Peringatan
keras!!
Cerita
ini penuh dengan adegan fulgar dan seks juga pertumpahan darah. Cieileh!! Jadi
kalo engga suka dengan tema seperti ini harap jangan dibaca. Thanks!
***
Uki
Bagus Walantaga
Kekhawatiranku
ternyata terlalu berlebihan. Tidak ada yang aneh dengan makan malam hari ini.
Kecuali absennya Papa dan adanya Daniel yang sedang disibukkan dengan Fadil
yang tengah bersemangat bercerita tentang sekolahnya. Well, aku bisa mengatakan
jika Fadil sepertinya, menemukan sosok idola baru. Setidaknya, dia mulai
ikut-ikutan ngomong sok inggris seperti Daniel. Yang selalu sukses bikin aku
gemas.
“Kamu
asli Bandung Nak?” Mamaku memang berbeda dengan Sophia yang terbuka. Tapi, aku
mengagumi sikap beliau yang seperti ini. Aku yakin, butuh perdebatan yang cukup
lama di batinnya untuk menerima keadaan anak lelaki sulungnya.
“Mama
Belanda-Sunda. Kalau Papa, uum.” Daniel agak lama meneruskan kalimatnya.
“Chinesse.”
Well,
dan kayaknya gantengku itu mendapatkan kombinasi terbaik dari ketiganya.
“Pantes
ganteng ya.” Mamaku pun tak luput dari pesona Daniel ternyata.
“Bang
Daniel, Fadil sekarang ikut les karate lho!” Fadil, yang aku bilang cara
makannya ditiru dengan sangat apik oleh Daniel, sepertinya tidak rela sang
idola direbut perhatiannya. Ngomong-ngomong soal cara makan, ingin sekali
rasanya tanganku menyebrang ke meja sebelah, dan membersihkan sisa kuah yang
belepotan di sekitar bibir pacarku itu.
Tapi,
aku enggan saja melakukannya. Ada ibuku, dan well, beliau tidak serta merta mengusir
Daniel saja sudah membuatku lega. Aku lupa, ibuku sendiri yang mengundang
Daniel untuk makan malam disini.
“Sudah
ada calon belum?” What? Apa-apaan ini pertanyaan Mama?
“Pastinya,
ingin berkeluarga dong nantinya? Menimang bayi, memiliki cucu, ya kan?” Aku
bisa mengimajinasikan apa yang bakal dikatakan Daniel. Mungkin seperti, “Gue
sukanya ama laki kaleus.” Atau, “Yaelah, tinggal sewa rahim juga gue bisa punya
anak. Rempong deh lo tante-tante.” Dengan versi bukan bahasa alay. Setahuku,
Daniel hanya alay kalau sedang berkumpul dengan Evan dan Maya. Dengan orang
lain, dia tidak kalah straightnya dengan pria-pria kebanyakkan.
Ternyata
dugaanku salah, karena aku melihat Daniel yang hanya tersenyum awkward ke
mamaku.
“Belum
Tante, belum kepikiran.” Dan sebelum mamaku bikin suasana tambah kacau dengan
mengajukan kalimat-kalimat menjengkelkan lainnya, aku segera merapikan meja
makanku, melap bibirku.
“Aku
antar Daniel pulang dulu Ma, udah malam.”
“Lho
kok buru-buru?”
“Besok
ada meeting pagi. Aku malam ini sekalian nginap di tempat Daniel. Lebih dekat
berangkat dari sana.” Well, ibuku cukup terkejut. Aku harap beliau tidak
pingsan lagi, karena itu akan melunturkan sikap sinisku dalam sekejab. Aku
paling tidak bisa melihat ibuku menangis. Akan tetapi, jika beliau tengah
bertingkah menyebalkan seperti ini, aku juga bisa bertingkah sama tak
mengenakkannya.
“Maaf,”
Kata itu terucap saat mobilku sudah aku parkir di basement apartment Daniel.
Kita berdua belum keluar dari mobil.
“Enggak
papa.” Aku menoleh kearah Daniel. Aku hampir yakin, kalau makhluk di sampingku
ini bisa saja bukan Daniel. Karena, selama perjalanan dari rumahku ke tempat
tinggalnya, Daniel hanya diam. Dan itu bukan gaya dia banget. Aku tahu itu.
Daniel tipe orang yang akan ngomong seada-adanya. Bisa jadi dia akan bilang
kalau mamaku itu jayus dan gak asik banget.
Apa
dia sungkan mengatakannya? Oke, apa Daniel mengerti kata sungkan? Sepertinya
tidak.
