FOLLOW ME

Sabtu, 19 Oktober 2013

THE SERIES 7

Ternyata suara itu tidak berasal dari dalam rumah, namun dari samping rumah eyang. Aku gugup sendiri dipandangi seperti itu oleh Taufik. Aku memang sudah menutup kemaluanku dengan sempurna, tapi tonjolannya pun masih sempurna terlihat dari luar boxerku. Apakah Taufik melihat perbuatan kami tadi? Shit dah!
“Mas Adi belum tidur?” aku mencoba bertanya dengan nada santai. Taufik menatap Herry dengan tajam. Hey, dia pacarku! Jangan tatap dia seolah-olah dia adalah maling celana dalam!
“Kamu sendiri? Malam-malam gini kenapa masih diluar?”
“Gerah didalam mas.”
“Lah bukannya ada AC?” aduh, Taufik itu siapaku sih? Kenapa dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan irasional seperti ini. Ingin sekali aku berteriak padanya, ‘Aku dan Herry sedang pacaran! Masalah buat lo!’.
Herry yang tadi hanya diam saja, mungkin karena masih kaget langsung duduk dibelakangku dan menarikku untuk duduk dipangkuannya.
“Lihat Sen, bulannya lagi penuh! Apik banget ya?” Yeah, sepertinya Herry menganggap Taufik seakan-akan tidak ada. Bukan rahasia lagi kalau anak-anak kelas satu sebagian besar tidak menyukai Taufik. Ya itu, karena sewaktu MOS galaknya dia ngalahin anjing yang lagi beranak.
Tatapan tajam Taufik kearahku benar-benar bikin aku mati kutu. Namun berbeda dengan Herry yang sepertinya santai-santai saja. Dia bahkan sempat mengelus-elus rambutku. Sengaja atau tidak ya?
“Ya udah dek, Mas Adi kedepan dulu.” Aku mengangguk sambil tersenyum melihat Taufik yang berlalu dan hilang di tikungan depan.
“Balik kamar yok ay? Dingin nih.” Aku bangkit dari pangkuan Herry dan langsung masuk kedalam rumah. Ingin sekali aku melanjutkan yang tadi, namun dilain sisi aku sudah tidak begitu bernafsu. Aku tidak akan menyalahkan Taufik, sungguh! Hanya saja gara-gara dia aku dan Herry harus menunda aktifitas tadi entah sampai kapan karena mengingat sebentar lagi aku akan disunat. Gila! Belom, aku belom menyalahkan Taufik kok. Aku kan hanya bilang, gara-gara dia! Tapi aku boleh berkata ini kan?
“Mas Adi sialan!” ternyata aku tidak mengucapkannya dalam hatiku, karena Herry langsung menoleh kearahku dan tersenyum mesum.
“Masih pengen yang tadi ya? Gampang diatur kok ay.”
Aku masih tidak percaya kita melakukannya disamping Hendra yang tengah terlelap. Aku tidur ditengah dengan Herry disamping kananku. Aku dan Herry satu selimut dan tangannya kini tengah kembali berkutat dengan penisku. Aku tadi sempat mengajukan keberatanku. Bagaimana kalau aku ejakulasi? Menjijikkan sekali aku harus ejakulasi di selimut dan seprai kesayanganku. Namun sekali lagi, Herry bisa menaklukanku.
“Jangan mendesah ay, ntar si kunyuk bangun.” Hey! Lancang sekali Herry! Aku tidak mendesah kok. Hanya sedikit ber ah uh ah saja. Itu belum bisa disebut mendesah kan?
“Aku tidak mendesah! Hanya sekedar menikmati apa yang kamu lakukan!” Herry langsung tersenyum geli mendengar jawabanku.
