Aku
benar-benar ecxited walaupun aku tidak memperlihatkannya secara nyata.
Mengamati Herry yang tengah mengganti bajunya untuk siap-siap tidur menjadi
pemandangan yang tidak mungkin aku lewatkan. Bagaimanapun juga, aku sekarang
tidak malu-malu lagi untuk menatapnya secara terang-terangan. Buat apa? Toh dia
sudah tahu tentang perasaanku ini.
“Hehehe,
nggak enak Sen kalau dipandangi seperti itu terus.”
“Lah
kenapa?” tanyaku santai.
“Grogi,
deg-degan.” Kata Herry sambil berjalan dan merebahkan tubuhnya disampingku.
Sekarang malah aku yang jadi grogi.
“Sen?
Kapan dimulai?” awalnya aku kurang mengerti dengan apa yang diucapkan oleh
Herry, namun beberapa detik kemudian aku paham. Aku menatap wajah imut Herry
secara intens. Tanganku mulai melingkar dipinggangnya.
“Gimana
Herry? Ada sesuatu yang elo rasain nggak?” Herry balas menatapku. Aduh, kok
malah wajahku sih yang jadi blushing?
“Kamu itu
manis ya Sen? Putih bersih wajah kamu. Ya pantes sih soalnya kamu priyayi.”
Herry menggerakkan jari-jarinya untuk menyentuh wajahku. Membelainya dengan
ringan dan lembut.
“Kulitmu
alus. Kayaknya aku memang cinta sama kamu Sen, nih buktinya hatiku
enjot-enjotan trus. Debarannya kenceng banget.” Mendengar kata-katanya, aku
memberanikan diri untuk menyentuh dadanya yang terbalut kaos tipis. Aku bisa
merasakannya, debaran itu. Pelan tapi pasti aku mengarahkan bibirku untuk
bertemu dengan bibirnya. Awalnya Herry tidak paham, namun sepertinya instingnya
menuntunnya dengan baik. Bibir kita bertemu, namun kemudian Herry mulai melumat
bibirku dengan perlahan. Aku membalasnya dengan lembut. Aku tidak tahu apakah
ini adalah ciuman pertama Herry, namun aku bisa merasakannya, He’s great!!
“Hehehe,
enak tenan bibirmu Sen!” aku tersipu mendengar omongannya yang memang suka
ceplas-ceplos.
“Kamu tahu
Her kalau ini salah?” aku ini apa sih? Bukannya yang ingin pacaran dengan Herry
itu aku? Lalu kenapa begitu Herry mengiyakan aku malah membuat dia meragu?
“Tahu.
Aku lelaki, kamu juga lelaki. Tapi, aku bahagia sama kamu. Rasanya deg-deg sir
nggak karuan.” Aku masih menatapnya dengan pandangan tidak percaya.
“Sen, aku
boleh nyipok kamu lagi nggak?” aku termangu sebentar sebelum akhirnya terkekeh
pelan.
“Semaumu.”
Herry tertawa tanpa suara sebelum akhirnya bibirnya melumat lagi bibirku.
Well, aku
puas berciuman dengan Herry. Berapa kali ya tadi? Aku lupa! Yang jelas, aku dan
Herry resmi pacaran. Setidaknya, dia milikku dan aku miliknya. Hahaha, gombal
sadis! Namun yang namanya orang jatuh cinta, aku tidak peduli. Herry sudah lama
tertidur di dadaku. Rasanya berat dan sesak. Tapi aku menyukainya. Aku menyukai
segala sesuatu dalam diri Herry. Rakusnya saat dia makan, otaknya yang tidak
pernah jalan saat membahas tentang pelajaran, tingkahnya yang seperti preman
namun pada kenyataannya dia sama sekali belom dewasa. Hahaha, yap! Dia masih
seperti anak kecil.
