FOLLOW ME

Minggu, 31 Agustus 2014

BARISTA 7

Chapter Seven


Shandy Pov
Kebetulan yang membawa keberuntungan. Beno! Aku melihatnya sedang bersama pacarnya. Geli juga melihat tingkahnya yang terkadang konyol menggoda pacarnya. Ah, aku yang lebih tepat berada disamping Beno. Tinggi badan kita berdua hampir sama, jadi kita berdua pasti serasi. Aku memperhatikannya sesekali, sampai dia akhirnya melihatku. Bingo! Dengan langkah gontai aku menghampirinya. Aku dengan jelas bisa melihat tanda-tanda kecemasan di mata Beno. Sebentar-sebentar dia melirik antara aku dan pacarnya yang sedang sibuk belanja. Pasti Beno top, tapi tak apalah aku jadi bottom untuk Beno.
“Hi Ben,” Beno sebenarnya tampak malas menyahut sapaanku. Tapi wajah cemasnya juga menarik. Aku makin ingin mendapatkannya.
“Hi.” Beno menjawab dengan ogah-ogahan. Pacarnya yang sedari tadi sibuk, menoleh ke arahku. Hahaha, dia membenciku. Aku bisa melihat dari tatapan matanya yang tajam. Dan entah untuk memanasiku atau apa, Beno merangkul pacarnya dengan gaya posesif. Aku tahu, itu sinyal untuk memberitahuku bahwa dia sudah punya pacar. Tapi apa salahnya cowok setampan Beno mempunyai selingan? Aku? Aku tidak keberatan.
“Sorry Shan, gue lagi sibuk. Duluan ya.” Beno mendorong troli dan pacarnya yang masih menatapku dengan tatapan tidak suka.
Ini bakalan menarik, sepertinya pacarnya Beno sudah tahu kalau aku adalah ancaman. Justru ini semakin membuatku tertantang, seberapa besar kesetiaan Beno? Dan seberapa besar kepercayaan sang pacar? Haha, Beno, Beno, I am obsesed.
“Siapa itu tadi? Ganteng banget, temen lo?” Rendy menghampiriku yang masih menatap punggung Beno dari tempatku berdiri.
“Kaga, cuman kenalan.”
“Ajak gabung aja sekalian. Temmy pasti suka, bening gitu wajahnya.”
“Pasti ditolak, dia uda tajir dari lahir. Gak perlu kerja keras buat dapetin yang dia mau.”
“Sinis banget. Buahaha, lo naksir dia ya?” Aku menoleh ke arah Rendy.
“Kaga, gue obsesi pengen dapetin dia. Itu doang.”
“Parah lo!!” Rendy menepuk punggungku kemudian berlalu. Obsesi? Benarkah hanya itu? Lalu kenapa setiap malam wajah Beno selalu menghantuiku? Debaran jantung yang berirama lebih cepat jika aku melihatnya, atau perasaan ingin bertemu dengannya? Yakin hanya obsesi Shan? Aku bertanya pada diriku sendiri dan menggeleng. Aku jatuh cinta. Aku tersenyum lalu mengejar Rendy yang sudah sibuk kembali dengan belanjaannya.
***

