Ternyata
suara itu tidak berasal dari dalam rumah, namun dari samping rumah eyang. Aku
gugup sendiri dipandangi seperti itu oleh Taufik. Aku memang sudah menutup
kemaluanku dengan sempurna, tapi tonjolannya pun masih sempurna terlihat dari
luar boxerku. Apakah Taufik melihat perbuatan kami tadi? Shit dah!
“Mas Adi
belum tidur?” aku mencoba bertanya dengan nada santai. Taufik menatap Herry
dengan tajam. Hey, dia pacarku! Jangan tatap dia seolah-olah dia adalah maling
celana dalam!
“Kamu
sendiri? Malam-malam gini kenapa masih diluar?”
“Gerah
didalam mas.”
“Lah
bukannya ada AC?” aduh, Taufik itu siapaku sih? Kenapa dia mengajukan
pertanyaan-pertanyaan irasional seperti ini. Ingin sekali aku berteriak
padanya, ‘Aku dan Herry sedang pacaran! Masalah buat lo!’.
Herry
yang tadi hanya diam saja, mungkin karena masih kaget langsung duduk
dibelakangku dan menarikku untuk duduk dipangkuannya.
“Lihat
Sen, bulannya lagi penuh! Apik banget ya?” Yeah, sepertinya Herry menganggap
Taufik seakan-akan tidak ada. Bukan rahasia lagi kalau anak-anak kelas satu
sebagian besar tidak menyukai Taufik. Ya itu, karena sewaktu MOS galaknya dia
ngalahin anjing yang lagi beranak.
Tatapan
tajam Taufik kearahku benar-benar bikin aku mati kutu. Namun berbeda dengan
Herry yang sepertinya santai-santai saja. Dia bahkan sempat mengelus-elus
rambutku. Sengaja atau tidak ya?
“Ya udah
dek, Mas Adi kedepan dulu.” Aku mengangguk sambil tersenyum melihat Taufik yang
berlalu dan hilang di tikungan depan.
“Balik
kamar yok ay? Dingin nih.” Aku bangkit dari pangkuan Herry dan langsung masuk
kedalam rumah. Ingin sekali aku melanjutkan yang tadi, namun dilain sisi aku
sudah tidak begitu bernafsu. Aku tidak akan menyalahkan Taufik, sungguh! Hanya
saja gara-gara dia aku dan Herry harus menunda aktifitas tadi entah sampai
kapan karena mengingat sebentar lagi aku akan disunat. Gila! Belom, aku belom
menyalahkan Taufik kok. Aku kan hanya bilang, gara-gara dia! Tapi aku boleh
berkata ini kan?
“Mas Adi
sialan!” ternyata aku tidak mengucapkannya dalam hatiku, karena Herry langsung
menoleh kearahku dan tersenyum mesum.
“Masih
pengen yang tadi ya? Gampang diatur kok ay.”
Aku masih
tidak percaya kita melakukannya disamping Hendra yang tengah terlelap. Aku
tidur ditengah dengan Herry disamping kananku. Aku dan Herry satu selimut dan
tangannya kini tengah kembali berkutat dengan penisku. Aku tadi sempat
mengajukan keberatanku. Bagaimana kalau aku ejakulasi? Menjijikkan sekali aku
harus ejakulasi di selimut dan seprai kesayanganku. Namun sekali lagi, Herry
bisa menaklukanku.
“Jangan
mendesah ay, ntar si kunyuk bangun.” Hey! Lancang sekali Herry! Aku tidak
mendesah kok. Hanya sedikit ber ah uh ah saja. Itu belum bisa disebut mendesah
kan?
“Aku
tidak mendesah! Hanya sekedar menikmati apa yang kamu lakukan!” Herry langsung
tersenyum geli mendengar jawabanku.