Aku dan
Herry tidak berhubungan seks kalau kalian ingin tahu. Dan mataku entah mengapa
tidak bisa diajak berkompromi untuk dipejamkan barang sejenak. Aku masih
nyalang dengan dengkuran kecil Herry sebagai latar belakang musiknya. Tanganku
bergerak membelai-belai rambut ikal Herry. Emm, tidak hanya tingkah lakunya
saja yang seperti anak kecil. Wajahnya juga, cute banget! Walaupun tanda-tanda
kalau dia anak yang bandel juga tergambar jelas di wajahnya. Aku menyukainya!
Tidakkah aku sudah mengatakan hal ini berulang-ulang? Mungkin tidak akan cukup
jika menyangkut perasaanku tentang Herry. Dan karena mungkin aku terbawa
suasana yang semakin malam dan sunyi, mataku perlahan-lahan terpejam.
***
Aku
berlari dan setengah berteriak. Yang aku heran tidak ada seorangpun yang
mendengar teriakanku. Dimana semua orang? Kenapa tempat ini begitu sepi? Lalu
suara gemerisik itu kembali mengusikku. Nafasku yang mulai putus-putus tidak
aku hiraukan, aku terus berlari. Ular itu mendatangiku! Rasanya sendi-sendi di
kakiku sudah mau copot. God, help me!
“Kenapa
kamu lari?” suara itu parau. Terdengar berat dan sengau. Tenagaku sudah habis.
Paru-paruku seperti mau meledak rasanya. Ular itu semakin mendekat ke arahku.
Apa yang sebenarnya dia inginkan?
“Kenapa
kamu lari?” lagi-lagi suara itu terdengar. Aku memastikan dengan seksama bahwa
yang aku dengar ini tidak salah. Ular itu berbicara? Denganku? Perlahan-lahan
ular itu seperti berubah bentuk dan aku sedikit ternganga dibuatnya. Aku memang
belum pernah bertemu beliau. Saat aku lahir, beliau sudah tiada. Namun aku
mengenalinya, potonya terpajang sangat besar di ruang tengah. Itu kakek
buyutkah?
Aku
terlonjak dari ranjang dan menyadari bahwa aku telah berada di bawah. Damn it!
It was a dream? Rasanya aku benar-benar mengalaminya. Aku meraih ponselku yang
terletak di meja samping tempat tidurku. Masih jam setengah lima pagi. Aku
bangkit dari bawah dan berjalan keluar kamar. Aku haus sekali.
Pelan-pelan
aku membuka pintu kamarku karena aku tidak ingin membangunkan Herry yang masih
terlelap. Aku berjalan melintasi ruang tengah dan sedikit berdesir ketika
melihat foto eyang buyutku. Loh, Mbok Dirah kok belom bangun ya? Biasanya jam
segini Mbok Dirah sudah stand by di dapur. Mungkin bangun kesiangan. Aku
mengambil air putih dari dispenser, meminumnya dengan cepat dan berjalan
kembali menuju kamarku. Ini rumah eyang kalau sepi dan gelap gini kok serem
banget sih ya? Lalu aku mendengar bunyi gemerisik itu. Persis seperti dalam
mimpiku tadi. Don’t tell me kalau itu adalah ular yang hadir di mimpi aku tadi!
Anehnya,
tidak seperti dalam mimpi dimana aku bisa berlari kencang, kakiku malah
gemetaran hebat. Lututku serasa tidak bertulang. Aku hanya bisa diam ditempat,
sedangkan suara gemerisik itu semakin dekat terdengar. Shit dah! Ini kaki pake
acara ngadat disaat momen tidak tepat lagi. Siapapun tolong bangun dan tolong
aku!
“Kenapa
kamu lari dariku?” suara parau itu lagi. WAAAAAAAAAA!!!!!!
Aku
terduduk dengan sukses dan melihat Herry yang tengah menatapku dengan tatapan
cemas.
“Kamu
nopo Sen? Mimpi buruk?” aku menatap Herry masih dengan tatapan liar. Lama-lama
kesadaranku pulih dan mendorong tanganku untuk menyentuh wajah Herry.
