FOLLOW ME

Minggu, 21 Desember 2014

BARISTA 11

Chapter Sebelas

Gani Pov
Oke, let’s face it. Aku lupa berapa usia Lita for sure. Tapi yang jelas masih SD. Aku dan Denny sudah keliling gak jelas dan belum mendapatkan hadiah yang pas. Ngado anak sekarang gak segampang ngado anak jaman dulu. Dulu, jamanku masih SD, dikado buku satu pack aja udah girang kayak menang lotre. Sekarang? Siap-siap aja buat di black list dari daftar teman baik. Well, it’s hard you know?
“Gimana kalau Iphone?” Aku menoleh kearah Denny dengan gaya dramatis.
“You’re kidding.” Gila! Anak SD di kasih Iphone? Hape ku kalah saing.
“Serius, Papa sama Mama sih maunya ngado itu.”
“Dan Lita jadi punya double Iphone? Give me one then.” Aku mungkin terlalu sarkastis.
“Excuse me? Can we adjust the attitude?” Denny menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan.
“I am sorry, this test exam is actually killing me. And my personal life is hanging by a thread, that’s all.”
“That’s why aku mau ngajak kamu having fun. Mama sama Papa nitip aku buat beli Iphonenya. Kita beli aksesorisnya aja kali ya? Sekalian.”
“Oke.” Pengen banget aku teriak, kalau udah tahu mau ngado apa, ngapain keliling gaje tadi? Ini lama-lama bikin pahaku segede paha para pemain bola.
Finally, kita akhirnya ke Ibox di MOI. Aku tidak begitu memperhatikan ketika Denny sibuk dengan pramuniaga. Aku mengamati beberapa aksesoris lucu yang dipajang secara standar dan membosankan. Mungkin, kalau mereka butuh penata gaya untuk toko mereka, aku bisa mengusulkan beberapa hal.
Bukan berarti ini store jelek, sepertinya ini store memang diperuntukkan untuk mereka yang katanya ‘high level’, penataannya sederhana namun yah, memang berkelas gak terlalu ‘rame’ atau norak. Hah, aku terlalu banyak menggunakan tanda kutip.
“Den, beli kondom yang ini gimana?” Denny menoleh ke arahku dan agak melotot. Namun setelah dia tahu bahwa maksutku adalah sarung pelindung handphone dia akhirnya mengangguk. Kenapa sih aku selalu dikelilingi orang-orang yang berpikiran  jorok?
“Uda selesai check, ngechecknya?” Denny mengangguk.
***

 “Kamu gak bilang kalau ini cuman syukuran satu keluarga.” Dan Denny hanya nyengir. Tadi dia bilang bakal banyak temen Lita yang datang. Dan sekarang apa? Hanya ada orangtua Denny, Dito dan sekarang taraaa, aku dan Denny yang masih memakai seragam sekolah.
“Eh kalian sudah datang, Gani! Kamu sekarang tambah ganteng aja, tante kangen lho sama kamu. Udah jarang main kesini sekarang.” Aku hanya tersenyum saat Mamanya Denny memeluk dan membelai rambutku ringan.
“Sekarang banyak kegiatan tante.”
“Sudah, sudah. Mbak Walmi, tolong kuenya yang tadi dibawa kemari. Kita tiup lilin.” Setiap kali aku melihat Papanya Denny, aku jadi tahu darimana ketampanan Denny berasal.
Lita histeris, bahagia ala anak sembilan tahun. Kalian tahu seperti apa anak sembilan tahun jaman sekarang kan? Yah, bila dilihat bahwa dia dikado Iphone, aku yakin dalam hal technologies mungkin Lita lebih jago dariku. Dulu, waktu aku masih sembilan tahun, aku masih renang di kali, manjat pohon jambu tetangga. Oh, it’s old school now.
Setelah peniupan lilin, kemudian pemotongan kue. Fakta bahwa Lita memberikan kue pertamanya untuk sang Ibu memang tidak mengejutkan. Hampir semua anak juga akan begitu kan? Kue kedua untuk Denny, bukan untuk Papanya. Wow, just wow. Mungkin fakta bahwa Denny memang lebih dekat dengan Lita. Mungkin. Fammily bussines. Dan aku gak perlu ikut campur.
***

