Chapter
3
Gani
Pov
Di
hari Minggu yang lumayan cerah ini, cuaca yang sangat jarang terjadi di musim
hujan begini. Aku menghabiskan waktuku keliling Mall. Sebenarnya, aku hanya
ingin mampir ke Gramedia. Ada buku yang harus aku beli. Eem, komik sih sebenarnya.
Sendirian.
Beno
ke gereja, Radit? Aku yakin dia dan Risky masih terbaring di atas ranjang.
Denny? Aku tidak mungkin terus-terusan merepotkannya. Maksutku, kita sudah
menjadi mantan. Apalagi, Denny sepertinya masih punya feeling untukku. Jadi ya,
aku tidak ingin dibilang memberi harapan palsu.
Aku
keliling sebentar sebelum akhirnya masuk Gramedia. Dua telingaku tersumpal
headset. Yah, ini memang kebiasaanku kalau sedang berpergian sendirian. Tidak
ada teman yang bakalan diajak mengobrol, jadi? Mending dengerin musik saja.
Tanganku
tepat akan meraih komik one piece yang ke 69, maksutku komik One Piece seri 69,
ketika tangan lain juga akan mengambil komik itu. Tangan kita saling
bersentuhan sedikit. Oke, fine! Ini mirip kejadian di ftv menyeh-menyeh begitu.
Waktu seakan terhenti, lalu aku menoleh secara slow motion lalu ada bling-bling
di wajahku ala bintang iklan ponds. Maafkan aku.
Hanya
saja kejadiannya memang begitu. Minus slow motion dan bling-bling pastinya.
Atau rambut tergerai ala Sandra Dewi di iklan clear.
“Ambil
aja,” Denny. Ya, kebetulan gak kebetulan yang mungkin ala ftv menyeh-menyeh itu
tadi.
“Thanks,
tapi dibelakang masih banyak kok. Jadi kamu gak perlu cari ke toko lain.” Denny
tersenyum sebelum akhirnya mengambil komik itu juga. Kebetulan komik one piece
nya memang masih banyak.
“Sendirian?
Beno mana?”
“Ya,
Beno ke gereja. Kamu? Sendirian juga?” Denny mengangguk pelan. Dulu aku pernah
bilang kan kalau Denny itu cool? Yah, dia memang cool.
“Habis
ini mau kemana?” Aku menggeleng pelan.
“Gak
ada, paling pulang terus ngerjain PR terus bobo.”
“Kamu?
Ngerjain PR?” Denny bertanya dengan nada tak percaya. Seolah-olah. . . Ini
penghinaan. Semalas itukah aku, hingga mengerjakan PR di rumah begitu tabu
untukku?
“Don’t
be a jerk.”
“Sorry,
but kita bisa kok ngerjain PR bareng. Tapi sebelum itu nonton dulu yuk?”
“Emang
ada film bagus?”
“Captain
America bagus kok. Kata Tantra sih bagus. Aku lihat review nya juga lumayan oke.”
Aku menimbang-nimbang sesaat. Minggu ini aku memang free. Maksutku, aku tidak
ada janji dengan Beno buat ngedate or something. Dengan Radit pun tidak ada.
Aku yakin di otak Radit namaku pun bahkan tidak ada untuk hari ini, so?
“Oke.
Emang uda beli tiketnya? Biasanya full kan kalau film-film kek gini.”
“Tenang,
pasti dapet kok.”
Aku
dan Denny langsung naik ke lantai atas. Jadi inget pas dulu aku dan dia masih
pacaran. Entah, aku bahkan tidak yakin kita masih bisa jalan bareng seperti ini
setelah dulu kita pernah saling benci sesaat. Aku juga tidak begitu kaget
melihat mbak-mbak Cineplex yang agak terlalu ‘ramah’ melayani Denny. Haah,
Denny dan Beno memang memiliki beberapa kesamaan. Ganteng dan popular.
