Chapter
Delapan
Shandy
Pov
Aku
kangen Beno! Sumpah, bahkan klien yang tadi minta aku temani pun hanya aku
tanggapi seadanya. Jadi tadi Rendy memintaku untuk membantunya. Membantu Rendy
itu enggak bakal jauh-jauh ama hal yang berbau gay. Trust me, kayak sekarang
ini.
Rendy
mendapatkan ‘klien’ dan kliennya ini membawa teman. Oke, kalian pasti sudah
bisa menebaknya kan? Yah, kita semacam double date. Mereka enggak membayar kita
buat seks, walau pasti nanti mereka nuntut itu juga. Aku yakin.
Kita
berdua semacam menemani mereka jalan-jalan. Di kesempatan seperti ini, biasanya
aku menggunakannya untuk berbelanja beberapa barang bermerk dan high quality.
Toh, mereka yang bakal bayar. Tapi enggak kali ini. Aku sama sekali tidak bisa
konsentrasi. Sejak pertemuan terakhirku dengan Beno, aku semakin intens
memikirkannya.
“Kamu
kok diem aja sih kasep? Yakin gak laper?” Klien yang aku temani, berusia
sekitar akhir dua puluhan. Dia beristri, kata Rendy begitu. Sebenarnya, dia
juga gak jelek-jelek amat. Badan bagus karena aku yakin dia menghabiskan banyak
uang untuk membayar personal trainner, membeli suplemen fitnes dan pasti dia
sangat menjaga pola makannya.
Wajahnya
juga bersih, aku juga yakin wajahnya tak pernah absen dari salon. Mungkin
seminggu sekali. Tapi dia bukan Beno. Itu inti masalahnya.
Rendy
menginjak sepatuku. Sepertinya itu kode agar aku lebih memperhatikan klienku.
Gimanapun juga, aku sedang ‘kerja’.
“Engga
mas, tadi uda makan. Aku pesen minum aja.” Aku berusaha menampilkan senyum
menawan.
“Ya
sudah, habis ini kita karaoke.” Ini dia. Aku melemparkan pandangan pada Rendy
dan dia pura-pura tidak melihatku. Karaoke, biasanya dijadikan tempat untuk sex
activity. Mereka berdua aku yakin bakal menyewa vvip room dan jelas, memintaku
dan Randy melayani nafsu mereka. Aku sudah cukup hafal dengan trik ini.
Padahal,
aku sudah mengatakan pada Rendy bahwa aku sedang tidak mood melakukan seks
dengan siapapun, kecuali Beno tentu saja. Tapi mana mungkin dia minta?
Aku
menyetel alarm smartphoneku agar berbunyi tepat 1 menit kemudian.
Segera
setelah lagu dari Gaga, “G.U.Y” mengalun dari smartphoneku, aku pura-pura bahwa
itu adalah panggilan masuk.
“Napa
Dek?” Aku pura-pura tentu saja.
“Hah,
Ibu sakit? Oke, lo tenang aja. Abang bakal langsung pulang.” Dengan gaya gusar
aku menghampiri Rendy dan dua kliennya. What the hell!!
“Sorry,
kayaknya aku gak bisa gabung. Ibuku tiba-tiba pingsan di dapur. Sorry, maaf
banget ya?” Tanpa menunggu balasan mereka, aku langsung cabut.
Begitu
aku sampai tengah jalan ada bbm masuk dari Rendy.
Lo boong kan tadi?
Aku
langsung membalasnya tanpa lama.
Selamat threesome. Hahaha
Aku
tersenyum sendiri, malam ini aku bakal menghabiskan waktu bersama keluargaku
saja. Sejak menjadi go go boy, aku sudah jarang menghabiskan waktu bareng Ibu
dan Bapak dan juga adikku. Hmm, beli donat aja dulu ya buat mereka.
