FOLLOW ME

Sabtu, 16 Agustus 2014

BARISTA 6

Chapter six

Shandy Pov
Dengan bermodalkan ingatan seadanya, aku menuju studio kemaren. Yang kalau dilihat dari luar seperti gudang tidak terpakai itu. Aku sendirian, karena Rendy gak ada sesi. Dia juga terlalu sibuk untuk siap-siap ikutan  sebuah ajang seperti male pageant, kurang lebih. Yah, semoga dia masuk deh. Gak sulit sebenarnya, dia kan ganteng, body uda jadi. Ya kecuali kalau dia ketahuan gak punya health habbit. Tapi itu semua bisa di drama ulang kan ya?
Aku dipersilahkan masuk oleh bodyguard berbadan sangar ketika aku mengucapkan akan bertemu Temmy. Sepertinya tempat ini memang dijaga ketat. Terkesan tidak diabaikan dari luar tapi diam-diam pengawasannya membunuh.
“Hei, gue Shandy ada janji sama Temmy.” Kataku langsung begitu sampai di meja Galang. Penerima tamu yang juga fisiknya oke. Sepengamatanku, yang kerja disini cowok semua. Aku belum melihat makluk hawa berkeliaran disini.
“Oh, bentar.” Galang, aku tahu namanya karena membaca badge name dia di seragamnya. Dia memencet nomor di telepon, berbicara sebentar dengan nada sopan dan kemudian menutupnya.
“Lo langsung aja ke studio dua, fotografernya uda nunggu.”
“Studio dua dimana ya?”
“Lo dari sini jalan lurus trus belok kiri, naik tangga satu kali, ada tulisan gede disitu studio dua.” Galang, walaupun agak jutek, sepertinya bakal jadi teman yang asyik.
“Oke, thanks.” Galang tidak membalas ucapan terimakasihku. Tapi dia menunjuk satu kupon dan memberikanku satu kotak snack dan air mineral.
“Ini kupon buat ntar lo kasih ke gue buat makan siang setelah lo selesai sesi.”
Aku ingin mengucapkan terima kasih lagi, tapi dia sudah sibuk dengan beberapa telepon yang masuk.
Aku melangkah ke ruangan yang tadi disebutkan Galang. Ruangannya gede juga. Aku seperti orang linglung, menatap sekitar dengan pandangan kagum yang tidak dibuat-buat. Walaupun untuk majalah gay, porno lagi, tapi studio ini bagus banget!
“Woi ganteng, sapos pos?” Aku menoleh ke arah sumber suara. Tadinya sih, mendengar logatnya, aku kira dia banci gagal tampil. You know lah, yang pakaiannya norak, ngejreng trus make up nya belepotan gak sesuai warna kulit. Tapi nyatanya? Dia memang ngondek, tapi kulitnya putih bersih, pakaiannya juga normal. Kaos pas badan dan jeans robek-robek.
“Gue Shandy,”
“Owh, yang modelina berong itu? Cucok, cuss ikut akika sebentong. Yey, perlu di make over.” Aku bingung, tapi tetep mengikuti cowok ngondek ganteng ini. Ganteng?
Aku disuruh membuka semua bajuku dan hanya memakai jubah mandi. Sambil menata rambutku dan juga membedakiku sedikit, aku tahu banyak tentang cowok banci satu ini. Yah, karena pada dasarnya dia terus bercerita tanpa kuminta.
Namanya Teddy, satu hal yang aku syukuri karena dia tidak berusaha mengganti namanya. Menjadi Tina misalnya, atau Teddora. Buahahaha.
“Perfect!! Yey bakaln hietz deh, percaya ma Akika. Cuss, bentar lagi si Tem Tem bakal dateng.”
“Tem Tem?”
“Iuh, desse gak usah perong –perong deh. Temmy, itu fotografer yey! Mujur banget nasib yey langsung digarap orang atas.”
***

