Aku
memaksakan tubuhku untuk bangun. Daripada nanti mamaku datang ke kamarku dan
membangunkanku dengan cara biadab, aku lebih memilih untuk memaksa diriku
sendiri untuk meninggalkan ranjang nyamanku. Oh, I hate Monday. I already knew
it.
Setelah
aku siap, aku segera beranjak ke ruang makan dimana mama, papa, paman Pri, Lek
Tien dan eyang sudah menantiku. Seperti biasa, aku memang selalu yang paling
terakhir berada di meja makan. Sudahlah, aku tidak ingin berbagi alasannya
dengan kalian. Menceritakan kepada kalian bahwa aku memang agak sulit bangun?
Itu sama saja membeberkan aibku. Jadi aku tidak akan menceritakannya. Sungguh!
“Galih
sakit, kamu nyetir sendiri ya?” Aku mendongakkan kepalaku ke atas dan menatap
papaku tak percaya. Papa menyuruhku menyetir mobil sendiri? Yakin? Aku meraba
telingaku sebentar, memastikan bahwa keduanya masih terpasang dengan benar
disana. Maksudku, bukankah papaku sendiri yang dengan sangat keras melarangku
menyetir mobil? Dan sekarang?
“Galih
sakit pa? Sakit apa?” kenyataan ini lebih mengusikku. Ternyata Galih manusia
juga. Dia bisa sakit, aku kira dia bandel hingga anti sakit. Analisaku salah.
“Badannya
demam, mungkin karena kecapekkan. Gak papa kan kamu nyetir sendiri?”
“Iya pa.”
Aku mengangguk. Entah kenapa aku kurang antusias. Nyetir sendiri, artinya aku
tidak akan bisa memperhatikan Galih dari belakang. Mengamati tengkuknya yang
seksi. Mencuri-curi pandang wajahnya dari kaca depan. Hah? Ada apa denganku?
Dengan
lesu aku membawa mobilku lebih hati-hati. Aku tidak ingin menabrak orang lagi.
Tidak. Amit-amit.
Aku
memakirkannya tepat disamping mobil kepala sekolah. Sebelum meninggalkan
lapangan parkir aku sempat melirik sinis ke arah mobilku. Bahkan mobil KepSek
pun kalah mewah dari mobilku. Apa aku terlalu berfoya-foya? Apakah kehidupanku
begitu glamor? Aku tidak merasa begitu, hanya saja di tempat ini aku merasa
seperti ikan hiu yang terperangkap di kolam kecil. Semua orang tau tentangku,
semua orang menghormatiku, semua orang tidak berani menentangku. Dan aku bosan.
Mungkin
kalian menganggapku aneh, but seriously I need enemie! Aku butuh musuh!
Seseorang yang berani menantangku, berani mengejekku. Ah, sudahlah itu tidak
mungkin terjadi. Nama Prawiro terlalu berpengaruh disini.
Secara
tidak sengaja aku berpapasan dengan Herry di koridor dan aku mengabaikannya.
Lebih tepatnya, berusaha dengan keras mengabaikannya. Aku akui pesonanya masih
sama seperti dulu. Bahkan mungkin lebih. Tapi aku harus meyakinkan diriku
sendiri bahwa Herry telah mencampakkanku. Itu faktanya, itu kenyataannya. Demi
Taufik! Okay, aku mungkin belum tahu kebenarannya. Namun jika ditilik dari
hubungan keduanya yang semakin sering bersama, apa yang bisa aku simpulkan?
Beberapa
kali aku memergoki mereka tengah bersama. Dan aku merasa di khianati oleh
keduanya. Shit!
Tapi
seberapapun aku berusaha membenci Harry, aku tidak bisa. Bayangan wajahnya
masih menari-nari di benakku hampir sepanjang waktu. Senyum lepasnya, gaya
bicaranya, sifat polosnya, gaya makannya. Hhh, aku hanya belum pernah bertemu
orang yang sebebas itu. Demi Tuhan, aku masih mencintainya.