***
Besok aku
akan disunat. Jreng jreng jreng. Jujur, aku masih agak sedikit ngeri-ngeri
sedap mendengarkan kata sunat. Mungkin masih tabu ditelingaku. Dan Paman Pri
juga Pak Dirman memberikan saran-saran yang sangat tidak masuk diakal menjelang
pemotongan tititku. Seperti;
Merendam
tititku semalam suntuk dengan air teh basi. Ya Tuhan, adakah ide yang lebih
bisa diandalkan? Ini ide yang sangat mulia dari Pak Dirman. Alasannya agar
proses pemotongan tititku menjadi lebih aman, cepat dan terkendali. Ya Tuhan,
Pak Dirman tidak sedang mensosialisasikan cara pencoblosan yang baik dan benar
kan?
Tidak
memakai celana selama satu hari penuh sebelum hari penyunatan tiba. Yang ini
apa-apaan lagi. Masa iya aku harus membiarkan kejantananku itu jadi tontonan
banyak orang? Maaf saja untuk Paman Pri yang sudah memberiku saran ini, aku
terpaksa menendangnya dan membuangnya ke tempat sampah. Aku memang takut,
jujur. Namun aku tidak paranoid. Toh, proses sunatnya kata papa pakai laser
ini, jadi sembuhnya bakalan cepat.
“Dek!”
aku yang tengah asyik membayangkan kejadian-kejadian apa yang akan terjadi
besok langsung tersadar begitu ada orang yang menyentuh bahuku.
“Mas Adi?
Loh emang yang sekolah sudah pulang mas?” hari ini aku sudah ijin tidak masuk
sekolah. Alasannya sih sakit. Aku tidak mungkin mengatakan alasan yang
sebenarnya kalau aku ini akan sunat. No way!
“Iya,
guru-guru ada rapat. Mas boleh ngomong sebentar sama kamu?” perasaanku sudah
tidak enak. Jelas sekali kalau Taufik bakalan ngebahas apa yang dia lihat
semalam. Dan ulala sekali, aku sama sekali belum siap. Sungguh!
“Ada
hubungan apa kamu sama anak berandal itu?” Taufik berbicara setelah masuk
kedalam kamarku dan duduk di kursi meja belajarku. Terus terang, aku tidak suka
Taufik menyebut Herry berandalan. Walaupun tampilannya memang seperti itu. Baju
seragam yang ngepres badan dan dikeluarkan, celana model pensil dan hanya dia
satu-satunya yang mengenakan model itu disekolah. Oya, gaya berjalannya yang
memang terkesan sok. Tapi hey! Dia kan tetap pacarku.
“Kok
tidak jawab? Ada hubungan apa kamu sama dia?” apakah Taufik malas menyebutkan
nama Herry atau memang dia tidak tahu nama Herry?
“Kita
teman mas.” Jawabku pada akhirnya dengan nada malas.
“Teman
tapi raba-rabaan? Mas Adi lihat, kamu jangan bohong!” sial, jadi mungkin Taufik
mengintip kami terlebih dahulu baru kemudian menemui kami? Ah itu tidak penting
sekarang, yang terpenting saat ini adalah apakah Taufik akan mengadukan hal ini
ke mama papa? Bisa mati aku!
“Kalian
pacaran?” aku mengangguk. Mau bagaimana lagi? Taufik kan tidak bodoh.
“Kamu itu
laki-laki dek! Tampan lagi! Kenapa sampai pacaran dengan laki-laki juga?!”
“Mas Adi
nggak bakalan ngerti! Angga cinta sama Herry mas! Dan Herry juga cinta Angga!
Apa yang salah sih?!” aku juga mulai marah sekarang. Entah kenapa emosiku
tersulut dengan tiba-tiba.
“Kalian
menyalahi kodrat! Itu masalahnya!”
“Angga
nggak peduli!”
“Kamu
bakal dilaknat Tuhan!” kenapa harus bawa-bawa Tuhan? Aku tahu ini salah, aku
tahu ini dosa. Sekarang aku mati kutu. Kalau sudah Tuhan disebut-sebut, aku
bisa apa untuk membela hubunganku dengan Herry? Aku tidak berkutik.
“Kamu
bisa putus dengan anak preman itu. Kamu bisa kembali ke jalan yang seharusnya
Dek.”
“Jadi
perasaan cinta Angga itu salah? Kalau salah kenapa harus tumbuh? Angga juga
nggak berharap kok bakal jatuh cinta sama Herry!”