“Yak, tahan. Usahain jubah mandi lo nutupin kontol lo. Yak gitu, tatap lurus ke kamera. Tatap, bikin yang liat lo pengen nyicipin tubuh lo!”
Aku berusaha mengikuti instruksi Temmy, ada beberapa orang disini. Si Teddy yang selalu siap kalau aku sedikit saja mulai berkeringat. Padahal ruangan ini lumayan adem. Lalu dua orang yang kadang-kadang membetulkan letak jubah mandiku. Jubah mandi ini dibuat-buat seolah melorot, hanya tangan kananku yang masuk ke lengan baju, sisi kiri tubuhku terekspose.
“No! Itu bukan tatapan menggoda, itu tatapan narsis! Come on! Lo bukan lagi foto pake tongsis buat DP BBM!!”
Trus gimana? Susah juga ya jadi model.
“Bayangin elu adalah seorang striper miskin yang besok mesti dapet duit, di depan lo ada gadun-gadun yang siap ngasih lo duit banyak, tatap mereka! Feel it!!”
Aku tak perlu membayangkan kalau aku adalah striper karena pada kenyataannya aku memang stripper. Aku membayangkan banyak gadun di depanku, terpesona dengan tubuhku dan apa yang akan aku lakukan? Bagaimana cara aku menatap mereka agar mereka tergoda untuk membayar mahal untuk melihatku? Aah, itu dia . . .
“Bagus, rasain, rasain, yak, tahan, tahan.”
Flash
Flash
Flash
“Sekarang lepas jubah mandi lo, hadap sini. Tututupi kontol lo pake tangan. Ncleng tolong bantuin!” Si Kencleng, asistennya Temmy membantuku melepas jubah mandiku. Yang sebenarnya sangat bisa aku lakukan sendiri. Teddy mengelap wajahku dengan tissue, membenarkan sedikit rambutku dan mengolesi tubuhku dengan minyak agar lebih mengkilat.
“Oke, kita mulai lagi.”
***

Gani Pov

“Hey Lita,” Lita mendongak kearahku lalu tersenyum. Matanya berbinar walau tampak sayu.
“Mas Gani, tadi Mas Denny bilang mau bawa Mas Gani.”
“Ini Mas Ganinya uda Mas culik,” Denny menimpali. Aku tersenyum sambil membelai Lita.
“Uda maem belom Lita?” Lita menggeleng.
“Pahit.”
“Ntar gak sembuh-sembuh lho, Mas Gani suapin ya?” Aku berusaha semampuku membujuk Lita agar makan. Walau hanya habis 4 sendok bubur tapi lumayan. Mudah-mudahan besok panasnya sudah reda.
Oya, jadi kenapa aku berada di rumah Denny sekarang?
Jadi, tadi Denny menelponku. Bilang bahwa Lita sakit, gak mau makan kecuali disuapin olehku. Aku gak percaya. Jujur saja, alasan macam apa itu? Kalau dia yang kangen, masa harus pake Lita melulu sih alesannya?
Tapi kemudian, saat Lita sendiri yang berbicara aku akhirnya luluh. Dengan dijemput Denny, disinilah aku sekarang. Padahal aku, beberapa hari yang lalu bertekad untuk menjauhi Denny. GATOT.
“Uda sejak kapan Lita sakit Den?” Aku mengikuti Denny ke dapur. Mbok Walmi sedang belanja, tau sendiri orang tua Denny dokter super sibuk. Jadi hanya ada kita bertiga di rumah. Sedangkan Lita pasti sudah tertidur.
“Kemaren, aku bikinin hot coklat ya?” Denny menoleh ke arahku sambil tersenyum. Dan mau tidak mau jantungku berpacu lebih. Aku menyuapkan sisa bubur Lita yang belum habis ke mulutku. Daripada harus dibuang? Lagipula aku lapar.
Denny membawa dua mug. Satu berisi coklat panas dan satunya berisi mancha. Dia menyerahkan satu mug ke tanganku lalu duduk disampingku.
“Kita uda jarang ya berduaan kayak gini.” Aku terdiam. Aku menyayangi Beno, sungguh! Tapi aku juga menyayangi Denny, masih menyayanginya. Tapi benar kata Radit, aku tidak mungkin memiliki keduanya. Itu hanya akan menimbulkan rasa sakit.
“Iya.” Hanya kata itu yang mampu keluar dari bibirku. Selama sesaat hanya ada keheningan diantara kita berdua.
“Aku punya temen baru Gan,” Aku menoleh ke arah Denny lalu tersenyum.
“Coba aku pengen lihat.” Denny membawaku keluar melalui pintu samping, lalu menuju kolam kecil. Tempat ikan Koi ku dan Denny hidup. Tambah gede aja itu ikan. Montok!!
Seekor anjing jenis Siberian Husky tengah bermain-main dengan bola. Tingkahnya lucu. But, seriously? A dog?
“Kamu pelihara anjing? Emang boleh?” Aku tahu keluarga Denny muslim.
“Itu punya saudaraku. Dia titip buat semingguan disini. Lucu ya? Kamu kan tahu aku suka anjing.” Denny memang pernah mengatakan itu. Dia suka anjing dan ingin memelihara anjing. Tapi, keluarganya tidak pernah setuju.
“Galak gak?”
“Agresif iya, galak engga.” Aku mencoba berjongkok ketika anjing itu tiba-tiba terdiam dan menatapku lama. Mungkin dia ingin mengamatiku yang notabene adalah orang asing. Aku mengulurkan tanganku untuk mencoba mengelus kepalanya. Dan tanpa diduga, dia berjingkit mendekatiku.
“He’s like you.” Denny tersenyum.
“Dia cowok?” Denny mengangguk lalu meraih tanganku.
“Masuk yuk, uda mulai sore, aku antar kamu pulang.” Tanpa sengaja memang, tangan Denny yang menggenggam tanganku. Erat, sama seperti dulu. Sayangnya, aku juga sama sekali tidak berniat untuk melepaskan tanganku dari genggaman Denny. Terasa salah, tapi dengan berbagai alasan aku mencari pembenaran. Aku membenarkan diriku sendiri. Membenarkan perasaanku yang mulai dilanda ragu.
***

