Aku sudah
diperbolehkan untuk sekolah. Yah, sebenarnya aku sudah sangat bosan sekali di
rumah, jadi aku mengatakan kalau aku sudah merasa mampu untuk berangkat
sekolah. Burungku masih diperban jika kalian mau tahu. Masalah antara aku,
Taufik dan juga Herry belum menemukan titik temu. Aku juga tidak tahu kalau
ternyata Taufik mengompor-ngompori mama dan mengatakan jika Herry itu siswa
kelas satu yang suka bikin rusuh dan juga bodoh. Okay, yang kedua aku nggak
komentar tapi kalau yang pertama aku jelas tidak terima. Manusia kan diciptakan
dengan kemampuan otak yang berbeda-beda. Wajar dong kalau mungkin Herry agak
sedikit kurang dalam pelajaran? Kan bukan salah dia juga kan?
Namun
untungnya mama tidak terprovokasi sama sekali. Menurut mama, Herry itu anak
baik. Selain itu mama juga tidak mempermasalahkan IQ Herry yang tidak genap.
Ha, pacaran kan harus menerima pacar apa adanya. Jiah, bahasanya. Namun aku
sangat bangga dengan mamaku itu, pemikirannya sangat dewasa. Yah, memang
usianya juga sudah dewasa sih.
“Gimana
Sen? Udah sembuh?” Hendra menepuk pundakku dari belakang.
“Yah
lumayan. Udah enakan kena celana.” Hendra Cuma meringas meringis aja. Bulusnya
kayaknya dia pernah ngrasain apa yang aku rasain sekarang.
“Sekrang-sengkring
gitu ya? Perbannya uda dilepas belom?”
“Uda
diganti. Cuma masih belom boleh tanpa perban.”
“Pasti
bengkak.”
“He’eh
dan bentuknya jelek banget!” aku juga nggak ngerti. Sebelum disunat dulu,
tititku unyu-unyu banget lho.
“Itu kan
karena bengkak. Ntar kalau udah sembuh total bakal balik lagi kok. Santai.”
Mungkin memang benar, ini hanya efek bengkak.
“Herry
belom berangkat ya?” Hendra bertanya sambil meletakkan tasnya ke meja dan duduk
dibangku sebelahku.
“Kayaknya
sih gua belom liat dia dari tadi. Kaga masuk kali.”
“Herry?
Nggak masuk?” aku dan Hendra saling pandang sesaat kemudian saling
menggeleng-gelengkan kepala sendiri. Herry memang agak kurang cepat menangkap
materi yang diberikan oleh guru, namun bukan berarti dia pemalas. Setahuku,
Herry belom pernah absen tidak masuk kelas, kecuali kalau dia membolos
bersamaku dan Hendra. Itu tidak masuk hitungan kan? Lagipula itu termasuk dalam
hitungan cuti bersama, versi kami bertiga tentu saja. Kalian kan tahu, pelajar
tidak memiliki hak cuti bersama. Menyebalkan.
Ternyata
Herry memang tidak masuk. Sudah setengah delapan dan guru yang mengajar pun
sudah berkumandang dari setengah jam yang lalu. Aku khawatir, tidak biasanya
Herry tidak masuk tanpa mengabariku atau Hendra. Pikiran-pikiran buruk bahwa
Herry mungkin saja kecelakaan atau apa sempat terlintas di otakku. Aku
mengiriminya sms, terkirim tapi tidak dibalas. Akhirnya dengan menunduk dan
meminta bantuan Hendra untuk sedikit menutupiku aku menelpon Herry.
Sial!
Kenapa tidak diangkat coba? Aku yang tengah gusar dengan jalan pikiranku
sendiri tentang apa yang tengah terjadi dengan Herry dibuat sedikit tersentak
ketika Hendra menyenggol lenganku.
“Apa sih
lo Hen?” aku mengangkat kepalaku dan mendapati tatapan sangar Bu Emi yang tepat
dihujamkan ke dalam manik-manik mataku. Mampus gua!
“Arseno
Erlangga Prawiro silahkan segera meninggalkan kelas dan temui saya saat jam
istirahat.”