Beno Pov
Kenapa akhir-akhir ini aku sering cemburuan ke Gani ya? Entahlah, kadang aku merasa bahwa cintaku untuk Gani lebih besar daripada cinta Gani untukku. Atau mungkin aku sedang mengalami tanda-tanda posesif? Jangan sampai, Gani paling benci dengan orang posesif.
“Hei Ben, Gani kemana?” Tantra bertanya sambil menyenggol lenganku. Memberiku kode agar maju selangkah. Kita sedang mengantri di KFC. Hah, tumben-tumbenan ini tempat makan cepat saji rame banget.
“Sama Denny tadi.”
“Oh, cuman berdua? Atau bertiga sama Radit?”
“Berdua doang, ngapain lo nanya-nanya pacar orang?” Tantra hanya cengengesan tapi tak menjawab pertanyaanku. Bikin curiga kan ini anak? Setahuku, Tantra gak pernah deket sama cewek dah. Jangan-jangan sekong juga ini anak?
Hush! Ini otakku konslet gara-gara ujian hari ini atau gara-gara mikirin Gani? Mungkin kombinasi keduanya.
Akhirnya setelah dapat giliran order, kita sekarang bingung nyari tempat duduknya. Full! Kampret! Biasanya ini KFC sepi juga.
“Ben, sini gabung gue.” Diantara banyaknya kenalanku, kenapa makhluk ini yang ada disini dan nawarin tempat duduk?
“Tuh Ben ada yang nawarin, yok gabung! Uda laper banget ini gue.” Shandy nyengir ketika melihatku dan Tantra berjalan mendekat kearahnya. Mau gak mau, karena gak mungkin kan aku berdiri lama-lama kayak orang bego?
“Oh iya Ben, kenalin ini temen gue Tian.” Aku mengulurkan tangan. Menyalami cowok yang usianya aku taksir lebih muda dari Shandy.
“Beno, ini temen gue Tantra.” Aku mengenalkan Tantra hanya sebagai basa-basi. Toh Tantra sepertinya tidak bisa membaca aura tidak sukaku terhadap Shandy. He’s stole my kiss. Aku gak akan lupa tentang itu.
“Lo berdua masih sekolah?” Pertanyaan bodoh dari Tian dan jujur cukup bikin garing. Aku dan Tantra masih mengenakan seragam sekolah, jadi pertanyaan tadi terlihat sangat basi sebasi-basinya.
“Maksut gue, kalian sekolah dimana?” Tanya Tian kemudian, setelah aku dan Tantra tidak ada yang berinisiatif menjawab pertanyaannya yang tadi. Tantra menjawab pertanyaan Tian dengan becandaan. Tidak lupa Tantra juga mengatakan kata Garing, untuk pertanyaan pertama Tian, yang dijawab kekehan ringan oleh Tian.
Dalam sekejab, Tian dan Tantra sudah terlibat perbincangan seru. Syukurlah, karena itu berarti aku tidak perlu berbasa basi dengan Shandy. Males juga mau ngajak itu anak ngobrol. Jadi yah, aku memilih untuk menikmati ayam dan kentang gorengku. Beberapa kali Shandy melirikku namun tak aku gubris.
Aku malah masih kepikiran Gani. Hhh, aku percaya Gani, tapi Denny? Bukan perkara sulit untuk menebak jika Denny masih menyukai Gani. Dan yang jelas, dia juga masih berusaha ingin mendapatkan Gani kembali. Kalau sampai Gani khilaf? Aargh! Kampret, bisa-bisanya aku malah galau.
“Abis ini kemana Ben?” Aku mendongakkan kepalaku. Tantra masih menatapku, menungguku menjawab pertanyaannya.
“Pulanglah.” Aku menjawab seadanya.
“Bareng Shandy aja ya? Gue mau main ke rumahnya Tian, katanya dia punya koleksi one piece lengkap!” Aku sukses bengong. Mereka baru kenalan belum ada satu jam yang lalu. Dan setahuku, Tantra itu sulit untuk cepat akrab dengan orang baru.
“Gue ntar gampang naik taksi.” Mendengar jawabanku, Tantra malah menyipitkan matanya. Menatapku curiga.
“Kalian ada something?”
“Enggak!” Jawabku dengan intonasi agak naik. Shit, Tantra malah semakin curiga.
“Oke, gue balik bareng Shandy.” Tantra itu kalem, namun jiwa keponya bisa bangkit dan bisa dalam tahap yang mengerikan jika dia penasaran terhadap sesuatu.
“Nah, gue kan jadinya gak khawatir.” Halah!
***

