Chapter 4
Shandy
Pov
Aku
menutup kotak nasi berisi ayam bakar yang baru saja aku makan seperempat.
Enggak nafsu! Padahal laper banget. Tapi lagi-lagi, ketika aku punya beban
pikiran yang berat gini, nafsu makanku selalu hilang begitu saja. Aku melirik
chat bbm yang masih menyisakan space kosong yang aku tak tahu harus aku isi
apa. Padahal sebenarnya simple, tinggal bales iya atau enggak. Lalu send, beres
deh.
Ah,
andai saja bisa semudah itu.
Tak
lama kemudian smartphone itu bunyi, yang entah kenapa kali ini membuatku malas
untuk mengangkatnya. Pasti Rendi.
“Shan,
lo napa lama amat balesnya?” Semprot
Rendi begitu aku mengangkat panggilan darinya.
“Sorry
bro, baru kelar makan gue.”
“Ah
elo, trus gimana tawaran gue tadi? Uda jam tujuh, ya pa kaga?”
Batinku
kembali bergejolak.
“Shan?”
Aku
gak tau kenapa Tuhan selalu menempatkan aku dalam situasi sulit kayak gini.
Please God, give me a sign.
“Kalo
lo gak mau, gue langsung ajak yang lain nih.”
Ambil
atau kaga ya?
“Shan!
Buruan!”
“Anu,
iya deh. Gue ambil.”
“Gitu
dong ganteng. Siap-siap lo, ntar jam sembilan gue jemput.”
Pengen
rasanya teriak aku gak mau, tapi yang keluar dari mulutku malah sebaliknya. Gak
ngerti deh ntar bakal kek gimana.
***
“Ren,
kita . . .”
“We
are the king.”
“Gue
belom pernah,”
“Halah
ntar lo juga bisa, yang perlu lo lakuin cuman gini nih.” Rendi menggoyangkan
pantatnya maju mundur dengan gerakkan eksotis.
“Shake
your ass dude,” Katanya sebelum dia bergegas menyusul tiga cowok yang sudah
menunggu di lobi. Aku berjalan tergesa mengikuti mereka. Ah, hati nuraniku
sebenarnya menolak buat nglakuin kayak gini, ngebayangin bakal kesini aja aku
kaga pernah.
Tapi
sekarang, here I am. Disalah satu gay club di Jakarta, bukan sebagai
pengunjung, tapi sebagai stripper. Bukan koreonya yang aku cemaskan, stripper
mana ada koreo sih? Tapi bagian dimana aku harus nglepasin satu persatu bajuku
didepan publik itu yang masih ngeri. Sumpah, gak bisa bayangin! Tapi lagi-lagi
otakku berpikir lain, ini adalah satu-satunya jalan supaya aku mendapatkan uang
satu juta rupiah sialan itu dan langsung aku kembalikan ke Pak Rudi. Jadi
ceritanya, waktu praktikum kemarin aku tanpa sengaja memecahkan desikator.
Harganya dua juta lebih. Yang satu juta setengah, aku dapatkan dari hasil
tabunganku. Hasil sisa gaji yang selalu berhasil aku sisakan tiap bulannya.
Sebenarnya, aku bisa saja meminta pada om ku, tapi akhir-akhir ini om ku selalu
mengeluh tentang ekonomi keluarganya yang sedang carut marut. Dan ini membuatku
sungkan.
Aku
melintasi lorong temaram menuju sebuah ruangan di kanan jalan. Ada tiga ruangan
disana, yang satu berisi beberapa orang yang
kalau di lihat dari gaya pakaian mereka, aku menerka kalau mereka adalah
para DJ atau mungkin home band club ini. Satu ruangan ditengah terkunci dan
paling kanan adalah ruangan yang akan aku singgahi.
“Renata!”
“Rendiiii,
kirain yey gak bakalan dateng.”
“Haha,
kapan sih gue gak profesional?”
“Cuss,
yey memang the best. Ganteng, cucok!”
“Oya,
Renata kenalin ini Shandy. Dia bakal gantiin Gugun buat sekali show.”
“Oh,
heii gue Renata.”
“Shandy.”
Kataku singkat. Cowok kemayu tersebut memandangiku cukup lama atas bawah.
“Lumayan
juga mata yey kalau milih barang baru.”
Kata-kata Renata disambut tawa oleh Rendi.
“Oke,
cyin, cusss tiga puluh menit lagi acara bakal dimulai! Silahkan ambil
perlengkapan perang kalian, by the way ada design baru yang cucok banget sama
selera akika.” Aku mengkernyitkan dahiku dalam. Perlengkapan perang?
