Chapter
Sebelas
Gani
Pov
Oke,
let’s face it. Aku lupa berapa usia Lita for sure. Tapi yang jelas masih SD.
Aku dan Denny sudah keliling gak jelas dan belum mendapatkan hadiah yang pas.
Ngado anak sekarang gak segampang ngado anak jaman dulu. Dulu, jamanku masih
SD, dikado buku satu pack aja udah girang kayak menang lotre. Sekarang?
Siap-siap aja buat di black list dari daftar teman baik. Well, it’s hard you
know?
“Gimana
kalau Iphone?” Aku menoleh kearah Denny dengan gaya dramatis.
“You’re
kidding.” Gila! Anak SD di kasih Iphone? Hape ku kalah saing.
“Serius,
Papa sama Mama sih maunya ngado itu.”
“Dan
Lita jadi punya double Iphone? Give me one then.” Aku mungkin terlalu
sarkastis.
“Excuse
me? Can we adjust the attitude?” Denny menatapku dengan tatapan yang sulit aku
artikan.
“I
am sorry, this test exam is actually killing me. And my personal life is
hanging by a thread, that’s all.”
“That’s
why aku mau ngajak kamu having fun. Mama sama Papa nitip aku buat beli
Iphonenya. Kita beli aksesorisnya aja kali ya? Sekalian.”
“Oke.”
Pengen banget aku teriak, kalau udah tahu mau ngado apa, ngapain keliling gaje
tadi? Ini lama-lama bikin pahaku segede paha para pemain bola.
Finally,
kita akhirnya ke Ibox di MOI. Aku tidak begitu memperhatikan ketika Denny sibuk
dengan pramuniaga. Aku mengamati beberapa aksesoris lucu yang dipajang secara
standar dan membosankan. Mungkin, kalau mereka butuh penata gaya untuk toko
mereka, aku bisa mengusulkan beberapa hal.
Bukan
berarti ini store jelek, sepertinya ini store memang diperuntukkan untuk mereka
yang katanya ‘high level’, penataannya sederhana namun yah, memang berkelas gak
terlalu ‘rame’ atau norak. Hah, aku terlalu banyak menggunakan tanda kutip.
“Den,
beli kondom yang ini gimana?” Denny menoleh ke arahku dan agak melotot. Namun
setelah dia tahu bahwa maksutku adalah sarung pelindung handphone dia akhirnya
mengangguk. Kenapa sih aku selalu dikelilingi orang-orang yang berpikiran jorok?
“Uda
selesai check, ngechecknya?” Denny mengangguk.
***
“Kamu gak bilang kalau ini cuman syukuran satu
keluarga.” Dan Denny hanya nyengir. Tadi dia bilang bakal banyak temen Lita
yang datang. Dan sekarang apa? Hanya ada orangtua Denny, Dito dan sekarang
taraaa, aku dan Denny yang masih memakai seragam sekolah.
“Eh
kalian sudah datang, Gani! Kamu sekarang tambah ganteng aja, tante kangen lho
sama kamu. Udah jarang main kesini sekarang.” Aku hanya tersenyum saat Mamanya
Denny memeluk dan membelai rambutku ringan.
“Sekarang
banyak kegiatan tante.”
“Sudah,
sudah. Mbak Walmi, tolong kuenya yang tadi dibawa kemari. Kita tiup lilin.”
Setiap kali aku melihat Papanya Denny, aku jadi tahu darimana ketampanan Denny
berasal.
Lita
histeris, bahagia ala anak sembilan tahun. Kalian tahu seperti apa anak
sembilan tahun jaman sekarang kan? Yah, bila dilihat bahwa dia dikado Iphone,
aku yakin dalam hal technologies mungkin Lita lebih jago dariku. Dulu, waktu
aku masih sembilan tahun, aku masih renang di kali, manjat pohon jambu
tetangga. Oh, it’s old school now.
Setelah
peniupan lilin, kemudian pemotongan kue. Fakta bahwa Lita memberikan kue
pertamanya untuk sang Ibu memang tidak mengejutkan. Hampir semua anak juga akan
begitu kan? Kue kedua untuk Denny, bukan untuk Papanya. Wow, just wow. Mungkin
fakta bahwa Denny memang lebih dekat dengan Lita. Mungkin. Fammily bussines.
Dan aku gak perlu ikut campur.
***
Beno
Pov
Kenapa
akhir-akhir ini aku sering cemburuan ke Gani ya? Entahlah, kadang aku merasa
bahwa cintaku untuk Gani lebih besar daripada cinta Gani untukku. Atau mungkin
aku sedang mengalami tanda-tanda posesif? Jangan sampai, Gani paling benci
dengan orang posesif.