Gani Pov
“Sumpah ya, yang namanya Shandy itu nyebelin banget!” Aku membuka potato lalu melahapnya dengan kurang ajar.
“Lo cakar-cakaran sama dia?” Aku melirik sinis pada Radit yang bertanya dengan nada sepolos gadis usia 7 tahun.
“Pengennya sih gue cakar itu muka, tapi itu di mall! Tengsin gue.” Kataku sambil memotong buah apel dalam bentuk kubus kecil-kecil.
“Nih apelnya uda gue potongin. Lo lebay banget pake masuk angin segala macem.”
“Kemaren kan gue keujanan Gan. Thanks.”
“Dasar fisik lo aja kali yang lemah.”
“Babik lo ya,” Aku tertawa mendengar umpatan Radit.
“You know what Dit? Bitch temenan sama Bitch, Ratu sama Ratu, dayang sama dayang.”
“Intinya adalah . . .”
“Ya kalo gue babik, gue juga temenan ama babik.”
“Hahaha, sial lo ya!! Tapi gue setuju sih ama lo. Emang gak semuanya sih ya. Tapi kalau diperhatiin kan emang gitu. Semacam membentuk gank atau lingkungan dalam lingkungan kan?” Aku menggeleng. Bahasa Radit terlalu tinggi, aku ragu Radit tahu arti kalimat dari yang dia omongkan tadi. I mean, dia lagi demam gitu kan? Bisa jadi dia tengah menginggau. Lalu tiba-tiba aku kepikiran lagi tentang Shandy. Dan aku mwnjadi lesu.
“Gue takut gue bakalan dapet karma Dit.” Aku duduk di tepi ranjang. Ketakutanku juga bukannya tanpa alasan. Shandy begitu memikat, aku yakin tidak sulit untuk type cowok seperti Shandy mencari pacar.
“Karma? Emang apa yang udah lo lakuin sebelum ini?”
“Gue ninggalin Denny! Untuk orang sebaik Denny? Gue melukainya.”
“Emang kita tahu kalau Denny dan Felix ternyata hanyalah sandiwara Denny doang? Denny sendiri yang bilang Felix itu bf nya.”
“Seandainya gue lebih sabar, seandainya gue dengerin Denny waktu itu.” Radit menonyor kepalaku dengan kekuatan maksimal ala orang yang sedang demam.
“Dan lo gak bakalan punya quality time bareng Beno. Masih inget masa-masa Beno deket sama lo sebelum kalian pacaran? Saat dimana seolah-olah dunia Beno itu adalah elo? Seinget gue, sampai sekarang buat Beno, elo adalah dunia kecilnya. Gak yakin gua Beno mau pertaruhin lo cuman buat hal main-main kayak selingkuh.”
“Tapi . . .”
“Dan kalaupun Beno selingkuh, it’s not your karma. Remember this Gan, hal buruk dan baik itu bakalan dateng. Pasti bakalan dateng. Jadi buat apa lo khawatirin hal-hal yang pasti bakal dateng? Kayak kematian misalnya? Ngapain khawatir? Toh juga bakal dateng kan walau kita khawatir sekalipun.”
“Tumben lo pinter?”
“I am smart but down to earth.”
“Haha, ngaco! Diminum dulu gih obatnya.” Aku dan Radit berpandangan lalu tertawa barengan.
“Sumpah Gan, gue lebih rela kehilangan bf gue daripada harus kehilangan temen kayak elo.” Aku memeluk Radit. Teman yang selalu ada bahkan disaat-saat terberatku sekalipun.
“I will do the same.”
***