Dan yang
lebih apes lagi, Hendra tidak masuk hari ini, congratullation to me! Aku
bukannya kekurangan teman. Teman-teman sekelasku semua baik padaku, yah seperti
yang kalian tahu karena aku cucu eyang Prawiro. Sedangkan Hendra? Dia bersikap
apa adanya didepanku. Dia tidak pernah berpura-pura ramah didepanku. Dia
berteman denganku tanpa topeng dan tanpa menjilat.
Aku
mengikuti jalannya pelajaran dengan sangat bosan. Mungkin aku sudah sekarat
saking bosannya.
***
Aku membawakan
Hendra beberapa buah-buahan segar. Dia sakit, itu alasan kenapa dia tidak masuk
hari ini. Galih sakit, Hendra juga sakit. Hmm.
“Wah,
jadi ngerepotin Mas Seno niki.”
“Gak papa
kok bu, Hendranya dimana bu?”
“Di kamar
Mas, badannya panas. Uda ibu kasih obat tapi panasnya ndag turun.” Aku sudah
hapal betul dimana letak kamar Hendra. Aku beberapa kali sering main kesini.
“Uda
dibawa ke dokter bu?”
“Dereng
mas.” Bu Kadarsih menjawab dengan agak malu-malu. Aku tahu, pasti karena
masalah ekonomi. Hendra anak sulung dengan 2 adik yang masih kecil. SMP dan SD.
Jadi Hendra harus sering mengalah. Mendahulukan kepentingan adik-adiknya
dahulu.
“Hen. .
.” baru kali ini aku melihat raut wajah Hendra yang pucat. Binar keceriaan sama
sekali tak tampak di wajahnya walau dia berusaha tersenyum saat melihat
kedatanganku,
“Koe tho
Sen!” Aku mengisyaratkan Hendra untuk kembali berbaring saja, ketika dia
berusaha untuk bangkit duduk. Aku memegang dahinya sesaat. Gilak, panasnya
minta ampun. Aku segera keluar sebentar, mencari Bu Kadarsih yang sedang berada
di dapur.
“Bu,
Hendra di bawa ke rumah sakit saja. Panas banget tubuhnya, takutnya sakitnya
bukan demam biasa.”
“Iya sih
mas, tapi. . .”
“Ibu gak
usah khawatir, ntar Seno yang urus administrasinya.”
“Bukan
begitu mas, Hendra itu sudah merepoti mas Seno. Seragam, sepatu, diajak ke
Jakarta. Ibu takut gak bisa balesnya Mas.”
“Bu,
Hendra itu teman Seno. Seno juga gak ngarepin balesan apa-apa. Ya bu? Seno
takut Hendra kena typhus atau demam berdarah.”
Akhirnya
setelah agak berdebat, Bu Kadarsih mau juga membawa Hendra ke rumah sakit. Aku
segera mengurus administrasinya, agar Hendra mendapat perawatan terbaik. Cukup
mudah begitu mereka tahu namaku. Seperti yang kalian tau, derajat, harta,
pangkat bisa membuat semua urusan cepat selesai. Indonesia, atau mungkin bahkan
di seluruh dunia.
Seperti
dugaanku, Hendra terkena typhus. Dia akan dirawat beberapa hari disini.
“Makasih
Mas Seno, makasih. Ibu . . .”
“Uda bu,
yang penting Hendra sembuh dulu.” Bu Kadarsih mengangguk. Aku membuang nafas
sesaat. Dulu, mungkin jika aku dan Herry tidak pacaran dan putus begitu saja.
Mungking, hanya mungkin kita bertiga masih akan terus bersama. Apa ini
konsekuensiku karena terlalu memaksa Herry untuk jadi pacarku waktu itu?
Kasihan
Hendra, dia bahkan belum tahu kenapa aku dan Herry tiba-tiba seperti orang
asing. Namun mungkin aku tak kan menceritakannya, aku tak bisa kehilangan orang
yang aku sayang lagi.
Setelah
agak sore, aku pamit pulang. Bagaimanapun juga aku tidak ingin membuat mama dan
papa khawatir. Aku menyempatkan untuk membeli buah-buahan lagi. Yang ini untuk
Galih.