“Hei
Ben, Gani kemana?” Tantra bertanya sambil menyenggol lenganku. Memberiku kode
agar maju selangkah. Kita sedang mengantri di KFC. Hah, tumben-tumbenan ini
tempat makan cepat saji rame banget.
“Sama
Denny tadi.”
“Oh,
cuman berdua? Atau bertiga sama Radit?”
“Berdua
doang, ngapain lo nanya-nanya pacar orang?” Tantra hanya cengengesan tapi tak
menjawab pertanyaanku. Bikin curiga kan ini anak? Setahuku, Tantra gak pernah
deket sama cewek dah. Jangan-jangan sekong juga ini anak?
Hush!
Ini otakku konslet gara-gara ujian hari ini atau gara-gara mikirin Gani?
Mungkin kombinasi keduanya.
Akhirnya
setelah dapat giliran order, kita sekarang bingung nyari tempat duduknya. Full!
Kampret! Biasanya ini KFC sepi juga.
“Ben,
sini gabung gue.” Diantara banyaknya kenalanku, kenapa makhluk ini yang ada
disini dan nawarin tempat duduk?
“Tuh
Ben ada yang nawarin, yok gabung! Uda laper banget ini gue.” Shandy nyengir
ketika melihatku dan Tantra berjalan mendekat kearahnya. Mau gak mau, karena
gak mungkin kan aku berdiri lama-lama kayak orang bego?
“Oh
iya Ben, kenalin ini temen gue Tian.” Aku mengulurkan tangan. Menyalami cowok
yang usianya aku taksir lebih muda dari Shandy.
“Beno,
ini temen gue Tantra.” Aku mengenalkan Tantra hanya sebagai basa-basi. Toh
Tantra sepertinya tidak bisa membaca aura tidak sukaku terhadap Shandy. He’s
stole my kiss. Aku gak akan lupa tentang itu.
“Lo
berdua masih sekolah?” Pertanyaan bodoh dari Tian dan jujur cukup bikin garing.
Aku dan Tantra masih mengenakan seragam sekolah, jadi pertanyaan tadi terlihat
sangat basi sebasi-basinya.
“Maksut
gue, kalian sekolah dimana?” Tanya Tian kemudian, setelah aku dan Tantra tidak
ada yang berinisiatif menjawab pertanyaannya yang tadi. Tantra menjawab
pertanyaan Tian dengan becandaan. Tidak lupa Tantra juga mengatakan kata
Garing, untuk pertanyaan pertama Tian, yang dijawab kekehan ringan oleh Tian.
Dalam
sekejab, Tian dan Tantra sudah terlibat perbincangan seru. Syukurlah, karena
itu berarti aku tidak perlu berbasa basi dengan Shandy. Males juga mau ngajak
itu anak ngobrol. Jadi yah, aku memilih untuk menikmati ayam dan kentang
gorengku. Beberapa kali Shandy melirikku namun tak aku gubris.
Aku
malah masih kepikiran Gani. Hhh, aku percaya Gani, tapi Denny? Bukan perkara
sulit untuk menebak jika Denny masih menyukai Gani. Dan yang jelas, dia juga
masih berusaha ingin mendapatkan Gani kembali. Kalau sampai Gani khilaf? Aargh!
Kampret, bisa-bisanya aku malah galau.
“Abis
ini kemana Ben?” Aku mendongakkan kepalaku. Tantra masih menatapku, menungguku
menjawab pertanyaannya.
“Pulanglah.”
Aku menjawab seadanya.
“Bareng
Shandy aja ya? Gue mau main ke rumahnya Tian, katanya dia punya koleksi one
piece lengkap!” Aku sukses bengong. Mereka baru kenalan belum ada satu jam yang
lalu. Dan setahuku, Tantra itu sulit untuk cepat akrab dengan orang baru.
“Gue
ntar gampang naik taksi.” Mendengar jawabanku, Tantra malah menyipitkan
matanya. Menatapku curiga.
“Kalian
ada something?”
“Enggak!”
Jawabku dengan intonasi agak naik. Shit, Tantra malah semakin curiga.
“Oke,
gue balik bareng Shandy.” Tantra itu kalem, namun jiwa keponya bisa bangkit dan
bisa dalam tahap yang mengerikan jika dia penasaran terhadap sesuatu.
“Nah,
gue kan jadinya gak khawatir.” Halah!
***
“Lo
itu makin ganteng ya Ben?” Aku mengabaikan Shandy. Bukan hal yang sulit kok.
“Gue
naik taksi aja, bye Shan.”