Aku dan Radit tengah memeriksa daftar list armada bus yang menawarkan harga kompetitif namun worth it buat ditumpangi sampai Sukabumi. Beberapa yang menarik langsung aku call. Aku dan Radit memang bukan ahli negosiasi, tapi ada Elliot.
“Hei Gani, sibuk banget kayaknya.” Tantra berdiri di samping kursi tempatku duduk.
“Lo pasti ada maunya, ngomong aja to the point.” Aku tetap fokus pada list di hadapanku. Sudah semakin mendekati hari H. Udah harus bisa dapet transportnya.
“Galak banget sih. Ntar aja deh pas lagi lenggang.” Aku meletakkan kertas promo ke atas meja dan menatap Tantra yang sedang kedip-kedipan genggeus dengan Ian. Pasti ada something nih, sedangkan Ian juga sesekali menyenggol bahu Beno dengan gaya minta ditonjok. Something wrong or something right nih?
So, here I am. Di kantin sekolah yang masih kosong karena  jam pembelajaran masih berlangsung. Dengan Tantra yang masih senyum genggeus. Beno disampingku yang dari tadi diam dan Ian, pandangan matanya yang tajam dan ingin tahu.
“Kita udah tahu,” Tantra memulai dengan nada detective Conan yang akan menguak sebuah kasus.
“Uda tahu kalau H&M lagi ada diskon gede-gedean?” Sahutku santai sambil meminum jus avocado milik Beno. Aku memesan jus alpukat. Dan masih belum aku minum, karena sepertinya Beno tidak bernafsu meminum jusnya, aku dengan baik hati membantu menghabiskannya.
“Kalau Britney kemaren jalan-jalan ke Mars.” Aku melongo mendengar ucapan Tantra. Gak nyangka bakal minjem Britney dalam joke nya.
“Kalian pacaran kan?” Sambung Ian.
“Kan emang iya, kok baru tahu?” Jawabku, aku melihat isi gelas Beno yang sudah kosong. Kembali meletakkan gelas Beno di depan pemiliknya dan aku beralih ke gelasku sendiri yang masih penuh.
“Lo gak kaget kita berdua uda tahu?” Pertanyaan Ian membuatku seolah-olah aku bukan bangsa manusia, seolah-olah aku berasal dari planet yang berbeda.
“Justru kalau kalian gak tahu atau gak ngeh kan malah aneh, masa iya kalian kaga curiga tiap ke toilet kita berdua selalu barengan?” Ian dan Tantra saling tatap.
“Atau masa kalian gak perhatiin pas ganti baju mau olahraga, mata Beno gak pernah lepas liatin gue?”
“Kamu kan juga merhatiin aku.” Aku menatap Beno.
“That’s why, aneh aja kalau mereka baru tahu kita pacaran sekarang.”
“Ternyata lo gak kaget, gak asik!! Eh, tapi jangan-jangan anak sekelas juga uda pada curiga lagi?” Ini sebenarnya juga aku khawatir. Sudah sering aku bilang pada Beno supaya tidak terlalu mesra. Tapi susah kalau punya pacar yang senggol dikit langsung horny.
“Engga bakalan. Gue bakalan lebih hati-hati sekarang.” Beno berkata pelan.
“Kamu? Hati-hati?” Aku menatap Beno sayu, tangan kiriku meremas pahanya lembut.
“Jangan mancing!” Aku tertawa pelan sambil masuk kedalam kantin.
“Eh, gue mau pesen makan nih. Kalian mau makan juga kaga?”
“Ditraktir? Uang tutup mulut kan?”
“Oke, kacang pilus satu biji satu biji ya.”
“Sial.”
***

Aku dan Radit memeriksa list barang yang harus masuk kedalam koper. Koper? Oke, sebut kami berlebihan, tapi ini kan liburan 2 hari 1 malam. Lalu ada rafting, outbond, maen lumpur, pasti butuh baju banyak kan?
“Lotion nyamuk? Sunblock? Lipbalm?” Radit mengecek lagi kopernya.
“Completed.”
“Lo gak bawa celana dalem seksi gitu Gan?”
“Gilingan lo! Satu kamar kan lima orang,”
“Banyak semak-semak nganggur kaleus.” Radit senyum-senyum porno.
“Ah, andai aja Risky boleh ikut.” Sambung Radit lagi.
“Lo tu ya, demen banget sih maen out door!!”
“Sensasinya bruh!!” Aku memutar kedua bola mataku. Main kilat di toilet sekolah saja sudah membuatku senam jantung tak karuan. Apalagi main out door? Gimana kalau kepergok warga terus dikawinkan? Dalam kasusku kayaknya gak bakal semulus itu, maksutku dibawa ke KUA terus dikawinkan. Kaga dilempari batu atau dibakar aja sudah untung.
Oke, kesampingkan faktor ketahuan. Lalu gimana kalau ada pemain ketiga yang terlibat? Ular phyton may be? Semut rang rang? Itu yang keliatan, lha kalau yang enggak kasat mata juga pengen join? Yakali.
“Gak bakal gue maen out door.” Kataku singkat.
“Yakin? Jangan terlalu mainstream deh mainnya di kamar mele kek perawan abad 12.”
“Jangan hasut gue, setan!!”
“Haha, lo gak bawa kondom buat jaga-jaga?” Aku terperangah dengan pertanyaan Radit.
“Enak aja, lo pikir gue mau ngapain disana?” Kataku sewot sambil menarik laci dan mengambil beberapa buah kondom dari situ.
“Jiah, tetep cari-cari kesempatan ya.”
“Seperti kata lo, banyak semak-semak nganggur kaleus.”
***

