Jujur aku
ketakutan setengah mati, walaupun aku tidak menunjukkannya secara nyata. Namun
situasi ini benar-benar bikin aku ngeri. Aku dan Herry masih dalam kondisi
telanjang bulat, dan pakaian kita sudah terlempar entah kemana. Aku manarik
nafas secara perlahan. Taufik masih fokus dengan jalan yang menurutku semakin
asing. Dia belum menyuruhku dan Herry melakukan hal-hal yang lebih aneh.
Entahlah, apa rencananya kali ini. Herry sendiri terlihat cuek dengan melihat
ke arah jendela. Tidak sepertiku yang masih malu-malu dengan menutupi
kemaluanku, Herry tidak melakukan itu. Satu tangannya dibuat menyangga wajahnya
dan satu tangannya lagi tergeletak begitu saja disamping pahanya.
Mungkin,
dan hanya mungkin jika situasinya berbeda, aku mungkin akan terangsang dengan
pemandangan yang disuguhkan Herry ini. Namun sepertinya rasa takut lebih
mendominasiku saat ini. Alih-alih, berpikiran ke seks, aku malah sibuk
memikirkan kehidupanku beberapa jam yang akan datang. Akankah aku masih hidup,
atau nanti aku sudah bakal jadi bangkai?
“Kenapa
kalian begitu pendiam heh? Biasanya kalian selalu mesra dimana saja.” Aku
membuang mukaku ke arah jendela. Aku membenci Taufik. Dan aku yakin aku tidak
akan pernah bisa memaafkannya. Tidak akan bisa.
“Dudu
urusanmu.” Herry menjawab dengan ketus. Wajahnya pun masih menghadap keluar.
Jawaban tadi sepertinya memicu kemarahan Taufik.
“Rasah
macem-macem koe lonte cilik! Uripmu ra bakal dowo!” Taufik menghadap belakang.
Matanya berkilat penuh kemarahan.
“Koe sing
rasah macem-macem! Aku ra wedi mbek awakmu!” Herry agak memajukan wajahnya
hingga wajah mereka begitu dekat. Aku ketakutan jujur. Bukan karena mereka akan
berantem, tapi lebih ke kemudi mobil. Taufik menoleh ke belakang, sehingga
jelas dia tidak melihat kedepan. Aku tahu jalanan sepi dan lurus, tapi . . .
“Fik, itu
truck!” Aku berteriak sebisaku. Truck itu baru saja muncul dari arah
berlawanan. Dengan kecepatan tinggi. Dan mungkin karena panik, Taufik langsung
banting stir. Fatal, mobil kita menabrak pagar pembatas yang hanya terbuat dari
anyaman bambu.
Aku masih
sadar ketika mobil kita berguling-guling.
Aku juga
masih sadar ketika Herry menarikku agar keluar dari mobil.
Namun
saat aku mendengar ledakkan itu, pandanganku menggelap.
Terakhir
yang aku ingat, Herry berada di atasku. Ya, dia melindungiku.
***
Beberapa
kali aku menengok keadaannya dan semakin merutuki diri sendiri. Seharusnya aku
lebih cepat! Pak Hadi dan Bu Lilies memang tidak menyalahkanku, tapi tetap saja
aku merasa bersalah. Aku tahu malaikat kecilku akhir-akhir ini tengah
bermasalah. Namun aku kira hanya masalah kecil. Seperti sedang berantem dengan
pacar seksinya atau mungkin sekolahnya yang tengah membosankan.
Sampai
Revan menceritakannya padaku. Sedikit terkejut juga. Dan tidak mengira, Taufik
yang aku kenal begitu menyayangi malaikat kecilku tega melakukan semua ini.
Jika ingat itu, ingin rasanya aku membunuhnya sekarang juga. Bedebah itu
selamat. Sedangkan malaikat kecilku dan kekasihnya masih koma.
“Lih,
Seno gimana?” aku mendongakkan kepalaku. Revan.
“Masih
belum ada perkembangan Mas Revan. Masih koma.”
“Herry?”
Aku menghembuskan nafasku perlahan.
