Aku, Ardhinansa Adiatama. Aku gay, dan
ini kisahku. Sebenarnya, aku tidak begitu bangga mengucapkan kata ‘aku gay’.
Coba tebak, siapa yang mau jadi gay? Kalau kalian bisa memilih? Naif, karena
kebanyakkan orang straight tak kan pernah mengerti gay, atau lebih spesifiknya
tidak akan mengerti kondisiku. Ketika aku memutuskan untuk berterus terang
dengan temanku, rata-rata mereka akan bilang, “Lo sakit?”
Sakit? Aku sehat! Aku bisa berkomunikasi,
aku bisa bersosial, aku bisa melakukan apa yang orang straight bisa lakukan.
Kenapa aku dibilang sakit? Bahkan oleh beberapa gay sendiri? Kenapa mereka
mengejudge diri mereka sakit?
Jujur, aku tidak mau dibilang sakit! Aku
memang tidak tertarik dengan perempuan, walaupun jujur aku bisa menghamili
mereka kalau aku mau. Memangnya ada perbedaan berarti antara sperma gay dan
sperma straight? Kecuali kalian impoten.
Bukankah hanya disitu letak perbedaanya?
Straight menyukai dan tertarik dengan lawan jenis, sedangkan gay tertarik
dengan sesama jenis? Lalu kenapa? Sama seperti straight yang tidak mungkin
sembarangan menyosor semua kaum lawan jenisnya, gay juga tidak sembarangan
menyosor. Kita punya cinta, kita punya kriteria, kita juga punya hati. Oh!
Kecuali beberapa bajingan yang hanya mementingkan seks dan seks. Tapi bukankah
straight juga banyak? Banyak yang hanya memetingkan seks?
Lalu kenapa aku gay?
Aku jadi ingat, waktu itu aku masih 13
tahun. Remaja tanggung yang selalu ingin tahu. Saat itu, aku tidak tahu bahwa
lelaki yang suka lelaki disebut gay. Boro-boro, karena aku juga belum bisa
mendiskripsikan perasaanku kalau aku bertemu atau mengobrol dengan Sani Satrio
Wibowo. Perasaan deg-degan. Pengen barengan terus, atau perasaan tiba-tiba
kesal menyebalkan jika perhatiannya teralih dariku. Aku masih ingat betul cara
dia memperlakukanku, berbeda dengan cara dia memperlakukan teman-teman prianya
yang lain. Aku merasa spesial, aku masih ingat pangkuannya, pelukan hangatnya.
Puncaknya saat aku berusia 14 tahun. Aku
mempunyai pembimbing rohani, namanya Hendra. Dan karena aku dibesarkan dengan
keluarga yang taat beribadah dan terbiasa bercerita apa saja dengan Hendra, aku
menceritakan masalahku. Perasaan anehku ke Sani yang sama sekali belum aku
mengerti.
Hendra diam setelah mendengar ceritaku.
Dia malah lalu bertanya, apakah aku
dekat dengan Papaku? Apakah sewaktu kecil aku lebih suka mainan perempuan
daripada robot-robotan atau mainan anak cowok lainnya? Aku yang waktu itu masih
14 tahun hanya terdiam lalu menggeleng.
Kini, aku bisa tersenyum geli.
Tidak ada yang salah dengan keluargaku,
tidak ada yang salah dengan cara mendidik ibuku, tidak ada yang salah dengan
masa kecilku dan bagiku gay juga bukan kesalahan. Mau menyalahkan siapa? Tuhan?
Aku terlahir dengan 3 saudara. Kakak
pertamaku perempuan, selisih hampir 12 tahun dariku karena Mamaku nikah muda.
Lalu kakak keduaku laki-laki bernama Bimo. Dan adikku Ragil. Masa kecilku
bahagia dan menyenangkan. Aku juga tak pernah kekurangan kasih sayang seorang
Papa. Lalu kenapa?
Aku bermain robot-robotan, tamiya, kasti,
renang di sungai bahkan kadang-kadang Mamaku harus mencariku di sawah karena
aku masih bermain layang-layang hingga sore hari. Aku melakukan permainan
laki-laki sewaktu kecil.