“Woy,
ngapain Sen? Ini udah pagi lho! Kalau ketahuan keluargamu bisa gawat!” aku
tidak begitu peduli dengan racauan Herry. Sesegera mungkin aku mencubit pipinya
dengan gemas.
“Adaow!
Baru juga semalam jadian, udah main kasar aja saiki!” mendengar ucapan Herry
aku mendesah lega. Berarti aku benar-benar sudah bangun sekarang. Bad dream!
Beneran deh, aku nggak bakal mau buat ngulang mimpi semalam. Ngeri-ngeri sedap!
“Sen, ini
udah setengah enam loh. Buruan mandi! Ntar telat! Aku aja udah mandi!” aku baru
sadar kalau Herry hanya memakai handuk doang di pinggangnya. Aku bangun dari ranjang
dengan malas. What the hell? Kenapa kakiku rasanya kayak sakit banget ya?
“Nopo
Sen?” tanya Herry yang melihat raut wajahku yang kesakitan.
“Nggak
papa. Buruan gih pake baju, daripada ntar itu handuk aku pelorotin!”
“Hahaha,
kan kamu ues pernah lihat Sen.” Aku tersenyum mesum sambil kedip-kedip genit
sebelum akhirnya menghilang dibalik kamar mandi. Pergelangan kakiku membiru.
Aku memperhatikannya dengan seksama. Seperti dicengkram terlalu keras oleh
seseorang. Padahal dalam mimpi sepertinya aku tidak dicengkram. Shit! Ular itu
kan berhasil melilitku sebelum aku bangun! Hasyah, wake up Arseno Erlangga
Prawiro! Itu Cuma mimpi! Mungkin saja Herry semalam ngelindur terus tanpa
sengaja meremas pergelangan kakiku! Iya, mungkin itu! Tapi masak sampai membiru
gini sih? Ah, what the fuck lah!
***
Hendra
masih memonyongkan bibirnya, tanda dia merajuk karena semalam dia tidak
ditawari buat menginap bareng. Aku jadi serba salah, karena aku memang tidak
menawarinya kemarin. Yah, selain karena Hendra pasti bakal mengacau, itu
artinya jika Hendra semalam juga menginap berarti mungkin hari ini aku belum
menjadi pacar Herry. Herry sih cuek-cuek saja seakan tidak peduli. Itu anak
tengah menyalin PR dari Hendra. Sebenarnya ingin sekali aku bergabung dengan
Herry, karena aku juga belum mengerjakan PR tersebut. Yah, mengingat semalam
kita sibuk melakukan hal lain, namun niatku untuk bergabung dengan Herry buat
menyalin PR harus diurungkan karena Hendra masih memonyongkan bibirnya dan
matanya yang melotot itu membuatku takut. Takut jika mata itu akan lepas dari
Hendra.
“Sudah
lah Hen, ntar malam lo boleh nginep deh!” Hendra masih monyong dan belum
membuka suaranya. Duile nih anak! Aku baru kali ini melihat Hendra merajuk.
“Bareng
Herry juga, jadi kita tidur bertiga.” Kali ini mata Hendra sedikit melirikku.
Sumpah, tanganku jadi gatal untuk meminjam muntu dari kantin dan menguleknya di
bibir Hendra. Monyongnya itu lho.
“Gue
kemaren lusa baru saja download konser Britney di Las Vegas, lengkap! Lo boleh
nonton ntar malam!” kali ini mata melototnya menjadi berbinar. Yeah, temanku
yang satu ini memang penggemar fanatik Britney Spears. Dan sejak aku kenal
dengan Hendra, dia jadi memaksaku untuk melakukan segala sesuatu yang berbau
dengan Britney. Seperti mendownloadkan semua lagunya dari album pertama hingga
album terbarunya. Mencari-cari penampilannya setiap dia perform. Dan satu fakta
lagi yang bikin aku tercengang, Hendra ingin mempunyai pacar seperti Britney.
Fuck! Impossible banget!