“Lo itu makin ganteng ya Ben?” Aku mengabaikan Shandy. Bukan hal yang sulit kok.
“Gue naik taksi aja, bye Shan.”
“Oke, tapi jangan salahin gue kalau gue langsung ke rumah Tian lalu cerita ke Tantra tentang ciuman kita pas di rumah gue.”
“Lo yang nyium gue. Sama sekali bukan ciuman kita!! Itu ciuman lo!”
“Apa bedanya?” Tantra memamerkan deretan gigi putihnya. Aaargh! Sambil menahan amarah aku naik ke boncengan. Serius, kalau dihadapkan dengan pilihan, siapa orang yang pengen aku bunuh saat ini, jawabannya tak lain adalah Shandy!
Diatas motor, aku berusaha memberi jarak. Walau ujung-ujungnya aku jadi agak mepet keujung, tapi itu bukan masalah besar. Daripada harus merapat ke Shandy?
“Eh Ben, itu bukannya bf lu?” Shandy bertanya pada saat kita berhenti di lampu merah. Aku mengikuti arah tangan Shandy. Tadinya aku  mengira bahwa Shandy hanya bercanda. Berusaha membuatku tambah kesal.
Tapi itu beneran Gani. Dan Denny, mereka tertawa. Rangkulan. Mungkin, terlihat normal bagi orang lain, tapi aku tahu benar hubungan masa lalu mereka. Hatiku mendidih. Katanya Lita ulang tahun? Lalu kenapa mereka berkeliaran disini? Mesra lagi! Gila, berani-beraninya Gani bohong!
“Samperin yuk!” Shandy membuyarkan pandanganku.
“Club lu buka jam berapa? Gue pengen kesana.”
“Gak nyamperin bf lu dulu?”
“Turunin gue, gue bisa naik taksi.”
“Oke, oke, gue anterin lu.” Kamu yang mulai duluan Gan!
***

Shandy Pov
Sudah dua botol, dan Beno sudah setengah mabuk. Gak ngerti sih kenapa itu anak jadi tiba-tiba kayak kesambet gini. But, whateverlah. Yang penting, Beno menghabiskan waktunya bersamaku. Walaupun, dia sama sekali tidak mengajakku mengobrol. Dia larut dalam pikirannya sendiri.
“Gue mau pulang.” Baru juga jalan dua langkah, Beno sudah ambruk. Haduh, mabuk ampe pingsan ini anak. Eh, bukankah ini kesempatanku?
Muntahnya banyak banget. Ampun dah, kalau bukan Beno sudah aku tinggalin kali tadi. Aku memapahnya, menitipkan motorku pada Rendy dan segera mencari taksi yang biasanya banyak mangkal di depan.
Beno berat mampus, mana ngoceh gak karuan lagi. Ini anak kayaknya gak bisa minum banyak. Baru juga dua botol, uda teler.
Sesampainya di rumah, aku berterimakasih karena kedua orang tuaku tidak bertanya macam-macam melihat kondisi Beno. Aku menggeletakkan Beno. Dia bener-bener ganteng. Dalam kondisi tak berdaya begini? Dia makin nafsuin. Detak jantungku memburu, mendekati wajah putih mulusnya, mencium pipnya pelan. Mengusap-usapkan pipiku ke bibirnya. Aah, inikah rasanya?
“Gani?” Ucapan lirih itu keluar dari bibir Beno. Gani? Kenapa tidak? Semalam saja, aku ingin merasakan seperti apa menjadi Ganinya Beno.
“Jangan tinggalin aku please?” Aku mengusap bibir Beno lembut.
“Gak akan Ben,” Lalu aku mengecup bibirnya. Pelan, lalu kemudian mengintimidasi. Aku ingin mengecap rasa bibir Beno seluruhnya. Beno mengerang, membuatku makin bernafsu. Dengan cekatan, aku melepas seluruh pakaian Beno. Eh, masa momen seperti ini aku biarin begitu saja? Aku bangkit dan berdiri, kemudia merogoh ponselku. Aku melihat Beno yang sudah tergeletak tanpa mengenakan selembar pakaianpun. Ini pasti bakalan jadi video laris manis nantinya.
Setelah yakin bahwa ponselku berada di posisi yang tepat, aku kembali mendekati Beno. Tuhan pasti meluangkan waktu lebih lama saat menciptakan Beno. Dia begitu indah. Maafkan aku Ben, tapi aku benar-benar ingin memilikimu seutuhnya.
Aku baru saja akan mengoral Beno, ketika ponsel milik Beno berbunyi. Sialan, ganggu saja. Aku mencari-cari di saku celana Beno. Gani! Tepat waktu. Aku mengangkatnya.
“Ben, lagi dimana? BBMku gak kamu bales.”
“Tenang aja, dia aman kok. Dia lagi have fun.”
“Kok, Handphone Beno ada di tangan lo? Kok bisa? Lo . . .”
Aku memutuskan sambungan telepon, lalu menonaktifkannya. Ada hal yang lebih penting daripada sekedar menanggapi bocah labil marah-marah.
Beno, here we go.
***

