan ini aku bakalan bisa melupakan Herry laknat itu. Eh, wait! Jangan-jangan dulu waktu Taufik menasehatiku agar putus dari Herry itu karena dia juga suka Herry? Bisa jadi kan? Ya ampun, malah jadi berprasangka buruk gini. Pamali ah Sen!
Malam ini, aku, Hendra, Seno, Revan dan tentu saja Galih sedang berkumpul di kamarku. Tentu saja kita masih di rumah oma di Jakarta. Rencananya sih besok kita mau ke Ancol. Rencananya sih. Yang aku tidak mengerti adalah Galih semakin protektif terhadapku, entahlah. Mungkin karena sudah disuruh mama dan papa kali. Engga ngerti juga.
“Heh, main kartu gimana?” Alarm tanda bahayaku berdesis di kepalaku begitu Revan mengusulkan ide ini. Itu anak pasti enggak mungkin Cuma mau main kartu biasa. Ada udang dibalik batu pasti.
“Boleh tuh Mas Revan! Daripada suntuk.” Hendra langsung setuju. Anak domba masuk kandang serigala. Ckck, polosnya Hendra.
“Ssst! Jangan panggil mas ah. Revan aja!”
“Kata lo Revi? Gimana sih?” Revan langsung mencubit pinggangku saat aku mengkoreksi namanya tadi. Gilak, sakit minta ampun! Tu anak, udah jarinya lentik plus kukunya panjang juga. Cubitannya mantap!
“Lih, lo ikutan kan? Kalo enggak Seno gua kerjain nih!” entah mungkin karena Galih menganggap ancaman Revan berbahaya atau apa, dia toh akhirnya bergabung juga. Padahal dari tadi dia hanya mengamatiku dari kursi dekat jendela. Sejak di Jakarta, Galih selalu mengamatiku. Selalu. Sepanjang yang aku tahu Revan kan emang sering bercanda. Galih duduk tepat disampingku. Shit! Tu kan dadaku mulai berdegup engga karuan gini. Keringat dingin juga mulai muncul.
“Oke, main kartunya agak beda ya. Tiap kali yang kalah harus lepas salah satu baju. Terserah sih mau celana kek, bajunya kek. Pokonya harus lepas salah satu sampai bugil!” aku memutar kedua bola mataku. Tuh kan, apa yang aku bilang tadi? Revan pasti punya rencana busuk! Engga mungkin dia lihat makluk se cute Hendra dan dibiarkan saja. Dan Galih, well aku pernah menjelaskan kepada kalian seperti apa Galih itu.
“Wah kok gitu tho Rev?” Hendra sepertinya agak keberatan.
“Biar seru! Lagian kan sama-sama lelaki ini!”
“Lo laki Rev?” pertanyaanku ini langsung dijawab dengan cubitannya di pinggangku. Again! Hmm, pada setuju enggak ya? Kalau pada mau main, aku ikutan aja lah.
“Kalau yang enggak mau main, ntar malam tidur di kamar yang sebelahan sama kamar opa.” Semuanya mau tidak mau langsung brgidik. Itu kamar serem. Hahaha.
“Yowes lah. Ikut aja.” Revan tersenyum licik mendengar jawaban Hendra.
“Kalo lo Lih? Kalo lo gak ikut sih, ntar Seno bisa gua bikin bugil lho! Secara dia lemah banget kalau main kartu.” Aku sedikit bingung. Kenapa Revan selalu menggunakan aku untuk memancing Galih? Galih mengangguk. Jadi dia ikutan.
“Lo! Gak ada alasan buat lo enggak ikutan!” aku menghela nafas tertahan.


Bersambung. . .

3 komentar:

  1. Baguss banget, sukaaaaaa. Cepat ya dilanjut

    BalasHapus
  2. Anonim2/22/2015

    maaf saya lama baru baca....saya suka semua cerita yang ada di blog ini sampai sekarang

    BalasHapus

leave comment please.