FOLLOW ME

Sabtu, 05 Juli 2014

BARISTA 4

Chapter 4
Shandy Pov
Aku menutup kotak nasi berisi ayam bakar yang baru saja aku makan seperempat. Enggak nafsu! Padahal laper banget. Tapi lagi-lagi, ketika aku punya beban pikiran yang berat gini, nafsu makanku selalu hilang begitu saja. Aku melirik chat bbm yang masih menyisakan space kosong yang aku tak tahu harus aku isi apa. Padahal sebenarnya simple, tinggal bales iya atau enggak. Lalu send, beres deh.
Ah, andai saja bisa semudah itu.
Tak lama kemudian smartphone itu bunyi, yang entah kenapa kali ini membuatku malas untuk mengangkatnya. Pasti Rendi.
“Shan, lo napa lama amat balesnya?”  Semprot Rendi begitu aku mengangkat panggilan darinya.
“Sorry bro, baru kelar makan gue.”
“Ah elo, trus gimana tawaran gue tadi? Uda jam tujuh, ya pa kaga?”
Batinku kembali bergejolak.
“Shan?”
Aku gak tau kenapa Tuhan selalu menempatkan aku dalam situasi sulit kayak gini. Please God, give me a sign.
“Kalo lo gak mau, gue langsung ajak yang lain nih.”
Ambil atau kaga ya?
“Shan! Buruan!”
“Anu, iya deh. Gue ambil.”
“Gitu dong ganteng. Siap-siap lo, ntar jam sembilan gue jemput.”
Pengen rasanya teriak aku gak mau, tapi yang keluar dari mulutku malah sebaliknya. Gak ngerti deh ntar bakal kek gimana.
***

“Ren, kita . . .”
“We are the king.”
“Gue belom pernah,”
“Halah ntar lo juga bisa, yang perlu lo lakuin cuman gini nih.” Rendi menggoyangkan pantatnya maju mundur dengan gerakkan eksotis.
“Shake your ass dude,” Katanya sebelum dia bergegas menyusul tiga cowok yang sudah menunggu di lobi. Aku berjalan tergesa mengikuti mereka. Ah, hati nuraniku sebenarnya menolak buat nglakuin kayak gini, ngebayangin bakal kesini aja aku kaga pernah.
Tapi sekarang, here I am. Disalah satu gay club di Jakarta, bukan sebagai pengunjung, tapi sebagai stripper. Bukan koreonya yang aku cemaskan, stripper mana ada koreo sih? Tapi bagian dimana aku harus nglepasin satu persatu bajuku didepan publik itu yang masih ngeri. Sumpah, gak bisa bayangin! Tapi lagi-lagi otakku berpikir lain, ini adalah satu-satunya jalan supaya aku mendapatkan uang satu juta rupiah sialan itu dan langsung aku kembalikan ke Pak Rudi. Jadi ceritanya, waktu praktikum kemarin aku tanpa sengaja memecahkan desikator. Harganya dua juta lebih. Yang satu juta setengah, aku dapatkan dari hasil tabunganku. Hasil sisa gaji yang selalu berhasil aku sisakan tiap bulannya. Sebenarnya, aku bisa saja meminta pada om ku, tapi akhir-akhir ini om ku selalu mengeluh tentang ekonomi keluarganya yang sedang carut marut. Dan ini membuatku sungkan.
Aku melintasi lorong temaram menuju sebuah ruangan di kanan jalan. Ada tiga ruangan disana, yang satu berisi beberapa orang yang  kalau di lihat dari gaya pakaian mereka, aku menerka kalau mereka adalah para DJ atau mungkin home band club ini. Satu ruangan ditengah terkunci dan paling kanan adalah ruangan yang akan aku singgahi.
“Renata!”
“Rendiiii, kirain yey gak bakalan dateng.”
“Haha, kapan sih gue gak profesional?”
“Cuss, yey memang the best. Ganteng, cucok!”
“Oya, Renata kenalin ini Shandy. Dia bakal gantiin Gugun buat sekali show.”
“Oh, heii gue Renata.”
“Shandy.” Kataku singkat. Cowok kemayu tersebut memandangiku cukup lama atas bawah.
“Lumayan juga mata yey kalau milih barang baru.”  Kata-kata Renata disambut tawa oleh Rendi.
“Oke, cyin, cusss tiga puluh menit lagi acara bakal dimulai! Silahkan ambil perlengkapan perang kalian, by the way ada design baru yang cucok banget sama selera akika.” Aku mengkernyitkan dahiku dalam. Perlengkapan perang?
Aku melihat semua cowok sibuk menaruh barang-barang mereka ke locker. Suara DJ sudah membuah gemuruh di luar sana.
“Simpen semua barang-barang lo di locker, kaga bakalan ilang.” Aku bergerak dan memilih locker paling pojok.
“Yang tadi itu namanya Renata, aslinya sih Reno. You know lah.” Oke, dalam situasi lain mungkin aku bakal tertawa, kali ini? Aku hanya bisa tertawa getir. Maksutku, dia lebih memilih dipanggil Renata? Daripada Reno yang jelas-jelas nama aslinya dan bagus pula.
“Gila! Cakep, seksoy abes!” Aku menoleh ke sumber suara dan mendapati seorang cowok bermuka blasteran tengah mengamati dan menjembreng beberapa kostum. Gila, itu yang bakal gue pakai ntar?
“Shan, ini punya lo!”
Aku menerima kostum army. Lengkap dengan sempak putih polos yang terlalu tipis menurutku. Aduh, ini sempak mah make gak make bakal sama aja efeknya. Gila ini!
“Dalam dua puluh menit semua udah harus beres kostum!” Rendi memberi instruksi. Dan tanpa risih semua langsung melepas semua baju mereka disini. Gila, aku harus ganti disini juga? Bareng-bareng? Perasaan bingung mulai menelusupiku, kenapa aku tidak terangsang ya? Perasaan kalau lihat Beno aku langsung bisa on, kenapa lihat mereka engga? Padahal mereka juga cakep-cakep, ada yang lebih cakep dari Beno malah.
“Hey, anak baru buruan donk!!”
Aku menghela nafas sesaat sebelum dengan cepat mengganti kostumku. Sebelum nantinya aku ditegur untuk kedua kali.
***

