Aku
memilih untuk duduk dibelakang. Dan karena Galih tidak mengajakku mengobrol aku
memutuskan untuk menyibukkan diriku sendiri dengan game di gadgetku. Setidaknya
ini bisa mengalihkanku dari rasa takutku pada Galih, even dia menatapku saja
tidak. Kita sedang dalam perjalanan menjemput Hendra. Yah, untung saja Hendra
sudah stand by di depan Gapura kampungnya. Jadi setidaknya akan lebih menghemat
waktu.
“Kok suwi
banget tho Sen?” sesuai dugaanku, Hendra bakal protes.
“iya,
sorry.” Sengaja aku tidak menjelaskan bahwa salah satu penyebab kita agak
kesiangan adalah Galih yang mandinya kayak perawan kembang desa. Luamaaaaa
banget! Entah dia onani atau apa, tapi yang jelas dia hampir memakan waktu 45
menit di kamar mandi. Aku saja hanya 30 menit.
Aku
kembali menyibukkan diriku sendiri dengan game lagi. Setidaknya Hendra dan
Galih sudah terlibat obrolan seru. Ini juga menjadi salah satu pertanyaan yang
terus berputar-putar di kepalaku. Galih
sopan dan cepat akrab dengan hampir semua orang. Bahkan menjadi kepercayaan
papa. Aku? Aku ketakutan setangah mati dengannya! Jadi? Ada yang salah dengan
diriku? Mungkin aku bukanlah type kebanyakan orang. Atau, entahlah! Aku sendiri
tidak bisa menjelaskan ketakutanku pada Galih.
“Kita mau
ke toko buku yang mana Hen?” selaku pada Hendra yang sedang ‘ngecuprus’ panjang
lebar dengan Galih.
“Yang
didepan Matahari saja Sen! Lebih murah dan komplit.” Aku mengangguk dan sibuk
kembali dengan gadgetku. Toko buku disini bukan Gramedia. Di kota kecil ini
tidak ada Gramedia, no mall, no bioskop! Kalian tahu rasanya? Namun sebagai
gantinya kota ini menawarkan anti macet, anti banjir, anti panas, setidaknya
sepanjang aku tinggal disini, kota ini selalu adem. Kepercayaan dan kebersamaan
warganya pun cukup solid. Hampir semua orang di kota ini saling mengenal. Gilak!
Kecelakaan kecil saja bisa langsung menyebar beritanya-minus kecelakaan yang
aku buat tentu saja. Dan Matahari yang dikatakan Hendra tadi bukanlah Matahari
Dept. Store seperti yang ada dipikiran kalian. Itu hanya toko pakaian biasa,
tidak terlalu besar. Hanya kesamaan nama yang mungkin disengaja untuk menunjang
penjualan di tokonya. Mungkin.
“Oke. Mas
Galih tau tempatnya kan?” Galih mengangguk pelan. Dia selalu sopan memang
terhadapku. Bahkan segan? Aku juga tidak tau. Aku kembali menyibukkan diriku dengan
smartphoneku. Game yang tadi aku pause sudah menanti. Hendra dan Galih sudah
mengobrol seru lagi. Memakai bahasa jawa tentu saja. Dan aku tidak begitu
ngerti. Sekali-kali mereka tertawa-tawa tidak jelas. Aku memutar kedua bola
mataku sebelum mengambil earphoneku dan mulai memasangnya di telingaku. Dengan
suara yang cukup kencang hingga obrolan Hendra dan Galih sama sekali tidak
terdengar.
Aku tidak
pernah mengobrol dengan Galih. Mungkin hanya bicara satu atau dua kalimat.
Jelas itu bukan mengobrol. Mengobrol itu tepat seperti apa yang dilakukan oleh
Hendra dan Galih sekarang. Kenapa aku bisa begitu ketakutan dengan Galih? Oh
please, aku saja belum menemukan jawaban atas pertanyaanku sendiri.
Saat
sudah berada di toko buku, menurutku ini toko buku memang toko buku paling luas
disini. Paling komplit juga. Namun komik keluaran terbaru belum bisa
didapatkan. Mungkin menunggu satu atau dua bulan lagi. Aku melihat-lihat komik
dan beberapa majalah. Aku tidak tertarik dengan novel. Itu akan hanya membuatmu
berharap kehidupanmu akan seperti novel yang kamu baca. Bertemu, jatuh cinta
lalu bahagia selamanya. Clasic story! Kenyataannya tidak semudah itu. Tidak ada
cinta sejati. Apalagi di dunia gay. Impossible! Beberapa majalah fashion dan
majalah pria aku ambil. Lumayan untuk mengisi waktu luang. Da Man, Cosmo dan
Men’s Health jelas aku ambil. Sayang sekali dilewatkan.
