Aku masih mengamati
wajah keduanya bergantian.Taufik maupun Bu Marini sepertinya belum tergugah
untuk menceritakan sesuatu padaku.
“Mas Angga beneran
nggak ingat apa-apa?” Ya Tuhan, jadi
sekarang semua orang sepertinya menyalahkanku karena memori otakku yang jelas
tidak mengingat apapun itu yang berkaitan dengan Taufik. Tapi hei, aku kan
masih tiga tahun waktu itu!
“Aduh Bu, waktu itu
kan Seno masih tiga tahun.” Aku seperti ingin menjelaskan bahwa mengharapkan
ingatan dari anak seusia tiga tahun itu sangat tidak mungkin.
“Tapi Mas Angga sudah
tau kalau Ibu itu. . .” aku mengangguk. Aku mengerti lanjutan dari kalimat Bu
Marini. Jadi sekarang Bu Marini pun ikut-ikutan manggil aku Angga.
“Erlangga itu nama
anak Ibu. Adik kandung Adi.” Bu Marini menarik
nafas panjang. Aku juga belum sepenuhnya paham.Taufik punya adik?
“Tadinya nama Mas Seno
itu hanya Arseno Prawiro. Erlangga dan Mas Seno lahir bersamaan, namun Erlangga
. . .”
“Erlangga meninggal. Dia tidak menangis
sewaktu dilahirkan karena ternyata dia sudah tidak ada.” Taufik melanjutkan kalimat
Bu Marini yang terhenti. Sementara itu Bu
Marini terisak-isak. Mengingat bahwa anak
bungsunya tidak sempat tumbuh besar. Aku tidak tahu harus
bersikap bagaimana, masalahnya aku benar-benar blank.
“Eyang Prawiro
menambahkan nama Erlangga di tengah nama kamu untuk mengingat anak ibu. Sewaktu
Mama kamu meminta Ibu untuk menyusui kamu, Ibu bahagia sekali. Mas Seno itu
sudah Ibu anggap seperti Angga, anak ibu sendiri.” Aku jadi teringat
samar-samar saat dulu aku masih berusia enam tahun, aku yang dulu sampai
menangis histeris saat Bu Marini mendekat padaku.
“Aku kesal sama kamu
Sen! Dulu kamu ketakutan sekali melihat ibuku! Padahal ibuku hanya mau memeluk
kamu!” Jadi mungkin ini menjelaskan kenapa Taufik sepertinya kesal
sekali waktu pertama melihatku disekolah dulu. Sekali lagi aku ingin
mengingatkan mereka bahwa waktu itu aku kan masih kecil. Masih sangat kecil
malah.
“Oya, Mas Seno sudah
makan belum?” aku tersenyum kecil.
“Ibu boleh manggil
Seno, Angga kok.” Dan aku sedikit melihat
senyum cerah di wajah Bu Marini dan juga Taufik.
“Bener iki Mas?” aku
mengangguk. Minimal untuk menebus dosa aku semasa kecil dulu. Walaupun kalau aku mau
berdebat juga aku tidak salah. Aku kan masih kecil! Haruskah aku mengingatkan
itu berkali-kali? Akhirnya sikap Taufik
padaku benar-benar mencair, dia sepertinya mulai tidak nyinyir lagi. Bahkan eem terkadang
menjadi sangat memanjakanku. Terserah deh!
“Udah hampir malem nih
Bu, Angga pamit dulu. Takut dicariin mama.”
“Aku antar ya?” Taufik langsung mengajukan
diri.
“Nggak usah Mas Adi. Angga bisa pulang
sendiri.” Kilahku. Pasti nggak dapet
banget feelnya kalau aku pulang diantar Taufik.
“Sudah Mas Angga, biar
Adi yang nganter!” akhirnya setelah berdebat kecil aku mengalah juga untuk
diantar oleh Adi. Perjalanan terasa
lebih sepi, bahkan lebih sepi dari tadi waktu aku berjalan sendiri. Kalau aku berjalan
pulang sendiri, minimal aku bisa dengerin music lewat earphone. Lah kalo berdua gini?
Aku kan nggak enak kalau mau pasang earphone di telingaku.
“Besok kamu masuk
sekolah kan Dek?” aku mengangguk. Ya iyalah besok masuk. Memangnya besok
tanggal merah apa?
“Bareng Mas saja ya?”
oh iya ya. Yang bakal antar jemput aku ke sekolah sekarang nggak ada.
“Angga bisa sendiri
kok Mas. Ntar biar diantar mama.”
“Lah bukannya mama
kamu itu ribet banget ya kalau pas pagi?” aku juga sadar fakta itu.
Mamaku
memang sepertinya tidak mungkin mengantarkanku ke sekolah. Pasti banyak alasan
nanti. Sedangkan kalau ikut papaku, itu sama saja meracuniku. Papaku itu
berangkat ke kantor tempat gudang padi itu pagi banget barengan Paman Pri. Lek Tin? Nggak mungkin dia bisa
pakai mobil atau motor. Berangkat sendiri?
Usiaku saja masih belum genap lima belas, jangankan SIM, KTP saja masih belum
ada.
“Iya deh Mas.” Kataku akhirnya. Dalam keheningan
akhirnya aku sampai juga dirumah eyang.
“Mampir dulu yuk Mas.”
“Nggak usah, salam
saja buat eyang sama papa mama kamu.” Aku hanya mengangguk
dan tersenyum kecil sambil mengamati langkah Taufik yang semakin menjauh. Hari ini? Perasaanku
acak adut!