Aku
menyenderkan kepalaku di atas stir. Apakah aku mulai jatuh cinta pada Galih?
Apakah mungkin? Hh, aku tidak ingin terburu-buru menyimpulkan. Aku juga tidak
ingin sakit untuk yang kedua kalinya.
***
Setelah
beres mandi, aku pergi ke belakang, ke kamar Galih tentu saja. Kalian jangan
berpikir kalau aku ingin mengintipnya lagi, aku hanya ingin menyerahkan
buah-buahan yang tadi aku beli. Itu saja kok. Pintu kamar Galih terbuka dan aku
melihat Lek Tukah sedang menyuapi Galih. Separah itu ya? Kok mama papa gak bawa
Galih ke rumah sakit sih?
“Lho Mas
Seno, mlebet tho mas.” Lek Tukah yang menyadari kehadiranku langsung
mempersilakan aku masuk. Sedangkan Galih hanya menghadiahi aku senyum tipis.
Galih ganteng. Titik.
“Iya Lek,
ini Seno bawa buah-buahan buat Mas Galih.”
“Aden,
maaf jadi ngrepotin.”
“Gak papa
kok mas, tadi sepulang sekolah Seno sekalian beli.” Aku berdiri mematung. Hanya
melihat Lek Tukah yang dengan teliti menyuapi Galih. Sepertinya Lek Tukah sudah
menganggap Galih seperti anaknya sendiri. Apalagi terakhir ini Galih mengatakan
kalau dia memang sudah tidak mempunyai sanak saudara sama sekali. Yang entah
mengapa, aku tidak bisa mempercayai ucapannya. Entahlah, hanya saja kekikukannya
semakin membuatku yakin jika dia memang tengah berbohong.
“Aduh,
masakanku! Mas, tolong suapi Galih mas. Lek lupa belom masak buat makan malam.”
“Iya
Lek.” Lek Tukah langsung bergegas keluar. Canggung. Itu yang aku rasakan.
“Uda Den,
biar saya makan sendiri.” Aku tergagap.
“Gak papa
mas, Seno suapin. Mas Galih masih lemas gitu.” Mungkin karena keadaannya yang
memang masih lemas, Galih menurut saja.
Aku grogi, deg-degan. Saat suapanku sudah masuk ke mulut Galih dan entah
mengapa dia tidak melepaskannya. Aku menatap matanya, dan fatal! Karena Galih
juga tengah menatapku. Tatapannya sangat intim?
“Saya
suka sama Den Seno.” Kata-kata itu meluncur mulus dari bibir Galih dan membuatku tercekat. Dan tidak butuh
lama hingga bibirnya menempel di bibirku. Melumatnya dengan sarat rindu. Dan
aku. . . menikmatinya? Apakah itu artinya aku juga menyukai Galih?
Ciuman
itu berakhir. Aku bersyukur tidak ada yang memergoki kami berdua, mengingat
pintu kamar Galih yang masih terbuka lebar. Wajahku memanas dan aku yakin sudah
semerah tomat rebus.
“Maafin
saya den, saya gak bisa nahan diri.” Aku masih diam. Dan dengan diam pula aku
tinggalkan kamar Galih begitu saja.
Aku
bingung, aku tak tahu harus berbuat apa. Aku suka Galih? Sepertinya iya. Tapi
aku masih mencintai Herry! Come on! Herry udah nendang lo! Ngapain lo masih
ngarepin dia?
I know, I
am just. . . . argggggggggh!! Let me die now!!
***
Untungnya,
Galih masih sakit. Kenapa aku bilang untung? Aku hanya belom siap bertemu
dengannya. Sejak kejadian dia menciumku, aku jadi terus memikirkan perasaanku
untuknya. Aku akan move on. Aku janji pada diriku sendiri akan hal itu. Aku
sudah menghapus semua foto-foto Herry dari handphone ku. Tapi belum dari
laptopku. Okay, okay ini tidak adil. Tapi kan move on itu harus dilakukan
secara bertahap. Betul tidak?