Gani Pov
To be honest, ini pertama kalinya aku main ke gay club. Serius deh. Kalau tempat clubbing biasa sih pernah beberapa kali sama Radit. Kita berempat, aku, Beno, Radit dan Risky finally merasakan dunianya orang dewasa. Hahaha, walau tadi masuknya agak ribet, but here we are.
“Kayak gini tho yang namanya diskotik? Brisik banget.” Risky mengeluarkan suara setelah habis menenggak jus strawberrynya. Yah, kalian tidak salah baca. Jus strawberry. Dan aku juga agak heran kenapa club ini menyediakan jus strawberry. Ganjil.
Aku menyesap wine ku sebelum akhirnya merapat ke Beno. Beberapa kali aku melihat ada mata-mata lapar seakan mau menerkam cowokku itu. Jadi ya, aku gak boleh lepas dari Beno barang sedetikpun.
“Dance yuk?” Beno menarikku ke dance floor. Lagu En La Obscuridad milik Belinda menggema. Lumayan banget buat menggoyangkan badan. Ini gay bar club, jadi tanpa malu-malu aku melingkarkan tanganku ke leher Beno. Bergerak-gerak erotis, sengaja ingin menyulut gairah Beno.
“You make me on fire beb,” Bisikkan Beno tersebut hampir tidak bisa aku dengar. Namun jika menilik tonjolan didalem celananya yang makin menggembung, aku paham arah pembicaraannya.
Tiba-tiba musik dibuat pelan, dan seorang drag queen –Syahrini wanna be- naik ke atas panggung.
“Are you excited for tonight?” Si Syahrini jadi-jadian tersebut fasih menirukan logat Syahrini. Hanya dengan versi suara nge bass. Kalian bayangin sendiri lah.
Suara teriakan seru bergeming dari seantero ruangan. Dan karena ini pertama kalinya aku berada disini, aku tidak mengerti kondisi ini. Sebelum akhirnya cowok-cowok muscle muncul di atas panggung dan mulai bergoyang.
“They are yours tonight!!” Selesai ngomong itu musik mulai kencang lagi. Kali ini dengan parade cowok-cowok ganteng diatas panggung yang mulai melolosi pakaian mereka satu persatu. Stripper dancer? God!! Aku mengajak Beno agak mendekat ke stage, kapan lagi coba?
“Seksi, I like sexy guy.”
“Apa aku gak seksi?” Aku menoleh ke arah Beno dan memberinya ciuman kilat di bibir.
“Kamu itu cowok terseksi beb,” kataku, sebelum akhirnya pandangan mataku tertumbuk pada satu sosok cowok yang agak canggung diatas stage. Aku mengamatinya lebih lama, takut nantinya salah lihat.
“It’s that your Friend? Shandy?” Beno mengikuti arah tanganku dan terkesiap pelan.
“Kita pulang yuk, udah malem.” Aku yang tidak tahu kenapa mood Beno berubah langsung mengikutinya. What’s wrong? Ah sudahlah, dari dulu aku memang selalu memacari orang yang pikirannya tidak pernah bisa aku tebak.
***