“Masih
sama. Dia juga masih koma Mas.” Revan memutuskan untuk duduk disampingku.
“Seharusnya
waktu Seno pergi dengan mobilnya pagi itu gua ikutin! Seharusnya ini semua gak
bakal terjadi, seandainya saja gua lebih peka, seandainya saja. . .” Aku
melihat Revan menitikkan air matanya. Aku sadar yang sedih dan terpukul karena
kejadian ini bukan hanya aku saja. Eyang Prawiro, Pak Hadi, Bu Lilis bahkan Bu
Marini pun merasa terpukul. Dan Hendra.
Hendra
dari tadi masih didalam. Setiap berkunjung, dia selalu mengajak berbicara Seno.
Menceritakan kejadian-kejadian lucu di sekolah. Hal yang sama yang juga sering
aku lakukan.
Aku sudah
tau sejak lama jika Seno, malaikat kecilku. Aku menganggapnya seperti itu sejak
dia menabrakku dan membawaku ke rumah sakit. Dan Herry mempunyai hubungan
khusus. Cara mereka menatap satu sama lain sudah membuatku yakin bahwa aku
tidak mungkin bisa masuk diantaranya. Namun harapan itu sempat tumbuh saat Seno
pernah menatapku dengan cara berbeda.
Aku tidak
pernah menuntut balasan akan perasaanku. Asal malaikat kecilku bahagia, itu
lebih dari cukup. Asal malaikat kecilku bisa bangun lagi dari tidur panjangnya,
aku rela melakukan apa saja. Apa saja.
Hendra baru
saja keluar, seperti biasa matanya sembab. Dia menatapku dan Revan bergantian
sebelum akhirnya memutuskan untuk ambruk di pelukan Revan. Tangisnya menjadi.
Sudah hampir dua minggu Seno dan Herry koma. Namun kami masih berharap. Baru
dua minggu, baru dua minggu. Itu yang selalu aku katakan untuk menghibur diriku
sendiri.
***
Pak Hadi
dan Bu Lilis baru saja pulang, malam ini aku menjaga malaikat kecilku lagi. Aku
menggenggam tangannya yang sedingin mayat. Aku manatap wajahnya yang sekarang
bertambah putih karena pucat.
“Den
Seno, saya kangen lihat senyum Aden. Lihat wajah jahil Aden, lihat bandelnya
Aden. Sampai kapan Aden bakal tertidur Den? Hendra setiap dateng nangis lho
Den, Bapak dan Ibu juga. Aden enggak kasihan? Eyang juga drop kesehatannya
karena mikirin Aden. Saya sayang sama Aden. Kalau bisa, saya pengen gantiin
posisi Aden.” Aku masih saja mengoceh tidak karuan saat aku merasakan ada
gerakan-gerakan kecil di dalam genggaman tanganku. Wajahku berbinar, tanpa
menunggu lebih lama, aku langsung memanggil dokter jaga.
***
Kalian
berisik! Ingin aku teriakkan seperti itu, namun bibirku kelu. Seperti ada yang
diganjalkan di bibirku. Entah itu apa. Seberkas cahaya yang terlalu silau
diarahkan ke kedua mataku secara bergantian yang membuatku ingin berteriak
protes. Namun bibirku masih saja kelu.
“Seno,
sayang. Ini Mama sayang.” Aku melihat samar-samar. Ya Mama, Seno dimana Ma?
Nyatanya pertanyaan itu tidak keluar dari bibirku. Aku hanya seperti bergumam.
Padahal setahuku, aku sudah mengatakannya dengan cukup lantang. Aku juga
mendengar gumaman-gumaman lain. Ah, aku capek sekali. Bolehkah aku berbaring
lagi? Karena rasanya berat sekali membuka kedua bola mataku. Herry? Oh iya,
dimana Herry? Aah, mataku berat sekali. . .
***
Aku tahu
dia akan menanyakan kondisi kekasihnya, namun aku masih belum bisa memberikan
jawaban. Herry sudah sadar juga. Namun kondisinya masih belum stabil. Aku
kembali menatap wajah malaikat kecilku yang sekarang sudah nampak lebih hangat.