Jadi selain aku dan Radit hanya Puspita yang membawa koper, lainnya hanya membawa tas ransel. It’s okay, tidak ada salahnya kan kita jaga-jaga? Tempat duduk mini busnya dua-dua. Dengan kapasitas empat puluh orang. Kita satu kelas hanya 36 orang. Wali kelas kita satu, untungnya wali kelas kita masih muda dan single. Jadi bakalan asyik. Lagipula, ini kan acara pribadi sebenarnya bukan kegiatan sekolah.
Setelah semua anak-anak dirasa komplit, bus segera lepas landas. Haha.
Aku berdiri dari tempat dudukku dan berjalan ke depan.
“Tan, pindah bentar boleh?” Tantra memandangiku sebentar.
“Mau pacaran ya?” Aku menggeleng. Walaupun sepertinya agak keberatan, toh akhirnya Tantra pindah ke tempat Elliot yang duduk sendirian.
“Mau yang deket jendela?” Beno berbicara sambil berdiri. Aku mengangguk.
“Ngantuk ya? Sampai jam berapa semalem nyiapin barang sebanyak itu buat dibawa?” Beno mengelus-elus kepalaku sambil merebahkannya ke pundak miliknya.
“Jam satu.” Jawabku sambil menguap dan meringkuk, tangan kananku menyelinap memeluk pinggang Beno yang tertutup selimut yang sudah disediakan bus. AC dalam bus lumayan dingin. Perjalanan ke Sukabumi mungkin memerlukan waktu 3 hingga 4 jam. Dan ya, aku kurang tidur. Tidur di pundak Radit sangat tidak disarankan karena Radit sudah mengubah dua tempat duduk menjadi satu untuk dia kuasai sendiri.
“Bawa apa aja yank?” Suara Beno lirih,  jadi mungkin akan sulit didengar oleh orang lain. Apalagi mereka juga tengah sibuk sendiri. Ada yang gosip lah, ngupil lah atau sibuk menghabiskan snack temennya. Hih!
“Baju, sunblock, macem-macem, trus ntar buat tempat oleh-oleh. Kan Minggu besok aku pulkam sebentar.”
“Aku ikut boleh?” Aku menengadahkan kepalaku.
“Hmm? Kan cuman bentar aku pulangnya.”
“Ya makanya aku pengen ikut.”
“Ntar deh,” Aku berkata sambil memejamkan mataku. So sleepy.
***

Tiba di tempat yang dimaksud oleh panitia, hampir dari kita semua enggak ada yang kecewa. Amazing! Kita menginap di pondok Imah. Satu pondok diisi lima orang. Dan beruntungnya, dalam listku ada Beno dan Radit. Oke, jadi aku, Beno, Radit, Denny dan Tantra. Kurang drama apa coba? Model pondok Imah ini kayak rumah adat Kalimantan mana gitu, pokoknya yang gantung-gantung gitu. Jadi, lantainya gak nyentuh tanah. Ada lapangan khusus, yang rencananya kalau engga hujan, ntar malem bakalan dibuat sebagai acara api unggun plus berbeque ala-ala gitu.
Bus yang mengantar kita tidak bisa sampai kesini. Mereka hanya sampai jalan depan. Berangkatnya kesini kita dijemput mobil pick up yang ada tudungnya. Mirip seperti angkot jaman dulu di film si Doel anak sekolahan. Jangan ditanya cara bawanya ya, tiba disini dengan selamat aja kita uda puji syukur banget.
Setelah anak-anak lelaki, termasuk aku kelar jum’atan, kita mengisi perut. Lunch! Persiapan karena sehabis ini kita bakalan basah-basahan. Satu game yang uda ditunggu-tunggu. Rafting!! 12km, kurang edan apa coba? Dan you know what? Arusnya lagi deres-deresnya. Arggggh! Gokil, can’t wait!
Satu boat ada enam orang dengan guide satu orang. Aku ada di boat ketiga. Bocoran aja nih, guide yang memandu boat ketiga masih muda, eh emang semuanya masih muda ding. Tapi setidaknya guide ku agak beningan. Celana ketat dan singlet yang . . .
Beno dan Denny ada di depan. Eh lupa, jadi di boatku isinya ada aku, Beno, Denny, Puspita, Radit dan ketambahan Ayuk. Aku dan Radit sengaja memilih yang paling belakang, biar deket-deket sama mas guide. Namanya Lingga. Baru 20 tahun!!