***
Beno
Pov
Acara
bakar-bakaran tadi diselingi door prise. Walaupun berbequenya memang sudah
sepaket dengan Pondok Imah, tapi hadiah door prisenya ternyata pure dari sisa
uang iuran satu kelas. Salut juga sama panitianya, yah meski aku bukan bagian
dari panitia. Hampir semua anak sudah masuk ke pondok masing-masing. Aku juga,
demi menidurkan Gani. Karena aku sendiri belum mengantuk. Setelah yakin Gani
tertidur, aku keluar dari pondok dengan perlahan. Sebisa mungkin tidak
membangunkan Tantra, Radit dan Gani yang sudah terlelap.
“Lo
suka begadang?” Aku duduk agak berjauhan dari Denny yang sedang merokok.
“Kaga,
lagi pengen ngerokok. Abis satu batang gue langsung tidur, mau?” Denny
menyodorkan satu batang dan aku langsung menggeleng.
“No,
thanks. Gua gak ngerokok.” Denny tersenyum simpul. Setelah itu terjadi
keheningan yang cukup lama. Aku jarang ngobrol dengan Denny. Kalaupun kita
ngobrol, pasti enggak bakal jauh pengen berantem. Ya, karena kita mencintai
orang yang sama. Dan aku juga cukup paham untuk tahu bahwa Gani juga masih
menyayangi Denny, walaupun Gani tidak pernah mengungkapkan itu. Atau mungkin
dia tidak sadar.
Aku
yakin Denny juga tahu bahwa Gani masih menyimpan rasa terhadapnya.
“Adem
ya disini. Nyaman.” Aku ikut memperhatikan sekitar. Suara jangkrik, angin
sepoi-sepoi.
“Ya.”
Aku merasakan Denny mendekat. Aura jantan langsung menyergap indraku, aku jadi
tidak heran kenapa dulu Gani bisa jatuh cinta pada Denny. Dan sekarangpun
mungkin masih. Aku meneguk ludah, aku benar-benar tidak ingin kehilangan Gani.
“Jangan
nangis ntar kalau Gani balik ke pelukkan gue.” Kata Denny sebelum akhirnya
masuk pondok. Dan aku semakin yakin, bahaya bukan hanya datang dari Shandy.
***
Omongan
dari Denny tadi seperti ancaman. Aku belum bisa tidur dan hanya berbaring
berdiam diri. Bukan karena ruangannya terlalu sempit ditiduri kita berlima,
tapi aku takut kalau aku bergerak akan mengganggu kenyaman Gani. Aku menoleh ke
kiri dan melihat wajah manisnya yang terlelap dalam damai. Aku mengangkat
jariku dan membelai wajahnya lembut. Merasakan tekstur kenyalnya di jariku.
Bakal
ada jerawat yang tumbuh di keningnya. Aku memajukan bibirku, merunduk lalu
mencium ujung hidung Gani perlahan.
“I
love you,”
“I
love you too.” Gani mengangkat wajahnya dan tersenyum.
“Kamu
belom bobo dari tadi?” Gani menggeleng.
“Uda,
kebangun pas kamu masuk tadi,”
“I
am sorry.” Gani tersenyum. Senyum yang aku tahu bahwa dia mempunyai rencana.
“Belom
ngantuk kan? Keluar bentar yuk? Cari udara seger.”
“It’s
midnight Gan. Kamu bisa masuk angin ntar.”
“It’s
a big deal? Yes or not? Aku bisa keluar sendiri lho. By the way, ini sudah
hampir jam lima pagi. Not midnight anymore.” Keras kepala!! Dengan langkah
malas aku mengikuti Gani yang mulai berjalan pelan. Pondok Imah menyediakan
sepeda untuk digunakan keliling kampung. Walau matahari masih malu-malu
menampakkan wujudnya, Gani tetap berkeras ingin bersepeda. Kita bersepeda
pelan, aku dibelakang mengikuti Gani yang entah kenapa dia seperti sudah hapal
dengan daerah ini.
Setelah
melewati satu jembatan, Gani berhenti dan turun dari sepeda.