“Sen!”
“Napa
Hen?”
“Sadar
gak tho kalau kamu kiey jadi pusat perhatian?” mendengar perkataan Hendra
barusan aku langsung mengedarkan pandanganku. Hmm, banyak orang yang tadinya
sedang melihatku langsung pura-pura sibuk kembali. Yah, aku sudah terbiasa. Aku
memang seperti selebritis di kota kecil ini. Entahlah, apa karena aku calon
pewaris orang terkaya di kota ini? Atau karena aku anak kota yang nyemplung ke
kota kecil? Atau karena wajahku yang tampan? Hahaha! Ngaco! Aku rasa aku
ketiga-tiganya.
“Cuekkin
aja lah!” kataku cuek sambil kembali berjalan mencari-cari buku bagus.
“Kamu mau
pakek opo wae tetep keren sih!” aku membalikkan tubuhku saat mendengar Hendra
mengucapkan kata-kata tadi. Itu terdengar seperti kata ‘rajukkan?’ atau
kupingku saja yang bermasalah?
Aku hanya
mengenakan kaos dalam putih tanpa lengan, beruntungnya aku bahwa bulu ketekku
belum tumbuh. Begitupun dengan bulu-bulu di penisku, sekarang sih sudah ada
sedikit-sedikit. Celana batik robek-robek-hadiah dari sepupuku (Revan, anak
tanteku-kakak mama. Pusing deh kalian), sepatu Nike kesayanganku dan jam tangan
Tag Heuer, hadiah dari oma dan opa saat ulang tahunku yang ke empat belas.
Ngomong-ngomong soal Revan, dia adalah anak dari tante Nia, kakak mamaku. Jika
papaku 2 bersaudara yaitu papa dan paman Pri. Mamaku tiga bersaudara. Tante
Nia, tante Sara dan mamaku tentu saja. Hanya saja tante Sara sudah meninggal
karena kecelakaan. Belum menikah pula. Revan itu adalah designer terkemuka di
Jakarta. Agak melambai sih dan terus terang hanya Revan yang tau kalau aku ini
gay. Padahal aku tidak pernah cerita ke dia. Kata Revan sih aku keliatan gaynya
dari caraku menatap laki-laki ganteng. Hahaha!
“Coba aku
yang make pasti keliatan norak.” Aku hanya tertawa kecil mendengar ucapan
Hendra barusan. Dulu aku pernah bilang kan kalau Hendra itu cukup cute?
“Yang
penting elonya nyaman.” Kataku sambil lalu. Lalu aku melihat dua orang yang
tidak mungkin bersama. Mustahil! Herry dan Taufik! Ngapain mereka berdua di
toko buku? Herry di toko buku? Sulit dipercaya! Barengan Taufik! God help!
Bitch please! Aku mengendap-endap agar lebih dekat dengan mereka tanpa
ketahuan. Menghiraukan Hendra yang tengah sibuk memilih buku. Rasa penasaran
mengalahkan gengsiku untuk tidak mendekati mereka.
Mereka
mengobrol dalam bahasa jawa. Hhh, dekat saja aku belum tentu paham. Apalagi
jaraknya jauh begini? Tapi rangkulan Taufik itu cukup menggangguku. Apa-apaan
ini? Bukankah Taufik sendiri yang bilang supaya aku jangan jadi gay? Lha trus?
Oke, rangkulan sesama cowok itu wajar, wajar banget malah. Tapi, tetap aja aku.
. . Arghhh! Kill me please! Dia merangkul bekas pacarku! Aku balik arah!
Persetan! Aku tidak akan menganggap mereka ada lagi di dunia ini!
“Lo udah
selesai Hen?”
“Dari
tadi. Kamu aku cari engga ada dimana-mana.”
“Ya udah,
balik yuk.” Hendra hanya mengangguk ringan sambil mengikuti dalam diam. Mungkin
dia bingung kenapa mood ku berubah secepat ini. Tadi baik-baik saja dan sekarang
tiba-tiba menjadi menyebalkan. Aah, nanti bisa aku jelaskan. Yang penting
sekarang aku mau pergi dari toko buku ini.