“Oke,
kamu punya minuman apa? Aku lagi pengen mabuk.” Daniel menoleh kearahku. Mata
coklat terangnya, semi hijau kalau diperhatikan lebih detail. Tidak sehijau
mata Sophia, hanya saja jika diperhatikan dengan seksama, matanya agak
kehijauan.
“Mama
kamu ntar nyariin.”
“Well,
aku udah ijin buat nginep tadi, dan diijinkan.”
“Sifat
nyebelin kamu itu aku tahu nurun darimana sekarang.” Inilah Daniel yang aku
kenal.
“Dan
karena kita sudah tidak bertemu hampir semingguan lebih, aku pengen ngeseks
sama kamu, Dan.”
“Wow,
look at you! Belajar darimana kamu mesum kayak gitu?” Daniel membuka pintu
mobil dan melenggang santai diikuti olehku.
“Bokongmu
itu, kamu suntik silikon ya?” Daniel menoleh kearahku dengan berang. Dia
mungkin ragu apakah aku Uki pacarnya atau Uki yang dirasuki oleh setan mesum.
Karena Uki yang biasanya tidak mungkin mengatakan kalimat-kalimat seperti itu.
Tapi aku sedang tidak dalam kondisi biasa-biasa saja. Ibuku yang bertingkah
menyebalkan, kondisi alam semesta yang sepertinya berusaha menjauhkanku dari
Daniel, sepercik horny karena aku beneran kangen dengan Daniel. Bokongnya yang
entah kenapa, hari ini terlihat lebih montok. Aaargh!
Shit!
Ini pasti gara-gara ibuku yang menyebalkan. Jadi, sifat-sifat terpendamku
keluar semua. Trus aja nyalahin orang lain Ki, terus! Oke, fine, mungkin aku
berkepribadian ganda? Karena aku sendiri bingung dengan apa yang tengah aku
ucapkan. Otak dan mulutku tengah tidak sinkron sekarang.
Daniel
kembali berjalan kearahku, memegang tanganku dan menuntunnya untuk meremas
bokong montoknya.
“Ini
asli! Enak saja.” Dan aku menikmati meremas bokongnya lebih lama.
“Kita
mau pakai mobilmu yang lebih dekat jaraknya atau mau ke atas ke apartmentku?
Atau kita tuntaskan disini saja?” Kata Daniel kemudian yang membuat kewarasanku
kembali.
“Maaf.”
“Enggak
papa. Mau mesum juga gak papa, toh aku pacarmu.” Dan senyumku langsung
terkembang.
***
Joshua
Daniel Pradipta
Baru
juga setengah botol, Uki sudah tidak kuat. Yaiyalah, seumur hidupnya belum
pernah kena alkohol, maksa banget buat minum. Aku memperhatikan Uki yang tengah
berkutat dengan remote tv. Sepertinya, dia sudah tidak menginginkan wine yang
tadi aku sodorkan padanya. Wajahnya kuyu.
“Sayang,
kamu depresi ya?” Tanyaku sambil meraih kepala Uki dan membaringkannya di
pahaku. Tanganku tak henti-hentinya mengusap-usap pipinya dengan lembut.
“Maksud
kamu, aku gila?”
“Mungkin
sebentar lagi.” Uki mencubit pahaku, yang aku balas dengan menampar pipinya
pelan secara reflek.
“Kasar
juga kamu ya.”
“Kamu
cubit duluan.” Lalu kami berdua kembali hanyut dalam pemikiran masing-masing.
Aku memperhatikan wajah Uki, matanya yang tinggal segaris kalau sedang tertawa.
Hidung mancungnya. Bibirnya yang kecoklatan. Padahal dia bukan perorok.
Kulitnya
yang cukup terang untuk ukuran keturunan Jawa. Aku membelai jakunnya yang naik
turun.
“Sayang,
kawin lari yuk.” Oke, reaksi pertamaku memang salah. Aku langsung tidak bisa
menahan tawaku ketika Uki mengatakan ide gila untuk kawin lari dengan mimik
muka serius. Dan itu membuat pacarku itu kesal.
Uki
bangkit dan berjalan mondar-mandir. Persis banget kayak copet mau beraksi. “Aku
serius tahu Dan! Mama, Papa pasti gak setuju! Selagi ada kesempatan, kita kabur
berdua yuk!”
“Sayang,
Kemal sama Fadil masih kecil-kecil. Orang tua kamu juga sudah enggak muda lagi
kan? Maksudku . . .”
“Ya
udah kita bawa saja Kemal sama Fadil.” Ini Uki lagi kerasukkan apa sih?
Tingkahnya aneh semenjak keluar dari mobil. “Aku serius! Aku bener-bener gak
mau pisah sama kamu. Seminggu gak ketemu aja aku udah kurusan gini.”