Mamaku membesarkan tiga anak lelaki. Kami
diperlakukan sama, tidak ada cerita-cerita mamaku ingin anak perempuan,
sehingga aku didandani seperti perempuan, tidak ada juga cerita-cerita mamaku
ngidam Tessi atau Olga, karena aku yakin jaman itu Olga juga belum nongol di
tv, aku juga ragu keluargaku sudah punya tv.
Jadi berhentilah kalian menyalahkan mamaku!
Dia wanita yang hebat, seorang wanita yang bisa membuat suaminya betah hingga
puluhan tahun, membuat anak-anaknya betah mendengar dongengnya ketika mau
tidur, membuat anaknya tidak pernah takut untuk bertanya tentang apapun ke
mamanya. Mamaku luar biasa!
Jangan juga menyalahkan masa kecilku. Aku
berteman dengan laki-laki, melakukan permainan laki-laki. Dan tidak ada yang
keliru. Oh, kecuali saat-saat aku lebih suka didapur membantu Mama, mengiris
bawang putih, tanya ini itu. Tapi apakah itu salah? Apakah itu tanda-tanda aku
akan gay?
Ada saat-saat dimana aku merasa kotor,
saat-saat dimana aku merasa tidak layak ke gereja karena aku gay, saat-saat
dimana aku merasa aku adalah anak gagal yang tidak mungkin bisa membahagiakan
orang tuanya. Apakah kalian pernah mengalami perasaan itu? Perasaan hina itu?
Hendra tidak pernah memberiku solusi, dan
aku perlahan-lahan mundur dari kegiatan gereja. Aku hanya datang setiap ibadah
hari Minggu, itupun bersama keluargaku. Seperti yang aku katakan tadi, ada
perasaan bersalah kepada Tuhan, ada perasaan tidak pantas bertemu Tuhan.
Sejak perasaan aneh ke Sani perlahan aku
pahami, aku malah jadi menarik diri. Jadi pendiam, minder dan merasa kecil.
Sampai akhirnya kakakku tahu. Ya, Bimo tau dari buku kecil diariku. Aku menulis
semuanya disitu, acak-acakkan, berantakkan, tapi aku merasa hanya buku itu yang
mengerti aku. Bukan Hendra, bukan juga para pendeta yang hanya bisa mengatakan
bahwa aku salah. Tanpa aku tahu, salahku dimana. Aku gay, ya itu dia salahku.
Aku gay dan aku salah. Oya, atau teori kedua yang lebih gila lagi. Bahwa roh
sodom dan gomorah merasukiku, demi Tuhan!! Aku sehat dan tidak kerasukkan.
Mas Bimo menjauh, aku merasakannya. Dia
yang biasanya mengajariku mengerjakan PR, kini tak melakukannya lagi. Tapi aku masih
beruntung, dia tidak mengadukanku ke Mama atau Papa. Aku belum siap
mengecewakan mereka. Aku belum siap menjadi alasan para tetangga menggunjing
kegagalan orangtuaku mendidikku karena aku menjadi gay. Aku tidak mau hal itu
terjadi, sungguh.
Lalu beberapa hari kemudian, ketika rumah
sedang sepi dan aku tengah menonton tv, aku ingat waktu itu acaranya Wiro
Sableng, Mas Bimo memelukku sambil sesenggukan.
“Maafin Mas Dek,” Aku bingung. Apa yang
perlu dimaafkan? Bukan salah Mas Bimo aku jadi gay. Dia tidak ada andil, sama
sekali! Namun adegan selanjutnya adalah kita tangis-tangisan bareng sambil
pelukan. Sampai-sampai adikku yang baru pulang main melongo melihat kita
berdua. Dan masih melontarkan joke-joke menghina ke aku ataupun mas Bimo
setelahnya, bahkan hingga saat ini. Hingga hari ini.
Hendra juga sama, tidak pernah
menceritakan apa yang pernah aku utarakan ke kedua orang tuaku.
Hingga saat ini, orangtuaku tidak tahu.
Mungkin mereka tahu, mungkin.
Beberapa teman tahu, sejak Mas Bimo
bilang bahwa aku tetap adiknya apapun keadaanku, bahkan jika aku jadi penjahat
sekalipun, aku tetap adiknya, dia akan tetap menjagaku, dia akan tetap berada
di garis depan yang membelaku.