“Baik
Bu.” Biasanya aku selalu berdebat dengan hukuman dan aku selalu menang. Tentu
saja karena nama keluargaku, kali ini aku tidak minat. Lagipula aku bisa
mencari Herry. Persetan lah dengan Bu Emi nanti! Itu bisa diatasi oleh Paman
Pri! Aku segera mengirim sms pada Hendra agar dia nanti membawakan tasku kalau
pulang nanti. Aku segera menuju parkiran dan menghidupkan mesin mobilku. Secara
resmi memang aku belom dibelikan mobil oleh papa dan mama. Ini mobil eyang dan
karena eyang hari ini tidak ada agenda keluar rumah, eyang menyarankan agar aku
membawa mobilnya demi keselamatanku. Eyang memang lebay!
Jujur aku
memang tidak begitu suka dengan mobil besar seperti ini. Merepotkan! Dan
guncangannya kerasa banget kalau Cuma sendirian naikinnya. Pencarian pertamaku
jelas ke rumah Herry. Satu yang aku syukuri, mobil besar ini muat masuk gapura
kampungnya Herry. Segera aku parkirkan mobil ini di halaman rumah Herry yang
cukup luas. Cukup ragu-ragu juga sih buat mengetuk pintu, namun akhirnya aku
membulatkan tekad untuk mengetuk. (halah, bahasanya itu lho).
“Lho mas
Seno? Ndak sekolah tho mas?” Ibunya Herry langsung bertanya begitu tahu tamunya
adalah aku.
“Hemm,
Herry ada bu?”
“Lho
Herry sudah berangkat dari tadi pagi mas.” Eh? Herry berangkat sekolah? Tapi
kenapa batang hidungnya sama sekali tidak tampak di sekolah tadi?
“Oh
begitu bu. Kalo gitu Seno pamit dulu bu.”
“Lho iki
piye tho? Herry mbolos ya mas?”
“Engga
kok Bu, Seno yang telat bangun. Kirain Herry masih di rumah.”
“Oh gitu!
Mas Seno iki ono-ono wae.” Aku hanya melempar senyum ringan menanggapi ucapan
Ibunya Herry. Aku bingung! Mesti nyari kemana aku? Herry, kenapa sih sms ku
nggak kamu bales sama sekali? Mending aku pulang! Tapi bagaimana kalau Herry
kecelakaan di jalan? Secara itu anak kan kalau bawa motor suka ngasal. Moset (
Motor Setan). Gila, pacarku satu ini bikin aku khawatir setengah mampus! Aku
harus mencari kemana? Alun-alun? Ya, sapa tau pacarku itu suntuk belajar terus
nongkrong di alun-alun.
Segera
aku melajukan mobilku ke alun-alun. Enaknya kota ini adalah bebas macet, mau
pagi, siang ataupun malam lancar jaya.
Haha.
Ternyata
nihil, Herry tidak berada di alun-alun. Oya, tempat pertama dia ngajak aku
kencan! Pasti disana! Aku agak sedikit kencang melajukan mobilku. Mengabaikan
goncangan tak nyaman ketika ban mobilku berciuman dengan lobang jalan. Dan
hasilnya? Tetap Herry tidak tampak. Shit! Mendingan aku pulang sajalah. Kota
sekecil ini kalau ada kecelakaan pasti langsung tersebar. Lagi pula aku juga
sudah males balik ke sekolah, ketemu Bu Emi yang mau ngomel-ngomel? Engga ah,
makasih!
Mamaku
sedang merawat tanaman bunga-bunganya di depan ketika aku turun dari mobil dan
langsung masuk rumah. Pikiranku kacau dan aku ingin tidur. Sedikit istirahat
mungkin akan membantuku cepat relax.
***
Seharian
kemarin aku sama sekali tidak mendapat kabar dari Herry, entah untuk apa alasan
dia. Karena dia toh menghubungi Hendra. Dan Hendra lah yang mengabarkan
kepadaku jika Herry baik-baik saja. Apa coba maunya si Herry? Aku juga sudah
siap-siap marah ketika aku melihat Herry baru saja memasuki kelas.
“Her!
Kamu kok. . .”
“Res,
ijolan tempat duduk! Tak bogem koe nek ra gelem!” potong Herry tanpa
mengindahkan ucapanku. Tukeran tempat duduk? Berarti Herry memilih untuk
menjauhiku. Ada apa dengannya? Aku salah apa? Menjengkelkan! Aku perlu bicara
dengan Herry! Harus.
Ketika
istirahat pertama tiba, aku langsung menarik Herry tanpa mengindahkan Hendra.
Aku membawa Herry ke halaman belakang sekolah, tempat yang biasanya jarang
sekali dilalui oleh para siswa.
“Kamu
kenapa sih?”