***

Besok aku akan disunat. Jreng jreng jreng. Jujur, aku masih agak sedikit ngeri-ngeri sedap mendengarkan kata sunat. Mungkin masih tabu ditelingaku. Dan Paman Pri juga Pak Dirman memberikan saran-saran yang sangat tidak masuk diakal menjelang pemotongan tititku. Seperti;
Merendam tititku semalam suntuk dengan air teh basi. Ya Tuhan, adakah ide yang lebih bisa diandalkan? Ini ide yang sangat mulia dari Pak Dirman. Alasannya agar proses pemotongan tititku menjadi lebih aman, cepat dan terkendali. Ya Tuhan, Pak Dirman tidak sedang mensosialisasikan cara pencoblosan yang baik dan benar kan?
Tidak memakai celana selama satu hari penuh sebelum hari penyunatan tiba. Yang ini apa-apaan lagi. Masa iya aku harus membiarkan kejantananku itu jadi tontonan banyak orang? Maaf saja untuk Paman Pri yang sudah memberiku saran ini, aku terpaksa menendangnya dan membuangnya ke tempat sampah. Aku memang takut, jujur. Namun aku tidak paranoid. Toh, proses sunatnya kata papa pakai laser ini, jadi sembuhnya bakalan cepat.
“Dek!” aku yang tengah asyik membayangkan kejadian-kejadian apa yang akan terjadi besok langsung tersadar begitu ada orang yang menyentuh bahuku.
“Mas Adi? Loh emang yang sekolah sudah pulang mas?” hari ini aku sudah ijin tidak masuk sekolah. Alasannya sih sakit. Aku tidak mungkin mengatakan alasan yang sebenarnya kalau aku ini akan sunat. No way!
“Iya, guru-guru ada rapat. Mas boleh ngomong sebentar sama kamu?” perasaanku sudah tidak enak. Jelas sekali kalau Taufik bakalan ngebahas apa yang dia lihat semalam. Dan ulala sekali, aku sama sekali belum siap. Sungguh!
“Ada hubungan apa kamu sama anak berandal itu?” Taufik berbicara setelah masuk kedalam kamarku dan duduk di kursi meja belajarku. Terus terang, aku tidak suka Taufik menyebut Herry berandalan. Walaupun tampilannya memang seperti itu. Baju seragam yang ngepres badan dan dikeluarkan, celana model pensil dan hanya dia satu-satunya yang mengenakan model itu disekolah. Oya, gaya berjalannya yang memang terkesan sok. Tapi hey! Dia kan tetap pacarku.
“Kok tidak jawab? Ada hubungan apa kamu sama dia?” apakah Taufik malas menyebutkan nama Herry atau memang dia tidak tahu nama Herry?
“Kita teman mas.” Jawabku pada akhirnya dengan nada malas.
“Teman tapi raba-rabaan? Mas Adi lihat, kamu jangan bohong!” sial, jadi mungkin Taufik mengintip kami terlebih dahulu baru kemudian menemui kami? Ah itu tidak penting sekarang, yang terpenting saat ini adalah apakah Taufik akan mengadukan hal ini ke mama papa? Bisa mati aku!
“Kalian pacaran?” aku mengangguk. Mau bagaimana lagi? Taufik kan tidak bodoh.
“Kamu itu laki-laki dek! Tampan lagi! Kenapa sampai pacaran dengan laki-laki juga?!”
“Mas Adi nggak bakalan ngerti! Angga cinta sama Herry mas! Dan Herry juga cinta Angga! Apa yang salah sih?!” aku juga mulai marah sekarang. Entah kenapa emosiku tersulut dengan tiba-tiba.
“Kalian menyalahi kodrat! Itu masalahnya!”
“Angga nggak peduli!”
“Kamu bakal dilaknat Tuhan!” kenapa harus bawa-bawa Tuhan? Aku tahu ini salah, aku tahu ini dosa. Sekarang aku mati kutu. Kalau sudah Tuhan disebut-sebut, aku bisa apa untuk membela hubunganku dengan Herry? Aku tidak berkutik.
“Kamu bisa putus dengan anak preman itu. Kamu bisa kembali ke jalan yang seharusnya Dek.”
“Jadi perasaan cinta Angga itu salah? Kalau salah kenapa harus tumbuh? Angga juga nggak berharap kok bakal jatuh cinta sama Herry!”