Aku
sekuat mungkin menahan tawaku yang akan meledak. Uki memang terlihat kuyu, tapi
sama sekali tidak kurusan. “Mas, kamu malah semakin kelihatan kalau lagi
depresi tahuk!”
“Eh,
barusan kamu bilang apa?” Uki menatapku tak percaya.
“Depresi,
kamu kelihatan depresi.”
“Sebelum
itu, kamu manggil aku apa tadi?”
“Mas,
kenapa? Kan kamu lebih tua dua tahun. Ditambah orang jawa, ya kan?”
Kali
ini Uki yang tertawa. “Ya deh. Ya deh, mas.” Uki menatapku, lalu terbahak lagi.
“Kemal, Fadil aja manggil aku Abang, kamu malah. . .” Aku mengabaikan Uki yang
entah kenapa menganggapku lucu telah memanggilnya mas. Emang apa salahnya sih?
Toh, emang dia lebih tua kan?
“Aku
tidur duluan.” Bodoh deh itu pacarku mau kerasukkan apa, aku ngantuk, dan agak
kesal sih sebenarnya. Aku kan niatnya biar romantis gitu manggil mas, malah
diketawain.
Aku
masuk kedalam kamarku, samar-samar, aku masih mendengar suara tv. Yang artinya,
Uki belum mau beranjak tidur.
Aku
menanggalkan semua pakaianku. Berhenti sejenak untuk meraba nama UKI B yang
tertulis di bawah pusarku. Apa kali ini aku benar-benar jatuh cinta? Atau hanya
kamuflase perasaan sesaat karena Uki berbeda dari mantan-mantanku dulu? Ah,
persetan! Aku bahagia bersama Uki, itu lebih dari cukup. Aku menyibakkan
selimut, lalu bersiap-siap untuk tidur. Biarlah kalau Uki mau begadang menonton
tv.
***
Uki
Bagus Walantaga
Daniel,
sepertinya sudah tertidur beneran. Sepi. Aku memandangi tv yang entah tengah
menayangkan acara apa. Wine yang tinggal setengah botol itu tidak memabukkanku,
sungguh! Namun rasanya yang panas membakar tenggorokkan membuatku ragu untuk
menghabisinya. Heran, kenapa gantengku itu doyan banget nenggak alkohol.
Aku
mematikan tv, mengaitkan double keamanan pada pintu, mematikan semua lampu,
lalu kemudian masuk kedalam kamar.
Nafasku
tercekat melihat Daniel yang tengah terbaring. Dari deru nafasnya yang teratur,
mungkin Daniel sudah tertidur. Mungkin, karena sekilas aku melihat matanya
mengintip tadi dari balik kelopak matanya. Mungkin dia hanya berpura-pura
tidur.
Aku
menarik selimut yang tengah membungkus tubuh Daniel. Agak terkejut juga
melihatnya tanpa busana seperti itu. Apalagi tidurnya yang tengah telentang.
Penisnya
yang masih tertidur ukurannya memang lebih panjang dan lebih besar dari
punyaku. Begitu juga kalau tengah ereksi. Aku pernah membandingkannya waktu
kita pertama kali bercinta dulu.
Dan
tiba-tiba, pantatku rasanya gatal. Aku penasaran, kenapa Daniel waktu dulu
begitu menikmati saat penisku bersarang di lubang pantatnya ya? Bahkan penisnya
sendiri mengeras tanpa aku sentuh.
“Daniel.
. .” Daniel diam.
Jariku
bergerak, membuat gerakan memasturbasi penis Daniel.
“Sayang
. . ?”
“Dan?”
“Niel?”
Aku semakin intens mengocok penis Daniel yang sudah tegang maksimal.
“Apa
sih Ki?” Hehehe, tuh kan gantengku itu cuman pura-pura bobo.
“Dan,
aku mau nanya dong.”
“Aku
ngantuk, besok aja.” Daniel meraih selimut yang tadi aku singkapkan, lalu ia
gunakan untuk membungkus tubuh telanjangnya kembali.
“Mas
mau nanya dik.” Well, ternyata panggilan ‘dik’ ku itu menyita perhatian Daniel.
“Nanya
apa mas?” Sumpah, sebenarnya aku geli setengah mati dipanggil mas, dan menyebut
diriku sendiri mas. Tapi demi si ganteng, apa sih yang enggak?
“Dimasukkin
penis itu enak?”
“Kamu
mau nyoba Ki?” Tanya Daniel langsung. Gak pakai mas lagi nih?