Hanya
saja mereka berbeda. Beno hangat, Denny dingin. Di sekolah, penggemar Beno jauh
lebih banyak. Dia selalu up to date soal style. Tau mana yang bagus di tubuhnya
dan mana yang bakalan kelihatan jelek di tubuhnya. Dia selalu tampil hampir
sempurna di semua kondisi. Sekolah, rumah, hang out, intinya Beno enggak pernah
terlihat enggak keren dimanapun dia berada.
Denny?
Penggemarnya juga sebenarnya tidak kalah banyak dengan Beno. Hanya saja tidak
blak-blakan. Denny cuek, dalam hal penampilan ataupun etika. Bukan berarti dia
suka membolos atau bagaimana, dia hanya terlihat seperti bad boy. Padahal
tidak. Aku tahu dia penyayang, aku tahu dia orangnya tidak tegaan, aku tahu dia
kadang menyepelekan kebahagiaannya sendiri. Hmm, karena itu juga aku putus
dengannya. Kadang aku menyesal, tapi kadang tidak. Beno dan Denny sebenarnya
tidak pantas untukku. Apa yang bisa dibanggakan dariku kecuali wajah yang
manis? Tak ada. Aku enggak manly, enggak smart, enggak kaya-kaya banget.
Lamunanku
buyar begitu melihat Denny membawa dua bungkus popcorn dan dua gelas minuman.
“Masuk
yuk, uda mau dimulai tuh filmnya.” Aku mengangguk sambil tersenyum ringan dan mengambil
satu gelas minuman dari tangan Denny. Penyesalanku putus dengannya semakin
besar. Jujur, aku masih menyayanginya. Beno, maafkan aku.
Kita
dapat tempat duduk yang lumayan strategis. Filmnya memang bagus. Pantas saja
jika film ini menjadi box office di beberapa negara.
“Kamu
mau langsung pulang atau ke rumahku? Kita bisa ngerjain PR bareng.” Seharusnya
aku bisa bilang tidak. Seharusnya, aku bisa memperkecil kemungkinan cinta yang
semakin tumbuh lagi setelah beberapa waktu yang lalu layu.
“Oke,
boleh.” Aku memang bodoh!!
***
“Kamar
kamu gak berubah Den.” Kataku begitu masuk ke kamar Denny. Disini, kenanganku
dan Denny juga banyak. Di meja belajarnya juga masih ada fotoku bersama dia
waktu dulu. Aku semakin pahit menelan ludah.
“Malas
aja mau ngerubah-rubahnya. Lagian yang dulu desain ini kan kamu.” Aku tersenyum
masam. Memang aku, aku yang mengusulkan wallpaper dinding bergambar one piece.
Komik kesukaan kita berdua, bertiga sih sebenarnya karena Radit juga suka one
piece.
Kita
bahkan sampai memesan karena gambar one piece jarang ditemukan. Aku juga yang
mengatur letak almari, tempat tidur dan meja belajar. Cover bed yang aku pilih juga ternyata masih Denny pakai.
“Jujur
aku masih sayang kamu Gan. Tapi, aku gak ingin memaksakan kehendak aku lagi.
Aku tahu kamu bahagia sama Beno.” See? Dia memang selalu begitu. Selalu lebih
mementingkan kebahagian orang lain daripada dirinya sendiri. Dulu karena dia
ingin Felix bahagia, dia juga mengorbankan perasaannya sendiri. Hingga kita
berdua putus.
Aku
tersenyum dan mengambil fotoku berdua dengan Denny yang diletakkan di meja
belajar. Aku tersenyum mengingat kenangan-kenangan itu.
“Do
you remember?” Aku mengangguk.
“Gan?
Kamu masih sayang sama aku?” Aku berpaling dan menghadap Denny. Wajahnya sendu,
matanya penuh harap. Seharusnya, tanpa bicara pun Denny sudah tahu perasaanku
jika melihat mataku.
“Aku
gak bisa Den, aku ada Beno. Dan aku juga sayang sama dia. Aku gak bisa.” Denny
memelukku.
“Aku
tahu, aku tahu. Dan aku ngerti.”
***
Beno
Pov
“Tumben
lo gak sama Gani Ben?” Tantra yang baru saja selesai bilas menghampiriku yang
masih duduk-duduk di lobby. Aku dan dia baru saja selesai nge gym bareng.