“Makanya ubah perasaan kamu itu!”
“Perasaan itu bukan mainan Mas Adi?!” aku berteriak frustasi. Bagaimana bisa Taufik menyepelekan cintaku ke Herry? Apakah dia menganggap perasaanku hanya cinta monyet belaka? Yang sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan? Aku mencintai Herry dengan hatiku! Bagaimana bisa Taufik dengan gampangnya menyuruhku untuk merubah perasaan itu?
“Tolong kamu jangan kecewakan keluargamu. Kamu itu anak satu-satunya, pewaris satu-satunya. Tidakkah kamu ingin mempunyai keturunan nantinya? Untuk menyambung nama besar Prawiro? Tolong pikirkan itu baik-baik Dek, Mas Adi mohon jangan kecewakan keluarga besar kamu.” Taufik keluar dari kamarku dan berhasil membuatku termangu karena frustasi. Apa yang dia katakan benar, aku adalah anak satu-satunya, pewaris satu-satunya. Aku tahu akulah satu-satunya harapan keluargaku untuk menyambung keturunan. Aku paham itu. Namun aku juga ingin bahagia! Tidakkah aku juga berhak untuk itu? Aku membenamkan kepalaku dibantal. Bagaimana perasaan papa, mama dan eyang kalau tahu aku pacaran dengan laki-laki? Akankah aku akan mengecewakan mereka? Akankah mereka tidak lagi menganggapku anaknya? Apakah rasa sayang mereka akan pudar?
Sebutir air bening keluar dari mataku. Aku mencintai keluargaku lebih dari segalanya. Namun berpisah dari Herry juga bukan sesuatu yang bisa aku lakukan begitu saja. Hey! Aku masih empat belas tahun! Tidakkah aku mempunyai banyak waktu untuk sampai aku dewasa dan menikah dengan perempuan? Setidaknya sebelum waktu itu menghampiri, ijinkan aku untuk bersama orang yang aku cintai. Bolehkah Tuhan?
Pening! Selama seumur hidupku, baru kali ini aku memikirkan dengan sungguh-sungguh tentang arti dari anak satu-satunya. Dulu aku sempat iri dengan mereka yang mempunyai adik atau kakak. Namun seiring waktu aku justru bersyukur. Kasih sayang papa dan mama tidak pernah terbagi, hanya dicurahkan untukku. Dan aku menikmatinya. Ditambah Lek Tien dan Paman Pri yang juga tidak mempunyai anak, hingga membuatku menjadi cucu satu-satunya eyang Prawiro. Kasih sayang yang berlimpah itu, aku tidak mau melepaskannya. Namun jika aku harus meninggalkan Herry, aku juga tidak sanggup!
Well, satu-satunya cara adalah meminta Taufik agar dia tidak mengatakan apa yang dia lihat semalam tadi pada keluargaku. Aku tidak ingin berpisah dengan Herry sekarang. Tidak!
“Ay? Ngapain nyungsep di bantal?” aku terlonjak. Lha? Sejak kapan Herry masuk kamarku?
“Kok nggak ketok pintu dulu?” jawabku masih dengan membenamkan wajahku dibantal. Aku kan baru saja menangis, gengsi lah diliat pacar. Ntar dikira cengeng lagi.
“Tadi mama kamu nyuruh aku langsung ke kamar kamu. Nggak dikunci kok.” Aku bisa mendengarkan jika Herry berjalan mendekatiku. Lalu dengan lembut mengusap-usap kepalaku.
“Ay, main yok? Besok setelah kamu sunat kan pasti tidak boleh kemana-mana.” Setelah merasa bahwa mataku sudah tidak mengeluarkan air mata, aku segera mendongak dan menatap Herry.
“Kemana?”