“Kenapa
opo tho?” Herry menjawab dengan kalem. Sangat kalem sehingga membuatku tergoda
untuk menonjoknya.
“Menghindariku!
Mau kamu apa Her?”
“Gak mau
opo-opo.”
“Aku kan
pacarmu!” Aku sedikit lirih untuk kalimat ini. Takut ada orang lain yang
mendengarnya.
“Pacar?
Kan kamu yang maksa aku jadi pacarmu! Wes ah, aku mau balik ke kelas.” Shit!
What’s wrong with him? Dia jutek amat.
Sepanjang
pelajaran aku tidak bisa konsentrasi. Aku sekali lagi ingin tahu kenapa Herry
menjadi sedingin freezer kepadaku, namun melihat kecuekkan dan betapa dinginnya
tadi dia menyikapiku aku tidak mau lagi bertanya. Tengsin! Jadi satu-satunya
solusi aku harus menyelidikinya sendiri. Tanpa sepengetahuan Herry tentu saja.
Tengsin dong kalau ketahuan aku masih ngarep. Dia cuek, aku juga harus bisa
pura-pura lebih cuek. Sebodo amat!
“Hen, yok
kantin!” ajakku pada Hendra yang baru saja selesai merapikan catatannya.
“Oke, lha
Herry diajak ora?”
“ENGGA
USAH!!” aku memang sedikit berbicara agak keras. Bukan supaya Herry juga
mendengarkannya, tapi aku memang agak kesal. Hendra hanya bisa mengikutiku
dengan wajah heran. Heran melihatku yang bener-bener terlihat cuek dengan
Herry, begitupun sikap Herry denganku. Namun bukan berarti aku cuek
sedalam-dalamnya. Di luar aku cuek, namun didalam hati aku kangen banget sama
Herry. Aku uring-uringan tentu saja. Namun itu semua tidak menyurutkan nafsu
makanku. Hati boleh galo, tapi makan musti kudu harus tetap jalan!
“Koe ada
apa tho sama Herry?”
“Nggak
ada apa-apa Hen, santai aja.”
“Yakin?
Lha kok kayak cuek-cuekkan gitu?” aku melirik Herry yang sengaja makan tidak
jauh dariku.
“Mboh lah
ra weruh!!” jawabku sedikit emosi. Hendra tertegun sesaat mendengar ucapanku.
“Tumben
kamu pake bahasa jawa. Emang udah ngerti?”
“Ngerti
sih ngerti tapi kalo mau ngomongnya aku agak belibet.”
“Herry
ngelirik kita terus lho.” Kata Hendra sambil dagunya diangkat ke arah tempat
Herry duduk.
“Biarin
aja, engga usah digubris!” Mungkin aku sakit hati atau apa dengan kecuekkan
Herry tadi. Pokoknya aku harus menyelidikinya. Ada apa dengan Herry? Kenapa
tingkahnya jadi brengsek begitu?
“Sen,
ngko kancani aku ya?” Hendra sedikit membuyarkan lamunanku.
“Kemana?
Ngapain?”
“Nemuin
kakak kelas, mau ngebahas soal HUT sekolah kita.”
“Hah?
Sekolah kita ulang tahun? Kapan?” Aku mungkin hanya satu dari banyaknya kelas
satu yang tidak tahu kalau sekolah ini mau ulang tahun sebentar lagi.
“Masih
sekitar satu bulan lagi. Ntar aku itu mau ngambil pengumuman resminya. Sekalian
kita mau bahas kelas kita mau nampilin opo gitu.” Aduh aku jadi ngerasa engga
berguna banget jadi ketua kelas. Tapi beberapa hari ini kan aku emang enggak
masuk jadi wajar lah aku kurang begitu ngerti situasinya.
“Ues,
teko tenang Sen!! Aku kan wakilmu, berarti selama koe enggak masuk, semua udah
aku handle kok!” Hendra emang wakil ketua kelas. Tapi dia juga termasuk anggota
OSIS, sehingga wajar dia tahu lebih dulu event-event yang akan diadakan di
sekolah dibandingkan aku.
“Oke,
ntar aku suruh anak-anak jangan pulang dulu. Kita rapat sekalian mau nampilin
apa, walo paling banter juga band!”
“Hampir
semua kelas pasti ngluarin Band Sen! Jadi kalo bisa yang beda dikit lah.”
Akhirnya aku dan Hendra ngobrol ngalur ngidul tentang konsep nanti. Bahkan aku
jadi tidak sadar dengan mata Herry yang masih mengamati kita dengan seksama.