Entahlah sejak kapan aku mulai ingin terlihat seksi, kekar dan dewasa. Aku iri
pada Denny, dia terlihat seksi tanpa harus dia berusaha keras. Dan aku
mengkhawatirkan Ganiku.
Selama
ini Gani memang tidak ada tanda-tanda akan selingkuh atau bahkan balikkan lagi
sama Denny, tapi aku tahu pasti Gani masih menyayangi Denny.
“Dia
ada acara, tumben lo nanyain Gani? Kangen? Baru juga Sabtu kemaren lo ketemu.”
Aku bertanya balik.
“Kampret
lo! Dia kan manis Ben! Bikin kangen emang.” Deg. Aku mencoba mengontrol
perasaan asing yang mulai merebak.
“Jangan
bilang lo naksir dia?” Tanyaku mulai was was.
“Kaga
Ben, gua masih doyan cewek kali, yuk cabut yuk ah!” Aku menghela nafas sebentar
sebelum akhirnya keluar dari tempat gym. Satu hal yang paling aku benci dari
sifat Gani adalah dia tidak sadar dengan pesona dirinya sendiri. Senyumnya,
cemberutnya itu magnet bagi laki-laki. Bahkan laki-laki straight sekalipun. Buktinya Ian, Tantra dan anak-anak
belakang lainnya memperlakukan Gani secara spesial. Aku kadang cemburu. Dan
Gani sama sekali tidak pernah sadar.
“Bro,
lo oke kan? Gak lagi kesurupan?” Tantra menepuk bahuku dari samping.
“Sialan
lo?! Gua cuman lagi mikir bego!”
“Mikir
atau galau lo? Kelamaan ngejomblo sih lo! Tuh si Ribka, Sella, kan
cantik-cantik! Perhatian lagi sama lo, lo gak tertarik gitu?”
“Gua
lagi males pacaran Tan,”
“Jangan-jangan
bener lagi lo ada apa-apa sama Gani ya? Hayo? Ngaku lo?” Aku menjitak kepala
Tantra. Cukup membuatnya sedikit meringis.
“Ngadep
depan kalau lagi nyetir tuh!”
“Ciye
ngambeg, kalau lo gak ada apa-apa sama Gani, boleh dong gua deketin Gani? Heh?”
“Mau
mati lo?” Kataku spontan.
“Tuh
kan. Ciye,” Aku langsung terdiam. Entahlah, aku sama sekali tidak bisa konsen.
Kangen Gani.
“Thanks
ya Tan!” Kataku begitu sampai di depan sebuah butik. Butik milik Mamaku
“Yakin
gak mau gua tungguin Ben? Banyak tante girang lho didalem.”
“Yaelah,
kan ada nyokap gua! Masak iya nyokap gua tega gua jadi santapan tante girang?”
“Oke
lah, gua cabut duluan bro!” Aku mengangkat tanganku. Setelah mobil Tantra tidak
terlihat, baru aku masuk kedalam butik. Sebenarnya males gila aku harus
menemani mamaku, tapi ya itu ancamannya uang jajannya bakal dikurangi. Curang
banget kan? Licik!
“Uda
selese Ma?” Aku yang sudah agak hapal dengan letak butik ini langsung menuju
tempat Mamaku menghabiskan sebagian waktunya. Yah, sejak aku dan Mas Yoga sudah
beranjak gede, Mama mutusin buat mencari kesibukkan lain. Dan, viola butik
inilah kesibukkan Mama sekarang.
“Sebentar
lagi sayang.”
“Come
on, ini Minggu lho Ma.” Aku sebenarnya sore ini mau ngapelin Gani. Uda kangen
banget.
“Iya,
bentar lagi kok. Daripada bawel kamu kasih pesanan ini ke tamu yang nunggu di
depan tuh.”
“Males
ah.” Jawabku langsung. Super males.
“Eh,
eh, eh, kamu mau uang jajan kamu Mama kurangi? Ayo ah, uda ganteng gitu harus
nurut sama Mama.” Tu kan? Tu kan? Andelannya motong uang jajan. Lebay nih Mama.