“Lho mata kamu kenapa ay? Kok merah tho? Nangis kamu ay?” entah ini naluri atau insting, aku segera memeluk Herry. Mama dan papaku saja bisa menilai kalau Herry anak baik-baik. Kenapa Taufik dan hampir semua kakak kelas selalu menganggap Herry sok? Dia manis dan melindungi. Ingin aku katakan kepada Taufik bahwa Herry sangat menghargaiku. Aku bahagia bersamanya. Tuhan, tidakkah Engkau bisa membaca hatiku? Kau tahu betapa aku mencintai pria yang tengah aku peluk ini?
“Sst, ada apa ay? Kamu kenapa?” aku hanya bisa diam dengan air mata yang semakin membanjir. Cintaku baru saja bersemi, haruskah dia layu dan mati sebelum mekar? Aku belum siap kehilangan Herry. Sen! Itu hanya Taufik! Kenapa kamu harus takut?
“Main yok?” Kataku sambil melepaskan diri dan mencoba tersenyum padanya.
“Kamu. . .”
“Aku nggak apa-apa. Jadi main nggak?” Herry mengangguk dengan antusias dan segera menggiringku keluar kamar. Setelah meminta ijin dari papa mama, aku dan Herry langsung tancap gas.
“Ini daerah mana Her?”
“Kewaluhan ay. Ues kamu diam saja. Ntar ada pemandangan bagus!” okay, aku memutuskan untuk membungkam mulutku rapat-rapat. Ini anak memang agak keras kepala. Jadi percuma saja nanti aku tanya-tanya, toh dia tidak bakal menjawab.
Finally, memang ada pemandangan yang luar biasa disini. Mungkin ini memang termasuk dataran tinggi kali ya? Karena dari sini aku bisa melihat hamparan sawah dengan tanaman padi yang tengah menguning. Gunung merapi terlihat lumayan jelas dari sini.
“Mbak, es tehnya dua ya?” Herry memesan es teh pada satu-satunya penjual yang berada di dekat kami. Tempat ini memang tidak begitu ramai. Mungkin karena tempat ini bukan tempat wisata. Aku masih duduk diatas motor Herry yang diparkir tepat dibawah pohon beringin yang rindang. Huwaa, hawanya seger banget.
“Nih, es teh!” aku menerima gelas yang diberikan Herry untukku.
“Darimana kamu tahu tempat ini Her?”
“Iseng dulu. Lagipula SMP ku dekat-dekat sini kok. Ya setengah jam dari sini lah.”
“Setengah jam itu berarti jauh!” Herry hanya meringis saja menerima jitakanku.
“Kamu tidak ada panggilan sayang buat aku Sen?” aku yang tengah meminum es tehku langsung tersedak. Ini anak ya! Tidak bisa pilih-pilih situasi apa ya?
“Beb gitu atau honey. Sweatheart juga boleh.” Apa perlu aku jujur ya? Karena sebenarnya aku agak geli jika harus mengucapkan kata-kata seperti beb, honey, yank atau apalah! Pokoknya aku agak geli saja mengucapkan kata-kata sayang begitu. Entah karena apa aku juga kurang tahu.
“Woy? Kok malah ngelamun sih?”
“Rakus aja kali ya?” jawabku setengah melamun. Itu kan memang panggilan yang cocok untuk Herry. Setidaknya dia memang rakus kan?
“Wah, opo kui? Ganti ah!”
“Lah, emang kamu rakus kan?” kataku sambil senyum-senyum sendiri.
“Aku itu nggak rakus ay. Cuman lagi masa pertumbuhan, lha energi yang dibutuhkan kan banyak. Begitu kata Pak Step!” Pak Step adalah guru Biologi kami. Namanya sebenarnya Stephanus Tahun Baru. Ini beneran! Namanya memang itu. Entah orang tuanya begitu fanatik dengan perayaan tahun baru atau memang ada arti khusus yang dalam dengan nama Tahun Baru.
“Alibi! Aku juga sedang masa pertumbuhan. Biasa saja tu makannya.” Herry melirikku sesaat.
“Mana yang tumbuh?” katanya dengan senyum mesum dan tangannya meraba selakanganku.
“Hush! Tempat umum tau!” Herry malah cengengesan tidak jelas.
