Chapter
six
Shandy
Pov
Dengan
bermodalkan ingatan seadanya, aku menuju studio kemaren. Yang kalau dilihat
dari luar seperti gudang tidak terpakai itu. Aku sendirian, karena Rendy gak
ada sesi. Dia juga terlalu sibuk untuk siap-siap ikutan sebuah ajang seperti male pageant, kurang
lebih. Yah, semoga dia masuk deh. Gak sulit sebenarnya, dia kan ganteng, body
uda jadi. Ya kecuali kalau dia ketahuan gak punya health habbit. Tapi itu semua
bisa di drama ulang kan ya?
Aku
dipersilahkan masuk oleh bodyguard berbadan sangar ketika aku mengucapkan akan
bertemu Temmy. Sepertinya tempat ini memang dijaga ketat. Terkesan tidak
diabaikan dari luar tapi diam-diam pengawasannya membunuh.
“Hei,
gue Shandy ada janji sama Temmy.” Kataku langsung begitu sampai di meja Galang.
Penerima tamu yang juga fisiknya oke. Sepengamatanku, yang kerja disini cowok
semua. Aku belum melihat makluk hawa berkeliaran disini.
“Oh,
bentar.” Galang, aku tahu namanya karena membaca badge name dia di seragamnya.
Dia memencet nomor di telepon, berbicara sebentar dengan nada sopan dan
kemudian menutupnya.
“Lo
langsung aja ke studio dua, fotografernya uda nunggu.”
“Studio
dua dimana ya?”
“Lo
dari sini jalan lurus trus belok kiri, naik tangga satu kali, ada tulisan gede
disitu studio dua.” Galang, walaupun agak jutek, sepertinya bakal jadi teman
yang asyik.
“Oke,
thanks.” Galang tidak membalas ucapan terimakasihku. Tapi dia menunjuk satu
kupon dan memberikanku satu kotak snack dan air mineral.
“Ini
kupon buat ntar lo kasih ke gue buat makan siang setelah lo selesai sesi.”
Aku
ingin mengucapkan terima kasih lagi, tapi dia sudah sibuk dengan beberapa
telepon yang masuk.
Aku
melangkah ke ruangan yang tadi disebutkan Galang. Ruangannya gede juga. Aku
seperti orang linglung, menatap sekitar dengan pandangan kagum yang tidak
dibuat-buat. Walaupun untuk majalah gay, porno lagi, tapi studio ini bagus
banget!
“Woi
ganteng, sapos pos?” Aku menoleh ke arah sumber suara. Tadinya sih, mendengar
logatnya, aku kira dia banci gagal tampil. You know lah, yang pakaiannya norak,
ngejreng trus make up nya belepotan gak sesuai warna kulit. Tapi nyatanya? Dia
memang ngondek, tapi kulitnya putih bersih, pakaiannya juga normal. Kaos pas
badan dan jeans robek-robek.
“Gue
Shandy,”
“Owh,
yang modelina berong itu? Cucok, cuss ikut akika sebentong. Yey, perlu di make
over.” Aku bingung, tapi tetep mengikuti cowok ngondek ganteng ini. Ganteng?
Aku
disuruh membuka semua bajuku dan hanya memakai jubah mandi. Sambil menata
rambutku dan juga membedakiku sedikit, aku tahu banyak tentang cowok banci satu
ini. Yah, karena pada dasarnya dia terus bercerita tanpa kuminta.
Namanya
Teddy, satu hal yang aku syukuri karena dia tidak berusaha mengganti namanya.
Menjadi Tina misalnya, atau Teddora. Buahahaha.
“Perfect!!
Yey bakaln hietz deh, percaya ma Akika. Cuss, bentar lagi si Tem Tem bakal
dateng.”
“Tem
Tem?”
“Iuh,
desse gak usah perong –perong deh. Temmy, itu fotografer yey! Mujur banget
nasib yey langsung digarap orang atas.”
***
“Yak,
tahan. Usahain jubah mandi lo nutupin kontol lo. Yak gitu, tatap lurus ke
kamera. Tatap, bikin yang liat lo pengen nyicipin tubuh lo!”
Aku
berusaha mengikuti instruksi Temmy, ada beberapa orang disini. Si Teddy yang
selalu siap kalau aku sedikit saja mulai berkeringat. Padahal ruangan ini
lumayan adem. Lalu dua orang yang kadang-kadang membetulkan letak jubah mandiku.