“Makanya
ubah perasaan kamu itu!”
“Perasaan
itu bukan mainan Mas Adi?!” aku berteriak frustasi. Bagaimana bisa Taufik
menyepelekan cintaku ke Herry? Apakah dia menganggap perasaanku hanya cinta
monyet belaka? Yang sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan? Aku
mencintai Herry dengan hatiku! Bagaimana bisa Taufik dengan gampangnya
menyuruhku untuk merubah perasaan itu?
“Tolong
kamu jangan kecewakan keluargamu. Kamu itu anak satu-satunya, pewaris
satu-satunya. Tidakkah kamu ingin mempunyai keturunan nantinya? Untuk
menyambung nama besar Prawiro? Tolong pikirkan itu baik-baik Dek, Mas Adi mohon
jangan kecewakan keluarga besar kamu.” Taufik keluar dari kamarku dan berhasil
membuatku termangu karena frustasi. Apa yang dia katakan benar, aku adalah anak
satu-satunya, pewaris satu-satunya. Aku tahu akulah satu-satunya harapan
keluargaku untuk menyambung keturunan. Aku paham itu. Namun aku juga ingin
bahagia! Tidakkah aku juga berhak untuk itu? Aku membenamkan kepalaku dibantal.
Bagaimana perasaan papa, mama dan eyang kalau tahu aku pacaran dengan
laki-laki? Akankah aku akan mengecewakan mereka? Akankah mereka tidak lagi
menganggapku anaknya? Apakah rasa sayang mereka akan pudar?
Sebutir
air bening keluar dari mataku. Aku mencintai keluargaku lebih dari segalanya.
Namun berpisah dari Herry juga bukan sesuatu yang bisa aku lakukan begitu saja.
Hey! Aku masih empat belas tahun! Tidakkah aku mempunyai banyak waktu untuk
sampai aku dewasa dan menikah dengan perempuan? Setidaknya sebelum waktu itu
menghampiri, ijinkan aku untuk bersama orang yang aku cintai. Bolehkah Tuhan?
Pening!
Selama seumur hidupku, baru kali ini aku memikirkan dengan sungguh-sungguh
tentang arti dari anak satu-satunya. Dulu aku sempat iri dengan mereka yang
mempunyai adik atau kakak. Namun seiring waktu aku justru bersyukur. Kasih
sayang papa dan mama tidak pernah terbagi, hanya dicurahkan untukku. Dan aku
menikmatinya. Ditambah Lek Tien dan Paman Pri yang juga tidak mempunyai anak,
hingga membuatku menjadi cucu satu-satunya eyang Prawiro. Kasih sayang yang
berlimpah itu, aku tidak mau melepaskannya. Namun jika aku harus meninggalkan
Herry, aku juga tidak sanggup!
Well,
satu-satunya cara adalah meminta Taufik agar dia tidak mengatakan apa yang dia
lihat semalam tadi pada keluargaku. Aku tidak ingin berpisah dengan Herry
sekarang. Tidak!
“Ay?
Ngapain nyungsep di bantal?” aku terlonjak. Lha? Sejak kapan Herry masuk
kamarku?
“Kok
nggak ketok pintu dulu?” jawabku masih dengan membenamkan wajahku dibantal. Aku
kan baru saja menangis, gengsi lah diliat pacar. Ntar dikira cengeng lagi.
“Tadi
mama kamu nyuruh aku langsung ke kamar kamu. Nggak dikunci kok.” Aku bisa
mendengarkan jika Herry berjalan mendekatiku. Lalu dengan lembut mengusap-usap
kepalaku.
“Ay, main
yok? Besok setelah kamu sunat kan pasti tidak boleh kemana-mana.” Setelah
merasa bahwa mataku sudah tidak mengeluarkan air mata, aku segera mendongak dan
menatap Herry.
“Kemana?”