Aku
yakin wajahku memerah. “Enggak, cuman nanya aja.” Kataku kemudian sambil ikut
berbaring disampingnya.
“Aku
belum pernah masukkin penis ke lubang sih Ki, aku bottom.”
“Bottom
itu apa?” Yah, pengetahuanku tentang istilah-istilah gay memang masih cetek.
Aku dan Daniel jarang mendiskusikan istilah-istilah aneh. Tapi sekarang aku
penasaran.
***
Joshua
Daniel Pradipta
“Bottom
itu apa?”
“Ya
yang dimasukki, yang keenakkan kalau dimasukkin penis, lubangnya.”
Uki
memandangiku lagi, yang bikin aku cemas setengah mati. Aku belum pernah jadi
top, semenjak aku mengenal dunia seks. Jadi, aku takut saja ntar aku malah gak
bisa ngaceng pas mau nusuk Uki. Tapi, Uki kayaknya penasaran banget. Ukiku itu
kan pemalu, kalau sampai dia berani nanya-nanya kayak gini, berarti dia pengen
kan sebenarnya?
“Mau
nyoba?” Tanyaku sekali lagi. Please jawab enggak, please jawab enggak.
“Boleh.”
Eng ing eng, tamat. Kan judulnya bottom? Sekarang bottomnya mau jadi vers, jadi
tamat.
Diantara
kekalutan pikiranku yang takut gak bakal bisa menggagahi Uki, ternyata Uki
sendiri tengah menelanjangi dirinya sendiri. Aku baru sadar ketika Uki baru
saja memelukku. Aku bisa merasakan penisnya yang ereksi menyentuh belahan
pantatku. Aku secara naluri langsung memundurkan pantatku agar lebih kena.
“Bukan
gini, aku pengen ngrasain jadi bottom.” Ding dong. Kirain lupa dia.
“Bentar
sayang, aku ambil kondom.”
“Gak
usah pakai kondom.” Uki menarikku agar berada dalam jangkauannya lagi. Dia
menyibakkan selimut yang menutupi tubuh kami berdua.
“Aku
isep dulu ya?” Well, saat pertama kali aku bercinta dengan Uki, di sofa dulu,
beronde-ronde, aku memang tidak mendapatkan service blowjob, cukup puas hanya
dikocok Uki waktu itu. Aku kan bottom, kepuasanku jelas saat Uki dengan
gagahnya menyetubuhiku dong. Sekarang, keadaannya terbalik. Bukan beararti aku
tidak suka seks oral.
Uki,
sebagai pemula, he’s great! Dia memperlakukan barang paling pribadiku itu
dengan lembut. Seolah itu adalah barang paling rapuh sedunia. Enggak kena gigi
sama sekali! Salut!
“Rasanya
agak asin-asin gitu,” Uki mendongakkan kepalanya, sedangkan kepala penisku
masih didalam mulutnya. Gila! Aku horny parah! “Cukup gak?” Aku mengangguk.
Belajar
dari waktu pertama ML dulu, aku tahu rasanya sakit luar biasa waktu pertama
kali. Jadi, aku mengambil pelumas. Dan jujur, ini juga pengalaman pertama
kaliku menggagahi seseorang. Jemariku dengan sedikit bergetar mencoba memberi
rangsangan-rangsangan disekitar area pantat Uki. Sumpah, aku lebih tertarik
untuk mencaplok tititnya yang tengah mengacung tegak itu daripada harus
berkutat dengan lubang pantatnya.
Demi
bahagiain pacar, demi bahagiain pacar. Aku melafalkan mantra sakti tersebut
berulang-ulang kali di otakku.
“Sakit
Ki?” Aku memasukkan jari kelingkingku. Uki menggeleng. Penisnya tambah tegang,
cairan precum sudah deras mengalir. Please God, please, jangan bilang Uki punya
naluri bottom juga.
Anehnya,
penisku dibawah sana juga masih sama tegangya, ditambah jari jemari Uki yang
masih setia menempel disana.
“Aku
masukkin ya?” Anggukan kepala Uki aku anggap sebagai jawaban ya.
Belum
juga kepala penisku menyentuh kulit pantatnya, Uki sudah berteriak histeris, “
Sakit sayang, sakit.” Tangannya pun kuat mencengkram bicepku.
“Belum
juga aku masukkin.”
“Eh,
belum ya?”
“Enggak
usah aja ya? Kamunya keluar keringat dingin gini. Takut kan?”
“Tapi
tadi enak banget pas lubang pantatku kamu sentuh-sentuh gitu sayang. Cobain
dulu. Ntar kan bisa gantian.” Aku memutar kedua bola mataku. Keras kepala juga
ya ini anak.