Dia memang tampan. Dia memang seperti malaikat. Dia sempurna, dia malaikat
kecilku.
“Buburnya
mau lagi Den?”
“Seno
sudah kenyang Mas.” Padahal baru dua suap. Bagaimana mungkin malaikat kecilku
sudah kenyang?
“Atau
Aden mau saya kupasin buah?” Lagi-lagi wajah tampan itu menggeleng. Aku menarik
nafas perlahan.
“Kalau
Aden makan saja susah, gimana mau sembuh? Gimana nanti mau ketemu Herry?”
Malaikat kecilku menoleh ke arahku. Mata belonya menatapku heran seakan-akan
tidak mengerti apa yang baru saja aku ucapkan.
“Herry
butuh suport dari Aden, jadi Aden harus sembuh. Harus lebih kuat. Aden makan
lagi ya?” perlahan wajah itu mengangguk.
Proses
penyembuhan malaikat kecilku tergolong cepat kata dokter. Bahkan dokter bilang
ada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan secara medis tentang proses penyembuhan
malaikat kecilku. Pernah suatu ketika aku melihat Seno seperti berbicara dengan
orang lain. Padahal setahuku disana tidak ada orang. Pernah aku menganggap
malaikat kecilku sedikit mengalami trauma dan gangguan kejiwaan. Namun anggapan
itu salah. Respon Seno terhadap kita normal. Segalanya normal, hanya terkadang
dia sering terlihat seperti berbicara dengan orang lain tapi tidak ada
siapa-siapa.
Herry dan
Seno berada di tempat yang sama ketika mobil itu meledak. Mereka juga divonis
hampir sama. Namun proses penyembuhan Seno setelah bangun dari koma benar-benar
luar biasa. Dia sudah bisa berbicara dengan normal, tidak memerlukan alat
bantuan pernafasan lagi, hanya infus di tangan kirinya yang masih menempel.
Jika dibandingkan dengan Herry yang masih memerlukan semua alat itu.
“Mas,
bedebah itu dimana?” Aku sedikit kurang mengerti akan pertanyaan itu sebelum
akhirnya aku paham.
“Dia
kabur Den.” Itu faktanya. Lukanya memang tidak separah Seno dan Herry. Dan dia
kabur saat semua orang sibuk mengurus Herry dan Seno yang memang sangat kritis
waktu itu.
“Masih
dalam pencarian polisi. Aden tenang saja, saya sudah tahu semuanya dari Revan.”
“Mama
Papa? Sudah tahu juga Mas?” tanyanya sesaat setelah diam. Aku menggeleng. Yang
tahu hanya aku. Bu Lilies dan Pak Hadi hanya tahu jika Taufik berencana
menyulik Herry dan Seno. Itu yang dikatakan Revan. Setidaknya sewaktu Pak Hadi
hendak memukul Taufik dan memaki-makinya, Taufik pun tidak mengelak. Dia juga
tidak menceritakan kebenarannya.
“Tinggalin
Seno sendiri mas, Seno pengen istirahat.” Aku mengangguk pelan sebelum akhirnya
berjalan keluar.
***
“Dia
dimana kek?” Aku menoleh kesamping menyadari kehadiran kakek buyutku. Sampai
sekarang aku masih merasa aneh sendiri. Kakek buyutku sudah meninggal dan aku
berbicara dengannya sekarang. Kadang aku merasa seperti orang gila. Bahkan
tidak jarang aku menganggap diriku juga sudah mati, sehingga bisa berkomunikasi
dengan orang mati juga. Namun sepertinya tidak benar.
Aku masih
bisa merasakan tangan hangat Galih yang selalu menggenggamku. Kebiasaan dia
jika tengah menyuapiku. Kebiasaan dia yang entah mengapa membuatku merasakan
kenyamanan.
“Dia akan
kembali, tapi kamu gak usah takut.” Aku menarik nafasku perlahan. Ya aku masih
bernafas, tanda kalau aku masih hidup kan?