“Lo serius Gan? Si Shandy yang nyokapnya keserempet mobil gue itu?” Aku mengangguk, entah untuk keberapa kali.
“Gue gak mungkin salah liat Dit, lagian lo sendiri? Emang lo kaga lihat aksi strippernya?” Radit menjawab pertanyaanku dengan cengengesan tanpa dosa.
“Si Risky gak betah, berisik katanya. Pulang deh kita.”
“Lagian lo aneh, Risky kan biasanya di masjid ngapa lo ajak ke diskotik coba?”
 Radit meringis sebentar lalu mengginggit cokelatnya. Mengulumnya sebentar sebelum perhatiaannya kembali terarah padaku.
“Terus lo curiga dia ada apa-apa sama laki lo?”
Aku mengambil satu cokelat yang terdampar secara acak di atas meja belajar.
“Ya abis, tingkah si Beno aneh gitu pas lihat si Shandy ini joget-joget telanjang.”
“Gue saranin sih jangan sampe salah ambil keputusan lagi aja. Lo gak pengen nyesel dua kali kan? Cukup si Denny aja lah yang elo sesali ampe sekarang.” Radit memasukkan potongan terakhir cokelatnya, “Emang si Shandy beneran telanjang? Bagus gak sih bodinya?”
“Ya kayak model-model L’men gitu. Tapi belom jadi bener. Kaga telanjang bulat juga, tapi sempaknya aja kayak saringan tahu, ngeceplak banget! Mana kayaknya dia lagi ngaceng lagi. Buahahaha.”
“Heh, untuk ukuran yang kata lo cuman lihat sekejab, lo terlalu detail tauk!”
“Gini ya Dit, gue itu gak pernah bisa yang namanya nolak rejeki, jadi ya kalo ada pemandangan syur gitu nikmatilah. Jarang-jarang lho liat perkakas cowo lain kecuali punya laki gue.”
“Noh, di twitter buanyaaak. Pada nawarin diri malah, gue bot butuh di puasin ama top yang manly. Hih, najong! Kek gak laku aja!”
“Buahaha, ikutan promo gih lo!!” Kataku sambil ikut merebahkan diri di ranjang.
“Ngomong-ngomong soal bot ama top, gue mau nanya nih. Lo yang jadi topnya Risky atau kebalikannya?” Radit memalingkan wajahnya dan terlihat semburat merah menjalar di pipinya. Cielah, jawab top atau bot aja ampe segitu malunya.
“Gue Topnya.” Aku membelalakkan mataku berlebihan.
“Lo bohong.”
“Menurut lo?!”
“Iih, pantesan lo sok manly di depan Risky.” Mendengar perkataanku barusan, Radit malah menarik nafas panjang.
“Gue takut Gan.”
“Takut kenape?”
“Kalo misalnya Risky tau gue gak semanly yang gue tampilin ke dia gimana? Lo kan tahu sendiri kadang-kadang gue suka keceuplousan, apalagi kalau lagi bareng elo. Naluri ngondek gue bangun.”
“Menurut gue nih ya, menurut gue lho ya, Risky gak bakal begitu permasalahin kengondekkan elo kok kalau dia emang cinta sama lo. Lagian, lo ngondek juga cuman pas sama gue doang keknya.”
“Lo mah enak, Beno uda tahu kalau lo ngondek.”
“Taik Babi lo!”
“Buahahaha, tapi iye juga ya. Keknya gua gak ngondek deh. Liat aja temen-temen di kelas gak ada yang curiga gue pacaran ama Risky tuh.”
“Tapi menurut gue, semanly-manlynya cowo gay, pasti sisi cong nya juga kadang tanpa sengaja keliatan.” Radit bangun dari tempat tidur. Berjalan mondar-mandir dan terlihat menimang-nimang sesuatu.
“Kalau Denny? Pernah keliatan ngondek gak?”
“Enggak.” Jawabku spontan. Setauku sih engga.
“Teori lo salah donk kalau gitu.” Aku memutar kedua bola mataku sebelum akhirnya menarik selimut sebatas leher.
“Good night Dit.”
“Jiah, kalah debat kabur.” Setelah ucapan itu keluar aku merasakan pukulan mendarat di kepalaku. Radit sialan, aku mengambil bantal yang paling dekat denganku dan membalasnya tak kalah kuat.
Oh, pasti bakal begadang lagi ini perang-perangan bantal -,-
***