Gani Pov
“Kita mau kemana sih Gan?” Tantra menanyakan hal itu berulang-ulang sejak tadi. Terpaksa aku meminta bantuan Tantra karena Radit masih bersama Mamanya dan belum pulang. Besok masih ujian, dan aku sama sekali tidak mau Beno kenapa-napa. Mungkin mereka beneran lagi having fun, tapi aku tak peduli. Akan aku geret Beno pulang. Walaupun harus aku seret paksa.
Begitu sampai di depan rumah Shandy aku langsung mengetuk pintu. Atau dalam kasusku, bisa dibilang hampir menggedor-gedor. Aku tengah emosi, peduli setan tentang nilai-nilai kesopanan!
“Relax Gan! Biar gue yang ngomong.” Seorang wanita paruh baya membukakan pintu. Aku ingat betul itu ibunya Shandy.
“Kamar Shandy dimana Bu?” Wanita tersebut kaget, cukup lama sehingga membuatku berinisiatif untuk mencari kamar Shandy sendiri. Tantra dibelakang sana, entah sedang ngobrol apa dengan ibunya Shandy. Menjelaskan bahwa aku sebenarnya baru saja kabur dari rumah sakit jiwa? Mana aku peduli!
Aku membuka pintu pertama dan darahku langsung mendidih. Shandy yang nyaris telanjang dan Beno yang telanjang dan tampak tak sadar. This bitch! How dare!
Aku meraih rambut Shandy, menamparnya beberapa kali. Tetep ya, walaupun aku pernah karate, yang keluar malah jurus gamparan. Haha, it’s called ‘sekong naluries’. Hush, lagi emosi!
“Lo ntar adep-adepan sama gue bajingan!” Aku menggeret Beno. Berat sebenarnya, tapi terpaksa.
“Tantra bantuin gue monyet!”
“Hei, mau bawa kemana Beno?!”
“Diem lo pelacur!” Kalau lagi emosi gini, antara macho dan ngondek bisa ke switch dengan sempurna.
Tantra muncul dan langsung menggendong Beno. Gila, aku acungin jempol buat tenaganya. Aku sibuk mengambil pakaian Beno yang berserakkan.
“Urusan kita belum selesai, ngerti lo?!” Kataku sambil membanting pintu. Maunya sih biar agak dramatis, nyatanya malah pintunya gagal kebanting.
***

Aku melihat Beno yang sepertinya tidak ada tanda-tanda akan bangun. Antara dia mabuk berat atau molor kayak orang pingsan. Sebetulnya, aku juga marah pada Beno, tapi dalam kondisi seperti ini, aku belum bisa melampiaskannya kan?
“Gue balik ya Tan?”
“Lha Beno?” Aku menggeleng pelan. Menatap Beno yang masih tertidur pulas.
“Terserahlah, bukan urusan gue lagi sekarang.”
“Gue anter ya?” Aku menggeleng lagi.
“Gak usah, Denny jemput gue.” Biarlah. Aku tak ingin memutuskan sesuatu saat ini. Aku masih terlalu emosi. Aku pernah melihat suatu tulisan, entah di twitter atau di facebook aku lupa. Intinya gini, jangan membuat keputusan saat kamu marah, jangan membuat janji saat kamu sedang bahagia, karena sesalnya di kemuadian hari.
“Are you okay?” Denny bertanya saat aku keluar dari gerbang rumah milik Tantra. Dengan kondisi Beno yang teler parah, membawanya pulang hanya akan membunuhnya, dan membunuhku tentu saja.
“No, I am not okay Den. I am not okay.” Sepanjang perjalanan, air mataku mengalir. Gimana Beno bisa bareng Shandy? Gimana Beno bisa berakhir di kamar Shandy? Mereka sudah ngapain saja? I am not okay! I am not okay!
***