Aku
melihat semua cowok sibuk menaruh barang-barang mereka ke locker. Suara DJ
sudah membuah gemuruh di luar sana.
“Simpen
semua barang-barang lo di locker, kaga bakalan ilang.” Aku bergerak dan memilih
locker paling pojok.
“Yang
tadi itu namanya Renata, aslinya sih Reno. You know lah.” Oke, dalam situasi
lain mungkin aku bakal tertawa, kali ini? Aku hanya bisa tertawa getir.
Maksutku, dia lebih memilih dipanggil Renata? Daripada Reno yang jelas-jelas
nama aslinya dan bagus pula.
“Gila!
Cakep, seksoy abes!” Aku menoleh ke sumber suara dan mendapati seorang cowok
bermuka blasteran tengah mengamati dan menjembreng beberapa kostum. Gila, itu
yang bakal gue pakai ntar?
“Shan,
ini punya lo!”
Aku
menerima kostum army. Lengkap dengan sempak putih polos yang terlalu tipis
menurutku. Aduh, ini sempak mah make gak make bakal sama aja efeknya. Gila ini!
“Dalam
dua puluh menit semua udah harus beres kostum!” Rendi memberi instruksi. Dan
tanpa risih semua langsung melepas semua baju mereka disini. Gila, aku harus
ganti disini juga? Bareng-bareng? Perasaan bingung mulai menelusupiku, kenapa
aku tidak terangsang ya? Perasaan kalau lihat Beno aku langsung bisa on, kenapa
lihat mereka engga? Padahal mereka juga cakep-cakep, ada yang lebih cakep dari
Beno malah.
“Hey,
anak baru buruan donk!!”
Aku
menghela nafas sesaat sebelum dengan cepat mengganti kostumku. Sebelum nantinya
aku ditegur untuk kedua kali.
***
Gani
Pov
To
be honest, ini pertama kalinya aku main ke gay club. Serius deh. Kalau tempat
clubbing biasa sih pernah beberapa kali sama Radit. Kita berempat, aku, Beno,
Radit dan Risky finally merasakan dunianya orang dewasa. Hahaha, walau tadi
masuknya agak ribet, but here we are.
“Kayak
gini tho yang namanya diskotik? Brisik banget.” Risky mengeluarkan suara
setelah habis menenggak jus strawberrynya. Yah, kalian tidak salah baca. Jus
strawberry. Dan aku juga agak heran kenapa club ini menyediakan jus strawberry.
Ganjil.
Aku
menyesap wine ku sebelum akhirnya merapat ke Beno. Beberapa kali aku melihat
ada mata-mata lapar seakan mau menerkam cowokku itu. Jadi ya, aku gak boleh
lepas dari Beno barang sedetikpun.
“Dance
yuk?” Beno menarikku ke dance floor. Lagu En La Obscuridad milik Belinda
menggema. Lumayan banget buat menggoyangkan badan. Ini gay bar club, jadi tanpa
malu-malu aku melingkarkan tanganku ke leher Beno. Bergerak-gerak erotis,
sengaja ingin menyulut gairah Beno.
“You
make me on fire beb,” Bisikkan Beno tersebut hampir tidak bisa aku dengar.
Namun jika menilik tonjolan didalem celananya yang makin menggembung, aku paham
arah pembicaraannya.
Tiba-tiba
musik dibuat pelan, dan seorang drag queen –Syahrini wanna be- naik ke atas
panggung.
“Are
you excited for tonight?” Si Syahrini jadi-jadian tersebut fasih menirukan
logat Syahrini. Hanya dengan versi suara nge bass. Kalian bayangin sendiri lah.
Suara
teriakan seru bergeming dari seantero ruangan. Dan karena ini pertama kalinya
aku berada disini, aku tidak mengerti kondisi ini. Sebelum akhirnya cowok-cowok
muscle muncul di atas panggung dan mulai bergoyang.
“They
are yours tonight!!” Selesai ngomong itu musik mulai kencang lagi. Kali ini
dengan parade cowok-cowok ganteng diatas panggung yang mulai melolosi pakaian
mereka satu persatu. Stripper dancer? God!! Aku mengajak Beno agak mendekat ke
stage, kapan lagi coba?
“Seksi,
I like sexy guy.”
“Apa
aku gak seksi?” Aku menoleh ke arah Beno dan memberinya ciuman kilat di bibir.
“Kamu
itu cowok terseksi beb,” kataku, sebelum akhirnya pandangan mataku tertumbuk
pada satu sosok cowok yang agak canggung diatas stage. Aku mengamatinya lebih
lama, takut nantinya salah lihat.