“Herry?”
“Dia
baik-baik saja, dia akan sembuh.” Aku belum bertemu Herry. Aku tahu keadaannya
pasti lebih parah dariku. Dia melindungiku sewaktu mobil itu meledak.
“Semua
akan baik-baik saja.” Aku mengangguk pelan mendengar ucapak kakek buyutku
sebelum akhirnya aku memejamkan mataku. Aku memang butuh istirahat.
***
Sejak aku
keluar dari rumah sakit, aku sudah jarang sekali bertemu dengan kakek buyut.
Bahkan jika aku seperti orang gila atau menirukan adegan-adegan sinetron dengan
memanggil-manggilnya pun masih nihil.
Sudahlah,
mungkin kemarin itu hanya efek obat-obatan yang terlalu banyak dijejalkan ke
tubuhku. Mungkin membuatku sedikit berimajinasi. Aku melangkahkan kakiku menuju
kamar dimana Herry dirawat. Aneh, seharusnya Herry pun sudah diperbolehkan
pulang sepertiku. Lalu mengapa dia masih disini? Sebetulnya, aku masih dilarang
menjenguk Herry oleh Galih. Namun aku melanggarnya. Yah, bagaimanapun aku
merindukannya. Aku merindukan pacarku, apa itu salah?
Tanpa
mengetuk pintu, aku langsung masuk ke kamar dimana Herry sedang dirawat. Ada
Ibu dan Bapaknya Herry yang langsung tersenyum begitu melihatku.
“Siang
Bu, Pak.” Sapaku sambil tersenyum dan memusatkan perhatianku pada Herry. Dia
agak kurusan sekarang. Tapi tetap ganteng.
“Hey
Her,” Herry terlihat bingung sesaat sebelum akhirnya menoleh pada kedua
orangtuanya.
“Ini Mas
Seno Her, masa kamu lupa juga nak?” Perkataan Ibunya Herry langsung membuat
alarm di otakku siaga satu. Jangan bilang, jangan bilang!!
“Sini
Mas, Ibu perlu bicara sebentar.” Aku mengikuti langkah Sekar yang keluar dari
kamar inap.
“Herry
mengalami benturan keras di kepala Mas, jadi . . .”
“Dia
hilang ingatan?” Sambarku langsung. Agak konyol memang, karena aku kira
kejadian seperti ini hanya akan ada di televisi saja, maksutku sinetron.
“Iya dan
tidak Mas. Herry hampir mengingat semua orang, kecuali momen setelah dia lulus
SMP. Herry tidak mengenali Hendra, Mas Seno, Galih. Yang Herry ingat hanya
masa-masa SMP kebawah Mas.” Aneh, maksutku ada gitu amnesia model begitu? Atau
ini hanya akal-akalan Herry saja buat ngerjain aku? Bisa jadi, anak itu kan
iseng!
“Bu,
boleh saya ngobrol berdua sama Herry?”
“Iya Mas,
boleh! Silahkan Mas!” Aku dan Ibunya Herry masuk lagi ke dalam kamar inap,
namun tidak lama kemudian Sekar menarik suaminya untuk keluar.
“Her,
kamu beneran gak inget siapa aku?” Tanyaku begitu merasa keadaan sudah cukup
aman. Herry melihatku berkali-kali dari atas hingga bawah dan sebaliknya.
Setelah agak lama, dia lalu menggelengkan kepalanya.
“Her!
Please lah jangan bercanda! Gak lucu tauk! Masak kamu gak inget kalau kita ini
paca . . .” Aku menghentikan diriku sendiri berkata bodoh. Iya kalau Herry
bercanda, kalau dia lupa ingatan beneran gimana? Ngomong ke dia kalau aku ini
pacarnya? Yang jelas dia kaga bakalan percaya! Jijik iya! Sial!
***
“Den Seno
belum makan dari tadi pagi,” Galih masuk ke kamarku dan duduk diatas ranjang.