“Liburan?” Tanyaku tak percaya pada orasi ihh, maksutku pengumuman yang disampaikan oleh Puspita, wakil ketua kelas. Elliot sang ketua kelas sedang keluar. Mungkin ke toilet, aku tidak bertanya tadi.
“Sebentar lagi kita bakal test akhir semester kan? Makanya sebelum kita belajar gila-gilaan kita butuh liburan!!”
“Kenapa gak abis test aja?” Ian nyeletuk.
“Hash! Pasti banyak yang enggak bisa! Karena liburan bareng keluarga. Ya kan?”
“Kok mendadak gini sih?” Pertanyaan Tantra ini langsung memancing kemarahan Puspita, aku mendoakan Tantra dalam hati.
“Mendadak? Lo kemana aja? Ini udah sering dibahas tauk! Kalo lo gak mau ikut ya udah gak usah! Gak ada lo gak ngaruh.” Jleb banget.
“Trus mau diadakan kapan Pus?”
“Seminggu sebelum Ujian, acaranya Jum’at Sabtu. Kita uda bentuk panitianya kok.” Aku sukses melongo. Lebih tepatnya, aku, Beno, Tantra dan Ian. Ketahuan deh yang sering absen kalau ada meeting kelas.
Ketuanya Denny, hmmm aku heran kenapa bukan Elliot. Dan kalau panitia yang lain-lain aku tidak begitu peduli, tapi mataku sukses melotot ketika melihat namaku juga tercantum sebagai panitia. Bukan jabatan yang maha penting, tapi menjadi panitia itu sesuatu yang sangat aku hindari. Aku semacam mempunyai alergi menjadi orang-orang penting sebuah organisasi.
“Lo gak salah ketik Pus?” Aku menunjuk namaku yang terpajang sebagai seksi transportasi. Seksi transportasi 2 sih, yang pertama Radit. Ya kan sama saja.
“Engga, kalau disuruh dengan sukarela mana ada yang mau jadi panitia?” Aku mengangguk-angguk mengerti. Iya juga sih.
“Oya, untuk yang jadi panitia ntar ada meeting sepulang sekolah, WAJIB banget buat dateng.”
***