Tapi
kali ini Uki tak bersuara. Dia hanya meringis, cengkraman tangannya yang
mengencang pada lenganku, dan matanya yang ia pejamkan kuat-kuat. Aku tahu Uki
kesakitan. Aku tak tega, sungguh! Apalagi ketika aku melihat penisnya sudah
layu, tidak ereksi lagi. Tapi Uki diam, dia tidak memintaku untuk mencabutnya.
Maka
aku menggoyangkannya perlahan. Mungkin ada sekitar satu menitan hingga Uki
mengeluarkan suara keberatannya. “Udah sayang, aku gak kuat.” Thanks God, Uki
pure top. Bukan berarti aku tidak mau jadi top lho, demi pacar, role mah nomor
sekian, ya gak sih?
“Sayang
kok kamu bisa gak kesakitan gitu sih? Bentar ya, rasanya perutku jadi mules.”
Uki turun dari ranjang dan berlari ke kamar mandi. Aku terkekeh sebentar
sebelum akhirnya menyusul Uki ke kamar mandi untuk mencuci penisku yang masih
tegak berdiri.
“Ada
yang keluar?” Tanyaku iseng pada Uki yang tengah duduk di closet dengan wajah
merah padam.
“Jangan
liat kesini. Malu.”
“Kenapa?
Mau aku cebokkin sekalian?” Aku makin menggodanya.
“Jorok
kamu!”
“Aku
gak keberatan kok, kalau misal ntar kamu lagi sakit, gak bisa beol sendiri, aku
juga gak keberatan kok ngurusin kamu. Serius.”
“Itu
kalimat terjorok yang pernah aku denger, tapi juga terdengar manis. Lagian
aneh, aku ngrasa mules tapi gak ada yang keluar.”
Aku
tersenyum sambil mengisi bathubku dengan air hangat.
“Sayang,
berendem bareng yuk!”
Uki
tersenyum sambil kemudian setelah bersih-bersih, bangkit lalu meraih
kejantananku. “Masih keras aja dari tadi.”
“Sebenarnya
sayang, aku pengen bikin tato nama kamu itu di titit.”
“Jangaaaan,
ntar tukang tattonya liat.” Aku mencubit puncak hidung Uki, wajah merajuknya
lucu.
“Tapi
tukang tattonya bilang aku harus ereksi selama tiga jam full, biar tattonya
bagus. Nyerah deh akunya.” Tangan Uki yang tadi mengurut-urut penisku sekarang
sudah beranjak ke belakang.
“Kangen
nih sama bokong montok kamu.”
Well,
kali ini kayaknya gak bakal ada yang teriak-teriak kesakitan deh.
***
“Dan
. . .” Aku merasakan bahuku digoyang-goyang. Kerasa sih, agak ganggu juga, tapi
aku masih malas untuk membuka kelopak mataku.
“Udah
jam tujuh sayang, bangun dong!” Aku ngulet ke kiri. Atau ke kanan? Saat
tersadar saja, aku enggak jago kiri kanan, apalagi dalam kondisi tertidur
begini?
“Mandi
gih, udah aku bikinin roti bakar sama orange juice buat sarapan.” Oh, makanan.
Aku memang lapar, setelah sama-sama memuntahkan sperma di bathtub, lanjut
diranjang beberapa kali, aku jelas butuh asupan energi sekarang.
Aku
membuka kedua mataku. Memberi kecupan singkat di pipi Uki –yang sudah sangat
rapi dengan setelan kerjanya-, lalu beranjak ke dapur. Belum juga berdiri
tegak, tanganku sudah ditarik Uki jatuh ke ranjang lagi.
“Aku
udah gak kuat Ki, kalau kamu mau lagi.” Aku jujur.
Uki
menatapku, dengan tipe tatapan ibu-ibu yang menatap anaknya yang tengah
ketahuan bandel. “Aku juga males kalau harus mandi lagi. Mandi dulu! Baru
makan.”
“Aku
laper Ki.”
“Mandi
dulu.” Aku menatapnya. Jenis pendanganku yang ini biasanya selalu mempan. Uki
memalingkan wajahnya.
“Mandi!”
Uki melemparkan handuk. Agak basah, bekas dia mungkin tadi.
“Jahat.”
“Jahat
kenapa? Cuman nyuruh mandi doang. Lagian kamu mau sarapan telanjang bulat
gitu?”
Aku
menatap Uki, sambil mencoba membangkitkan penisku dari tidurnya. Wajah Uki
langsung memerah, dan segera ia palingkan.
“Aku
tunggu di dapur, kita sarapan bareng. Mandi dulu tapi!”
“Iya.”