Sama sekali gak bisa konsentrasi! Sekuat apapun aku mencoba untuk fokus terhadap soal-soal ujian, aku tetap tidak bisa menjawabnya. Aku melirik kiri kanan. Elliot terlalu  jauh. Denny lumayan, tapi aku tak yakin dia mau memberiku contekkan. Mati ajalah aku! Payah!
“Kak, ini.” Adek kelas yang duduk disebelahku memberiku sebuah kertas. Jadi, ujian ini memang gabungan isinya. Setengahnya berisi anak-anak kelas dua, lalu setengahnya lagi anak-anak kelas satu dengan duduk yang diselang-seling. Tujuannya? Biar gak gampang nyontek!
Aku membuka kertas tersebut setelah aku menilai bahwa situasi dalam kondisi aman dan kondusif. Aku menelan ludah. Jawabannya lengkap dari soal pilihan ganda nomor satu sampai lima puluh. Sampai essay nomor lima puluh satu sampai lima puluh lima. Dibawahnya ada nama Denny dengan emot senyum. Thanks Den.
Aku sudah tidak mikir lagi, ngebut dengan kecepatan super. Mencontek dengan sedikit modif pada jawaban essay.
Aku keluar ruangan ujian dengan lega. Ujian terakhir, dan senyumku tersungging. Bibirku masih belum tertutup saat tiba-tiba Beno ada didepanku, menarik paksa tanganku untuk mengikutinya.
“Semua beres kalau kamu mau minta maaf.” Ini dibelakang laboratorium biologi. Dulu, kita sempat berbuat mesum disini. Dulu, waktu masih hot-hotnya.
“Minta maaf? Buat apa?”
“Kemarin ngapain sama Denny? Gak usah bohong!” Shit! Amarahku sukses tersulut.
“Kamu yang ngapain sama Shandy hah? Telanjang-telanjangan di kamar Shandy?”
“Jangan ngarang buat ngalihin topik!”
“Ngarang? Tanya sama Shandy sono! Apa Tantra! Beneran lupa atau pura-pura doang?” Aku mengeluarkan nada sarkastis campuran menghina level tinggi.
“Kamu ngomongnya ngawur! Minta maaf atau kita putus!”
“Putus? Fine! Kita putus!” Aku langsung meninggalkan Beno. Aku telah membuat kesalahan, membuat sebuah keputusan saat sedang marah. Tapi, kalian tahu posisiku kan?
Aku masuk kedalam toilet, menguncinya sebelum akhirnya sesenggukan disana. Aku menyalakan air dari kran, supaya tidak ada yang mendengar isakanku. Beno, how dare you!!
Entah berapa lama aku menangis sampai akhirnya ada yang mengetuk pintu.
“Ini gue, gue tahu lo didalam. Pulang yok Gan, uda sore.” Aku membuka pintu dan melihat Radit. Dibelakangnya ada Denny dan Tantra.
“Dit, gue- ”
“Yok pulang aja dulu, jangan nangis disini.” Radit menuntunku. Untungnya sekolah sudah benar-benar sepi.
“Thanks guys, biar Gani sama gue aja.” Denny ingin mengajukan keberatan namun tidak jadi. Dia membiarkanku dituntun Radit untuk masuk kedalam mobil. Aku tidak terkejut dengan kekhawatiran Denny. Aku tidak bodoh, aku tahu Denny masih ada rasa. Tapi Tantra?

Aku nanti bawakan boneka Zorro ukuran bantal guling ya?

Aku sedikit tersenyum membaca BBM dari Tantra. Ada empat miscall, 10 what’s up, dan 12 pesan dari Denny. Tidak ada satupun dari Beno. Benar-benar sampai disinikah? Beno benar-benar tidak ingat peristiwa semalam? Apakah salahku? Siapa tahu Beno dijebak ya kan? Apa aku terlalu gegabah? Seperti saat dulu memutuskan Denny?
Apakah disini, akulah bajingannya?
“Dit, apa gue salah ambil keputusan lagi?”
“Ssst, jangan dipikirin dulu! Mending lo tiduran dulu, nangis itu nguras banyak energi tauk!” Sebenarnya aku ingin sekali mendebat teori Radit, namun aku benar-benar lelah. Beno, mungkin besok aku bakalan minta maaf dan kita bisa baikkan lagi. Biasanya juga begitu. Ah ya, pasti bisa besok baikkan lagi.


Bersambung . . .

3 komentar:

  1. Ka kok gk da info di fb,,, telat deh bcanya,,,, untung aja suka ngintip ini blog

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe, males sih mau promonya.

      Hapus
  2. Kapan nih lanjutannya makin rame nih , botom nya juga sekalian dong

    BalasHapus

leave comment please.