Beno tidak ada dalam list panitia, sedangkan Radit hari ini tidak masuk, jadilah aku meeting dengan diam. Aku tidak mungkin mengajak Elliot bercanda, itu sama saja dengan mengajak biarawati berhubungan seks. Mungkin bisa, tapi mustahil terjadi. Liburan kali ini dipilih di Sukabumi ‘cherroke’. Sebenarnya, akan ada pilihan, Bandung, Jogja atau Bali. Tapi, panitia akan mengarahkan agar anak-anak sekelas nanti memilih Sukabumi. Akan ada rafting, outbond. Aku hanya menyimak, mereka sedang mendiskusikan bagaimana cara agar anak-anak sekelas nanti memilih Sukabumi.
Seperti, kalau di Bandung sudah biasa. Terlalu mainstream, gak beda-beda jauh dari Jakarta. Gitu-gitu aja. Jogja? Terlalu jauh, bakal menghabiskan waktu, kalau menggunakan pesawat nanti menyita banyak dana. Bla bla bla bla. Bali? Toh nanti kelas tiga juga bakalan ke Bali studytour sekolah. Gak enak banget kan liburan dua kali ke tempat yang sama, dan masih banyak lainnya. Aku salut!
Aku bernafas lega ketika akhirnya meeting selesai.
“Keknya agak egois juga kalau kayak gitu keputusannya.” Aku dan Denny berjalan menuju parkiran.
“Sebenernya seisi kelas juga uda tahu kok kalau bakal ke Sukabumi, disana kan pegunungan, banyak yang setuju.”
“Kenapa aku gak tahu ya?” Denny menstater motornya.
“Kamu terlalu sibuk pacaran, mau makan dulu?” Aku diam sejenak.
“Boleh,” Aku berkata sambil naik ke atas motor.
Denny membawaku ke Bakmi GM di dalam sebuah mall. Agak canggung juga sebenarnya makan berduaan bareng mantan pacar gini. Walau sebenarnya aku kadang-kadang masih makan bareng Denny. Tumben juga Denny mengajakku makan di dalam mall.
Suasananya lumayan rame, biasa jam segini kan jam-jamnya orang balik kantor.
“Yakin cuman mesen itu?” Aku memang hanya memesan NasGor Ayam Smooked, tapi berdasarkan pengalamanku makan di Bakmi GM, satu porsi uda lumayan banget bikin perut bengkak kekenyangan.
“Yakin, ini aja engga yakin abis apa kaga.” Denny hanya tersenyum sambil menatapku. Serasa banget kayak lagi jalan sama gebetan.
“Kamu kenapa sih Gan makin manis? Aku malah jadi semakin susah move on kan?” Mungkin kalau aku sedang minum, aku bakalan kesedak. Tapi karena sekarang aku lagi tidak ngapa-ngapain, aku hanya bisa bengong. Bengong kek orang bego.
“Tu kalau lagi malu, pasti tambah cute.” Shit!
“Jangan mulai ngegoda deh Den.”
“Nope.” Aku mendongak dan menatap Denny yang tengah tersenyum sambil matanya tetap menatapku.
“I still love you.” Kata-kata itu tidak terucap dari bibir Denny, namun gerakan bibirnya sangat jelas. Aku bisa membacanya, dan berusaha keras untuk membayangkan Beno dengan segala daya pikatnya. Dan aku berhasil, Beno menang.
“Stop it Den, it’s not working anymore.” Dan Denny hanya nyengir, semakin tampan. Sukses membuat jantungku berdegup lebih kencang. Beno kalah.
***