Namun
gara-gara Hendra juga aku jadi ikut-ikutan ngefans dengan Britney. Hah,
bagaimana tidak, ponsel milik Hendra belum mendukung mp3 player, yah mau tidak
mau ponselku yang jadi korban! Semua play list hampir sebagian diisi lagu-lagu
Britney. Hendra, Hendra, sepertinya dia terobsesi oleh hal-hal yang belum
semestinya. Maksutnya apa ya?
“Sen,
kamu mau nyalin PR nggak?” aku melirik Hendra sebentar. Dan ketika aku melihat
raut wajahnya yang sudah biasa-biasa saja, aku langsung bergegas mendekati
Herry dan langsung meminjam PR yang baru dia salin. Diantara kita bertiga,
pacarku ini memang paling tidak bisa diandalkan dalam pelajaran materi. Tetapi,
tulisannya paling rapi dan paling bagus. Aku juga sempat heran, namun itu
faktanya. Catatan Herry sangat rapi dan tulisannya pun enak dilihat. Tidak
seperti tulisan lelaki kebanyakan.
Tidak
lama kemudian, Hendra bergabung dengan kami. Dia dan Herry meributkan sesuatu
di ponselku. Paling juga mereka rebutan, biasalah. Herry ingin melihat
foto-foto dirinya sendiri di ponselku sedangkan Hendra ingin mendengarkan lagu-lagu
Britney. Cerita klasik, pasti habis ini mereka suit-suitan. Dasar anak kecil!
***
Aku
memandangi wajah Herry yang tengah makan sop buah. Lucu sekali ekspresi
wajahnya saat seperti ini. Kami saat ini sedang berada di alun-alun. Yeah,
malam ini Herry dan Hendra memang akan menginap di rumahku. Dan kita (aku dan
Herry) sedang berada di alun-alun sambil menunggu Hendra yang tengah sibuk
dengan ke osisannya. Dia minta di jemput jam empat. Jadi ya kita main-main dulu
lah.
“Punya
kamu nggak abis tho Ay?” aku masih geli sendiri dengan panggilan sayang Herry
untukku ini. Entah darimana dia mendapatkan ide untuk memanggilku ‘ay’.
“He eh,
udah kenyang aku Her!” Herry langsung meringis dan menyambar sop buahku yang
masih sisa setengah.
“Tak
abisin ya? Mubazir kalau dibuang.” Aku terkekeh sendiri. Herry masih medhok
saja memakai bahasa Indonesia. Aku memang makin ngerti dengan bahasa Jawa,
namun kalau disuruh untuk melafalkannya aku masih grogi. Mungkin sudah bisa,
namun aku yakin logatku pasti terdengar sangat lucu.
“Aku poto
ya?” kataku sambil mengambil ponselku dan mengarahkannya ke wajah Herry. Yah,
seperti yang aku duga, itu anak langsung pasang gaya! Dia memang photogenic.
Hasil jepretannya selalu bagus walaupun diambil diam-diam sekalipun.
“Gimana
ay? Bagus tho? Ganteng tho?” Herry heboh sendiri ketika melihat hasil
jepretanku tadi. Aduh, ini anak tingkat narsisnya udah sampai level berapa ya?
Setelah
ngobrol kesana kemari dan menghabiskan empat mangkok sop buah, aku hanya
menghabiskan setengahnya. Jadi kalian tahu tiga setengah mangkok sop buah yang
lain hijrah kemana. Aku dan Herry langsung pulang kerumahku. Setelah ganti
baju, dengan membawa mobil kita pergi ke sekolah lagi, menjemput Hendra.
Ternyata
Hendra belum selesai, terpaksa kita menunggu di parkiran. Beberapa anak yang
lewat memandangiku dengan tatapan aneh. Aduh, ini memang salahku. Di sekolahku,
belum pernah ada siswa yang membawa mobil. Jadi, mungkin ini pemandangan
pertama buat mereka. Lagipula, aku melirik mobilku sendiri dengan sinis (mobil
mamaku sih sebenarnya), kenapa aku harus membawa mobil BMW ini? Kenapa tidak
pinjam punya Paman Pri saja tadi? Seenggaknya mobil pamanku itu tidak terlalu
kelihatan mahal.