“It’s
that your Friend? Shandy?” Beno mengikuti arah tanganku dan terkesiap pelan.
“Kita
pulang yuk, udah malem.” Aku yang tidak tahu kenapa mood Beno berubah langsung
mengikutinya. What’s wrong? Ah sudahlah, dari dulu aku memang selalu memacari
orang yang pikirannya tidak pernah bisa aku tebak.
***
“Lo
serius Gan? Si Shandy yang nyokapnya keserempet mobil gue itu?” Aku mengangguk,
entah untuk keberapa kali.
“Gue
gak mungkin salah liat Dit, lagian lo sendiri? Emang lo kaga lihat aksi
strippernya?” Radit menjawab pertanyaanku dengan cengengesan tanpa dosa.
“Si
Risky gak betah, berisik katanya. Pulang deh kita.”
“Lagian
lo aneh, Risky kan biasanya di masjid ngapa lo ajak ke diskotik coba?”
Radit meringis sebentar lalu mengginggit
cokelatnya. Mengulumnya sebentar sebelum perhatiaannya kembali terarah padaku.
“Terus
lo curiga dia ada apa-apa sama laki lo?”
Aku
mengambil satu cokelat yang terdampar secara acak di atas meja belajar.
“Ya
abis, tingkah si Beno aneh gitu pas lihat si Shandy ini joget-joget telanjang.”
“Gue
saranin sih jangan sampe salah ambil keputusan lagi aja. Lo gak pengen nyesel
dua kali kan? Cukup si Denny aja lah yang elo sesali ampe sekarang.” Radit
memasukkan potongan terakhir cokelatnya, “Emang si Shandy beneran telanjang?
Bagus gak sih bodinya?”
“Ya
kayak model-model L’men gitu. Tapi belom jadi bener. Kaga telanjang bulat juga,
tapi sempaknya aja kayak saringan tahu, ngeceplak banget! Mana kayaknya dia
lagi ngaceng lagi. Buahahaha.”
“Heh,
untuk ukuran yang kata lo cuman lihat sekejab, lo terlalu detail tauk!”
“Gini
ya Dit, gue itu gak pernah bisa yang namanya nolak rejeki, jadi ya kalo ada
pemandangan syur gitu nikmatilah. Jarang-jarang lho liat perkakas cowo lain
kecuali punya laki gue.”
“Noh,
di twitter buanyaaak. Pada nawarin diri malah, gue bot butuh di puasin ama top
yang manly. Hih, najong! Kek gak laku aja!”
“Buahaha,
ikutan promo gih lo!!” Kataku sambil ikut merebahkan diri di ranjang.
“Ngomong-ngomong
soal bot ama top, gue mau nanya nih. Lo yang jadi topnya Risky atau
kebalikannya?” Radit memalingkan wajahnya dan terlihat semburat merah menjalar
di pipinya. Cielah, jawab top atau bot aja ampe segitu malunya.
“Gue
Topnya.” Aku membelalakkan mataku berlebihan.
“Lo
bohong.”
“Menurut
lo?!”
“Iih,
pantesan lo sok manly di depan Risky.” Mendengar perkataanku barusan, Radit
malah menarik nafas panjang.
“Gue
takut Gan.”
“Takut
kenape?”
“Kalo
misalnya Risky tau gue gak semanly yang gue tampilin ke dia gimana? Lo kan tahu
sendiri kadang-kadang gue suka keceuplousan, apalagi kalau lagi bareng elo.
Naluri ngondek gue bangun.”
“Menurut
gue nih ya, menurut gue lho ya, Risky gak bakal begitu permasalahin
kengondekkan elo kok kalau dia emang cinta sama lo. Lagian, lo ngondek juga
cuman pas sama gue doang keknya.”
“Lo
mah enak, Beno uda tahu kalau lo ngondek.”
“Taik
Babi lo!”
“Buahahaha,
tapi iye juga ya. Keknya gua gak ngondek deh. Liat aja temen-temen di kelas gak
ada yang curiga gue pacaran ama Risky tuh.”
“Tapi
menurut gue, semanly-manlynya cowo gay, pasti sisi cong nya juga kadang tanpa
sengaja keliatan.” Radit bangun dari tempat tidur. Berjalan mondar-mandir dan
terlihat menimang-nimang sesuatu.
“Kalau
Denny? Pernah keliatan ngondek gak?”
“Enggak.”
Jawabku spontan. Setauku sih engga.
“Teori
lo salah donk kalau gitu.” Aku memutar kedua bola mataku sebelum akhirnya
menarik selimut sebatas leher.
“Good
night Dit.”