Beno Pov

Tantra dan Ian melirikku lagi, dan lama-lama bikin aku jengah. Sialan!
“Come on lha bro! Lo ada hubungan apa sih sama Gani?” Lagi-lagi pertanyaan ini. Di ulang-ulang, tidak perduli seberapa sering aku menjawabnya.
“Temen lah.”
“Kita uda sohiban dari SMP, masa iya gue kaga tau gelagat aneh lo bro!” Ian kembali menatapku. Kali ini tatapannya begitu mendesak. Mendesak sebuah kejujuran.
“Iya temen.”
“Temen tapi ML,” Aku melotot ke arah Tantra yang mengucapkan kata-kata itu dengan santai. Tak berapa lama kemudian Ian menyodok rusuk kirinya.
“So, kemaren pas lo keluar dari toilet bareng? Gak usah ngeles, toilet lain banyak yang kosong.” Kata-kata dari Ian tepat sasaran, walaupun aku sebenarnya masih bisa ngeles.
Shit! Gani selalu mengingatkanku bahwa terlalu bahaya bermain di area sekolah. Tapi aku tak pernah bisa menahannya. Oh, apapun yang berhubungan dengan Gani memang tidak bisa aku tahan. He is my priority. Gimana aku bisa tahan sementara Gani di sampingku menggigit-gigit bibirnya minta dicipok?
“Kita gak bakal jauhin lo kalau misalnya lo sama Gani gituan.”
“Gituan?” Aku mengangkat kedua alisku.
“Ya gitu, kayak cewek ama cowok. Pacaran, trus gitu-gituan.”
“I get your point.”
“Serius Ben! Dari dulu juga kita berdua udah curiga, jauh sebelum lo sama Gani deket kayak sekarang.” Aku hampir memuntahkan minumanku kembali.
“Hah? Serius? Gue ‘gay’ banget gitu?” Aku memang tidak pernah mendeklarasikan diriku sendiri macho, tapi masa aku ngondek?
“Bukan! Kalau lo ngondek, uda kita berdua bulli dari SMP! Curiga, dari banyaknya cewek yang memuja-muja lo, gak ada satupun yang elo jadiin pacar.” Ian nyerocos.
“Dan kalau lo ketemu cowok yang mukenya manis-manis kek Gani gitu lo pasti sibuk curi-curi pandang. Lo pikir kita gak perhatiin?”
“Oh.”
“Oh doang? Jadi beneran lo pacaran ama Gani? Uda berapa lama?”
“Hampir 6 bulan.”
“Selama itu dan kita berdua kaga tau,”
“Gani juga pernah pacaran sama Denny.”
“What? Denny? Si cool itu? Ngaco lo Ben!”
“Tanya aja orangnya, mau nanya apalagi ke gue sekarang?” Tantra dan Ian nyengir.
“Uda ,gitu-gitu’an sama Gani?” Sumpah aslinya aku mau tertawa.
“Eh bentar-bentar, lo kok gak ngaceng kalo pas bilas bareng sama gue abis gym? Gue kan seksi, ganteng juga.” Aku menjitak Tantra dengan serius.
“Gue cuman terangsang sama Gani doang.” Tantra dan Ian saling melirik sebelum akhirnya nyengir.
“Yakin?” Tampang mereka berdua tampak licik. Aaahhhh.
***

Aku menemani Gani belanja bulanan. Tubuhku masih agak pegel gegara digebukkin Ian dan Tantra tadi. Cowok sama cewek kalau pacaran kayak gini juga gak ya? Dulu, sebelum pacaran sama Gani, yang beliin perawatan wajah pasti si mama. Karena Mama itu pengen banget punya anak cewek, pengen banget anak-anaknya bersih. Masker, lalu pijat lulur bareng. Berempat, Mama, Papa, Mas Yoga, aku. Hahaha. Kalau gak diturutin bisa marah besar si nyonya. Tapi sekarang aku gak perlu dipaksa lagi. Gimana ya? Mau disebut metroseksual pun aku tidak peduli. Buktinya, wajahku lebih mulus dibanding pria kebanyakkan atau bahkan cewek tanpa harus ditutupi bedak. Dan jelas tanpa harus di edit-edit atau memakai camera 360. Thanks to my mom.
“Aku mau ganti sabun, ini bagus gak ya wanginya? Kamu suka gak?” Gani menyodorkan sebuah produk sabun cair tepat ke depan hidungku.
“Terlalu wangi.” Gani meletakkannya lagi. Aku menyukainya, suka ditanyai apa pendapatku tentang semua hal yang ingin Gani lakukan. Entah, aku merasa aku dihargai. Apalagi ketika Gani benar-benar menuruti apa yang aku katakan. Tidak terlalu sering sepanjang pengamatanku.
“Kalo yang ini?” Aku mengangguk.
“Tapi aku lebih suka wangi tubuh kamu sayang.” Aku berbisik di telinganya sambil mencium pipinya singkat. Gani meremas pinggangku sebelum akhirnya berjalan lagi. Dengan geli aku mengikuti berjalan dibelakang Gani. Lalu kemudian mataku tertumbuk pada satu sosok. Shandy.
Shit! Males banget ketemu tu anak.
Sialnya, Shandy menyadari keberadaanku. Terlalu ketara kalau tiba-tiba aku menjauh sekarang, apalagi Gani yang sama sekali tidak suka kalau acara berbelanjanya di interupsi. Sial!! Dan sekarang Shandy berjalan menghampiriku.


Bersambung . . .

3 komentar:

leave comment please.