***

Sebelum ntar malem ada api unggun plus bakar-bakaran, ada waktu free sejenak. Buat bebersih, mandi atau nyemil sore yang udah disediain sama Pondok Imah. Ada pijet gratis juga. Terbatas cuman sampai jam 7 malem. Setelah beres mandi dan pijetan, aku kembali ke Pondok Imah kedua, tempatku nanti bakal tidur. Kasurnya kasur lantai sih, tapi lumayan tebal. Lagipula, ada Beno dan Denny, gak mungkin aku khawatir soal dingin lagi kan ya? Hahaha.
“Hi, gimana? Uda enakkan?” Beno tengah memakai celana pendeknya dengan santai. Tidak tahu bahwa efek dia shirtless itu masih tetap membuatku deg-degan dan umm, turn on. Seberapa pun sering aku melihatnya shirtless.
“Lumayan, keknya suaraku bakal habis besok gegara jejeritan tadi.”
“Oya? Sini aku kasih ekstra suara.” Aku masih belum mengerti arti dari ‘memberi ekstra suara’ ketika Beno mendekat lalu mencium bibirku lembut.
“Ntar ada yang dateng. Katanya mau hati-hati sekarang?” Aku mendorong Beno dengan berat hati. Ini beneran berat. Beratnya berciuman dengan pacar dan terpaksa disudahi karena takut ketahuan itu sama dengan beratnya kamu ngakat Agung Hercules yang lagi Gendong Ade Rai dan kebetulan Ade Rai sedang njinjing Prety Asmara. Bayangin deh beratnya.
“Iya-iya, abis jeritnya kamu tadi di boat mirip teriaknya kamu pas orgasme sih.” Oke, it’s to much ya. Perasaan tadi aku teriaknya biasa aja. Enggak ada unsur sengaja didesah-desahin atau gimana.
“Jangan ngawur.” Aku mengobrak-abrik koperku  bertepatan dengan  Tantra dan Denny yang masuk ke pondok. Dilema, aku tidak mungkin kembali ke kamar mandi hanya untuk mengganti handukku dengan baju. Apalagi mereka berdua sudah pernah melihatku telanjang. Kecuali Tantra tentu saja.
Dengan cuek aku memakai celana pendek dan kaos singlet pas badan. Sebodo amat deh dengan Tantra, dia straight kan? Seingatku dia straight.
“Pantes aja Beno kepincut ama elu, lu mulus banget sih jadi cowok.” Oh, mungkin dugaanku salah. Mungkin Tantra ada bakat bisex.
“Hasyah, minggir gue mau keluar.”
“Kamu makin seksi ya?” Ini terucap dari bibir Denny. Dan seketika itu juga aku merasakan hawa di pondok memanas.
“Ati-Ati Den liatin pacar orang.”
“Lha kenapa? Mata, mata gue. Terserah gue lah.”
“Daripada kalian berantem disini dan bikin berantakkan, mending kumpulin tenaga berantem di lumpur besok.” Ideku benar-benar mulia banget. Maksutku, aku tidak berkata ala drama korea.
Semisal;
“Kalau kalian berantem, aku bakal loncat.” atau
“Aku gak tau harus milih siapa, plis jangan berantem!!” Drama banget.
Untung dua kalimat lenjeh itu tidak keluar dari mulutku. Setidaknya di game perang lumpur, gak bakal ketahuan juga mereka mukulnya beneran sekuat tenaga. Hahahaha.


Bersambung . . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

leave comment please.