Shandy Pov
Deg-degan iya. Gimana enggak? Beno ada disini, sore ini, di caffe ini, sendirian. Dan dia bilang dia pengen bicara denganku. Dia menungguku selesai bekerja. Dimejanya ada coklat cake dan ice coklat, sepertinya dia memang rajin pesan apa-apa yang berbau coklat. Shifku berakhir jam 3. Dan itu sekitar 15 menit lagi. Aku mengamati Beno dalam diam. Dia tampan, aku tahu itu. Dari cara dia berpakaian, bersikap, bahkan saat dia menyesap coklatnya atau memakan cake nya, Beno selalu terlihat keren.
Hhh, aku menghembuskan nafas panjang sebelum akhirnya pergi ke belakang, memberi tahu kepada Andi beberapa hal yang tadi belum sempat aku kerjakan dan pergi ke locker. Aku mengambil jaket dan berpamitan dengan teman-temanku sebelum akhirnya menghampiri meja Beno. Dan degub jantungku makin tak terkendali. Beno mendongak lalu tersenyum, dan aku meleleh.
“Lo uda selesai Shan?” Aku mengangguk dan menarik kursi di depannya.
“Lo mau bicarain tentang apa Ben? Tumben amat, ampe nyamperin ke tempat kerja gua lagi.”
“Pengen ngobrol aja, cari tempat yang lebih enak yuk?”
“Mau ke rumah gue? Deket kok dari sini.” Tawarku yang langsung dijawab anggukan oleh Beno.
Setengah mati aku menahan tanganku untuk memeluk Beno yang berada di jok depan. Gila ya? Karena ini cowok, aku bisa uring-uringan setengah mati. Dulu waktu aku jatuh cinta sama cewe enggak sampe segininya.
“Sorry, gak ada coklat disini.” Kataku sambil mengeluarkan beberapa makanan kecil ke meja.
“Hahaha, gue sebenarnya gak doyan-doyan amat ama coklat.”
“Excuse me? Tapi lo selalu mesen coklat, ya kan?”
“Itu kesukaan pacar gue, hahaha. Cuman lagi belajar suka ama apa yang dia sukai aja.” Hatiku pedih. Seperti ada luka, dan mau tidak mau aku jadi membayangkan cowok twink yang dalam beberapa kesempatan selalu bersama Beno.
“Si cowo manis itu ya? He’s lucky to having boyfriend like you.” Keceplosan! Aku mengamati Beno yang tiba-tiba diam. Mati!! dia pasti marah, weleh, kok bisa lancar banget tadi aku ngomongnya ya? Mana gak bisa ditarik lagi kan ya?
“No, gue yang beruntung punya dia.” Beno tersenyum.
“Lo uda berapa lama jadi striper?” Kali ini aku yang diam. Darimana Beno tau? Perasaan aku hanya sekali dan itupun aku rahasiakan dari beberapa temenku. Kecuali . . .
“Lo ada di club itu?”
“Lo gak ngejawab pertanyaan gue. Eh, sorry gue kepo. Cuman, lo uda gue anggep temen. Gue cuman pengen tau temen gue aja, gue gak mau . . .”
“Gak mau temenan sama stripper?” Sambarku cepat. Daripada marah, aku lebih malu. Malu karena didepan orang yang aku cintai aku tidak bisa menampilkan sisi kelebihanku.
Beno menggeleng.
“I don’t give a damn with your job, actually. But, masa harus jadi strip sih Shan?”
Aku mengambil nafas panjang, “It’s just once.”
Beno menatapku bingung. Aku menimang-nimang segala resiko sebelum akhirnya memilih untuk bergeser duduk makin dekat dengan Beno. Dan aku rasa Beno tidak keberatan.
“Itu cuman sekali dan itupun karena gue kepaksa.” Akhirnya aku menjelaskan kronologisnya kepada Beno. Ada beberapa yang aku tutupi namun tidak ada yang aku lebih-lebihkan.
“So, you are gay?”
“No.”
“Trus kenapa lo jadi stripper di club gay?”
“Lha emang ada aturan gitu yang jadi stripper harus gay juga?” Beno menggeleng. Lalu beberapa saat kemudian tertawa.
“I am sorry. Hahaha.”
“Gak papa, I am not gay but I like you.” Suara tawa Beno terhenti. Dia menoleh dan menatapku seakan-akan aku adalah setan. Dan entah apa yang ada dipikiranku kala itu, aku langsung memajukan wajahku. Dengan coba-coba bibirku menyentuh bibir Beno. Awalnya Beno diam, dan karena aku menganggap bahwa itu adalah persetujuannya, aku semakin bernafsu mencium bibirnya sebelum akhirnya Beno mendorongku dan menghadiahiku bogem mentah. Aku kaget, terkejut, lebih ke perbuatan beraniku yang menciumnya. Reaksi Beno yang memukulku aku anggap wajar. Namun ketika aku mendongak, aku melihat wajah sarat amarah dan jijik.
Dan tanpa berkata apa-apa, Beno melangkah keluar dari rumahku. Bodohnya aku!! Aku bodoh!! Tolol!!
***