Oh God,
aku jadi teringat peristiwa di kali kedu. Maksutku, aku bahkan belom pernah
melihat Herry dalam kondisi ereksi!! Apa yang sedang aku pikirkan? Pikiran
mesum macam apa ini?
Aku masih
mengikuti jalannya pelajaran hari ini dengan malas. Aku tidak sabar menunggu
jam pulang dan langsung tancap gas ke rumah sakit. Bagaimanapun juga, Hendra
adalah salah satu orang yang bisa bikin aku membaik. Dia mood boosterku.
Hingga
saat ini aku masih bersyukur atas kota ini yang anti macet. Berjalan dengan
gontai di koridor rumah sakit dan sedikit risih dengan tatapan-tatapan ingin
tahu di sekitarku.
Aku
membuka kamar Hendra dan viola!! Ada Herry disana. Dia juga sama kagetnya
denganku. Okay, it’s time to calm. Jangan sampai Herry berpikir kalau aku masih
mengharapkannya. Cuih! BIG NO.
“Gimana
Hend kondisi lo?” aku kentara sekali berusaha mengabaikan dan mengacuhkan
makluk hitam manis yang jelas-jelas ada disitu. Tunggu, apa tadi aku bilang
Herry itu hitam manis? Setidaknya kenyataannya memang begitu.
“Kata
dokter besok uda boleh pulang Sen. Matur nuwun Sen. Aku berutang banyak sama
kamu.”
“Uda lah,
lo fokus buat sembuh aja dulu. Oke?”
“Sip
bos!!” setelah itu aku dan Hendra terlibat obrolan yang seru. Lebih tepatnya,
aku yang banyak cerita. Aku hanya tidak ingin menoleh ke samping dan melihat
makluk yang sangat seksi dan juga masih aku cintai itu. Ingat, bahwa aku harus
move on. Aku harus move on. Aku harus move on.
“Sen, aku
pengen ngobrol mbek koe.” Deg. Ini pertama kalinya Herry mengajakku bicara. Aku
menoleh, memasang wajah sekalem mungkin. Mungkin aku bakalan dapet Grammy.
“Ngobrol
apaan?”
“Bisa
ikut aku sebentar? Gak popo kan Hend, koe tak tinggal dhilit?” kata Herry yang
ditujukan untuk Hendra. Aku menggeleng kuat-kuat, memberi isyarat agar Hendra
berkata tidak. Harapanku kandas karena Hendra mengangguk dengan antusias.
Mungkin Hendra berpikir bahwa aku dan Herry akan baikan dan tidak bakal musuhan
lagi.
Sebelum
keluar kamar, aku memelototi Hendra yang dibalasnya dengan cengiran lebar.
“Kantin?”
tanya Herry tanpa menoleh ke arahku.
“Kantin
rumah sakit? Mungkin kamu punya ide lebih buruk dari itu? Aku menyukai gagasan
lain. Kantin pemakaman mungkin?”
Herry
tertawa. Tawa yang sama yang dulu sangat memikatku. Sekarang pun masih sama, masih
membuat dadaku bergemuruh tanpa kendali.
“Kita ke
depan aja, make motorku aja. Biar gampang.” Aku mengangguk. Biar urusan ini
cepat selesai, biar apa yang dia mau obrolkan ini cepat kelar. Dan aku bisa
kembali fokus untuk move on.
Dia
mengajakku makan nasi goreng. Enak, aku menyukainya. Herry memang tau cara
menyenangkanku. Dari dulu. Seandainya. . . ah, sudahlah!
“Mau
ngomongin apaan kamu?”
“Makan
dulu aja. Aku gak buru-buru kok.” Aku mengunyah dengan geram. Mungkin kamu
enggak buru-buru. Tapi aku jelas terburu-buru. Menghabiskan waktu yang lama
dengan mantan pacar, ditambah lagi aku masih mencintainya itu hanya akan
menimbulkan satu masalah. Harapan semu. Ya! Harapan kalau dia mau ngajak
balikkan, harapan kalau dia ternyata masih cinta, dan aku tidak mau itu terjadi
denganku. Tidak, terima kasih.