Jubah mandi ini dibuat-buat seolah melorot, hanya tangan kananku yang masuk ke
lengan baju, sisi kiri tubuhku terekspose.
“No!
Itu bukan tatapan menggoda, itu tatapan narsis! Come on! Lo bukan lagi foto
pake tongsis buat DP BBM!!”
Trus
gimana? Susah juga ya jadi model.
“Bayangin
elu adalah seorang striper miskin yang besok mesti dapet duit, di depan lo ada
gadun-gadun yang siap ngasih lo duit banyak, tatap mereka! Feel it!!”
Aku
tak perlu membayangkan kalau aku adalah striper karena pada kenyataannya aku
memang stripper. Aku membayangkan banyak gadun di depanku, terpesona dengan
tubuhku dan apa yang akan aku lakukan? Bagaimana cara aku menatap mereka agar
mereka tergoda untuk membayar mahal untuk melihatku? Aah, itu dia . . .
“Bagus,
rasain, rasain, yak, tahan, tahan.”
Flash
Flash
Flash
“Sekarang
lepas jubah mandi lo, hadap sini. Tututupi kontol lo pake tangan. Ncleng tolong
bantuin!” Si Kencleng, asistennya Temmy membantuku melepas jubah mandiku. Yang
sebenarnya sangat bisa aku lakukan sendiri. Teddy mengelap wajahku dengan
tissue, membenarkan sedikit rambutku dan mengolesi tubuhku dengan minyak agar
lebih mengkilat.
“Oke,
kita mulai lagi.”
***
Gani
Pov
“Hey
Lita,” Lita mendongak kearahku lalu tersenyum. Matanya berbinar walau tampak
sayu.
“Mas
Gani, tadi Mas Denny bilang mau bawa Mas Gani.”
“Ini
Mas Ganinya uda Mas culik,” Denny menimpali. Aku tersenyum sambil membelai
Lita.
“Uda
maem belom Lita?” Lita menggeleng.
“Pahit.”
“Ntar
gak sembuh-sembuh lho, Mas Gani suapin ya?” Aku berusaha semampuku membujuk
Lita agar makan. Walau hanya habis 4 sendok bubur tapi lumayan. Mudah-mudahan
besok panasnya sudah reda.
Oya,
jadi kenapa aku berada di rumah Denny sekarang?
Jadi,
tadi Denny menelponku. Bilang bahwa Lita sakit, gak mau makan kecuali disuapin
olehku. Aku gak percaya. Jujur saja, alasan macam apa itu? Kalau dia yang
kangen, masa harus pake Lita melulu sih alesannya?
Tapi
kemudian, saat Lita sendiri yang berbicara aku akhirnya luluh. Dengan dijemput
Denny, disinilah aku sekarang. Padahal aku, beberapa hari yang lalu bertekad
untuk menjauhi Denny. GATOT.
“Uda
sejak kapan Lita sakit Den?” Aku mengikuti Denny ke dapur. Mbok Walmi sedang
belanja, tau sendiri orang tua Denny dokter super sibuk. Jadi hanya ada kita
bertiga di rumah. Sedangkan Lita pasti sudah tertidur.
“Kemaren,
aku bikinin hot coklat ya?” Denny menoleh ke arahku sambil tersenyum. Dan mau
tidak mau jantungku berpacu lebih. Aku menyuapkan sisa bubur Lita yang belum
habis ke mulutku. Daripada harus dibuang? Lagipula aku lapar.
Denny
membawa dua mug. Satu berisi coklat panas dan satunya berisi mancha. Dia
menyerahkan satu mug ke tanganku lalu duduk disampingku.
“Kita
uda jarang ya berduaan kayak gini.” Aku terdiam. Aku menyayangi Beno, sungguh!
Tapi aku juga menyayangi Denny, masih menyayanginya. Tapi benar kata Radit, aku
tidak mungkin memiliki keduanya. Itu hanya akan menimbulkan rasa sakit.
“Iya.”
Hanya kata itu yang mampu keluar dari bibirku. Selama sesaat hanya ada
keheningan diantara kita berdua.
“Aku
punya temen baru Gan,” Aku menoleh ke arah Denny lalu tersenyum.
“Coba
aku pengen lihat.” Denny membawaku keluar melalui pintu samping, lalu menuju
kolam kecil. Tempat ikan Koi ku dan Denny hidup. Tambah gede aja itu ikan.
Montok!!