“Lho mata
kamu kenapa ay? Kok merah tho? Nangis kamu ay?” entah ini naluri atau insting,
aku segera memeluk Herry. Mama dan papaku saja bisa menilai kalau Herry anak
baik-baik. Kenapa Taufik dan hampir semua kakak kelas selalu menganggap Herry
sok? Dia manis dan melindungi. Ingin aku katakan kepada Taufik bahwa Herry
sangat menghargaiku. Aku bahagia bersamanya. Tuhan, tidakkah Engkau bisa
membaca hatiku? Kau tahu betapa aku mencintai pria yang tengah aku peluk ini?
“Sst, ada
apa ay? Kamu kenapa?” aku hanya bisa diam dengan air mata yang semakin
membanjir. Cintaku baru saja bersemi, haruskah dia layu dan mati sebelum mekar?
Aku belum siap kehilangan Herry. Sen! Itu hanya Taufik! Kenapa kamu harus
takut?
“Main
yok?” Kataku sambil melepaskan diri dan mencoba tersenyum padanya.
“Kamu. .
.”
“Aku
nggak apa-apa. Jadi main nggak?” Herry mengangguk dengan antusias dan segera
menggiringku keluar kamar. Setelah meminta ijin dari papa mama, aku dan Herry
langsung tancap gas.
“Ini
daerah mana Her?”
“Kewaluhan
ay. Ues kamu diam saja. Ntar ada pemandangan bagus!” okay, aku memutuskan untuk
membungkam mulutku rapat-rapat. Ini anak memang agak keras kepala. Jadi percuma
saja nanti aku tanya-tanya, toh dia tidak bakal menjawab.
Finally,
memang ada pemandangan yang luar biasa disini. Mungkin ini memang termasuk
dataran tinggi kali ya? Karena dari sini aku bisa melihat hamparan sawah dengan
tanaman padi yang tengah menguning. Gunung merapi terlihat lumayan jelas dari
sini.
“Mbak, es
tehnya dua ya?” Herry memesan es teh pada satu-satunya penjual yang berada di
dekat kami. Tempat ini memang tidak begitu ramai. Mungkin karena tempat ini
bukan tempat wisata. Aku masih duduk diatas motor Herry yang diparkir tepat
dibawah pohon beringin yang rindang. Huwaa, hawanya seger banget.
“Nih, es
teh!” aku menerima gelas yang diberikan Herry untukku.
“Darimana
kamu tahu tempat ini Her?”
“Iseng
dulu. Lagipula SMP ku dekat-dekat sini kok. Ya setengah jam dari sini lah.”
“Setengah
jam itu berarti jauh!” Herry hanya meringis saja menerima jitakanku.
“Kamu
tidak ada panggilan sayang buat aku Sen?” aku yang tengah meminum es tehku
langsung tersedak. Ini anak ya! Tidak bisa pilih-pilih situasi apa ya?
“Beb gitu
atau honey. Sweatheart juga boleh.” Apa perlu aku jujur ya? Karena sebenarnya
aku agak geli jika harus mengucapkan kata-kata seperti beb, honey, yank atau
apalah! Pokoknya aku agak geli saja mengucapkan kata-kata sayang begitu. Entah
karena apa aku juga kurang tahu.
“Woy? Kok
malah ngelamun sih?”
“Rakus
aja kali ya?” jawabku setengah melamun. Itu kan memang panggilan yang cocok
untuk Herry. Setidaknya dia memang rakus kan?
“Wah, opo
kui? Ganti ah!”
“Lah,
emang kamu rakus kan?” kataku sambil senyum-senyum sendiri.
“Aku itu
nggak rakus ay. Cuman lagi masa pertumbuhan, lha energi yang dibutuhkan kan
banyak. Begitu kata Pak Step!” Pak Step adalah guru Biologi kami. Namanya
sebenarnya Stephanus Tahun Baru. Ini beneran! Namanya memang itu. Entah orang
tuanya begitu fanatik dengan perayaan tahun baru atau memang ada arti khusus
yang dalam dengan nama Tahun Baru.
“Alibi!
Aku juga sedang masa pertumbuhan. Biasa saja tu makannya.” Herry melirikku
sesaat.
“Mana
yang tumbuh?” katanya dengan senyum mesum dan tangannya meraba selakanganku.
“Hush!
Tempat umum tau!” Herry malah cengengesan tidak jelas.