Akhirnya aku menyerah.
***
Hendri
Subakti
Beberapa
hari ini Daniel menghindari gue. Menjawab beberapa pesan gue dengan jawaban
pendek-pendek. Gue enggak bodoh, sangat tahu kalau Daniel sedang dalam tahap
ingin ‘ngebuang’ gue. Mana gue sama sekali enggak tahu dimana tempat dia
tinggal lagi. Waktu itu, gue nganterinnya
juga ke kostan temennya. Beberapa kali kita ketemu, gue juga belum
pernah menjemputnya. Dia selalu membawa mobil sendiri.
Dan
sekarang? Saat dia menolak semua ajakkan makan malam gue? Ajakkan makan siang
gue? Padahal gue, disini, tengah kangen berat padanya.
Gue
segera meraih sebuah nomor yang mungkin mau membantu gue.
“Hai
May,” Gue berkata, saat sambungan telepon gue diangkat pada dering ketiga.
“Ya
Hen? Ada apa?”
“Lo
pasti punya alamat rumahnya Daniel kan? Boleh minta gak?” Maya diam disana.
Cukup lama. Shit! Mereka kan sahabat deket, tapi apa iya, Maya cukup tak sopan
untuk menolak permintaan gue begitu saja?
“Oke,
ntar gue kirim via BBM.” Yass, Yass!
“Thanks
May.”
Gue
memandangi sebuah alamat yang baru saja dikirim Maya. Gue udah janji ke diri
gue sendiri kalau lo harus gue dapetin Dan. Jadi ya, tunggu aja.
Well,
baru kali ini ada homo yang nolak pendekatan gue. Ckck, Daniel, Daniel.
***
Joshua
Daniel Pradipta
“Ini
formulanya Ndi, ngaduk telurnya sampai ngembang ya! Tiga puluh menitan. Lo
bikin yang controlnya dulu. Ntar gue cobain dulu. Kalau enak, ntar kita pakai
Dairy Boost kita, significant gak bedanya.”
“Ini
buat FIA mas?”
“He
eh, ntar kita ada tiga aplikasi sih. Spoon cake, Cream Filling, sama Acidified
Milk Fruity. Kita trial spoon cakenya dulu. Inget, perhatiin waktu ngaduk
telurnya ya! Terlalu cepet, gak ngembang, terlalu lama, ntar becek.”
Andi
meneliti kertas yang aku print berisi formula spoon cake yang sudah aku
modifikasi. “Oke, kayak gue belum pernah bikin aja. Yang lainnya mau trial
kapan mas?”
“Aduh,
ntar aja. Ini aja dulu. Gue aja masih bingung mau pake Dairy yang mana. Bikin
controlnya aja dulu. Pengen tahu rasanya dulu.”
“Oke
mas.”
Aku
baru saja masuk ke dalam ruanganku ketika melihat nama Maya muncul di layar
handphoneku. “Kenapa May?”
“Lo
apain si Hendri sih?” Maya langsung menjawab galak diujung sana.
Aku
meminum kopiku sebentar. “Enggak gue apa-apain.”
Disana,
Maya menghembuskan nafas agak tertahan. “Tadi dia minta alamat elo.”
“Gak
elo kasih kan?” Aku langsung waspada. Maya itu walaupun cablak, tapi orangnya
kadang suka gak enakkan.
“Gue
gak mungkin dong bilang gue enggak tahu?”
“Aduh
May, mampus deh gue.”
“Mampus
kenapa?”
“Gue
udah baikkan sama Uki, aduh, si Hendri juga gak bisa ya baca sinyal merah yang
gue kasih ke dia akhir-akhir ini?”
Lagi-lagi
Maya menghembuskan nafas, kali ini dengan jengkel. “Sejak kapan lo jago
ngode-ngode? Bilang langsung ke Hendri, lo udah punya lakik!”
“Oke
deh.”
“Jangan
main api dong Dan.”
“I
know, but waktu itu gue kan lagi agak-agak kesel sama Uki.”
“Yaudah,
salam buat laki lo. Jangan lupa ntar malam kita ada makan malem bareng. Ajak
Uki.”
“Iya
Babe, see you.” Aku meletakkan Iphoneku kembali ke saku. Sial! Perasaan dulu
aku gak sewas-was ini kalau selingkuh. Seperti waktu aku selingkuh dengan Uki
sewaktu masih menjadi kekasih gelapnya Bimo. Maksudku, aku enggak takut
kalaupun Bimo nantinya bakal memutuskanku. Atau waktu aku main-main dengan
Fian.
Sekarang?
Aku benar-benar tak ingin Uki tahu.