Ada tiga
dari banyak pendapat yang memiliki suara tertinggi. Ada Band, Drama dan Tarian.
Seru juga debat kayak gini. Karena sepuluh menit kemudian, Band resmi dicoret.
Tinggal Tarian dan Drama. Engga butuh waktu lama untuk kita nentuin apa yang
bakal kita tampilkan untuk HUT sekolah kita, apalagi kita masih kelas satu.
Harus bisa tampilkan yang berbeda.
Kita
memilih Tarian, terinspirasi dari iklan rokok di televisi, kita bakal gabungin
tari warok, modern dance, street dance dan juga salah satu tari tradisional
daerah sini. Konsepnya sudah dapat. Dan tanpa disuruh, banyak anak yang sudah
mendaftarkan dirinya. Salut!! Karena setahuku anak-anak paling malas kalau
disuruh tampil. Aku? Aku ikut bagian jadi penari. Hhh, sudahlah, pasti bakal
menyenangkan nantinya. Sekalian bisa mengendapkan pikiranku sementara dari
Herry. Karena dia memilih untuk tidak terlibat langsung.
***
Aku, Hendra
dan Aris tengah berdiskusi dengan salah satu pelatih sanggar tari di kota ini.
Rencananya, kita minta diajari tari warok. Kalo street dancenya kebetulan aku
mempunyai video pelatihannya, dan aku sudah hafal diluar kepala
gerakan-gerakannya. Lagian di kota sekecil ini, street dance pasti belum begitu
booming. Paling yang mereka tahu hanya kuda lumping. Kita bakal mencampurkan
dua jenis tarian ini.
Finnally,
kita bisa juga ngebuat mas-mas ini mau mengajari kita dengan harga yang
bersahabat. Karena ternyata teman-teman sekelasku menolak untuk menggunakan
uangku. Jadi resmi ini menggunakan uang khas kelas. Sepulang sekolah kita
latihan, hingga sore bahkan tidak jarang hingga larut. Memix musik yang bakal
kita gunakan untuk tarian unik ini. Bahkan anak-anak sekelasku yakin kalau
kelas kitalah yang paling beda. Karena lainnya rata-rata mengeluarkan band.
Total tarian kita berdurasi 25 menit. Lumayan kan? Makanya kita butuh stamina
yang cukup. Dan Herry? Hubunganku dan dia masih menggantung tidak jelas. Entahlah,
aku tidak tahu. Aku akan berkonsentrasi pada masalah itu nanti. Jangan sampai
mengganggu event ini. Aku udah excited banget pengen segera tampil.
Semakin
hari gerakan kita uda kebentuk dan enak dilihat. Aku saja berdecak kagum
melihat rekaman saat-saat kita latihan. Kebersamaan, kerjasama, disiplin waktu,
benar-benar sesuatu yang tidak murah. Tinggal lima hari lagi, aku dan Hendra
juga sudah sibuk membahas kostum. Karena kebetulan penarinya laki-laki semua,
kita memutuskan kostum yang simple dan jauh dari kata ribet. Hahaha, aku kan
bisa pamer otot-ototku yang sudah semakin jadi juga kulit putihku. Hahaha.
Mau tahu
sesuatu? Aku adalah anak lelaki terputih disekolah ini! Tidak percaya? Itulah
kenyataannya! Embel-embel bahwa aku adalah ‘anak ibu kota’- sepertinya mereka
masih saja tidak bisa membedakan antara Tangerang dan Jakarta. Aku juga harus
memakluminya. Bagi mereka aku dari dan besar di kota besar, maka enggak heran
hampir semua gaya berpakaianku dicontek abis-abisan. Titik.
***
Aku
tengah berkutat dengan laptopku diteras rumah. Melihat-lihat hasil rekaman saat
kita latihan. Kadang aku tertawa sendiri, lalu kemudian wajah itu tanpa sengaja
ke shoot. Herry. Desir kangen di dadaku semakin nyata. Sudah berapa hari aku
tidak mengobrol dengannya? Padahal kita baru saja jadian. Dan tanpa aku tau demi
alasan apa Herry mengabaikannku dan mencampakkanku begitu saja.
“Hei,
anak mama kok bengong?” Mamaku menepuk pundakku dari belakang.
“Haha!
Mama ngagetin aja! Seno engga bengong ma.”
“Kalo
engga bengong trus ngapain? Nih, tadi Lek Tukah bikin kue kering lho. Mau
nyobain engga?” aku memandangi toples kecil yang berada di tangan kiri mamaku.