Aku tidak menoleh ke arahnya sama sekali. Aku masih mengamati foto-foto Herry
di ponselku. Aku tahu ini konyol, tapi yang terjadi pada Herry memang benar
adanya. Sudah dua minggu kita berdua masuk kelas lagi dan Herry memang tidak
mengenali semua orang. Para guru, teman-teman barunya. Kecuali teman-teman dia
sewaktu SMP.
Kata
dokter, ingatannya bisa saja pulih. Namun itu semua tergantung waktu dan
kondisi psikis Herry juga. Dan sialnya lagi, di kelas dua ini aku dan Herry
beda kelas. Bisa saja aku meminta kepala sekolah untuk menukar kami agar kami
satu kelas lagi. Namun itu akan terdengar sangat kekanakan sekali.
“Den?”
“Seno gak
laper Mas,” Aku menjawab masih dengan tatapan ku ke ponsel.
“Aden
jangan egois.” Mendengar nada bicara Galih yang agak emosi aku akhirnya menoleh
juga. Aku menatap wajahnya dan agak terkejut. Wajahnya terlihat lelah dan
kurang tidur.
“Aden
sibuk memikirkan orang yang bahkan tidak bisa mengingat Aden, tapi Aden tidak
memikirkan perasaan Ibu, Bapak, Eyang yang setiap hari cemas akan kondisi Aden
yang mengurung diri di kamar terus. Pulang sekolah langsung ke kamar, makan
sedikit, tidak teratur. Bisa kan Aden memikirkan perasaan mereka? Mereka yang
sayang sama Aden.” Aku sebenarnya ingin menyanggah. Tapi aku membungkam mulutku
lagi. Galih benar, aku tidak seharusnya terpuruk seperti ini hanya untuk Herry.
Aku sudah
berusaha sekuat mungkin untuk membantu memulihkan ingatannya. Menunjukkan
poto-poto dia dan aku. Poto-poto Herry bersama aku dan Hendra. Bahkan diary nya
juga aku tunjukkan.
Herry
sama sekali tidak berusaha ingin ingatannya pulih. Dia terkesan bahagia dengan
kehidupannya yang sekarang. Selama ini aku selalu beranggapan bahwa Herry hanya
sedang sakit. Dia lupa ingatan. Namun fakta bahwa dia sekarang bahkan tidak
menggubrisku maupun Hendra aku abaikan. Hendra sudah lelah, dia pernah bilang
dia tidak akan memaksa Herry lagi mengingat persahabatan kita. Karena itu
konyol. Dia seakan-akan tidak berusaha mengingatku atau Hendra. Lalu apa yang
aku lakukan selama ini? Apakah yang dikatakan Galih benar? Aku egois? Tapi
bukankah aku juga terluka?
“Seno
pengen jus mangga Mas.” Galih tersenyum sebelum akhirnya berdiri.
“Ayo
keluar Den, mumpung mangga di sebelah rumah lagi berbuah. Banyak yang udah
mateng lho.” Aku memaksakan diriku untuk bangun dari tempat dudukku.
“Duluan
aja Mas, Seno mau cuci muka dulu.” Galih lagi-lagi tersenyum.
“Iya, Mas
tunggu di depan.” Eeh, apa dia bilang tadi? Mas tunggu di depan? Biasanya dia
panggil dirinya sendiri dengan sebutan ‘saya’.
***
“Makasih
mas.” Kataku pada Galih sebelum akhirnya keluar dari mobil.
“Iya Den,
ati-ati.” Sekali lagi aku tersenyum. Hari ini berbeda, aku tahu ini akan sulit.
Cobaan dalam cinta sejati bukanlah saat kita harus memaafkan saat dia berbuat
salah. Seperti selingkuh misalnya. Tapi adalah saat kita melepaskannya. Aku
melihat Herry sekarang bahagia, tanpa aku. Ironinya begitu. Jadi, aku hanya
perlu menemukan kebahagiaanku sendiri. Aku pernah mengalaminya dulu. Melepaskan
Herry. So, ini tidak akan sulit. Yah, aku pasti bisa!
“Hey
Sen!” aku menoleh pada orang yang baru saja menepuk punggung balakangku.
Hendra.