Well,
aku secara teknik enggak bisa dibilang selingkuh juga sih. Aku jalan, makan
bareng, gak ada aktivitas seksual kan barengan Hendri? Ciuman? Seks? Gak ada!
Jadi pure pertemanan doang kan? Aku gak ngasih harapan ke Hendri kan?
Ah,
fuck!
Pura-pura
tidak sengaja memegang penisnya?
Menggesek-gesekkan
kakiku ke kakinya?
Beberapa
kali mengkodenya agar menciumku? Walaupun, jelas aku tidak memberikan bibirku
dengan begitu saja. Aku bukan tipe murahan.
Itu
menunjukkan dengan jelas adanya indikasi aktivitas seksual, stupid Daniel!
Bahasa yang aku pakai agak gak mudah dipahami gitu ya? Sudahlah ya.
Dan
sekarang Hendri berusaha untuk mendapatkanku, mungkin dia sudah jatuh cinta?
Atau hanya penasaran? Dua-duanya sama berbahayanya. Berbahaya, karena aku baru
saja mendapatkan Uki kembali. Berbahaya, karena Uki paling intoleran sama
ketidaksetiaan.
Calm
down Dan, relaks, karena toh Uki have no idea. Dia gak tahu apa-apa. Oke. It’s
fine.
***
“Sayang,
daripada kamu terus-terusan mengganggu konsentrasi nyetirku, mending kamu fokus
sama jalanan.”
“Ini
Jakarta Ki, apa sih yang menarik dari jalan-jalannya?” Aku menarik tanganku
dari dalam celana Uki, “Kayak kamu enggak nikmatin perlakuanku aja.”
“Enggak
enak sama Maya, kalau ntar dia tahu celanaku belepotan sperma.”
“Kalau
kamu mau keluar kan tinggal bilang, jadi aku cepat-cepat bisa berhenti.” Aku
melirik celananya yang masih menonjol.
“Daniel,
sayang, bisa gak, gak bahas seks dulu? Sakit ini penisku.”
“Keluarin
aja.”
“Trus
mandi lagi?” Uki berkonsentrasi pada jalanan. Hujan yang lumayan deras ini,
okay, sedikit membuat macet. Welcome to Jakarta. “Ayah kamu, chinesse?”
Tanyanya kemudian.
Aku
memalingkan wajahku ke jendela. To be honest, topik tentang ayahku, selalu
menjadi topik yang ingin aku hindari.
“Sorry.
Kita bahas yang lain aja kalau kamu enggak nyaman.” Aku menatap Uki, juga
celana bahannya yang kancing dan resletingnya tadi sudah aku turunkan karena
aku ingin melihat dan sedikit bermain-main dengan juniornya.
“Aku
bahkan belum pernah ketemu ayahku Ki, gak tahu wajahnya kayak gimana, actually,
I don’t remember him. At all. Enggak ada poto, enggak ada kenangan. Mama
seperti memblokir semua aksesku buat tahu siapa ayahku Ki. I love my mom. So
much, jadi aku gak tanya-tanya lagi tentang papa. It’s hurting her, and I hate
it.” Aku merasakan wajahku memanas. Belum pernah aku bercerita tentang ayahku
pada pacar-pacarku sebelumnya.
Uki
masih diam, namun sebelah tangannya memegang tanganku. Mengelusnya lembut.
“Hei,
I’m here. Okay? I love you.” Uki menatapku lumayan lama, sebelum akhirnya
kembali konsentrasi ke jalanan. “Damn, Dan! Aku pengen banget nepiin mobil
sialan ini, supaya aku bisa nyium kamu dengan konsentrasi penuh.”
Aku
sedikit terkejut. Apakah aku telah memberi pengaruh buruk untuk Uki? “Well, aku
gak keberatan kamu nepiin mobil.” Aku melihat jam tanganku, “Maya, jelas bisa
nunggu kok. Kita ada something urgent yang harus dilakukan kan Ki?” Kataku
sambil tanganku meraih celananya kembali. Uki, dengan konsetrasi tinggi,
sepertinya sedang mencari jalanan sepi yang bisa kita pakai sebentar untuk
‘istirahat’.
***
Evan
Sutedjo
Daniel
dan Uki datang terlambat. Dengan pakaian yang sedikit acak-acakkan. Gue heran,
kayaknya Daniel punya pengaruh buruk buat Uki. Ini Uki gitu, the good boy yang
bahkan mungkin enggak pernah terlambat datang ke kantor. Dan sekarang, look at
him. Berantakkan!
“Jangan
bilang, kalian ngelakuin seks singkat sebelum kesini?” Gue, menyeret Daniel
kearah dapur. Sementara Uki, berkenalan dengan Reno dan bergabung bersama Banyu
di ruang tengah.