Seekor
anjing jenis Siberian Husky tengah bermain-main dengan bola. Tingkahnya lucu.
But, seriously? A dog?
“Kamu
pelihara anjing? Emang boleh?” Aku tahu keluarga Denny muslim.
“Itu
punya saudaraku. Dia titip buat semingguan disini. Lucu ya? Kamu kan tahu aku
suka anjing.” Denny memang pernah mengatakan itu. Dia suka anjing dan ingin
memelihara anjing. Tapi, keluarganya tidak pernah setuju.
“Galak
gak?”
“Agresif
iya, galak engga.” Aku mencoba berjongkok ketika anjing itu tiba-tiba terdiam
dan menatapku lama. Mungkin dia ingin mengamatiku yang notabene adalah orang
asing. Aku mengulurkan tanganku untuk mencoba mengelus kepalanya. Dan tanpa
diduga, dia berjingkit mendekatiku.
“He’s
like you.” Denny tersenyum.
“Dia
cowok?” Denny mengangguk lalu meraih tanganku.
“Masuk
yuk, uda mulai sore, aku antar kamu pulang.” Tanpa sengaja memang, tangan Denny
yang menggenggam tanganku. Erat, sama seperti dulu. Sayangnya, aku juga sama
sekali tidak berniat untuk melepaskan tanganku dari genggaman Denny. Terasa
salah, tapi dengan berbagai alasan aku mencari pembenaran. Aku membenarkan
diriku sendiri. Membenarkan perasaanku yang mulai dilanda ragu.
***
“Liburan?”
Tanyaku tak percaya pada orasi ihh, maksutku pengumuman yang disampaikan oleh
Puspita, wakil ketua kelas. Elliot sang ketua kelas sedang keluar. Mungkin ke
toilet, aku tidak bertanya tadi.
“Sebentar
lagi kita bakal test akhir semester kan? Makanya sebelum kita belajar
gila-gilaan kita butuh liburan!!”
“Kenapa
gak abis test aja?” Ian nyeletuk.
“Hash!
Pasti banyak yang enggak bisa! Karena liburan bareng keluarga. Ya kan?”
“Kok
mendadak gini sih?” Pertanyaan Tantra ini langsung memancing kemarahan Puspita,
aku mendoakan Tantra dalam hati.
“Mendadak?
Lo kemana aja? Ini udah sering dibahas tauk! Kalo lo gak mau ikut ya udah gak
usah! Gak ada lo gak ngaruh.” Jleb banget.
“Trus
mau diadakan kapan Pus?”
“Seminggu
sebelum Ujian, acaranya Jum’at Sabtu. Kita uda bentuk panitianya kok.” Aku
sukses melongo. Lebih tepatnya, aku, Beno, Tantra dan Ian. Ketahuan deh yang
sering absen kalau ada meeting kelas.
Ketuanya
Denny, hmmm aku heran kenapa bukan Elliot. Dan kalau panitia yang lain-lain aku
tidak begitu peduli, tapi mataku sukses melotot ketika melihat namaku juga
tercantum sebagai panitia. Bukan jabatan yang maha penting, tapi menjadi
panitia itu sesuatu yang sangat aku hindari. Aku semacam mempunyai alergi
menjadi orang-orang penting sebuah organisasi.
“Lo
gak salah ketik Pus?” Aku menunjuk namaku yang terpajang sebagai seksi
transportasi. Seksi transportasi 2 sih, yang pertama Radit. Ya kan sama saja.
“Engga,
kalau disuruh dengan sukarela mana ada yang mau jadi panitia?” Aku
mengangguk-angguk mengerti. Iya juga sih.
“Oya,
untuk yang jadi panitia ntar ada meeting sepulang sekolah, WAJIB banget buat
dateng.”
***
Beno
tidak ada dalam list panitia, sedangkan Radit hari ini tidak masuk, jadilah aku
meeting dengan diam. Aku tidak mungkin mengajak Elliot bercanda, itu sama saja
dengan mengajak biarawati berhubungan seks. Mungkin bisa, tapi mustahil
terjadi. Liburan kali ini dipilih di Sukabumi ‘cherroke’. Sebenarnya, akan ada
pilihan, Bandung, Jogja atau Bali. Tapi, panitia akan mengarahkan agar
anak-anak sekelas nanti memilih Sukabumi. Akan ada rafting, outbond. Aku hanya
menyimak, mereka sedang mendiskusikan bagaimana cara agar anak-anak sekelas
nanti memilih Sukabumi.