“Jiah,
tumben lo berangkat siang?” kataku sambil mensejajarkan langkahku dengan
langkahnya. Ini memang hampir jam tujuh. Yah, kalian tahu lah aku memang tidak
pernah datang lebih awal dari setengah tujuh.
“Angkotnya
penuh tadi. Liat tuh Sen, banyak adek kelas ngelirik kamu tuh!”
“Ngelirik
elo kali! Lo kan panitia MOS!” Hendra tertawa perlahan. Namun memang iya,
banyak adik kelas yang melirikku atau Hendra aku tidak tahu. Namun aku tidak
tertarik. Masih pada bau kencur!
Aku
tengah berada di kelas. Menyalin catatan Hendra. Sedikit sih, tapi aku harus
mengejar ketinggalanku selama tidak masuk kemarin.
“Kamu
reti ra Sen?” Hendra membawakan siomay pesananku dan juga es teh manis.
“Ngerti
apaan?”
“Ada adek
kelas nembak Herry!” hampir saja aku menjatuhkan siomay yang sedang aku makan.
“Dimana?”
aku melongo sesaat. Maksutku, anak-anak sekarang berani sekali ya?
“Di depan
kelasnya Herry. Kayaknya sih dikerjain anak kelas tiga.” Aku hanya bisa ber
oooooo panjang. Aku kira sungguhan. Tapi tega amat itu kakak kelas. Maksutku
kan MOS sudah berakhir. Jerit malam juga sudah dilaksanakan kalau tidak salah.
Kok masih aja itu adik kelas mau dikerjain?
Dan saat
itu juga ada anak kelas satu yang malu-malu di depan pintu. Cowok, cukup cute
walaupun agak klemar-klemer.
“Ayo! Ayo
tembak! Awas nek lenjeh ngono bakal diwudohi rame-rame!” Dibelakangnya,
anak-anak kelas tiga sibuk memberi suport. Jiah, satu korban lagi. Namun, aku
mengerti kenapa anak ini dikerjai kakak kelas. Dia agak lenjeh. Malu-malu,
walaupun kalau diperhatikan dia cute, seperti yang aku bilang tadi.
Dengan
malu-malu dan didorong anak-anak kelas tiga dia maju ke arahku dan Hendra. Aku
dan Hendra saling menatap bingung. Namun masing-masing dari kita tetap stay
cool.
“Kak
Seno, ini surat dari saya.” Jangan baca selancar tulisan ini. Anak ini mengucapkan
kalimat sependek tadi hampir membutuhkan waktu dua menit. Kalian tau lah.
“Surat
cinta itu, surat cinta!!” Gemuruh anak-anak kelas tiga yang norak dan heboh
sendiri. Untung bel masuk kelas berbunyi. Mereka segera berhamburan keluar dari
kelasku. Anak itu juga akan keluar, namun aku pegang tangannya sebentar.
“Lo mau
aja gitu dikerjain sama mereka?” Anak itu menunduk.
“Trus
kenapa mereka milih gua? Itu mereka kayaknya harus dibikin inget siapa gua!”
Aku sebenarnya tidak berniat mengucapkan itu, hanya saja aku terlalu kesal.
“Mereka
gak milih kakak.” Jawaban yang keluar dari bibir anak ini membuatku sedikit
bingung.
“Lha
terus?”
“Aku yang
milih sendiri mau nembak siapa. Mereka hanya ingin kita nembak kakak kelas.
Kita bebas milih.” Anak itu memang menjawab dengan malu-malu. Dan kepala
tertunduk.
“Terus lo
milih gua? Maksut gua, lo homo gitu?” Wajah anak itu semakin memerah.
“Aku
disuruh harus nembak cowok kak,” Kata anak itu sebelum akhirnya berlari keluar
kelas. Ya, mungkin karena gayanya yang agak terlalu kalem itu, anak-anak kelas
tiga jadi ngerjain dia semakin aneh.
“Aneh.”
Gumamku pelan sebelum aku memasukkan surat yang tadi diberi adik kelas tadi ke
dalam tas.
Bersambung
. . .