Chapter
5
Beno
Pov
Dating
sama Gani selalu menjadi moment berharga. Entah itu hanya makan bareng, nonton
atau hanya jalan-jalan gak jelas keliling mall. Kita berdua sama-sama bukan sex
oriented, walaupun aku tidak keberatan jika tiba-tiba Gani menarikku ke toilet
dan kita bercinta disana. Sound like a good idea.
“Ada
bokep terbaru gak bang? Yang bagusan tapi.” Hahaha, satu hal lagi yang aku suka
dari Gani. Dia gak pernah berpura-pura menjadi orang lain, pacarku itu selalu
terlihat bangga dengan dirinya sendiri. Bukan narsis, lebih ke percaya diri.
Dan pas. Salah satu pesona yang mungkin juga tidak pernah Gani sadari.
“Yang
kek biasanya kan? Atau sudah suka cewe sekarang?” Toko kaset bajakkan ini
memang sudah menjadi langganan Gani. Jauh sebelum aku tahu, Gani sudah
langganan disini. Dan yah, bisa dilihat Abang yang jual pun sudah hapal.
Gani
pernah cerita, awalnya dia malu-malu kucing buat beli film-film yang covernya
cowok-cowok shirtless, eh lama-lama malah ditawarin bokep ama yang jual. How
lucky!!
“Ahh,
suka ama cewe mainstream bang. Ada gak?”
“Ada
nih, Asia kan? Ada yang dari Thailand juga lho. Koleksi terbaru.”
“Beuh,
komplit amat. Abang juga nonton ya?” Abang itu tertawa keras.
“Ah
elo, ntar lo abis nonton langsung praktek kan?” Abang si penjual kaset itu
berkata sambil melirikku. Aku tak ambil peduli. Aku meneruskan aktifitasku
memilih film-film baru. Yang bagus namun tidak begitu worth untuk ditonton di
bioskop.
“Uda
selese?” Gani menghampiriku yang langsung aku jawab dengan anggukkan.
Kita
masih menyempatkan makan sebelum akhirnya naik keatas untuk nonton. Dan jujur
aku tak secerewet biasanya. Aku lebih banyak diam. Entahlah, hanya saja
perasaan bersalah itu tidak mau pergi. Salah satu sisi diriku memintaku untuk
jujur pada Gani tentang ciumanku dengan Shandy. Satu sisi lainnya menyuruhku
jangan, dan aku belum siap dengan resikonya. Bagaimana kalau Gani marah?
Bagaimana kalau nanti dia lalu minta putus? Aku gak mau.
***
Gani
Pov
(Jujur,
lebih enak nulis dari sisi Gani daripada tokoh lainnya)
Kediaman
Beno sedikit banyak membuat aku gelisah, bukan apa-apa sih. Tapi jarang aja,
cowo sebawel dia jadi pendiem gini. Aku uda cerita panjang-panjang ampe
berbusa, cuman dijawab;
“Oya?”
“Hahaha,”
“Masa
sih?”
Tapi
sudahlah, dia mungkin lagi datang bulan. Trust me deh, walaupun enggak kayak
cewe yang ngucur darah dan perlu dipakein sayap, tapi cowo juga punya
waktu-waktu sensi tertentu. Berdasarkan riset, ehm, riset aku sendiri sih.
Cowok rata-rata punya waktu sensi setiap beberapa minggu sekali. Riset ini terbukti
di Radit, Denny, Tantra, Ian sapa lagi ya? Oya Beno. Lupa, aku juga ding. Aku
kan cowo.
“Ice
cream?” Alis Beno terangkat setelah aku mengatakan bahwa aku lagi pengen es
krim.
“Uda
malem lho beb, dingin lagi. Ntar kamu flue lagi. Musim ujan kok pengen es
krim.” Beno menambahkan. Tapi seperti yang dia tahu sendiri kalau aku lagi
pengen, gak bakal ada yang bisa menghentikanku. Halah!
“Lagi
pengen, uda lama gak tauk.”
“Jadi
kemaren itu uda bisa disebut lama.” Aku memberengut ke arahnya lalu berjalan
tanpa mengindahkan Beno lagi. aku mendengar langkah Beno yang menyusulku dari
belakang.
“Seriusan
nih lagi pengen?” Tanya Beno lagi sambil menunggu pintu lift terbuka.
“Ngebet
banget malah.”
Kita
menuju lantai paling bawah. Disini ada semacam mini market, hanya lebih luas
dan komplit dibandingkan Indomaret misalnya, atau Alfamart atau mungkin
Alfamidi. Indomidi sudah ada belom ya?