***
Ternyata
seperti ini rasanya patah hati. Okay, aku patah hati memang sudah agak lama.
Namun kali ini, rasanya luka itu seperti dibuka lagi. Perih, sakit yang pernah
aku alami dulu saat Herry melepasku kini seperti timbul lagi. Aku seperti di
ingatkan seperti apa rasanya. Aku harus move on! Harus! Britney saja bisa move
on selepas ditinggal Kevin Federline, kenapa aku tidak bisa? Mungkin liburan
semester satu ini aku ke Jakarta saja? Ke tempat tante Nia? Setidaknya tidak
akan ada Herry atau Taufik disana. Setelah berpikir sejenak, aku keluar kamar.
Minta ijin ke mama dan papa.
Aku
mendapati mereka berdua di teras sedang bersama Paman Pri dan Lek Tien.
Satu-satunya orang yang kurang nyaman dengan Galih selain aku hanya Paman Pri.
Lainnya? Seperti melupakan begitu saja jika Galih adalah orang yang aku tabrak
dengan permintaannya yang aneh.
“Ma, Seno
boleh minta sesuatu?”
“Apa
sayang?” Mama menoleh ke arahku dan tersenyum lembut. That’s my mom!
“Liburan
semester ini Seno ke Jakarta ya? Ke tempat Tante Nia.” Papaku yang sedang
membaca koran langsung menoleh. Kenapa nih? Enggak dibolehinkah? Karena
nolehnya itu lho. Segitunya banget.
“Boleh
sayang, sama Galih ya?” Kali ini bola mataku serasa mau keluar. Sama Galih?
Why? Maksutku, aku kan sedang ingin liburan dan aku ingin sendiri bukan dengan
orang yang bisa membuatku ketakutan setiap saat. Mamaku kadang-kadang suka
ngelawak nih. Tapi engga tau tempat dan waktu.
“Ma! Ini
kan liburan! Come on!”
“Ya gini,
kalau enggak sama Galih ya enggak usah ke Jakarta.” Aku menirukan kata-kata
papaku tadi dengan bersungut-sungut.
“Ntar deh
Seno pikir-pikir dulu. Masih lama ini.” Kataku sambil berlalu. Galih, Galih,
Galih dan Galih! Semuanya Galih. Apa-apa harus ditemani Galih! Oh shit! He is
not my bodyguard! Not my boyfriend too!
Hmm,
kalau lagi nganggur engga ada gawe gini jadi kepikiran yang kemaren. Kenapa
Herry sama Taufik bisa barengan? Jangan-jangan mereka janjian. Sepertinya akrab
banget. Apa iya Herry ninggalin aku buat Taufik? Hhh, satu minggu lagi bakalan
ada test semester satu. Dan aku terlalu malas untuk sekedar belajar. Hahaha,
masih seminggu ini. Enaknya ngapain ya? Main ke sawah aja kali ya? Kali aja
ketemu ular tanpa ekor kayak kemaren. Hahaha, ngaco! Namun daripada aku bete
setengah gila disini dan kepikiran yang enggak-enggak?
Aku
keluar mengendap-endap agar tidak ketahuan papa dan mama yang sedang berada di
teras rumah. Aku mungkin memang butuh udara segar. Jam segini pasti masih
banyak buruh yang bekerja di sawah. Ini kan baru jam empat. Eem, menuju
setengah lima tepatnya.
Saat aku
berjalan, beberapa orang tersenyum dan menundukkan kepalanya. Yah, aku sudah
terbiasa juga dengan perlakuan ini. Padahal sebenarnya aku agak risih. Aku
bukanlah pangeran atau apa. Dan sangat tidak pantas menerima perlakuan seperti
itu. Tapi ya sudahlah.
Sawah ini
luar biasa menyejukkan. Hawanya yang segar, angin sepoi-sepoinya dan juga
hamparan hijau tanaman padi yang masih muda. Dugaanku salah, hanya ada dua
orang yang masih berada di sawah, dan itupun mereka siap-siap mau pulang.
“Monggo
Mas Seno.” Sapa mereka begitu akan melewatiku. Aku hanya tersenyum dan
menganggukkan kepalaku. Aku berjalan pelan ke arah gubuk dan duduk disana.