“Tempatnya
bagus ya ay? Seger! Bikin ati ayem!” memang benar, tempatnya sejuk banget.
Bikin perasaan nyaman dan juga tentram. Aku menelengkan kepalaku sebentar
kearah Herry. Melihatnya dengan intens, wajahnya memang terkesan masih bocah.
Orang yang aku cintai. Haduh, kenapa disaat seperti ini omongan Taufik malah
teringat? Aku ingin menikmati waktuku dengan Herry. Masih terlalu dini untuk
memikirkan tentang pernikahan dan tetek bengek lainnya.
“Es
tehnya mau nambah ay?”
“Boleh,
tapi yang manisan dikit ya? Sama gorengan juga boleh. Laper!”
“Rakus!”
apa dia bilang? Rakus? Yang rakus kan dia! Enak saja! Aku mengamati pemandangan
di depan yang tidak henti-hentinya membuatku terpukau. Indonesia sepertinya
punya banyak sekali tempat-tempat indah seperti ini, namun mungkin belum banyak
orang yang tahu.
“Nih!
Masih anget ay, baru ngangkat dari penggorengan!” kalau Hendra yang membawa 2
plastik gede dan jika aku tidak mengenal Herry, aku pasti akan terkejut. Namun
karena ini Herry, aku sudah tidak kaget lagi. 2 plastik lumayan besar berisi
gorengan dan dua gelas esteh. Dua plastik untuk dua orang? Herry gila! Namun
aku paling juga cuman makan tiga biji atau empat biji. Sisanya pasti Herry. Dia
memang rakus!
“Kok
liatnya tajem banget?”
“Nggak
apa-apa. Thanks ya Oui.” Herry langsung menoleh.
“Apa
itu?”
“Panggilan
sayangku untukmu. Tadi kamu sendiri yang minta.”
“Apa
artinya?”
“Cari
tahu saja sendiri.” Jawabku sambil melalap gorengan. Waduh, Herry pembohong
nih, sama sekali tidak anget. Panas banget! Huahhh!
***
Rasanya
mau disunat itu seperti ikut audisi X-Factor dan nunggu para juri ngomong yes
atau no. Deg-degan banget. Dan dalam kasusku sedikit malu juga. Dokternya sudah
tiba dan langsung ke kamarku. Namun bukan itu yang bikin malu. Aku juga tidak
malu menunjukkan tititku pada dokter itu, karena wajah sang dokter sama sekali
bukan tipeku. Aku jamin penisku tidak akan ereksi. Yang jadi masalah adalah
orang ketiga yang menyaksikan acara pemotongan kulup ini banyak sekali. Tidak
hanya papa dan mamaku, eyangku, Paman Pri dan Lek Tien juga Pak Dirman turut
hadir menyaksikan. Aku malu! Serius! Mama dan Lek Tien mungkin sudah ribuan
kali melihat penis suami mereka, namun tetap saja kehadiran kaum hawa disini
membuatku sedikit malu untuk memamerkan kejantananku.
Herry
juga datang. Bersama Hendra tentu saja. Sepertinya mereka membolos atau apa aku
kurang tahu, yang jelas mereka masih mengenakan seragam sekolah. Sarungku sudah
disingkapkan dan yang berada dikamar ini sudah pasti bisa melihatnya dengan
jelas. Aduh, mereka pikir aku tontonan apa?
“Rileks
ya dik, pertama mungkin bakalan sedikit nyelekit.” Okay, aku menyuruh semua
syaraf tubuhku untuk rileks. Dokter itu menyuntikkan obat bius ke penisku.
Benar sekali rasanya nyelekit sekali. Padahal tadi Paman Pri bilang rasanya
hanya seperti digigit semut. Bohong!! Lebih sakit ini tahu daripada digigit
semut! Aku –maksutku penisku- disuntik empat kali. Dan sekarang rasanya penisku
berat sekali namun aku tidak merasakan apa-apa. Bahkan iseng-iseng aku mencoba
membangkitkan penisku juga tidak bisa.