“Just
curious, what kind ice cream do you want?”
“Vanilla,
yang plain aja beb.” Jawabanku itu ditanggapi dengan perasaan bingung. Ya wajar
sih, karena selama ini aku selalu memakan apa saja yang berbau cokelat. Lebih
tepatnya, apapun makanan yang ada rasa coklatnya.
“Toppingnya
yang mau aku beli agak banyakkan dan bervariasi.” Kataku sambil mulai
memasukkan belanjaanku ke troli.
“Itu
bisa buat persediaan satu minggu.”
Aku
menatap Beno dan mengginggit bibirku dalam-dalam.
“You
know what? I have a dirty idea about this ice cream.” Tanganku secara agresif
meremas lembut kejantanan Beno secepat kilat sebelum akhirnya mendorong troliku
ke kasir. Memikirkan ide nakal yang tengah melintas di otakku membuatku
tersenyum mesum sendiri. Kenapa tidak? Sudah lama juga aku dan Beno tidak
berhungan seks. Eemm, sudah tiga hari. Buatku itu waktu yang sudah cukup lama.
***
“Actually
Ben, I have an idea.”
“Apa
itu kalau aku boleh tahu?” Aku menaruh seplastik belanjaanku yang berisi ice
cream dan juga tetek bengeknya di atas meja yang baru saja dibeli beberapa
minggu lalu, meja makan yang menurutku artistik. Orangtua Beno sepertinya
penyuka seni. Mungkin.
“Mas
Yoga pulang gak malam ini ke rumah?” Tanyaku sebelum aku menjelaskan ideku. Ide
mesumku lebih tepatnya.
“Enggak,
Mas Yoga baru pulang minggu depan.” Tahu Yoga kan? Kalau belom tahu ada baiknya
baca Cintaku Dibagi Tiga dulu, hasyah malah promosi. Yoga sekarang sudah jadi
mahasiswa, di salah satu Universitas negeri di Bandung.
“Eem
oke,”
“Ide
kamu apa sih?” Aku tahu kalau kedua orang tua Beno tengah pergi ke Semarang,
ada saudara jauh mereka yang menikah disana. Beno tidak mempunyai pembatu rumah
tangga. So? Ini bakal aman kayaknya.
“Aku
gak bisa jelasin ideku kalau kamunya masih gak rileks gitu.”
“Hah?
Maksut kamu apa?” Aku menunjuk baju seragamnya.
“Lepas
dulu ya seragamnya? Ntar kotor kena es krim.” Aku menelan ludah ketika dengen
gerakan pelan Beno melepaskan kancing seragamnya satu persatu dan
meletakkannya. Sepertinya, pacarku itu mulai ngerti ke arah mana ideku bakal
berlanjut.
“Ada
yang kurang keknya, eemm apa ya?” Aku terlihat berpikir sejenak sementara
pandangan Beno tidak pernah teralihkan dariku.
“Pants?”
Tanyaku kemudian dengan ekspresi lugu.
“I
thought you never ask,” Beno menjawab sambil berdiri. Gesture tangan Beno yang
melepas ikat pinggangnya secara perlahan, melepaskan kaitan celananya,
menurunkan resliting dengan sukses membuatku susah bernafas. Celana merah pucat
kotak-kotak itu berakhir di bawah kaki Beno.
“Sekedar
saran aja sih beb, celana dalamku sekalian dilepas gak?” Aku terkesiap pelan.
Melihat Beno telanjang memang bukan hal yang baru. Aku sudah sering melihatnya,
hanya saja ketika aku melihat lagi, kekaguman itu tetap sama persis sewaktu aku
melihatnya pertama kali. Degub jantungku seperti berlomba-lomba memompa pasukan
darah ke seluruh tubuhku.
“Boleh,”
Tenang Gan, kalau kamu lost control maka permainan ini akan cepat berakhir.
Kataku pada diriku sendiri.
Kemudian
ketika Beno sudah berdiri tegak, tanpa sehelai benang pun menempel di dirinya,
aku benar-benar merasa pasokan oksigen di paru-paruku habis. Pesonanya masih
sama, all muscle, all abs, dan pandanganku tertumbuk pada benda menarik yang
sudah berdiri menantang hingga menyentuh pusar sang pemiliknya.