Dengan
agak bersungut-sungut aku mengambil satu kantong plastik cukup besar. Masih
agak kurang ikhlas aku menemui tamu yang sedang menunggu di depan. Kok tadi aku
kayak enggak lihat ya?
“Mas,
ini pesanan punya mas ya?” Aku berusaha ramah. Yah, bisa dibilang, aku memang
berbakat jadi pramuniaga toko. Senyumku maut kalau kata Gani. Tuh kan Gani
lagi. Efek kangen nih.
Mas-mas
yang aku taksir berusia sekitar 20 tahunan itu menoleh dan bangkit berdiri. Lha
kok?
“Beno?
Lo ngapain disini?”
“Elo
San? Haha, bantuin nyokap. Minggu gini kan pekerjanya pada libur San. Ini bener
pesenan lo?”
“He
eh, buat seragam baru caffee. Lo jarang main ke caffee sekarang.”
“Males
San kalau sendirian. Hahaha.”
“Kan
bisa gua temenin ntar.” Eh? Kok aku ngrasa ada yang lain dengan Sandy ya? Apa
ya? Lebih sok akrab ke aku?
“Haha,
yang ada gua ganggu lo kerja.” Dan obrolan pun berlanjut. Setidaknya mengurangi
sedikit kebeteanku.
***
Gani
Pov
“Dit,
gua mau nanya donk. Serius nih.” Radit yang tengah sibuk menyalin PR yang tadi
aku kerjakan bareng Denny langsung mendongak. Actually Denny yang ngerjain.
Aku? Aku sibuk main barbie sama Lita. Hahaha.
“Nanya
apaan?”
“Kalau
misal nih ya, misal lho ya, gua CLBK sama Denny gimana ya? Misal lho ya gua
bilang.”
“Ya
gak papa.” Aku sedikit terkejut dengan jawaban Radit. Maksutku, aku kira tadi
dia akan memarahiku atau memberi wejangan-wejangan ala Mama Dedeh.
“Kok
bisa?”
“Ya
bisa, lo kan labil banget Gan. Gua uda ngeduga banget kok lo bakal nanya kek
gini ke gua. Dari dulu gua juga uda nunggu. Ternyata lebih lama dari perkiraan
gua.” Radit menjawab masih sambil sibuk menyalin PR ku.
“Maksut
lo lebih lama apaan?”
“Lo
itu masih sayang Denny, gua aja tanpa lo bilang pake misal-misal gitu juga gua
uda ngeh. Tapi surprised juga sih lo nyadarnya baru sekarang. Setelah hampir
empat bulan lo macarin Beno.”
“Gua
kan sayang juga sama Beno Dit.” Aku merebahkan tubuhku di atas ranjang.
“Tapi
gak mungkin lo pacarin dua-duanya kan? Lo dulu gegabah sih mutusin Denny.”
“Eh
Nek, kalo lihat situasi dulu wajar donk gua mutusin Denny!” Aku seperti tidak
terima begitu saja disalahkan begitu.
“Lagian
lo kan juga ikut andil pas gua putus sama Denny.”
“Ya
udah, trus mau gimana lagi sekarang? Gak mungkin lo mutusin Beno trus balik
lagi ke Denny kan?”
“Kayaknya
gua bakal pusing nih. Arggggh!!” Aku menjatuhkan diriku ke atas ranjang.
“Uda
lah Gan gak usah belagak kayak Bella deh, yang direbutin Edward sama Jacob.”
Mendengar perkataan Radit aku langsung meliriknya sengit.
***
Sandy
Pov
Aku
baru saja beres mandi ketika Bram adikku berlari-lari kecil menghampiriku.
“Kenapa
sih lo Bram?”
“Ibu
Bang!! Ibu!!”
“Iya,
kenapa sama nyokap?”
“Ibu
keserempet mobil Bang!” Piring yang tengah aku bawa langsung terlepas begitu saja
dari tanganku. Aku terdiam sesaat, entahlah, antara kaget, marah, takut,
khawatir yang menjadi satu.