“Oke,
tapi jangan salahin gue kalau gue langsung ke rumah Tian lalu cerita ke Tantra
tentang ciuman kita pas di rumah gue.”
“Lo
yang nyium gue. Sama sekali bukan ciuman kita!! Itu ciuman lo!”
“Apa
bedanya?” Tantra memamerkan deretan gigi putihnya. Aaargh! Sambil menahan
amarah aku naik ke boncengan. Serius, kalau dihadapkan dengan pilihan, siapa
orang yang pengen aku bunuh saat ini, jawabannya tak lain adalah Shandy!
Diatas
motor, aku berusaha memberi jarak. Walau ujung-ujungnya aku jadi agak mepet
keujung, tapi itu bukan masalah besar. Daripada harus merapat ke Shandy?
“Eh
Ben, itu bukannya bf lu?” Shandy bertanya pada saat kita berhenti di lampu
merah. Aku mengikuti arah tangan Shandy. Tadinya aku mengira bahwa Shandy hanya bercanda. Berusaha
membuatku tambah kesal.
Tapi
itu beneran Gani. Dan Denny, mereka tertawa. Rangkulan. Mungkin, terlihat
normal bagi orang lain, tapi aku tahu benar hubungan masa lalu mereka. Hatiku
mendidih. Katanya Lita ulang tahun? Lalu kenapa mereka berkeliaran disini?
Mesra lagi! Gila, berani-beraninya Gani bohong!
“Samperin
yuk!” Shandy membuyarkan pandanganku.
“Club
lu buka jam berapa? Gue pengen kesana.”
“Gak
nyamperin bf lu dulu?”
“Turunin
gue, gue bisa naik taksi.”
“Oke,
oke, gue anterin lu.” Kamu yang mulai duluan Gan!
***
Shandy
Pov
Sudah
dua botol, dan Beno sudah setengah mabuk. Gak ngerti sih kenapa itu anak jadi
tiba-tiba kayak kesambet gini. But, whateverlah. Yang penting, Beno
menghabiskan waktunya bersamaku. Walaupun, dia sama sekali tidak mengajakku
mengobrol. Dia larut dalam pikirannya sendiri.
“Gue
mau pulang.” Baru juga jalan dua langkah, Beno sudah ambruk. Haduh, mabuk ampe
pingsan ini anak. Eh, bukankah ini kesempatanku?
Muntahnya
banyak banget. Ampun dah, kalau bukan Beno sudah aku tinggalin kali tadi. Aku
memapahnya, menitipkan motorku pada Rendy dan segera mencari taksi yang
biasanya banyak mangkal di depan.
Beno
berat mampus, mana ngoceh gak karuan lagi. Ini anak kayaknya gak bisa minum
banyak. Baru juga dua botol, uda teler.
Sesampainya
di rumah, aku berterimakasih karena kedua orang tuaku tidak bertanya
macam-macam melihat kondisi Beno. Aku menggeletakkan Beno. Dia bener-bener
ganteng. Dalam kondisi tak berdaya begini? Dia makin nafsuin. Detak jantungku
memburu, mendekati wajah putih mulusnya, mencium pipnya pelan. Mengusap-usapkan
pipiku ke bibirnya. Aah, inikah rasanya?
“Gani?”
Ucapan lirih itu keluar dari bibir Beno. Gani? Kenapa tidak? Semalam saja, aku
ingin merasakan seperti apa menjadi Ganinya Beno.
“Jangan
tinggalin aku please?” Aku mengusap bibir Beno lembut.
“Gak
akan Ben,” Lalu aku mengecup bibirnya. Pelan, lalu kemudian mengintimidasi. Aku
ingin mengecap rasa bibir Beno seluruhnya. Beno mengerang, membuatku makin
bernafsu. Dengan cekatan, aku melepas seluruh pakaian Beno. Eh, masa momen
seperti ini aku biarin begitu saja? Aku bangkit dan berdiri, kemudia merogoh
ponselku. Aku melihat Beno yang sudah tergeletak tanpa mengenakan selembar
pakaianpun. Ini pasti bakalan jadi video laris manis nantinya.
Setelah
yakin bahwa ponselku berada di posisi yang tepat, aku kembali mendekati Beno.
Tuhan pasti meluangkan waktu lebih lama saat menciptakan Beno. Dia begitu
indah. Maafkan aku Ben, tapi aku benar-benar ingin memilikimu seutuhnya.
Aku
baru saja akan mengoral Beno, ketika ponsel milik Beno berbunyi. Sialan, ganggu
saja. Aku mencari-cari di saku celana Beno. Gani! Tepat waktu. Aku
mengangkatnya.