“Ay,
kapan-kapan ajarin aku bawa mobil ya?” aku yang tengah berkutat dengan ponselku
langsung menoleh kearah Herry.
“Kamu
nggak bisa bawa mobil?”
“Bapakku
nggak mau ngajarin! Ajarin ya ay? Please?” aku terkekeh geli. Ini anak kalau
udah ngomong inggris lucu banget! Ngomong bahasa Indonesia saja bikin terkekeh,
apalagi pas ngomong bahasa Inggris.
“Iya,
ntar kapan-kapan.” Jawabku sambil memandang heran Herry yang tengah
celingukkan. Lalu tiba-tiba mencium pipiku secara kilat.
“Makasih
ay, aku kangen bibirmu.” Herry mengucapkannya sambil berbisik. Tak pelak lagi,
wajahku langsung blushing. Herry, I love you so much! Ehm, tentu saja aku
mengatakannya dalam hati.
“Mana
ntar malam ada si kucluk Hendra lagi. Ahh! Jengkel!” ini anak bener-bener bikin
gemes. Bagaimana tidak? Dari tadi dia ngedumel seakan-akan aku tidak berada
disampingnya. Aku juga kangen bermesraan dengan Herry. Ahh, kita baru jadian
satu hari! Aku menyenggol Herry supaya berhenti ngedumel tentang sialnya malam
ini karena jelas-jelas tidak bisa bermesraan denganku karena aku sudah melihat
Hendra yang berjalan kearah kami.
“Woi, maaf
lama. Tapi ndak usah tanya alasannya, aku males jelasinnya!” katanya begitu
sudah didekat kami. Aku mendengus pelan sebelum masuk kemobil yang diikuti oleh
Hendra dan Herry. Secara sepintas aku melihat Taufik yang juga tengah berjalan
kearah parkiran. Tunggu nggak ya? Nggak saja lah, kataku dalam hati sambil
menghidupkan mobilku dan langsung tancap gas.
Begitu
sampai dirumah, aku menyuruh Herry dan Hendra untuk langsung kekamarku.
Sedangkan aku menemui papa mamaku, aku ingin mobil! Urusan SIM, nanti bisa diatur
lah. Aku kan keluarga Prawiro, sekali-kali menggunakan nama besar keluarga kan
tidak ada salahnya. Halah, ngeles saja!
“Ma, Pa,
beliin Seno mobil!” Papa dan Mamaku langsung menatapku seakan-akan aku bukan
anak mereka.
“Kenapa?
Kamu kan masih empat belas tahun!”
“Biar
gampang ke sekolahnya ma!”
“Sunat
dulu kalau gitu. Setelah kamu sunat, baru mama beliin mobil!” gantian aku yang
memandang mamaku seakan-akan dia bukan mama kandungku. Jujur, aku masih
menganggap sunat adalah salah satu hal yang paling menakutkan yang harus aku
lalui dalam hidupku.
“Mama kan
beliinnya pake duit papa! Ya pa? Beliin Seno mobil ya?” kali ini aku pindah
haluan, walaupun terasa percuma. Jelas papaku itu akan membeo apapun kata
mamaku. Dasar suami takut istri! Ampuni aku!
“Turuti
dulu mama kamu.” Tu kan! Sudah aku duga!
“Oke deh,
Seno sunat! Tapi beliin mobil ya?” mendengar ancamanku yang semeyakinkan para
pembunuh bayaran, papa dan mamaku mengangguk kompak. Aku menghembuskan nafas
panjang. Sunat? Hah banget!
Aku
berjalan gontai menuju kamarku dan mendapati Hendra yang senyum-senyum geje.
“Jadi
waktu di kali kedu itu kamu nolak buat mandi bareng karena belom sunat? Malu
ya?” Oh, maha bencana! Jadi mereka mendengar percakapanku dan juga orangtuaku
tadi.