Aku
mengambil es krim yang tadi aku taruh dan langsung membukanya. Es krim tersebut
sudah agak lumer, tapi menang inilah ideku. Akan agak kesulitan kalau es kim
ini masih keras. Aku berjalan ke arah Beno dengan senyum mengembang.
“It’s
time for ice cream,” Aku berjalan pelan sebelum akhirnya aku pura-pura
tersandung dan menumpahkan sedikit es krim ke tubuh Beno. Bahkan ada beberapa
yang menempel di penisnya. It’s that brilliant!!
“Oops,
sorry. Aku bersihin ya?” Tanpa menunggu persetujuan dari Beno aku langsung
menggunakan lidahku. Beberapa es krim yang menempel di dada, lalu perut dan
sedikit dibagian yang paling menarik. Aku fokus dibagian dada terlebih dahulu,
menjilatinya lalu menyesap sedikit di bagian puting, kembali ke dada lalu
mengginggit kecil di putingnya lagi.
Beno
menggeram, namun belum ambil inisiatif. Beno sepertinya benar-benar ingin aku
yang mengendalikan situasi. Aku turun ke perut lalu membuat gerakan memutar
sebelum akhirnya ke menu utama.
“Aku
rasa tumpahan es krimnya bertambah di bagian sini.” Aku berkata sambil menujuk
precum yang baru saja menetes keluar.
“But
more delicious, I thing.” Kataku lagi sebelum akhirnya melahap benda sekeras
batu namun lembut itu. Beno makin menggeram. Untuk beberapa saat dia membiarkan
aku mengekspos bagian paling pribadinya itu sampai akhirnya dia menarikku untuk
berdiri lalu secepat kilat melepas seluruh pakaianku. Ciuman Beno penuh
tuntutan, tuntutan untuk dibalas, dengan gairah yang sama besar.
Beno
mendorongku hingga aku tergeletak di atas meja makan. Bibirnya terus menerus
memborbardir bibirku dengan ciuman-ciuman. Sementara kedua tangannya mulai
mengangkat kedua kakiku.
Tangan
kanan Beno meraih eskrim yang tidak jauh dari jangkauannya dan meletakkannya
tepat di lubang pantatku. Rasa dingin langsung menjalari, namun tidak lama,
karena begitu lidah Beno menari-nari disana, aku semakin panas. Dan ketika
dengan nakal Beno membaluri penisnya dengan es krim, aku hanya bisa pasrah.
Bersiap-siap ketika batang berlapiskan es krim itu mulai menggempur memberi
sensasi dingin, perih dan enak.
***
“Yang
tadi itu gila,” Beno sedang rebahan di tempat tidur. Kita sudah pindah ke kamar
Beno setelah tadi bercinta habis-habisan di meja makan. Aku sangat berharap
keluarga Beno tidak akan menemukan secuil tanda-tanda bekas kita bercinta tadi.
Setetes sperma misalnya.
“Dan
kamu menikmatinya.” Aku membuka lemari Beno, memilih-milih baju yang menurutku
tidak terlalu gombrong untuk aku pakai.
“Mandi
dulu sana ah, aku gak mau kamu peluk kalau kamu belum mandi gitu.” Beno
tersenyum sebentar sebelum akhirnya bangkit dari kasur dan menuju kamar mandi.
Giliranku
sekarang yang rebahan di atas ranjang. Aku mendengar air shower yang dinyalakan
dan tersenyum sendiri. Sejujurnya, aku masih mau lanjut ke ronde dua. Menemani
Beno mandi misalnya, lalu bercinta habis-habisan disana.
Tapi,
entah kenapa aku sedang tidak bernafsu. Kediaman Beno sepanjang di mall tadi
masih menghantuiku. Bagaimna jika? Kalo seandainya? Entahlah, aku jadi
memikirkan hal yang tidak-tidak.
“Mikirin
apa sih Beb?” Rambut basah Beno disusupkan ke leherku yang membuatku langsung
mendorong kepalanya menjauh.
“Dingin.”
Beno tersenyum sebelum akhirnya melepas handuknya dan bergabung bersamaku di
dalam selimut.
“Aku
bisa bikin anget.”
“Lagi
males.”
“Masa?”
Beno menuntun tanganku untuk memegangi juniornya yang sudah mengeras lagi.
Shit! Kalau kayak gini gimana mau males lagi?
“Yakin
males?” Aku menyingkapkan selimut dan secara terang-terangan melihat Beno
telanjang. Gila! Aku terangsang lagi.