“Ben,
lagi dimana? BBMku gak kamu bales.”
“Tenang
aja, dia aman kok. Dia lagi have fun.”
“Kok,
Handphone Beno ada di tangan lo? Kok bisa? Lo . . .”
Aku
memutuskan sambungan telepon, lalu menonaktifkannya. Ada hal yang lebih penting
daripada sekedar menanggapi bocah labil marah-marah.
Beno,
here we go.
***
Gani
Pov
“Kita
mau kemana sih Gan?” Tantra menanyakan hal itu berulang-ulang sejak tadi.
Terpaksa aku meminta bantuan Tantra karena Radit masih bersama Mamanya dan
belum pulang. Besok masih ujian, dan aku sama sekali tidak mau Beno
kenapa-napa. Mungkin mereka beneran lagi having fun, tapi aku tak peduli. Akan
aku geret Beno pulang. Walaupun harus aku seret paksa.
Begitu
sampai di depan rumah Shandy aku langsung mengetuk pintu. Atau dalam kasusku,
bisa dibilang hampir menggedor-gedor. Aku tengah emosi, peduli setan tentang
nilai-nilai kesopanan!
“Relax
Gan! Biar gue yang ngomong.” Seorang wanita paruh baya membukakan pintu. Aku
ingat betul itu ibunya Shandy.
“Kamar
Shandy dimana Bu?” Wanita tersebut kaget, cukup lama sehingga membuatku berinisiatif
untuk mencari kamar Shandy sendiri. Tantra dibelakang sana, entah sedang
ngobrol apa dengan ibunya Shandy. Menjelaskan bahwa aku sebenarnya baru saja
kabur dari rumah sakit jiwa? Mana aku peduli!
Aku
membuka pintu pertama dan darahku langsung mendidih. Shandy yang nyaris
telanjang dan Beno yang telanjang dan tampak tak sadar. This bitch! How dare!
Aku
meraih rambut Shandy, menamparnya beberapa kali. Tetep ya, walaupun aku pernah
karate, yang keluar malah jurus gamparan. Haha, it’s called ‘sekong naluries’.
Hush, lagi emosi!
“Lo
ntar adep-adepan sama gue bajingan!” Aku menggeret Beno. Berat sebenarnya, tapi
terpaksa.
“Tantra
bantuin gue monyet!”
“Hei,
mau bawa kemana Beno?!”
“Diem
lo pelacur!” Kalau lagi emosi gini, antara macho dan ngondek bisa ke switch
dengan sempurna.
Tantra
muncul dan langsung menggendong Beno. Gila, aku acungin jempol buat tenaganya.
Aku sibuk mengambil pakaian Beno yang berserakkan.
“Urusan
kita belum selesai, ngerti lo?!” Kataku sambil membanting pintu. Maunya sih
biar agak dramatis, nyatanya malah pintunya gagal kebanting.
***
Aku
melihat Beno yang sepertinya tidak ada tanda-tanda akan bangun. Antara dia
mabuk berat atau molor kayak orang pingsan. Sebetulnya, aku juga marah pada
Beno, tapi dalam kondisi seperti ini, aku belum bisa melampiaskannya kan?
“Gue
balik ya Tan?”
“Lha
Beno?” Aku menggeleng pelan. Menatap Beno yang masih tertidur pulas.
“Terserahlah,
bukan urusan gue lagi sekarang.”
“Gue
anter ya?” Aku menggeleng lagi.
“Gak
usah, Denny jemput gue.” Biarlah. Aku tak ingin memutuskan sesuatu saat ini.
Aku masih terlalu emosi. Aku pernah melihat suatu tulisan, entah di twitter
atau di facebook aku lupa. Intinya gini, jangan membuat keputusan saat kamu
marah, jangan membuat janji saat kamu sedang bahagia, karena sesalnya di
kemuadian hari.
“Are
you okay?” Denny bertanya saat aku keluar dari gerbang rumah milik Tantra.
Dengan kondisi Beno yang teler parah, membawanya pulang hanya akan membunuhnya,
dan membunuhku tentu saja.
“No,
I am not okay Den. I am not okay.” Sepanjang perjalanan, air mataku mengalir.
Gimana Beno bisa bareng Shandy? Gimana Beno bisa berakhir di kamar Shandy?
Mereka sudah ngapain saja? I am not okay! I am not okay!
***
Sama
sekali gak bisa konsentrasi! Sekuat apapun aku mencoba untuk fokus terhadap
soal-soal ujian, aku tetap tidak bisa menjawabnya. Aku melirik kiri kanan.