“Jiah,
kalah debat kabur.” Setelah ucapan itu keluar aku merasakan pukulan mendarat di
kepalaku. Radit sialan, aku mengambil bantal yang paling dekat denganku dan
membalasnya tak kalah kuat.
Oh,
pasti bakal begadang lagi ini perang-perangan bantal -,-
***
Shandy
Pov
Deg-degan
iya. Gimana enggak? Beno ada disini, sore ini, di caffe ini, sendirian. Dan dia
bilang dia pengen bicara denganku. Dia menungguku selesai bekerja. Dimejanya
ada coklat cake dan ice coklat, sepertinya dia memang rajin pesan apa-apa yang
berbau coklat. Shifku berakhir jam 3. Dan itu sekitar 15 menit lagi. Aku
mengamati Beno dalam diam. Dia tampan, aku tahu itu. Dari cara dia berpakaian,
bersikap, bahkan saat dia menyesap coklatnya atau memakan cake nya, Beno selalu
terlihat keren.
Hhh,
aku menghembuskan nafas panjang sebelum akhirnya pergi ke belakang, memberi
tahu kepada Andi beberapa hal yang tadi belum sempat aku kerjakan dan pergi ke
locker. Aku mengambil jaket dan berpamitan dengan teman-temanku sebelum
akhirnya menghampiri meja Beno. Dan degub jantungku makin tak terkendali. Beno
mendongak lalu tersenyum, dan aku meleleh.
“Lo
uda selesai Shan?” Aku mengangguk dan menarik kursi di depannya.
“Lo
mau bicarain tentang apa Ben? Tumben amat, ampe nyamperin ke tempat kerja gua
lagi.”
“Pengen
ngobrol aja, cari tempat yang lebih enak yuk?”
“Mau
ke rumah gue? Deket kok dari sini.” Tawarku yang langsung dijawab anggukan oleh
Beno.
Setengah
mati aku menahan tanganku untuk memeluk Beno yang berada di jok depan. Gila ya?
Karena ini cowok, aku bisa uring-uringan setengah mati. Dulu waktu aku jatuh
cinta sama cewe enggak sampe segininya.
“Sorry,
gak ada coklat disini.” Kataku sambil mengeluarkan beberapa makanan kecil ke
meja.
“Hahaha,
gue sebenarnya gak doyan-doyan amat ama coklat.”
“Excuse
me? Tapi lo selalu mesen coklat, ya kan?”
“Itu
kesukaan pacar gue, hahaha. Cuman lagi belajar suka ama apa yang dia sukai
aja.” Hatiku pedih. Seperti ada luka, dan mau tidak mau aku jadi membayangkan
cowok twink yang dalam beberapa kesempatan selalu bersama Beno.
“Si
cowo manis itu ya? He’s lucky to having boyfriend like you.” Keceplosan! Aku
mengamati Beno yang tiba-tiba diam. Mati!! dia pasti marah, weleh, kok bisa
lancar banget tadi aku ngomongnya ya? Mana gak bisa ditarik lagi kan ya?
“No,
gue yang beruntung punya dia.” Beno tersenyum.
“Lo
uda berapa lama jadi striper?” Kali ini aku yang diam. Darimana Beno tau?
Perasaan aku hanya sekali dan itupun aku rahasiakan dari beberapa temenku.
Kecuali . . .
“Lo
ada di club itu?”
“Lo
gak ngejawab pertanyaan gue. Eh, sorry gue kepo. Cuman, lo uda gue anggep
temen. Gue cuman pengen tau temen gue aja, gue gak mau . . .”
“Gak
mau temenan sama stripper?” Sambarku cepat. Daripada marah, aku lebih malu.
Malu karena didepan orang yang aku cintai aku tidak bisa menampilkan sisi
kelebihanku.
Beno
menggeleng.
“I
don’t give a damn with your job, actually. But, masa harus jadi strip sih
Shan?”
Aku
mengambil nafas panjang, “It’s just once.”
Beno
menatapku bingung. Aku menimang-nimang segala resiko sebelum akhirnya memilih
untuk bergeser duduk makin dekat dengan Beno. Dan aku rasa Beno tidak
keberatan.
“Itu
cuman sekali dan itupun karena gue kepaksa.” Akhirnya aku menjelaskan
kronologisnya kepada Beno. Ada beberapa yang aku tutupi namun tidak ada yang
aku lebih-lebihkan.
“So,
you are gay?”
“No.”
“Trus
kenapa lo jadi stripper di club gay?”
“Lha
emang ada aturan gitu yang jadi stripper harus gay juga?” Beno menggeleng. Lalu
beberapa saat kemudian tertawa.