***
“Lo
adalah temen paling nyebelin yang pernah gue kenal seumur hidup gue.” Radit
masih mengomel sementara aku sibuk dengan COC ku. Bentar lagi aku bakal punya
Barbarian King. Hahahaha.
“Serius
deh Dit, gue males banget kalau harus ketemu Shandy.”
“Kita
nemuin ibunya bukan Shandynya.”
“Kalo
ntar ada dia gimana?”
“Gue
juga males kali Gan! Tau sendiri pas di RS yang rajin ngomelin gue siapa!” Aku
meletakkan smartphone ku.
“Yakin
kita harus kesana? Gak ada jalan lain gitu?” Radit mengambil nafas panjang.
“Gue
harus mastiin kalau Ibunya Shandy uda baik-baik aja. Gimana juga kan gue yang
nyerempet dia Gan.”
“Ya
udah lah, gue ganti baju dulu.”
“Nah
gitu donk. By the way bawain buah-buahan gak ya?” Aku memilih baju yang agak
simple. Kaos buntung yang aku doble dengan kemeja yang tidak aku kancingkan.
Lalu celana khaki.
“Bawain
aja, buat basa-basi.” Aku memandangi pantulan diriku di cermin sebelum akhirnya
menghadap ke arah Radit.
“Dit
. . .”
“Lo
udah bilang mau, jadi kaga ada alasan buat batalin!!” It’s gonna be weird.
Mungkin
hari ini adalah hari keberuntunganku. Shandy tidak ada di rumah, entahlah ada
dimana, aku juga tidak ingin tahu.
“Silahkan
lho itu tehnya.” Aku dan Radit langsung menjawab dengan senyuman gaje.
Setelah
berbasa-basi sebentar dan Radit memberikan sedikit uang -Yang ditolak oleh
Ibunya shandy- kita akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah.
“Tu
kan gue bilang juga apa? Gak ada Shandy kan? Lagian masalah lo ama dia apa sih
Gan? Kalo gue kan jelas udah di black list ama dia.”
“Tau
ah Dit, gak suka aja gue ama dia. Feeling aja.”
“Gila
lo ya, ngebenci orang tanpa alasan gitu.”
“Wajar
lah, orang bisa suka tanpa alasan, kenapa benci harus pake alasan?” Aku
menjawab agak sewot. Tapi bener juga kata Radit, dan aku belum pernah seperti
ini sebelumnya. Membenci orang tanpa alasan. Apa salah Shandy sehingga aku gak
suka banget sama dia? Karena dia marah-marah ke Radit? Engga juga, bukan alasan
yang kuat. Karena dia stripper? Damn! Ngebenci orang karena profesinya? It’s
not me! Enggak tahulah, mungkin bener kata Radit, aku ngebenci Shandy karena
tanpa alasan. Aku menghela nafas panjang.
“Kita
nongkrong bentar yuk Dit, kemana gitu.”
“Oke,”
***
Shandy
Pov
Awalnya
aku memang risih menjadi stripper. Seriously!! Tapi bayangin aja, bisa dapet
duit satu juta dalam bentuk cash dalam semalam, belum lagi jika ada saweran
masuk celana, beuh bisa lebih! Lagipula, aku tidak tidur sama mereka, hanya
menjadi penari. Halal kan? Oh shit, apa peduliku dengan halal atau haram sekarang?
Aku bisa hidup lumayan, dengan uangku sendiri. Bukan uang om ku, bukan dengan
meminta-minta belas kasihan om ku. Aku masih kerja di caffe, namun sekarang aku
juga menjadi stripper. Dan karena menjadi stripper tidak bisa setiap malam.
Satu minggu aku hanya kebagian jadwal 1 kali. Mungkin karena aku masih belum
booming. Hahaha.
Kali
ini aku mencoba hal baru. Masih dengan Rendy, anak ini membawaku ke sebuah
gedung yang kalau dari luar terlihat seperti gudang yang tidak terpakai. Tetapi
begitu masuk kedalam, it’s amazing! Ada beberapa poster bergambar cowok-cowok
dalam berbagai pose. Kesamaan mereka hanya satu, mereka telanjang!
Dan
hal baru inilah yang akan aku coba. Naked model buat satu majalah khusus gay.
Hal-hal seperti ini yang tadinya aku tidak tahu, entah kenapa malah sekarang
semakin akrab di telingaku. Bahkan mungkin sebentar lagi akan menjadi
lingkunganku. Lumayan, tiga juta satu kali sesi pemotretan.
“Tuh
orangnya!”