“Tempatnya bagus ya ay? Seger! Bikin ati ayem!” memang benar, tempatnya sejuk banget. Bikin perasaan nyaman dan juga tentram. Aku menelengkan kepalaku sebentar kearah Herry. Melihatnya dengan intens, wajahnya memang terkesan masih bocah. Orang yang aku cintai. Haduh, kenapa disaat seperti ini omongan Taufik malah teringat? Aku ingin menikmati waktuku dengan Herry. Masih terlalu dini untuk memikirkan tentang pernikahan dan tetek bengek lainnya.
“Es tehnya mau nambah ay?”
“Boleh, tapi yang manisan dikit ya? Sama gorengan juga boleh. Laper!”
“Rakus!” apa dia bilang? Rakus? Yang rakus kan dia! Enak saja! Aku mengamati pemandangan di depan yang tidak henti-hentinya membuatku terpukau. Indonesia sepertinya punya banyak sekali tempat-tempat indah seperti ini, namun mungkin belum banyak orang yang tahu.
“Nih! Masih anget ay, baru ngangkat dari penggorengan!” kalau Hendra yang membawa 2 plastik gede dan jika aku tidak mengenal Herry, aku pasti akan terkejut. Namun karena ini Herry, aku sudah tidak kaget lagi. 2 plastik lumayan besar berisi gorengan dan dua gelas esteh. Dua plastik untuk dua orang? Herry gila! Namun aku paling juga cuman makan tiga biji atau empat biji. Sisanya pasti Herry. Dia memang rakus!
“Kok liatnya tajem banget?”
“Nggak apa-apa. Thanks ya Oui.” Herry langsung menoleh.
“Apa itu?”
“Panggilan sayangku untukmu. Tadi kamu sendiri yang minta.”
“Apa artinya?”
“Cari tahu saja sendiri.” Jawabku sambil melalap gorengan. Waduh, Herry pembohong nih, sama sekali tidak anget. Panas banget! Huahhh!
***

Rasanya mau disunat itu seperti ikut audisi X-Factor dan nunggu para juri ngomong yes atau no. Deg-degan banget. Dan dalam kasusku sedikit malu juga. Dokternya sudah tiba dan langsung ke kamarku. Namun bukan itu yang bikin malu. Aku juga tidak malu menunjukkan tititku pada dokter itu, karena wajah sang dokter sama sekali bukan tipeku. Aku jamin penisku tidak akan ereksi. Yang jadi masalah adalah orang ketiga yang menyaksikan acara pemotongan kulup ini banyak sekali. Tidak hanya papa dan mamaku, eyangku, Paman Pri dan Lek Tien juga Pak Dirman turut hadir menyaksikan. Aku malu! Serius! Mama dan Lek Tien mungkin sudah ribuan kali melihat penis suami mereka, namun tetap saja kehadiran kaum hawa disini membuatku sedikit malu untuk memamerkan kejantananku.
Herry juga datang. Bersama Hendra tentu saja. Sepertinya mereka membolos atau apa aku kurang tahu, yang jelas mereka masih mengenakan seragam sekolah. Sarungku sudah disingkapkan dan yang berada dikamar ini sudah pasti bisa melihatnya dengan jelas. Aduh, mereka pikir aku tontonan apa?
“Rileks ya dik, pertama mungkin bakalan sedikit nyelekit.” Okay, aku menyuruh semua syaraf tubuhku untuk rileks. Dokter itu menyuntikkan obat bius ke penisku. Benar sekali rasanya nyelekit sekali. Padahal tadi Paman Pri bilang rasanya hanya seperti digigit semut. Bohong!! Lebih sakit ini tahu daripada digigit semut! Aku –maksutku penisku- disuntik empat kali. Dan sekarang rasanya penisku berat sekali namun aku tidak merasakan apa-apa. Bahkan iseng-iseng aku mencoba membangkitkan penisku juga tidak bisa.