Elliot terlalu jauh. Denny lumayan, tapi
aku tak yakin dia mau memberiku contekkan. Mati ajalah aku! Payah!
“Kak,
ini.” Adek kelas yang duduk disebelahku memberiku sebuah kertas. Jadi, ujian
ini memang gabungan isinya. Setengahnya berisi anak-anak kelas dua, lalu
setengahnya lagi anak-anak kelas satu dengan duduk yang diselang-seling.
Tujuannya? Biar gak gampang nyontek!
Aku
membuka kertas tersebut setelah aku menilai bahwa situasi dalam kondisi aman
dan kondusif. Aku menelan ludah. Jawabannya lengkap dari soal pilihan ganda
nomor satu sampai lima puluh. Sampai essay nomor lima puluh satu sampai lima
puluh lima. Dibawahnya ada nama Denny dengan emot senyum. Thanks Den.
Aku
sudah tidak mikir lagi, ngebut dengan kecepatan super. Mencontek dengan sedikit
modif pada jawaban essay.
Aku
keluar ruangan ujian dengan lega. Ujian terakhir, dan senyumku tersungging.
Bibirku masih belum tertutup saat tiba-tiba Beno ada didepanku, menarik paksa
tanganku untuk mengikutinya.
“Semua
beres kalau kamu mau minta maaf.” Ini dibelakang laboratorium biologi. Dulu,
kita sempat berbuat mesum disini. Dulu, waktu masih hot-hotnya.
“Minta
maaf? Buat apa?”
“Kemarin
ngapain sama Denny? Gak usah bohong!” Shit! Amarahku sukses tersulut.
“Kamu
yang ngapain sama Shandy hah? Telanjang-telanjangan di kamar Shandy?”
“Jangan
ngarang buat ngalihin topik!”
“Ngarang?
Tanya sama Shandy sono! Apa Tantra! Beneran lupa atau pura-pura doang?” Aku
mengeluarkan nada sarkastis campuran menghina level tinggi.
“Kamu
ngomongnya ngawur! Minta maaf atau kita putus!”
“Putus?
Fine! Kita putus!” Aku langsung meninggalkan Beno. Aku telah membuat kesalahan,
membuat sebuah keputusan saat sedang marah. Tapi, kalian tahu posisiku kan?
Aku
masuk kedalam toilet, menguncinya sebelum akhirnya sesenggukan disana. Aku
menyalakan air dari kran, supaya tidak ada yang mendengar isakanku. Beno, how
dare you!!
Entah
berapa lama aku menangis sampai akhirnya ada yang mengetuk pintu.
“Ini
gue, gue tahu lo didalam. Pulang yok Gan, uda sore.” Aku membuka pintu dan
melihat Radit. Dibelakangnya ada Denny dan Tantra.
“Dit,
gue- ”
“Yok
pulang aja dulu, jangan nangis disini.” Radit menuntunku. Untungnya sekolah
sudah benar-benar sepi.
“Thanks
guys, biar Gani sama gue aja.” Denny ingin mengajukan keberatan namun tidak
jadi. Dia membiarkanku dituntun Radit untuk masuk kedalam mobil. Aku tidak
terkejut dengan kekhawatiran Denny. Aku tidak bodoh, aku tahu Denny masih ada
rasa. Tapi Tantra?
Aku nanti bawakan
boneka Zorro ukuran bantal guling ya?
Aku
sedikit tersenyum membaca BBM dari Tantra. Ada empat miscall, 10 what’s up, dan
12 pesan dari Denny. Tidak ada satupun dari Beno. Benar-benar sampai disinikah?
Beno benar-benar tidak ingat peristiwa semalam? Apakah salahku? Siapa tahu Beno
dijebak ya kan? Apa aku terlalu gegabah? Seperti saat dulu memutuskan Denny?
Apakah
disini, akulah bajingannya?
“Dit,
apa gue salah ambil keputusan lagi?”
“Ssst,
jangan dipikirin dulu! Mending lo tiduran dulu, nangis itu nguras banyak energi
tauk!” Sebenarnya aku ingin sekali mendebat teori Radit, namun aku benar-benar
lelah. Beno, mungkin besok aku bakalan minta maaf dan kita bisa baikkan lagi. Biasanya
juga begitu. Ah ya, pasti bisa besok baikkan lagi.
Bersambung
. . .
Ka kok gk da info di fb,,, telat deh bcanya,,,, untung aja suka ngintip ini blog
BalasHapusHehehe, males sih mau promonya.
HapusKapan nih lanjutannya makin rame nih , botom nya juga sekalian dong
BalasHapus