“I
am sorry. Hahaha.”
“Gak
papa, I am not gay but I like you.” Suara tawa Beno terhenti. Dia menoleh dan
menatapku seakan-akan aku adalah setan. Dan entah apa yang ada dipikiranku kala
itu, aku langsung memajukan wajahku. Dengan coba-coba bibirku menyentuh bibir
Beno. Awalnya Beno diam, dan karena aku menganggap bahwa itu adalah
persetujuannya, aku semakin bernafsu mencium bibirnya sebelum akhirnya Beno
mendorongku dan menghadiahiku bogem mentah. Aku kaget, terkejut, lebih ke perbuatan
beraniku yang menciumnya. Reaksi Beno yang memukulku aku anggap wajar. Namun
ketika aku mendongak, aku melihat wajah sarat amarah dan jijik.
Dan
tanpa berkata apa-apa, Beno melangkah keluar dari rumahku. Bodohnya aku!! Aku
bodoh!! Tolol!!
***
Beno
Pov
Aku
memandangi Gani yang tengah sibuk dengan gadgetnya. Tangan kiri ada gorengan,
sedangkan tangan kanan sibuk memainkan game clash of clan. Beberapa kali
bibirnya maju dan mengeluarkan umpatan karena troopsnya kalah war. Dan karena
Gani juga, aku disuruh download game itu juga. Pada faktanya, dia yang mainin
juga.
Gani
juga yang memperkasai membuat sebuah clan tertutup pada game itu. Isinya ya
anak-anak kelas sini yang kebetulan juga lagi gandrung main game itu.
“Tan,
lo nyerang nomer dua donk, gampang banget itu!” Gani menoleh ke belakang sambil
mencomot gorengan. Lagi. Aku itung-itung sudah lebih dari 5 tahu goreng masuk
kedalam perutnya.
“Aku
dianggurin nih?” Gani mendongak lalu tersenyum.
“Kamu
udah attack belom? Kayanya belom deh, sini aku yang attackin.” Tanpa babibu
Gani langsung mengambil smartphone ku dan langsung membuka game clash of clan.
Aduh, susah kalau punya pacar maniak anime semisal one piece. Dimana Gani
pernah merengek-rengek minta cari boneka Zoro yang jarang banget ada yang jual.
Dan maniak game, ya kayak sekarang ini. Karena jam kosong, bukan dimanfaatin
buat belajar malah pada asyik mainin game. Katanya lagi clan war, plus lagi
seru. Aah, sudahlah.
“Ntar
pulang temenin ke toko kaset bentar ya?”
“Yey
menang!!” Gani menoleh ke arahku sembari menyerahkan smartphone ku kembali.
“Mau nyari film apaan emang? Bokep?”
Aku
mengacak-acak rambutnya dengan sayang. Kalau ini enggak dikelas aku pasti udah
meluk dia, menciumi bibirnya sampe merah bengkak. Aduh, ada yang meronta bangun
jadinya -,-.
“Enggak,
iseng aja. Kali aja nemu film bagus.”
“Iya,
sekalian nonton ya? Ada Maleficient lho. Bagus!!”
“Gan,
bagi naga donk! Gue mau attack nih.” Tantra menginterupsi. Emang lebih enak
kalau sama pacar itu ngobrolnya berduaan.
“Bentar,
naga gua masih farmer nih. Blom jadi. Ntar gue kasih. Eh, Ben lihat deh, seksi
ya?” Gani mengajukan tabnya lebih dekat ke arahku. Ada sebuah foto disitu,
cowok shirtless. Dan itu jelas fotoku.
“Dapet
darimana foto itu?”
“Kemaren
pas aku liat dia futsal. Cinta banget aku sama dia,” Pengen banget aku peluk!!
Rasa bersalah menganga waktu tanpa sebab bayangan aku dicium Shandy berkelebat.
Secara teknis aku memang tidak berselingkuh, hanya saja sesaat aku sempat
menikmati ciuman itu. Dan sesaat, untuk pertama kalinya aku lupa Ganiku.
Aku
menatap Gani yang sekarang sudah pindah ke belakang bersama Tantra, Ian, Radit
dan Elliot yang sibuk membicarakan clan of clans. Aduh, pacarku itu semacam
menjadi leader game tersebut di kelas ini.
Aku
gak pengen kehilangan kamu Gan, aku gak pengen. Kata-kata itu hanya mampu aku
ucapkan dalam hati. Kejadian buruk bersama Shandy bakal aku simpen. Dan Gani
gak perlu tahu, sampai kapanpun.
Bersambung
. . .
good.... chapter 5 please
BalasHapus