Beno Pov
Aku memandangi Gani yang tengah sibuk dengan gadgetnya. Tangan kiri ada gorengan, sedangkan tangan kanan sibuk memainkan game clash of clan. Beberapa kali bibirnya maju dan mengeluarkan umpatan karena troopsnya kalah war. Dan karena Gani juga, aku disuruh download game itu juga. Pada faktanya, dia yang mainin juga.
Gani juga yang memperkasai membuat sebuah clan tertutup pada game itu. Isinya ya anak-anak kelas sini yang kebetulan juga lagi gandrung main game itu.
“Tan, lo nyerang nomer dua donk, gampang banget itu!” Gani menoleh ke belakang sambil mencomot gorengan. Lagi. Aku itung-itung sudah lebih dari 5 tahu goreng masuk kedalam perutnya.
“Aku dianggurin nih?” Gani mendongak lalu tersenyum.
“Kamu udah attack belom? Kayanya belom deh, sini aku yang attackin.” Tanpa babibu Gani langsung mengambil smartphone ku dan langsung membuka game clash of clan. Aduh, susah kalau punya pacar maniak anime semisal one piece. Dimana Gani pernah merengek-rengek minta cari boneka Zoro yang jarang banget ada yang jual. Dan maniak game, ya kayak sekarang ini. Karena jam kosong, bukan dimanfaatin buat belajar malah pada asyik mainin game. Katanya lagi clan war, plus lagi seru. Aah, sudahlah.
“Ntar pulang temenin ke toko kaset bentar ya?”
“Yey menang!!” Gani menoleh ke arahku sembari menyerahkan smartphone ku kembali. “Mau nyari film apaan emang? Bokep?”
Aku mengacak-acak rambutnya dengan sayang. Kalau ini enggak dikelas aku pasti udah meluk dia, menciumi bibirnya sampe merah bengkak. Aduh, ada yang meronta bangun jadinya -,-.
“Enggak, iseng aja. Kali aja nemu film bagus.”
“Iya, sekalian nonton ya? Ada Maleficient lho. Bagus!!”
“Gan, bagi naga donk! Gue mau attack nih.” Tantra menginterupsi. Emang lebih enak kalau sama pacar itu ngobrolnya berduaan.
“Bentar, naga gua masih farmer nih. Blom jadi. Ntar gue kasih. Eh, Ben lihat deh, seksi ya?” Gani mengajukan tabnya lebih dekat ke arahku. Ada sebuah foto disitu, cowok shirtless. Dan itu jelas fotoku.
“Dapet darimana foto itu?”
“Kemaren pas aku liat dia futsal. Cinta banget aku sama dia,” Pengen banget aku peluk!! Rasa bersalah menganga waktu tanpa sebab bayangan aku dicium Shandy berkelebat. Secara teknis aku memang tidak berselingkuh, hanya saja sesaat aku sempat menikmati ciuman itu. Dan sesaat, untuk pertama kalinya aku lupa Ganiku.
Aku menatap Gani yang sekarang sudah pindah ke belakang bersama Tantra, Ian, Radit dan Elliot yang sibuk membicarakan clan of clans. Aduh, pacarku itu semacam menjadi leader game tersebut di kelas ini.
Aku gak pengen kehilangan kamu Gan, aku gak pengen. Kata-kata itu hanya mampu aku ucapkan dalam hati. Kejadian buruk bersama Shandy bakal aku simpen. Dan Gani gak perlu tahu, sampai kapanpun.


Bersambung . . .

1 komentar:

leave comment please.