“Aku
kangen kamu.” See? Tiga suku kata yang diucapkan Herry barusan mampu membuat
aku berhenti mengunyah sebentar, mendongakkan kepalaku, menatap Herry dengan
pandangan tidak mengerti. Apa maksut dari aku kangen kamu? Bukankah dia sendiri
yang menyuruhku untuk bahagia walau tanpa dia?
Lalu
sekarang apa? Dia ingin aku menampar diriku sendiri dari kenyataan bahwa aku
sama sekali tidak bahagia tanpa dia? Seperti itukah? Kalau boleh jujur ya! Aku
memang terlihat merana tanpa Herry dan apakah aku juga kangen Herry, jawabannya
juga YA! Aku kangen Herry, aku kangen dipeluk dia, aku kangen mencium aroma
tubuhnya.
“Makasih.”
Kataku gugup dan pura-pura melanjutkan acara makanku. Aku tidak akan membalas
dengan kata-kata, aku kangen kamu juga. Terlalu melodramatis. It’s real life.
Tidak
banyak yang aku perbincangkan dengan Herry, hanya saja aku menikmati waktu
bersamanya. Walau tanpa banyak mengobrol namun aku sangat bahagia? Aku tidak
tau, aku seperti menemukan diriku yang dulu. Ah, entahlah.
Herry
mengantarku hingga gang depan. Setelah aku turun secapat kilat dia mencium
bibirku. Nafsu, rindu, hasrat berbaur jadi satu. Aku merasakan itu. Dia
melepaskan ciuman kita setelah kurang lebih 10 menit. Nafasku dan nafasnya
terengah-engah.
“Ake
beneran kangen sama kamu. Aku hampir gila tanpa kamu.” Itu kata-katanya sebelum
akhirnya wajahnya menjadi agak pucat. Aku menoleh dan kulihat ada Taufik
disana. Kenapa?
Oh,
apakah Herry takut terpegok selingkuh denganku? Ironis sekali. Bukankah mungkin
mereka dulu yang selingkuh dibelakangku. Mungkin.
“Maaf,
aku pulang dulu.” Dan tanpa menunggu jawabanku, Herry langsung tancap gas. Ada
apa? Jika memang benar Herry dan Taufik mempunyai hubungan spesial dan Herry
takut kepergok Taufik lalu kenapa ekspresi Herry berlebihan? Okay, mungkin
hubungannya dengan Taufik akan putus atau apa-jika mereka memang mempunyai
hubungan khusus. Namun ekspresi Herry tadi lebih ke takut? Dan kalah? Kenapa?
Ada sesuatu yang tidak aku tahukah dibalik Herry yang mencampakanku begitu
saja?
Dan
Taufik terlibatkah?
Aku jadi
teringat kata-kata Taufik yang menyuruhku untuk mengakhiri hubunganku dengan
Herry. Dan beberapa hari kemudian, Herry bersikap aneh padaku. Tidakkah ini
sangat berhubungan? Ya Tuhan! Apakah Herry diancam?
Aku
melangkah dengan gontai.
“Darimana
kamu dek sama Herry?” aku menatap Taufik sepintas dan menjadi muak karenanya.
Aku membenci Taufik saat pertemuan awal kita dulu. Sepertinya, sekarang aku
akan lebih membencinya.
Aku
mengabaikannya dan tidak menjawab pertanyaannya. Aku benci Taufik, entah untuk
alasan apa. Hanya saja, kemungkinan bahwa Herry diancam agar menjauhiku itu
sangat besar. Maksutku, dari ciuman Herry tadi saja aku masih merasakan cinta
yang begitu besar. Rasa mendamba dan rindu. Aku yakin itu.
Mama yang
sedang berada di teras rumah memandangiku dengan heran. Aku juga jadi salting
sendiri. Kenapa? Apakah bibirku bengkak karena ciuman tadi atau apa? Kenapa
mama sampai memandangiku begitu?
“Mobil
kamu kemana?” deng! Aku lupa! Masih di rumah sakit! Aduh emak!!
Bersambung
. . .