Aku yakin orangtuaku akan melakukan hal
yang sama. Adikku? Walau kita sering berantem, rebutan ayam goreng kalau sudah
tinggal satu, rebutan sandal, rebutan saluran tv, tapi aku tidak pernah ragu
kalau dia menyayangiku. Bahkan jika mungkin dia tahu bahwa kakaknya ini gay.
Kakak yang selalu dia peluk saat tidur, kakak yang selalu dia repotkan dengan
cerita cewek-cewek yang naksir berat ke dia. Aku juga menyayangi adikku. Aku
mencintai keluargaku.
Aku bangga memiliki mereka, aku bersyukur
lahir dan besar diantara mereka, di antara kasih sayang yang melimpah. Yang tak
pernah sedikitpun meragukan keputusanku. Aku mencintai mereka dan akan selalu.
Mama, aku menyayangimu. Mungkin aku belum
bisa memberikan apa-apa, tapi aku berusaha menjadi anak baik. Aku akan menjaga
nama Mama di depan tetangga-tetangga di kampung. Mama akan tetap dianggap Mama
yang hebat karena mempunyai 4 anak yang mengagumkan. Aku pasti akan menjaga
nama baik Mama, aku janji.
Papa, terimakasih buat semua ajarannya.
Permainan catur, lawan tanding badminton yang paling kece yang tak pernah bisa
aku kalahin. Buat nasehat-nasehat konyolnya, terima kasih buat pesawat
terbangnya, pasti capek harus menggendongku, mas Bimo dan Ragil bergantian. Aku
janji aku bakal jadi ayah yang hebat. Ayah yang hebat lho ya, bukan suami yang
hebat.
Mbak Lestari, wanita terkuat yang pernah
aku kenal. Bisa merobohkan adik-adiknya padahal adik-adiknya cowo semua.
Hahaha, mbak selalu bisa membuat adik-adik cowoknya tidak berdaya, sepertinya
nurun dari Mama. Aku sayang sama Mbak. Pengakuan jujur kalo aku sempat naksir
dengan Mas Galih. Tapi tenang, aku tidak makan sodara sendiri, apalagi suami
mbak sendiri. Tapi ada moment-moment ketika aku ke rumah embak, terus mendapati
Mas Galih mondar-mandir hanya memakai celana dalam. Jelas itu bukan salahku,
itu keberuntunganku.
Teman curhat paling handal dan bisa
dipercaya, Mas Bimo. Aku bisa curhat apa saja ke dia. APA SAJA karena dia sudah
tahu semuanya. Aku update semuanya ke dia, mulai dari lagi deket sama siapa,
cowok mana yang sedang aku taksir dan minta pendapat apakah cowok itu cukup
baik atau tidak. Trimakasih buat malam-malam pilu, malam-malam dimana aku
merasa adik paling beruntung sedunia.
Si bawel dan si anak bungsu yang
menganggap kalau dia lebih pantas jadi kakakku daripada adikku, aku sayang
padamu. Ragil, selalu berdiri di garis depan kalau aku sedang berantem dengan
anak tetangga. Tetapi selalu jadi yang tercepat mengambil jatah susuku tiap
pagi. Padahal sudah ada tiga gelas susu. Berakhir dengan Mama yang harus
membuatkan segelas lagi untukku. Kenapa tidak pernah mengambil jatah Mas Bimo?
Dan jawabanmu selalu bikin aku emosi, selalu bikin kita berantem dan terpaksa
harus membuat kita mendengarkan pidato setengah jam ala Mama.
“Menjahili adik sendiri itu wajib
hukumnya!”
Kita memang selisih tidak ada satu tahun,
tapi hukum alam tidak bisa ditentang Ragil, aku tetap Mas mu. Terbukti secara naluriah kamu memelukku,
meringkuk dipelukanku setiap malam. Sedih rasanya kita sudah tidak berbagi
ranjang lagi sekarang. Tidak rebutan bantal guling karna hanya ada satu.
Aku Mencintai Keluargaku Lebih Dari
Apapun dan Akan Selalu Begitu.
Catatan Ngaco Seorang Ardhinansa Adiatama