“Ikut
aku sini bentar,” Aku ragu sesaat. Namun tetap aku ikuti langkah Gani. Aku
duduk disamping Gani, dan hening beberapa saat. Aku terlalu malas membuka
percakapan, dan mungkin Gani juga sama. Hingga akhirnya pemandangan itu
membuatku takjub.
“Sunrise,
gimana kamu bisa tahu tempat ini?” Gani menoleh ke arahku. Tersenyum manis dan
mencium bibirku lembut. Tak biasanya Gani agresif, maksutku selama ini selalu
aku yang mulai duluan. Dan sekarang? Tanpa aba-aba Gani sudah semakin liar
memperkosa bibirku. Setelah puas, Gani berdiri.
“Balik
yuk, ntar kita gak sempet mandi.” Enak sekali dia. Setelah membuat penisku
ereksi maksimal, dia menyuruh balik? Enak saja! Aku menarik tangan Gani hingga
dia kembali jatuh di atas pelukanku.
“Kita
gak bakal balik sebelum yang satu ini.” Kataku sambil meremas pantatnya lembut.
“Ben,
ntar bakal ada orang yang dateng!”
“Oya?
I am not sure.” Gani akan mengeluarkan kata-kata pembelaan namun terlanjur aku
tutup dengan bibirku. Dengan cekatan aku menurunkan celana training Gani
beserta celana dalamnya. Dan aku menemukan fakta bahwa adik kecilnya juga tak
kalah keras dengan punyaku.
“Yakin
gak mau? Kok ngaceng?” Godaku.
“Shut
up! Buruan deh.”
“Uda
kebelet banget ya Gan?”
“Can
you just push your dick to my hole and shake it?” Aku tersenyum simpul.
“I
will my prince. I will, with my pleasure.”
***
Gani
Pov
Bokongku
masih ngilu. Enggak pake pelumas dan kondom. Haduh, percuma dong ya aku bawa
tiga bungkus kondom kemaren. Useless. Radit dari tadi memandangiku dengan
tatapan penuh arti. Kita semua tengah sarapan, sebelum nanti mengikuti outbond
dan perang lumpur.
“You
did it.”
“Ha?
Nglakuin apa?” Aku hampir saja menumpahkan jus manggaku kalau tidak aku pegangi
erat-erat tadi.
“Sex
out door. Ya kan? Ngaku deh!” kekepoan Radit itu hampir selevel dengan Sinichi
Kudo. Jadi kalau tidak aku jawab, dia pasti bakal cari tahu sendiri jawabannya.
Nanya Beno misalnya. Hhh.
“Nope.”
“Liar!!
Gue masih bisa ngeliat bekas pejuh Beno deleweran di kaki lo!” Aku menatap
sekitar. Takut ada yang mendengar omongan Radit yang terlalu vulgar.
“I
did not. Gue uda mandi ya!”
“Jadi
bener donk lo ada nglakuin seks di out door?”
“Ntar
gue cerita kalau kita uda di rumah, oke?” Dan Radit masih tersenyum penuh arti.
Yang lama-lama makin gaje.
“Dit
please? Can we skip my story?”
“Gak
kita skip, kita Cuma menundanya. Lo bakal cerita!!” Aku memutar kedua bola
mataku sebelum akhirnya menemukan tempat duduk dan langsung menyantap
sarapanku.
“Boleh
gabung kan, ladies?” Tanpa menunggu persetujuanku atau Radit, Tantra dan Ian
sudah duduk dengan manis di meja kami. Aku bertukar pandang dengan Radit yang
juga sedang menatapku. Kalau aku artikan, tatapan Radit juga hampir senada
dengan tatapanku, ‘What the fuck going on here?’ Kurang lebih gitu artinya.
Masalahnya,
bukan karena mereka berdua. Tantra dan Ian maksutku jarang mengobrol denganku.
Hanya saja, cengiran mereka berdua dan bahasa tubuh mereka berdua itu aneh. Oh,
nope. Sarapan menungguku. Biarkan saja tingkah mereka berdua, selama tidak
mengambil jatah sarapanku.