Cowok
yang rambutnya dicat pirang muncul. Tampang mukanya datar banget.
“Kok
lo telat?”
“Macet
parah tadi, ujan-ujan gini lagi.”
“Ooh,”
Ini orang ekspresinya bener-bener datar asli! Sekarang si rambut pirang ini
menoleh ke arahku dan memperhatikan penampilanku atas bawah.
“Ini
talent baru yang mau lo kenalin ke gue?”
“Ho
oh, kenalan gih!”
“Gue
Shandy,” Aku mengulurkan tanganku dan langsung dia sambut walau hanya sebentar.
“Temmy.”
Asli bener-bener datar si Temmy ini.
“Bisa
apa aja dia?” Kali ini Temmy bertanya pada Rendy.
“Ask
him!”
“Pernah
jadi model?”
“Blom.”
Jawabku singkat yang lalu ditimpali dengan helaan nafas si Temmy.
“Amatir
gini lo bawa ke gue!” Temmy ini ngeselin ya? Aseli pengen gue tonjok.
“Bodi
dia bagus lho! Lagian elo kan yang minta model baru, biar agak fresh! Dia kan
belom pernah di publish!” Begitu mendengar penjelasan Rendy, si Temmy ini
memperhatikan penampilanku lagi. kali ini lebih jeli.
“Coba
buka kaos lo.”
“Disini?”
Aku memperhatikan beberapa orang mondar-mandir tidak jelas di area ini.
“Ya
udah ikut gue. Elo Ren, sana ke studio 2, uda ada Fafa.”
“Sip
boss!” Sebelum pergi, Rendy menepuk bahuku pelan.
“Take
it easy bro, relax!”
Aku
dibawa Temmy ke sebuah ruangan. Tertutup, aku menduga ini adalah ruangan dia.
Mungkin Temmy adalah salah satu orang penting disini. Ya diliat dari cara dia
yang bisa memerintah orang seenaknya disini.
“Oke,
so?” Begitu Temmy berbicara seperti itu, aku langsung melepas kaosku.
“Hmm,
lo fitnes?” Aku mengangguk.
“Gue
yakin lo bakal ngejual, tapi lo yakin? Ini foto telanjang lho, bukan
sempak-sempakkan lagi.” Aku berpikir sebentar. Kata Rendy sih, pemasaran
majalah ini ke luar Indonesia. Di Indonesia penjualannya hanya untuk kalangan
tertentu. Dan pesan lewat online pun belum tentu bisa deal.
Aku
mengangguk mantap.
“Fine
kalau lo udah yakin. Sekarang coba lo telanjang depan gue,”
“Disini?
Bukannya di studio?”
“Apa
bedanya? Toh ntar yang liat lo telanjang bukan cuman pembeli majalah doang, ada
krue, ada fotografer dan ada gue juga. Kadang malah outdoor.” Penjelasan Temmy
masuk akal. Tapi kenapa aku jadi ragu? Ah sudahlah, sudah terlanjur basah.
Nyemplung aja sekalian.
Aku
langsung melucuti semua pakaianku hingga tak bersisa.
“Gede
juga ya kontol lo, bakalan jadi aset baru nih lo!” Aku diam saja. Bahkan ketika
Temmy tanpa malu-malu memandangiku dengan tatapan menilai.
“Oke,
pake baju lo! Pemotretan lo hari Senin jam dua. Gak ada kontrak, jadi begitu lo
selesai, lo dapet duitnya. Dan urusan foto lo itu buat apa, itu uda jadi hak
gue, deal?”
“Oke,
deal.”
“Fine,
hati-hati di jalan.” Aku tersenyum sebelum akhirnya keluar dari ruangan Temmy.
Masih menunggu Rendy selesai sesinya. Jadi anak baik-baik toh aku masih belum
merasakan nikmatnya dunia, jadi kalau dengan cara ini bisa, kenapa engga? Lalu
jika aku bisa tampil mentereng di depan Beno, mungkin dia bakal sedikit
berpikir berbeda. Dibandingkan dengan pacarnya yang sekarang, aku jelas lebih
ganteng dan seksi.
Tunggu
Ben, lo bakal jadi milik gue.
Bersambung
ya . . .
Nah kan! Udah firasat si Shandy inj PHO! Aaaaaah! cem hello kitty nih si Shandy. Pengen aku grawek mukanya -_-
BalasHapusKok hello kitty sih? 😩
HapusMasuk konflik y mas? Makin menarik nih :-)
BalasHapus