“Bang.
. .?”
“Eh,
dimana Ibu sekarang Bram?”
“Uda
dibawa ke rumah sakit sama Bapak sama Om Rudi.” Aku segera bergegas berganti
baju sebelum akhirnya mengajak Bram pergi ke rumah sakit. Mungkin aku
berlebihan, karena nyatanya Ibuku tidak apa-apa. Hanya keserempet. Anak yang
membawa mobil itu juga ada, aku menatapnya sekilas. Jelas aku marah, tapi masih
bisa aku redam. Masih SMA, dan sepertinya aku pernah melihatnya. Tapi dimana?
“Semua
biaya akan saya tanggung Bu, sekali lagi maaf. Saya benar-benar tidak sengaja.”
“Tidak
sengaja kata lo?! Untung nyokap gua cuman keserempet, lo pikir bakal selese
cuman dengan maaf hah?!” Aku menyahut dengan emosi. Rasanya benar-benar tidak
terima.
“Sandy!
Ini bukan salah Nak Radit!! Ibu tadi yang sibuk ngobrol dengan Bapak jadi tidak
memperhatikan jalan.” Huh, jadi Ibuku malah sudah berkenalan dengan orang yang
sudah menabraknya? Bagus sekali!!
***
Gani
Pov.
Aku
tadi pagi dijemput Denny, oh sudahlah kalian tidak usah bertanya apa alasannya,
aku sedang tidak bergairah untuk menjelaskannya, oke? Jadi sewaktu tadi Radit
BBM aku bahwa dia menyerempet orang, aku langsung panik. Aku tahu Radit suka
ngebut, tapi dia jago nyetir kok. Ah, kalau sedang apes apapun bisa terjadi
kan?
Aku
dan Beno langsung menuju rumah-sakit-tempat-korban-tabrak-Radit-dirawat. Jujur
aku panik. Aku lebih mencemaskan Radit sejujurnya. Walaupun dia nyablak, tapi
aku tahu saat ini dia pasti kalut.
“Dit,
Lo gak papa?” Aku langsung menghampiri Radit begitu melihatnya. Radit sendiri
langsung memelukku dan aku bisa merasakan pundaknya yang bergetar.
“It’s
okay Dit, I’m here.”
“Apanya
yang oke? Dia nabrak nyokap gua tahu!” Aku mendongakkan kepalaku dan melihat
Sandy? Sendy? Cindy? Aku lupa, siapapun itulah namanya. Aku mengedarkan
pandanganku dan menemukan Ibu-Ibu paruh baya yang tangan dan kakinya di perban.
Namun sepanjang penglihatanku dia baik-baik saja. Aku melepaskan pelukan Radit
sebentar, lalu menghampiri ibu-ibu tadi.
“Ibu
gak papa? Ada yang sakit Bu? Dokter gimana?”
“Ibu
sehat nak, Ibu malah khawatir sama teman kamu. Dia masih syok.” Aku tersenyum
lalu bertanya sekedar basa-basi dan memastikan bahwa sang korban bener-bener
baik-baik saja dan menganggap masalah ini selesai. Aku juga bertanya pada
dokter yang memang mengiyakan bahwa tidak ada luka serius. Hanya lecet dan
memar.
“Oke
Dit, yuk gua anter lo pulang.” Aku masih mendengar si Sandy? Sendy? Atau Cindy
itu mengoceh tidak jelas. Aku tahu mungkin dia kesal atau apa, aku paham.
Setelah aku pamit ke Beno aku langsung mengemudikan mobil Radit dengan
kecepatan sedang.
“Gua
takut Gan, gua takut.”
“Sssst,
everything will be fine, everything will be fine Dit.” Aku sendiri ragu
mengucapkan hal ini. Bagaimana kalau keluarga korban tidak terima? Lalu mereka
melapor ke polisi? Aku tidak bisa membayangkan Radit di penjara, maksutku, he’s
my best friend. Hah, semoga semua bakal baik-baik saja. Yah, semoga. . .
To
be continued