“Seandainya
gua engga pernah kesini, mungkin gua kaga bakal ketemu Herry dan engga bakalan
juga ngalamin perih kayak gini.” Aku mulai berguman sendiri. Mengeluarkan
uneg-unegku. Aku tidak mungkin cerita ke Hendra. Dia tidak tau atau belom tahu
kalau aku gay dan pernah pacaran dengan Herry. Mungkin kalau dia tahu dia
bakalan kecewa dan mungkin dia bakal menjauhiku. Aku belom siap untuk itu.
Belom siap untuk kehilangan sahabat terbaikku.
Mungkin
karena aku asyik melamun aku tidak menyadari satu hal. Ada yang berbeda di
kakiku. Terasa agak berat. Aku menunduk dan sedikit terkejut. Ular hitam besar
tanpa ekor itu bergelung di kakiku. Dia tidak membelitku, hanya bergelung.
Takut? Pasti! Tapi aku juga penasaran. Kenapa ular ini tidak menyakitiku?
Maksutku, halo? Kenapa dia malah bergelung MANJA seperti ini di kakiku?
Seolah-olah aku adalah majikannya? Ular kan bukan anjing atu kucing kan?
“Hei, lo
siapa sih?” Okay, call me gila, stres atau sejenisnya. Nyatanya, aku memang
mengajak ular ini berbicara. Ampun dah! Okay, aku gila! Itu keputusannya! Mungkin
aku menganggap diriku sendiri Harry Potter. Tapi apa yang terjadi selanjutnya
bikin aku bergidik. Ular itu bergerak dan melepas gelungan manjanya dari
kakiku. Ular itu menatapku!
Matanya
masih merah, tepat seperti yang aku ingat dulu. Sen! Do not to do this! Do not
to do this! Tapi nyatanya akal sehatku dikalahkan oleh rasa penasaranku. Aku
berjongkok dan menetap ular itu lebih intens. Ular itu menjulur-julurkan
lidahnya seperti ingin mengatakan sesuatu. Oh please Sen! Dimana-mana, semua
ular itu menjulur-julurkan lidahnya! Iya sih.
Ular itu
lalu merayap pergi. Tapi entah kenapa, sesuatu yang tidak bisa aku jelaskan
dengan logikaku. Aku merasa nyaman. Seperti ada semangat baru dalam hidupku.
Aah, entahlah ini delusi atau kenyataan. Aargh! Pulang ah, uda sore ini. Ntar
papa mama nyap-nyap lagi.
Aku
mengendap-endap lagi untuk mencapai kamarku. Untunglah tidak ketahuan. Dunia
tidak berakhir hanya karena Taufik dan Herry mungkin-hanya mungkin-jadian. Dan
ide liburan ke Jakarta bersama Galih tidaklah terlalu buruk. Di Jakarta tidak
ada papa dan mama, jadi aku bisa bebas kemana saja dan Galih juga bebas ngapain
aja. Okay, tiga minggu lagi! Jakarta, I’m coming! This is so simple! Take it
easy.
***
Ujian semester
sudah berlalu. Dan sekarang tengah class meeting. Cukup seru juga walaupun aku
sudah jenuh setengah mati. Aku nanti bakal tampil akustik. Aku memlih lagu ‘cry
me a river’ milik JT. Mungkin Herry tidak bakal mengerti, tapi setidaknya lagu
ini memang untuk dia. Aku merasa dibodohi. Kenyataan jika Herry dan Taufik
mungkin-hanya mungkin telah jadian sangat menggangguku. Dan cry me a river
sangat mewakili perasaanku saat ini.
Saat
sudah di atas panggung, aku tau mungkin tidak ada yang bakal mengerti apa yang
aku nyanyikan. Hanya mungkin. Karena setahuku dari tadi belom ada yang
menyanyikan lagu berbahasa Inggris. Entah karena mereka tidak bisa atau karena
mereka tidak tahu. Aduh meremehkan sekali aku. Haha.
Aku mulai
memainkan gitarku. Menyanyikan dengan segenap perasaanku. Supaya sampai ke
Herry. Supaya dia tau betapa hancurnya aku. Tidak aku sangka saat aku sudah
selesai menyanyikan lagu, tepuk tangan riuh terdengar sekali. Emangnya mereka
ngerti apa yang aku nyanyikan tadi? Atau Cuma buat menghormatiku saja? Aah
sudahlah, mengapa perlu aku pikirkan?