Beberapa
saat kemudian tercium aroma kulit yang dipanggang. Mirip sate! Aku tahu itu
adalah kulupku. Metodenya sudah dijelaskan oleh Papa kemarin. Tidak sakit,
namun jujur baunya enak sekali. Aku tidak melihat proses penyunatan itu. Jujur
aku tidak tega melihat kulupku, yang notabene adalah masih bagian dari tubuhku
diacak-acak dan dipotong secara biadab –terdengar sangat berlebihan.
Proses
penyunatanku memakan waktu hampir satu jam. Dan sekarang, aku masih belum
merasakan sakit. Aku masih biasa saja, walaupun beberapa tamu datang dan
memberiku amplop. Yeah, sunatanku benar-benar meriah. Eyang sepertinya tidak
ingin kehilangan momen ini begitu saja. Dia juga mengundang kuda lumping yang
akan main nanti sore. Dan juga wayang kulit pada malam harinya. Eyang tidak
menanyakan pendapatku, jika dia menanyakannya aku yakin aku akan lebih
menikmati jika Green Day yang diundang bukannya kuda lumping. Beyonce juga
boleh.
Kalian
tahu rasanya disunat dengan acara sangat meriah? Bikin aku gerah dan pusing!
Banyak sekali tamu yang tidak aku kenal, namun secara ajaib mereka sok begitu
akrab denganku. Memberiku wejangan tentang pacar segala macam yang aku tidak
tahu untuk tujuan apa. Yeah, untung mereka tidak hanya datang, amplop putih
tidak lupa mereka selipkan pada tanganku. Aku akan kaya raya!
Namun satu hal yang aku syukuri, para tamu
tidak memintaku untuk menunjukkan bentuk benda yang baru saja disunat. Herry
dan Hendra menemaniku. Setidaknya, tv dan PS tigaku sudah dipindahkan ke
kamarku. Kipas angin, AC yang di setting 16 derajad masih saja tetap membuatku
gerah. Kenapa para tamu itu tidak cukup dengan bertemu orang tuaku saja? Hendra
dan Herry sibuk main PS dan karena ini hari Sabtu, mereka akan menginap malam
ini. Mulia sekali mereka. Aku harap Herry tidak merangsangku nanti.
Penisku
rasanya mulai panas saja, aku bahkan menyuruh Herry untuk mengarahkan kipas
angin tepat diselangkanganku. Jika tidak ada tamu aku membuka sarungku agar
anginnya lebih berasa. Dan jika sarungku menyentuh kepala penisku, rasanya
‘sengkring-sengkring’ sekali.
Hendra
dan Herry beberapa kali tertawa melihat ekspresi wajahku ketika sarungku
mengenai kepala penisku. Taufik? Dia belum kelihatan batang hidungnya. Dan aku
juga tidak begitu peduli. Perban di penisku akan diganti besok hari Senin dan
kata dokternya, hari Selasa aku pasti sudah sembuh dan bisa sekolah lagi. Aku
harap bagitu. Dengan adanya Herry dan Hendra aku juga sedikit terbantu.
Misalnya saja jika aku ingin makan atau apa mereka dengan sigap langsung
melayaniku. Serasa raja saja, namun tetap saja penisku panas sekali rasanya.
Dan bentuknya itu lho, acak adut! Kata dokternya sih, kalau udah sembuh
bentuknya bakal bagus karena penisku termasuk proposional ukurannya. Jiah,
penispun bisa proposional ya?
“Sayang,
kamu sudah makan?” mamaku muncul dengan membawakan makanan.
“Belum
ma.” Mamaku segera menuju ranjangku dan duduk di tepiannya.
“Dik
Lilis, ada tamu nyariin itu.” Mamaku yang baru saja akan menyuapkan nasi
untukku langsung menoleh begitu Lek Tien muncul dan memanggilnya.
“Sini Bu,
biar aku yang suapin Seno.” Herry tanggap dan langsung mengajukan diri. Aduh,
pacarku ini memang perhatian sekali.
“Ya
sudah, mama tinggal dulu ya sayang?” aku mengangguk pelan. Disuapi Herry, aku
mohon penisku tau diri dan tidak menunjukkan kegarangannya sekarang!
Bersambung.
. .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
leave comment please.