“Gan,
tadi pagi kok gue kayak denger sesuatu ya?” Aku menengadah menatap Tantra
dengan tenggorokkan sulit menelan makanan yang baru saja aku kunyah. Oke, jadi
aku dan Beno memang tidak hanya melakukannya di tempat terbuka saja. Tadi pagi,
karena anak-anak sedang sibuk mandi, kita melakukannya lagi. Uuum, cuman oral
bentar kok.
“Apa?”
Suaraku tak bisa senormal yang aku inginkan.
“Eeem,
mau tau aja atau mau tau banget?”
“So
last year lo Tan! Basi!” Tantra hanya tertawa sambil tangannya menyikut Ian. So
lame!
“Kok
kalian berdua gak ikut gabung sama panitia yang lainnya yang lagi meeting sih?”
“Laper,
lagian juga gak bakal ada hubungannya sama transportasi.” Aku menjawab dengan
santai.
“Itu
ayam gak lo makan?” Tanyaku melihat ayam milik Tantra yang masih utuh.
“Gak
suka ayam.”
“Oh,
oke. Thanks.” Kataku sambil dengan cepat memindahkan daging ayam goreng kremes
yang tampak menari-nari di mataku itu ke tempat makanku.
“Eh,”
“Kan
lo gak suka.”
“Lo
itu ya Gan, kalau diperhatiin emang manis banget.” Aku sukses tersedak tulang
ayam. Buahaha.
“Thanks,
tapi jangan mulai flirt sama gue ya.” Dan Tantra hanya tersenyum.
***
“Sapa
di dalem?” Ketokkan di pintu kamar mandi itu menggangguku yang sedang memegang
sikat gigi yang aku jadikan mic sambil nyanyi gaje. Oke, well ini kebiasaanku
kalau lagi mandi, sambil mendengarkan lagu dan bergaya seolah-olah aku adalah
penyanyinya. Lip sinc, norak sih. Tapi yang tahu hanya aku, yah sekarang kalian
juga tahu.
“Gue.”
Suaraku khas, jadi mereka pasti sudah tahu.
“Bukain,
aku mau masuk. Uda mepet banget ini waktunya.” Beno. Itu anak, bukannya tadi
buruan mandi malah sibuk main bola sama anak-anak kampung sini. Aku? Sebenarnya
sudah hampir 10 menit aku di dalam namun belum mandi juga. Gosok gigi aja belum
kelar. Makanya aku memilih setelah semua anak beres mandi, baru aku mandi. Biar
gak diganggu aksi lip sinc ku. Wkwkwkwk.
“Yang
lain kosong kan?”
“Dipakai
Tantra, Ian sama Doddy. Buruan buka deh!” Oya, Beno memang tidak main bola
sendirian tadi. Akan selalu ada Ian dan Tantra. Doddy? Tumben.
“Ntar,
abis aku kelar.”
“Kenapa
sih? Malu? Toh aku udah sering liat kamu telanjang.” Dengan gondok aku membuka
pintu kamar mandi. Beno masuk dengan cengiran lebar di bibirnya.
“Kok
kamu belom mandi? Apa udah kelar?” Aku melirik Beno yang mulai melucuti
pakaiannya satu persatu. Shit! Tadi pagi aku sudah muncrat hampir tiga kali,
dan sekarang aku ngerasa horny lagi? Sejak kapan aku jadi nafsuan kayak Beno
gini?
“Buruan
gabung sini.” Beno memutar badannya hingga menghadap ke arahku. Kelelakiannya
yang tampak gagah hingga sampai pusar menantang bibirku untuk segera
melumatnya, shit! Beno juga lagi horny. Kamar mandi pondok imah dibuat menyatu
dengan alam. Tapi tertutup, walau ada beberapa pohon yang dibiarkan tumbuh.
Luas! Kalian mau jungkir balik juga bisa. Dari luar terkesan alami, namun
didalamnya modern. Shower, closet duduk, minus bathub.
Aku
segera melepas semua pakaianku. Seks kilat? Why not?