Berisi kue kering yang sepertinya enak untuk disantap.
“Bagi
donk ma.” Mamaku langsung nyengir dan mengulurkan toples kecil itu agar mudah
aku raih. Akhirnya mama juga jadi nanya-nanya tentang sekolahku. Dan dengan
excited aku menceritakan tentang HUT sekolahku, dimana nantinya wali murid juga
bakal diundang. Aku juga memperlihatkan rekaman-rekaman saat kita semua pada
latihan.
“Keren
lho! Gagah gitu tariannya. Itu si Herry kok jarang main kesini sekarang Sen?”
aku tergagap sendiri dengan pertanyaan mamaku. Aku tidak mungkin menjelaskan
yang sebenarnya. Karena aku juga tidak tahu alasan sebenarnya kenapa Herry
menjauhiku begitu saja.
“Woey,
tumben nih ibu dan anak kompakkan ngrumpi di teras.” Papa muncul dari pintu
depan sambil membawa koran.
“Kata
siapa Pa tumben? Kita kompak selalu ya Sen?” aku hanya meringis kecil mendengar
perkataan mamaku dan segera duduk disamping papaku.
“Mana nih
Pa mobilnya Seno? Seno kan udah sunat, udah sembuh malah! Tapi mobilnya engga
dibeli-beliin juga!”
“Kata
siapa belom dibeliin? Sini kamu ikut Papa!” aku berjalan mengekor dibelakang
papaku. Papaku mengajakku ke halaman belakang, emang sih selama aku mengikuti
pelatihan tari warok, aku jadi jarang memperhatikan lingkungan rumah eyang. Dan
sekarang mataku benar-benar tidak percaya dengan apa yang aku lihat sendiri.
“Itu
mobil Seno?” aku masih tidak mempercayainya. Sungguh. Toyota Camry keluaran
terbaru dengan modif keren. Warna biru pulak. I love my first car!
“I love
you Pa.”
“Jadi
Cuma sama papa doang nih I love you nya.” Aku meringis kecil sebelum akhirnya
memeluk mamaku yang cantik ini.
“Seno
sayang mama.”
“Mama
juga sayang kamu nak. Nih kuncinya, kamu cobain gih!! Dijaga ya sayang.”
“Pastinya
donk mam!”
Dengan
engga sabar aku segera masuk kedalam mobil baruku. Aku yakin mama dan papa
sudah beliin mobil ini lama untukku. Memodifnya menjadi seperti ini engga
cepat. Orangtuaku emang bener-bener ngerti gimana seleraku. Dengan hati yang
masih kebat-kebit, aku melajukan mobilku ke rumah Hendra. Dia juga harus ikut
ngrasain betapa happynya aku sekarang ini.
Namun
senyumku pudar begitu tahu ada motor Herry didepan rumah Hendra. Ngapain Herry
di rumahnya Hendra? Aku memutuskan untuk mematikan mesin mobilku dan pergi
mengendap-endap tepat disamping rumah Hendra agar aku bisa menguping
pembicaraan mereka. Lagipula, mereka kan belom ada yang tahu mobil baruku, jadi
tidak akan menyangka kalau itu aku. Jadi deg-degan gini.
“Mosok
Seno gak nakok ake kabarku sih Hen?”
“Lha
emang ora kok Her! Lagian nopo tho koe musuhan mbek Seno?” Ha? Maksutnya apaan
tuh? Jadi Herry ngarep aku nanyain kabar dia lewat Hendra gitu? Berarti dia
masih ada feeling dong pastinya? Trus kenapa dia jauhin aku? Tanpa sadar aku
jadi garuk-garuk kepala sendiri.
“Jahat
banget tho Seno kiey!”
“Sing
tegel kiey koe Her! Seno salah opo sih sampe koe cuek banget koyo gak kenal?”
“Urusan
pribadi ah! Ues ya, aku balik dhisik! Suwun lho PR’e.”
“Yoh, ati-ati
Her!” aku memastikan motor Herry sudah hilang dari pandangan sebelum aku
akhirnya keluar dan mengetuk pintu depan rumah Hendra. Engga perlu menunggu
waktu lama hingga akhirnya Hendra membuka pintunya dan memasang wajah bingung.
“Ono opo
Sen? Tumben kamu main sini.”
“Ikut gua
test drive!” kataku cepat sambil menarik tangan Hendra.
Bersambung.
. .