“Koe top
Sen!” sambut Hendra begitu aku sudah turun dari atas panggung bersama gitarku.
“Emang
elo ngerti apa yang gua nyanyiin tadi?” Hendra dengan segera menggeleng.
“Tapi
suaramu enak banget Sen, empuk!”
“Hahaha,
thanks! Kantin yuk, laper!”
“Siap
bos!” Hendra adalah sahabat terbaikku. Itu tidak aku ragukan lagi. Bukan karena
aku sering mentraktir dia. Dia tidak pernah minta di traktir. Dia yang paling
tahan dengan sifatku yang kadang suka bossy. Dan kadang menyebalkan.
Aku dan
Hendra sedang asyik makan siomay, ketika Herry masuk bersama Widi. Jangan
anggap dia ada Sen, jangan pikirin dia. Jangan! Mereka memilih duduk di depanku
dan Hendra. Herry melirikku beberapa kali yang tentu saja pura-pura aku
abaikan. Padahal, aku hampir mengamati semua gerak-geriknya.
“Cabut
yuk Hen, udah kan?” Hendra hanya mengangguk cepat. Agaknya ini anak belajar
secara cepat bahwa aku dan Herry memang sedang terlibat masalah yang cukup
serius. Eem, kira-kira kalau ajak Hendra liburan ke Jakarta gimana ya? Enggak
usah ke rumah tante Nia, tapi ke rumah opa dan oma saja. Disana aku pasti lebih
nyaman.
“Hen, lo
liburan bakal kemana?”
“Paling
bantuin ayahku garap sawah Sen, kenapa?”
“Ikut gua
ke Jakarta, mau?” Hendra menoleh ke arahku secara tiba-tiba dengan raut wajah
yang sulit aku jelaskan. Bahagia?
“Hmm,
bapak ibuku pasti enggak ngijinin Sen.”
“Ntar aku
yang minta ijin.” Hendra menatapku ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya
mengangguk. Seenggaknya, ntar aku bakal jamu Hendra sebaik yang aku bisa. He is
my best friend. Herry dan Taufik? Oh bitch! Go to the hell please! Disana masih
banyak space kosong aku rasa.
***
Uhuiy,
finally!! Aku, Hendra dan tentu saja. Ehm Galih sedang berada di bandara Jogja.
Jakarta uiy, udah hampir enam bulan aku di kota kecil ini. Dari kota tempatku
tinggal hingga menuju Jogja diperlukan waktu kurang lebih empat jam dengan
mobil. Papa dan mama sendiri yang mengantar kami bertiga.
Soal
tetek bengek di bandara tidak usahlah aku ceritakan. Seperti biasa, penerbangan
lokal selalu delay. Tapi sudahlah, itu tidak penting. Begitu tiba di
Cengkareng, Revan sudah stand by. Hmm, cepet juga ini anak. Kangen aku kali ya.
“Beuh,
tambah cucok aja sih lo Sen. Gemes deh.” See? Aku pernah bilang kan kalau Revan
ini agak melambai?
“Haha,
bisa aja lo! Nih kenalin temen gua, Galih sama Hendra!” aku memajukan bibirku
hingga dekat dengan telinga Revan, “Kalo Hendra jangan lo apa-apain ya! Awas!
Kalo Galih, lo perkosa juga boleh. Hihi.” Bisikku tepat di telinga Revan. Revan
secara insting langsung melirik Galih dan tersenyum geli.
“Oke deh
ganteng!” katanya sambil mengerlip geli. Asli, sumpah jijay banget aku. Kok
bisa sih tante Nia punya anak model gini? Untung adiknya Revan masih lelaki
sejati. Sepanjang yang aku tahu sih. Tapi kalau ternyata sekong juga. Ya enggak
tau deh. Wkwkwk. Aku bersama rombonganku -gile nih bahasa, berasa lagi ngarang
pelajaran Bahasa Indonesia- langsung cabut menuju rumah opa dan oma. Karena
rumah opa dan oma lebih gede, selain itu Cuma dihuni tiga orang. Opa, oma sama
mbak Siti.