Beberapa saat kemudian tercium aroma kulit yang dipanggang. Mirip sate! Aku tahu itu adalah kulupku. Metodenya sudah dijelaskan oleh Papa kemarin. Tidak sakit, namun jujur baunya enak sekali. Aku tidak melihat proses penyunatan itu. Jujur aku tidak tega melihat kulupku, yang notabene adalah masih bagian dari tubuhku diacak-acak dan dipotong secara biadab –terdengar sangat berlebihan.
Proses penyunatanku memakan waktu hampir satu jam. Dan sekarang, aku masih belum merasakan sakit. Aku masih biasa saja, walaupun beberapa tamu datang dan memberiku amplop. Yeah, sunatanku benar-benar meriah. Eyang sepertinya tidak ingin kehilangan momen ini begitu saja. Dia juga mengundang kuda lumping yang akan main nanti sore. Dan juga wayang kulit pada malam harinya. Eyang tidak menanyakan pendapatku, jika dia menanyakannya aku yakin aku akan lebih menikmati jika Green Day yang diundang bukannya kuda lumping. Beyonce juga boleh.
Kalian tahu rasanya disunat dengan acara sangat meriah? Bikin aku gerah dan pusing! Banyak sekali tamu yang tidak aku kenal, namun secara ajaib mereka sok begitu akrab denganku. Memberiku wejangan tentang pacar segala macam yang aku tidak tahu untuk tujuan apa. Yeah, untung mereka tidak hanya datang, amplop putih tidak lupa mereka selipkan pada tanganku. Aku akan kaya raya!
 Namun satu hal yang aku syukuri, para tamu tidak memintaku untuk menunjukkan bentuk benda yang baru saja disunat. Herry dan Hendra menemaniku. Setidaknya, tv dan PS tigaku sudah dipindahkan ke kamarku. Kipas angin, AC yang di setting 16 derajad masih saja tetap membuatku gerah. Kenapa para tamu itu tidak cukup dengan bertemu orang tuaku saja? Hendra dan Herry sibuk main PS dan karena ini hari Sabtu, mereka akan menginap malam ini. Mulia sekali mereka. Aku harap Herry tidak merangsangku nanti.
Penisku rasanya mulai panas saja, aku bahkan menyuruh Herry untuk mengarahkan kipas angin tepat diselangkanganku. Jika tidak ada tamu aku membuka sarungku agar anginnya lebih berasa. Dan jika sarungku menyentuh kepala penisku, rasanya ‘sengkring-sengkring’ sekali.
Hendra dan Herry beberapa kali tertawa melihat ekspresi wajahku ketika sarungku mengenai kepala penisku. Taufik? Dia belum kelihatan batang hidungnya. Dan aku juga tidak begitu peduli. Perban di penisku akan diganti besok hari Senin dan kata dokternya, hari Selasa aku pasti sudah sembuh dan bisa sekolah lagi. Aku harap bagitu. Dengan adanya Herry dan Hendra aku juga sedikit terbantu. Misalnya saja jika aku ingin makan atau apa mereka dengan sigap langsung melayaniku. Serasa raja saja, namun tetap saja penisku panas sekali rasanya. Dan bentuknya itu lho, acak adut! Kata dokternya sih, kalau udah sembuh bentuknya bakal bagus karena penisku termasuk proposional ukurannya. Jiah, penispun bisa proposional ya?
“Sayang, kamu sudah makan?” mamaku muncul dengan membawakan makanan.
“Belum ma.” Mamaku segera menuju ranjangku dan duduk di tepiannya.
“Dik Lilis, ada tamu nyariin itu.” Mamaku yang baru saja akan menyuapkan nasi untukku langsung menoleh begitu Lek Tien muncul dan memanggilnya.
“Sini Bu, biar aku yang suapin Seno.” Herry tanggap dan langsung mengajukan diri. Aduh, pacarku ini memang perhatian sekali.
“Ya sudah, mama tinggal dulu ya sayang?” aku mengangguk pelan. Disuapi Herry, aku mohon penisku tau diri dan tidak menunjukkan kegarangannya sekarang!


Bersambung. . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

leave comment please.