Seperti,
kalau di Bandung sudah biasa. Terlalu mainstream, gak beda-beda jauh dari
Jakarta. Gitu-gitu aja. Jogja? Terlalu jauh, bakal menghabiskan waktu, kalau
menggunakan pesawat nanti menyita banyak dana. Bla bla bla bla. Bali? Toh nanti
kelas tiga juga bakalan ke Bali studytour sekolah. Gak enak banget kan liburan
dua kali ke tempat yang sama, dan masih banyak lainnya. Aku salut!
Aku
bernafas lega ketika akhirnya meeting selesai.
“Keknya
agak egois juga kalau kayak gitu keputusannya.” Aku dan Denny berjalan menuju
parkiran.
“Sebenernya
seisi kelas juga uda tahu kok kalau bakal ke Sukabumi, disana kan pegunungan,
banyak yang setuju.”
“Kenapa
aku gak tahu ya?” Denny menstater motornya.
“Kamu
terlalu sibuk pacaran, mau makan dulu?” Aku diam sejenak.
“Boleh,”
Aku berkata sambil naik ke atas motor.
Denny
membawaku ke Bakmi GM di dalam sebuah mall. Agak canggung juga sebenarnya makan
berduaan bareng mantan pacar gini. Walau sebenarnya aku kadang-kadang masih
makan bareng Denny. Tumben juga Denny mengajakku makan di dalam mall.
Suasananya
lumayan rame, biasa jam segini kan jam-jamnya orang balik kantor.
“Yakin
cuman mesen itu?” Aku memang hanya memesan NasGor Ayam Smooked, tapi
berdasarkan pengalamanku makan di Bakmi GM, satu porsi uda lumayan banget bikin
perut bengkak kekenyangan.
“Yakin,
ini aja engga yakin abis apa kaga.” Denny hanya tersenyum sambil menatapku.
Serasa banget kayak lagi jalan sama gebetan.
“Kamu
kenapa sih Gan makin manis? Aku malah jadi semakin susah move on kan?” Mungkin
kalau aku sedang minum, aku bakalan kesedak. Tapi karena sekarang aku lagi
tidak ngapa-ngapain, aku hanya bisa bengong. Bengong kek orang bego.
“Tu
kalau lagi malu, pasti tambah cute.” Shit!
“Jangan
mulai ngegoda deh Den.”
“Nope.”
Aku mendongak dan menatap Denny yang tengah tersenyum sambil matanya tetap
menatapku.
“I
still love you.” Kata-kata itu tidak terucap dari bibir Denny, namun gerakan
bibirnya sangat jelas. Aku bisa membacanya, dan berusaha keras untuk membayangkan
Beno dengan segala daya pikatnya. Dan aku berhasil, Beno menang.
“Stop
it Den, it’s not working anymore.” Dan Denny hanya nyengir, semakin tampan.
Sukses membuat jantungku berdegup lebih kencang. Beno kalah.
***
Beno
Pov
Tantra
dan Ian melirikku lagi, dan lama-lama bikin aku jengah. Sialan!
“Come
on lha bro! Lo ada hubungan apa sih sama Gani?” Lagi-lagi pertanyaan ini. Di
ulang-ulang, tidak perduli seberapa sering aku menjawabnya.
“Temen
lah.”
“Kita
uda sohiban dari SMP, masa iya gue kaga tau gelagat aneh lo bro!” Ian kembali
menatapku. Kali ini tatapannya begitu mendesak. Mendesak sebuah kejujuran.
“Iya
temen.”
“Temen
tapi ML,” Aku melotot ke arah Tantra yang mengucapkan kata-kata itu dengan
santai. Tak berapa lama kemudian Ian menyodok rusuk kirinya.
“So,
kemaren pas lo keluar dari toilet bareng? Gak usah ngeles, toilet lain banyak
yang kosong.” Kata-kata dari Ian tepat sasaran, walaupun aku sebenarnya masih
bisa ngeles.
Shit!
Gani selalu mengingatkanku bahwa terlalu bahaya bermain di area sekolah. Tapi
aku tak pernah bisa menahannya. Oh, apapun yang berhubungan dengan Gani memang
tidak bisa aku tahan. He is my priority. Gimana aku bisa tahan sementara Gani
di sampingku menggigit-gigit bibirnya minta dicipok?