Begitu
turun dari mobil, opa dan oma langsung memelukku. Mencium pipi dan keningku
secara berlebihan. Efek kangen kali ya? Karena dulu semasa aku masih tinggal di
Tangerang, setiap weekend aku pasti ke rumah opa dan oma. Dan sekarang sudah
hampir enam bulan lebih aku tidak kemari. Wajar kalau mereka kangen. Hendra dan
Galih juga disambut baik.
Aku dan
Hendra satu kamar, tentu saja! Sedangkan Galih berada di kamar sebelah. Semoga,
dengan liburan ini aku bakalan bisa melupakan Herry laknat itu. Eh, wait!
Jangan-jangan dulu waktu Taufik menasehatiku agar putus dari Herry itu karena
dia juga suka Herry? Bisa jadi kan? Ya ampun, malah jadi berprasangka buruk
gini. Pamali ah Sen!
Malam
ini, aku, Hendra, Seno, Revan dan tentu saja Galih sedang berkumpul di kamarku.
Tentu saja kita masih di rumah oma di Jakarta. Rencananya sih besok kita mau ke
Ancol. Rencananya sih. Yang aku tidak mengerti adalah Galih semakin protektif
terhadapku, entahlah. Mungkin karena sudah disuruh mama dan papa kali. Engga
ngerti juga.
“Heh,
main kartu gimana?” Alarm tanda bahayaku berdesis di kepalaku begitu Revan
mengusulkan ide ini. Itu anak pasti enggak mungkin Cuma mau main kartu biasa.
Ada udang dibalik batu pasti.
“Boleh
tuh Mas Revan! Daripada suntuk.” Hendra langsung setuju. Anak domba masuk
kandang serigala. Ckck, polosnya Hendra.
“Ssst!
Jangan panggil mas ah. Revan aja!”
“Kata lo
Revi? Gimana sih?” Revan langsung mencubit pinggangku saat aku mengkoreksi
namanya tadi. Gilak, sakit minta ampun! Tu anak, udah jarinya lentik plus
kukunya panjang juga. Cubitannya mantap!
“Lih, lo
ikutan kan? Kalo enggak Seno gua kerjain nih!” entah mungkin karena Galih
menganggap ancaman Revan berbahaya atau apa, dia toh akhirnya bergabung juga.
Padahal dari tadi dia hanya mengamatiku dari kursi dekat jendela. Sejak di
Jakarta, Galih selalu mengamatiku. Selalu. Sepanjang yang aku tahu Revan kan
emang sering bercanda. Galih duduk tepat disampingku. Shit! Tu kan dadaku mulai
berdegup engga karuan gini. Keringat dingin juga mulai muncul.
“Oke,
main kartunya agak beda ya. Tiap kali yang kalah harus lepas salah satu baju.
Terserah sih mau celana kek, bajunya kek. Pokonya harus lepas salah satu sampai
bugil!” aku memutar kedua bola mataku. Tuh kan, apa yang aku bilang tadi? Revan
pasti punya rencana busuk! Engga mungkin dia lihat makluk se cute Hendra dan
dibiarkan saja. Dan Galih, well aku pernah menjelaskan kepada kalian seperti
apa Galih itu.
“Wah kok
gitu tho Rev?” Hendra sepertinya agak keberatan.
“Biar
seru! Lagian kan sama-sama lelaki ini!”
“Lo laki
Rev?” pertanyaanku ini langsung dijawab dengan cubitannya di pinggangku. Again!
Hmm, pada setuju enggak ya? Kalau pada mau main, aku ikutan aja lah.
“Kalau
yang enggak mau main, ntar malam tidur di kamar yang sebelahan sama kamar opa.”
Semuanya mau tidak mau langsung brgidik. Itu kamar serem. Hahaha.
“Yowes
lah. Ikut aja.” Revan tersenyum licik mendengar jawaban Hendra.
“Kalo lo
Lih? Kalo lo gak ikut sih, ntar Seno bisa gua bikin bugil lho! Secara dia lemah
banget kalau main kartu.” Aku sedikit bingung. Kenapa Revan selalu menggunakan
aku untuk memancing Galih? Galih mengangguk. Jadi dia ikutan.
“Lo! Gak
ada alasan buat lo enggak ikutan!” aku menghela nafas tertahan.
Bersambung.
. .
Baguss banget, sukaaaaaa. Cepat ya dilanjut
BalasHapusThanks. :) soon ya.
Hapusmaaf saya lama baru baca....saya suka semua cerita yang ada di blog ini sampai sekarang
BalasHapus