Aku
menghampiri Beno, menundukkan kepalanya lalu melumat bibirnya. Gila, aku
benar-benar menggila.
***
Shandy
Pov
“It’s
weird.”
“Apanya
yang weird?” Aku menatap ke arah Bagus yang fokus matanya tengah lurus ke
depan. Karena Bagus tak kunjung menjawab pertanyaanku, aku pun mengikuti arah
pandangan mata Bagus.
“Aneh
gak sih menurut lo? Cowok muda ama om-om yang barusan aja lewat?”
“Biasa
ah menurut gue.” Aku berusaha tenang. Bagus adalah teman kuliahku. Tidak
terlalu dekat, tapi kita sering ngobrol jika ada kelas bareng. Dan barusan yang
dia bilang weird adalah sepasang om-om dan cowok muda tampan –yang dari
gelagatnya sih bisa aku tebak kalau itu brondinya- yang memang bertingkah
terlalu mesra.
“Gue
gak abis pikir sama cowok-cowok jaman sekarang, emang stok cewek udah abis ya?
Ampe sesama batang gitu digaet.”
“Orientasi
seks seseorang kan bukan hak kita buat ngatur-ngatur Gus.”
“Iya,
gue tau. Tapi sama om-om? Mungkin kalau itu cowok muda adalah cewek, bisa
disebut simpenan kali ya?”
“Hush!
Ngelantur lo, jadi mana yang mau lo tanyain ke gue tadi?” Aku berusaha
mengalihkan pembicaraan. Bagus sama sekali tidak tahu bahwa aku juga money
boy. Dan yah, aku tidak tertarik untuk
memberitahu semua orang bahwa aku adalah ‘kucing’. Kalau bisa aku juga ingin
bisa menikmati kehidupan seperti mahasiswa normal lainnya. Bukan kalau malam
malah menari erotis hampir tanpa busana.
Bagus
tengah sibuk menyalin beberapa materi tugas yang kebetulan belum dia punya. Aku
mengambil gadget ku dan membuka twitter. Aku hampir melotot ketika TL ku
dipenuhi twitpic dari akun twitter Beno. Walau belum di follback, namun sudah
agak lama aku memfollow akunnya. Dan yah, aku sama sekali tidak mengharapkan di
follow balik. Tidak di block saja aku sudah bersyukur.
Beberapa
foto terlihat Beno dengan kaos singlet pas badan dan basah. Sepertinya habis
rafting, melihat dayung yang tengah dia pegang dengan tangan kirinya. Aku
meneguk ludah. Tahukah Beno bahwa fotonya ini sangat bisa digunakan untuk bahan
berfantasi?
Aku
memutuskan untuk menstalk akun twitter Beno. Siapa tahu akan lebih banyak
gambar yang membuatku menahan nafas. Aku meneguk ludah, ketika Beno berpose
shirtles. Ada tiga orang, yang satu aku tahu itu pacar Beno. Aku cukup terkejut
mengetahui fakta bahwa pacar Beno memiliki bentuk tubuh yang lumayan. Walau
tidak sixpack, namun gurat-guratan garis enam pack mulai tampak. Not bad at
all, tapi tetap aku lebih pantas.
Lalu
yang disampingnya, what a hot!! Cowok itu memeluk pacar Beno dan tersenyum
kecil ke kamera. Bodinya seksi mampus! Tanpa menunggu waktu lama aku segera
menyentuh akun twitter yang di tag Beno pada keterangan foto. Ada dua yang di
tag Beno, dan karena aku hafal nama Gani adalah pacar Beno, aku mengklik yang
satunya.
Denny
Prayoga.
Hmmm,
anak ini jarang update twitter sepertinya. Dia hanya menjawab beberapa mention.
Twitpic juga jarang. Dan sepertinya, dia juga mempunyai hubungan yang cukup
dekat dengan Gani. Oke.
“Napa
lo Shan? Ngalamun mulu!”
“Gak
pa pa kok.” Sepertinya Denny juga lumayan.
Bersambung
. . .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
leave comment please.