“Jangan
bilang lo yang masak.” Daniel mengabaikan gue dan malah mengajukan pertanyaan
gak penting ke Maya.
“Ini
katering kok. Bantu gue buat nata ke meja makan deh.”
“Lo
kan kaya May, kenapa sih enggak nyari pembokat aja?” Daniel mengambil apel dan
menggigitnya.
Gue,
mengambil pisang berwarna kuning sempurna dan menunjukkannya ke Maya dan
Daniel. “So, segede apa punya Uki? You forget to answer my question.”
“Jadi?
Gue juga penasaran, seberapa hebatnya Uki di ranjang? Oh, thanks Van, lo jadi ngingetin
gue buat nanya. Waktu itu gue lupa nanya.”
“Lo
nanya, tapi enggak gue jawab kaleus. Lagian penting ya, gue cerita ke kalian
berdua?”
Maya
memutar tubuhnya dengan gaya dramatis. Heran gue, kenapa gue bisa berteman
dengan mereka berdua sih? Bertahun-tahun lagi!
“Lima
belas senti?”
“Gak
sopan lo May. Lagian, lo juga mesti nanya si kunyuk nih! Gimana rasanya
keperawanan elo direnggut, huh?” Pertanyaan itu, Daniel ajukan buat gue.
Gue
gelagapan. Oke, having sex with Reno was great. Tapi gue gak mungkin cerita
disini kan? Even mereka sahabat gue?
“Well,
lo udah ngrasain yang namanya disodok penis ya?” See? Itu kenapa Maya dan
Daniel bisa klop satu sama lain. Mereka berdua sama joroknya! Oke, gue juga
jorok, tapi enggak separah mereka dong?
“Apa
lo langsung orgasme? Gimana pertama kali lidah lo nyicipin penis? Asin? Atau
agak bau pesing?” Maya dan Daniel saling berpandangan sebentar. Dan mereka
tertawa karena pertanyaan mereka sendiri. Kayaknya, malah gue ini yang diserang
sekarang.
“Well,
actually Dan, gue gak suka oral seks.” Ini bukan jawaban gue, bukan! Ini Maya
saudara-saudara.
“Woa,
lo tega banget May! Emang Banyu gak pernah minta lo isepin?”
“Beberapa
kali, dan gue kayak kepaksa gitu ngeblow job dia. I mean, sampai sekarang gue
juga enggak tahu dimana letak enaknya ngisep penis.”
“That’s
why, gay did it better for that stuff. We like penis.”
“Kita
mau bahas penis-penisan atau mau nyiapin makan malam? Sebelum para pria
kelaparan, dan kita di depak dari dapur?” Akhirnya, karena sebenarnya gue udah
laper. Dan perdebatan konyol ini, menunda acara makan malam.
“Well,
oke. Eh, May, menurut lo, bercinta di kolam renang asik enggak? Tapi gue takut
nih kalau harus di kolam apartment. Ntar kalau tiba-tiba ada yang mergokkin
gimana?”
“Ajak
join aja.”
“Kalian
berdua, please?!” Mereka berdua menatap kearahku dengan mimik muka polos.
Mereka jagonya!
“Seseorang,
yang baru saja kehilangan keperawanannya, memiliki emosi kurang stabil dan
terlihat senang marah-marah. Menurut penelitian di Amerika.” Maya menjetikkan
jari-jari cantiknya akibat sering berkunjung ke salon dua kali seminggu itu.
“Oke,
gue having sex with Reno. He’s great. Delapan belas senti. Kecoklatan, dan
well, enggak ada masalah dengan ereksinya.” Gue, akhirnya enggak tahan juga.
Itu yang ingin mereka dengar.
“Holy
shit! Uki aja cuman empat belas senti.”
“Banyu
berapa?” Gue dan Daniel nanya hampir barengan.
Maya
menyisir rambutnya dengan jari, “Elo bener Van, kayaknya kita mesti nyiapin
dinnernya deh. Udah setengah delapan. Mereka pasti udah mulai kelaperan.”
“Hmmm?”
Daniel sama gue menatap Maya hingga akhirnya membuat cewek paling unik sedunia
itu enggak tahan juga.
“Lima
belas senti, puas?” Kata Maya akhirnya. Kita bertiga berpandangan sebentar.
Lalu tertawa bareng. Hidup itu memang enggak selamanya mudah, tapi Tuhan
menciptakan beberapa orang, untuk menemani kita untuk melewati masa-masa sulit
itu. I have them, my best friend. How about you?
TBC
. . .