“Siapa
yang malu? Biasa aja!”
“Kalau
gitu coba liat!” tanpa aku duga Hendra sudah maju untuk kemudian tersenyum
mengerikan.
“Sstt!
Nggak entuk! Ra sopan tauk!” Herry langsung menjitak kepala Hendra. Hahaha,
pacarku mana rela aku ditelanjangi laki-laki lain. Aku melihat Hendra yang memonyongkan
bibirnya dan sedikit menggerundel. Namun sepertinya Hendra tidak berniat
melanjutkan apa yang dipikirkannya tadi.
Tidur
bersama Hendra dan Herry memang menyenangkan. Setidaknya, kita bisa bercanda
tanpa harus takut saling menyakiti. Saling hina pun kita sudah kebal. Mereka
berdua juga sudah tidak sungkan lagi padaku. Itu yang aku inginkan, aku tidak
ingin orang-orang hanya melihatku sebagai cucu eyang Prawiro, tapi sebagai
Arseno.
Hendra
sudah terlelap. Aku dan Herry masih terjaga, kita sengaja memang. Aku melangkah
keluar dengan diikuti Herry dibelakangku. Kita duduk-duduk di teras rumah eyang
yang kebetulan ada kursi yang memang sudah disiapkan disitu. Kursi yang terbuat
dari anyaman kayu. Bunyinya ‘kriet kriet’ kalau didudukki. Hahaha.
“Bener kamu
belom sunat ay?” jiah, kenapa Herry bahas topik ini sih? Aku hanya mengangguk.
Malas sekali untuk menjawab, ‘iya aku belom sunat!’
“Boleh
lihat? Kamu kan dulu sudah pernah lihat punyaku ay! Dua kali lagi!” yeah,
tenyata dihitung sama Herry saudara-saudara! Aku diam saja, tidak tahu harus
bagaimana. Maksutku aku terlalu malu untuk berdiri dan menurunkan boxerku
beserta celana dalamku agar Herry melihat penisku yang masih terbungkus kulup.
Hal yang
tidak terduga adalah tangan Herry yang sudah meraba-raba penisku dari luar
untuk kemudian menelusup lewat lobang kaki boxerku.
“Cepet
banget bangunnya ay?” aku hanya meringis. Remasan Herry mau tidak mau langsung
membuat perkakas berhargaku itu menunjukkan kegarangannya.
“Gede
juga ay, boxernya aku naikkin ya?” aku hanya mengangguk. Tidak lama kemudian
tangan Herry menyingkap boxerku keatas dan mengeluarkan penisku lewat lobang
kaki boxerku. Lampu depan memang dinyalakan, jadi penisku itu terpampang jelas
dihadapan Herry.
“Wah,
masih belum ada bulunya.” Kembali Herry berguman.
“Punya
kamu udah lumayan lebat ya?” Herry terkekeh sebentar mendengar perkataanku
sebelum akhirnya kembali menatap perkakasku itu dengan seksama.
“Masih
ingat punyaku tho ay? Tapi kamu kan belom liat tititku pas bangun!” aku sedikit
tergelak. Saat tidur saja sudah sebesar itu, kalau bangun gimana? Bayangan itu
justru malah semakin membuat penisku bergerak-gerak liar. Aduh, bahasanya nih.
Lagi
asik-asiknya menikmati remasan dan juga pijatan Herry pada tititku, kami berdua
dikejutkan dengan suara kaki yang semakin dekat. Dengan buru-buru aku segera
memasukkan kembali organ kebanggaanku itu. Siapa sih nih yang bangun?
Malam-malam gini lagi, hasyah! Mana belum keluar lagi. Aduh, nanggung banget!
Kalian mengerti tidak perasaan saat penis kalian sengaja dikocok namun
tiba-tiba harus dipending karena ada gangguan? Padahal belum ejakulasi? Kalau
bahasa jawanya sih rasanya ‘muangkel tenan’!!
Bersambung.
. .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
leave comment please.