“Kita
gak bakal jauhin lo kalau misalnya lo sama Gani gituan.”
“Gituan?”
Aku mengangkat kedua alisku.
“Ya
gitu, kayak cewek ama cowok. Pacaran, trus gitu-gituan.”
“I
get your point.”
“Serius
Ben! Dari dulu juga kita berdua udah curiga, jauh sebelum lo sama Gani deket
kayak sekarang.” Aku hampir memuntahkan minumanku kembali.
“Hah?
Serius? Gue ‘gay’ banget gitu?” Aku memang tidak pernah mendeklarasikan diriku
sendiri macho, tapi masa aku ngondek?
“Bukan!
Kalau lo ngondek, uda kita berdua bulli dari SMP! Curiga, dari banyaknya cewek
yang memuja-muja lo, gak ada satupun yang elo jadiin pacar.” Ian nyerocos.
“Dan
kalau lo ketemu cowok yang mukenya manis-manis kek Gani gitu lo pasti sibuk
curi-curi pandang. Lo pikir kita gak perhatiin?”
“Oh.”
“Oh
doang? Jadi beneran lo pacaran ama Gani? Uda berapa lama?”
“Hampir
6 bulan.”
“Selama
itu dan kita berdua kaga tau,”
“Gani
juga pernah pacaran sama Denny.”
“What?
Denny? Si cool itu? Ngaco lo Ben!”
“Tanya
aja orangnya, mau nanya apalagi ke gue sekarang?” Tantra dan Ian nyengir.
“Uda
,gitu-gitu’an sama Gani?” Sumpah aslinya aku mau tertawa.
“Eh
bentar-bentar, lo kok gak ngaceng kalo pas bilas bareng sama gue abis gym? Gue
kan seksi, ganteng juga.” Aku menjitak Tantra dengan serius.
“Gue
cuman terangsang sama Gani doang.” Tantra dan Ian saling melirik sebelum akhirnya
nyengir.
“Yakin?”
Tampang mereka berdua tampak licik. Aaahhhh.
***
Aku
menemani Gani belanja bulanan. Tubuhku masih agak pegel gegara digebukkin Ian
dan Tantra tadi. Cowok sama cewek kalau pacaran kayak gini juga gak ya? Dulu,
sebelum pacaran sama Gani, yang beliin perawatan wajah pasti si mama. Karena
Mama itu pengen banget punya anak cewek, pengen banget anak-anaknya bersih.
Masker, lalu pijat lulur bareng. Berempat, Mama, Papa, Mas Yoga, aku. Hahaha.
Kalau gak diturutin bisa marah besar si nyonya. Tapi sekarang aku gak perlu
dipaksa lagi. Gimana ya? Mau disebut metroseksual pun aku tidak peduli.
Buktinya, wajahku lebih mulus dibanding pria kebanyakkan atau bahkan cewek
tanpa harus ditutupi bedak. Dan jelas tanpa harus di edit-edit atau memakai
camera 360. Thanks to my mom.
“Aku
mau ganti sabun, ini bagus gak ya wanginya? Kamu suka gak?” Gani menyodorkan
sebuah produk sabun cair tepat ke depan hidungku.
“Terlalu
wangi.” Gani meletakkannya lagi. Aku menyukainya, suka ditanyai apa pendapatku
tentang semua hal yang ingin Gani lakukan. Entah, aku merasa aku dihargai.
Apalagi ketika Gani benar-benar menuruti apa yang aku katakan. Tidak terlalu
sering sepanjang pengamatanku.
“Kalo
yang ini?” Aku mengangguk.
“Tapi
aku lebih suka wangi tubuh kamu sayang.” Aku berbisik di telinganya sambil
mencium pipinya singkat. Gani meremas pinggangku sebelum akhirnya berjalan
lagi. Dengan geli aku mengikuti berjalan dibelakang Gani. Lalu kemudian mataku
tertumbuk pada satu sosok. Shandy.
Shit!
Males banget ketemu tu anak.
Sialnya,
Shandy menyadari keberadaanku. Terlalu ketara kalau tiba-tiba aku menjauh
sekarang, apalagi Gani yang sama sekali tidak suka kalau acara berbelanjanya di
interupsi. Sial!! Dan sekarang Shandy berjalan menghampiriku.
Bersambung
. . .
lanjutt...lanjut...lanjuttt!!!
BalasHapusAku baca lho, dan aku suka! :)
BalasHapusThanks ya Tit
Hapus