***
Hendra dan Herry masih
duduk melingkariku dengan tatapan bertanya dan tidak percaya. Yah, Taufik tidak
hanya mengantarku sampai sekolah, dia juga menyempatkan diri untuk
mengantarkanku hingga pintu masuk kelasku yang menurutku ‘enggak banget’. Dan jelas kejadian
tadi langsung membuat Hendra dan Herry menghampiriku. Mereka sepertinya
ingin tahu kisah dibalik baikanku dengan mantan musuhku itu.
“Kok bisa?” ini yang
pertama kali keluar dari bibir Herry.
“Edan!” ini dari mulut
Hendra.
“Nggak usah ngeliat
gue segitunya. Emang gue alien apa!”
“Kok kamu bisa bareng
Taufik? Piye ceritane kui!”
“Taufik itu anak
lelakinya Pak Karyo.”
“Hah? Jadi Taufik jadi
sopir kamu tho saiki?” aku menggeleng pelan. Gila ya nih dua anak, pikirannya
konslet mulu.
“Kaga! Lagian kalau
gue mau ngangkot gue belom apal jalurnya! Ya gue bareng Mas Adi lah. Gratis ini.”
“Mas Adi? Ckck, edan tenan kamu
iki Sen!” Hendra sepertinya melebih-lebihkan situasi ini. Herry sepertinya lebih
cuek, karena sekarang dia sudah asik dengan ponselku lagi. Pasti dia sedang
mengagumi fotonya sendiri. Sudah tidak heran! Herry ini selain sok preman, dia
juga narsis tingkat dewa.
“Wah, aku iki jan
mbodi tenan!” aku langsung menonyor kepalanya.
“Hasyah! Paling juga ntar kempes
tu otot!” jawabku acuh tak acuh.
“Wah Sialan kamu Sen! Nih raba sendiri,
ototku tuh asli tau!” kata Herry tidak terima sambil mengarahkan tanganku untuk
meraba-raba otot lengannya. Herry, do not do this. Aku bisa semakin jatuh hati
padamu tau! Namun aku harus akui, otot lenganya memang sudah tampak sempurna. Demikian juga dengan
sixpack perutnya dan kegagahan tititnya. Aduh, kejadian pas di
kali kedu membayang lagi. Sial parah!
“Lo ngapain aja sih
sampai otot lo kayak kuli gini?” kataku bernada bercanda.
“Hehe, aku kan suka
bantuin bapakku nambang pasir kalau sore.”
“Nambang pasir? Gimana
cara?”
“Yo ngono kaelah Sen.
Ngambil pasir dari sungai. Nanti kalau udah
ngumpul banyak bisa dijual.” Aku baru tahu
pekerjaan ayahnya Herry sebagai penambang pasir. Namun, bukannya
penambang pasir itu gajinya kecil ya? Kok kalau dilihat dari rumahnya, Herry
sepertinya bukan anak susah.
“Lo boong ya? Nggak percaya gue bokap
lo sebagai penambang pasir!” Herry langsung
meringis. Tu kan!
“Bapakku yang ngebeli
pasir-pasir yang sudah dikumpulin sama orang-orang Sen. Hehehe.” Ini anak!
Hendra juga nggak ada beda. Itu anak masih menatapku prihatin seolah-olah aku
sedang terkena musibah.
“Tatapan lo tuh ya
Hen, bikin gue ngerasa sebagai orang paling berdosa aja!” Hendra nyengir namun
masih tetap memandangiku dengan pandangan serupa.
“Lah, aku ini masih
heran kok Sen! Kamu kok bisa gitu baikkan sama Taufik.”
“Ya bisa lah. Manusia itu harus
saling memaafkan!”
“Pret! Gayamu iki Sen!” aku
kembali menjitak kepala Herry.
“Foto lo gue hapus aja
dah.” kataku sembari mau merebut ponselku dari Herry.
“Ojo tho. Becanda tadi
tu Sen! Sensi aja kayak perawan.”
“Sial lo!” baru aku
mau menjitak kepala Herry lagi, eh guruku sudah dateng. Semua anak langsung
stand by di bangku masing-masing. Demikian juga Herry yang langsung memperbaiki
posisi duduk dan kursinya yang tadi dihadapkan kebelakang. Anganku kembali
melayang. Aku juga heran kenapa aku bisa sepatuh itu sama Mas Adi sekarang. Mas
Adi? Are you crazy? Mungkin aku memang sudah gila. Namun dari cerita Bu Mar,
aku tahu betapa Taufik menyayangiku dulu. Katanya, Taufik nggak bakal tidur
kalau dia belum melihatku terlelap. Pernah juga karena aku menangis, Taufik
yang waktu itu menjagaku memberiku minum air mentah yang kata Bu Mar membuatku
demam dua hari.
Aku memang belum bisa
dikatakan akrab dengan Taufik. Bagaimanapun aku dan
Taufik mungkin sama-sama membutuhkan waktu untuk akrab. Aku kadang-kadang
masih sering kesal jika mengingat masa-masa dulu waktu MOS. Kenapa Taufik bisa
kejam banget ya? Well, ntar aku bisa tanyakan itu padanya. Lamunanku buyar
ketika aku merasakan Hendra yang beberapa kali menyodok-nyodok perutku. Ini anak kenapa sih?
“Lo ayan ya?” tanyaku
padanya. Hendra hanya diam sambil dagunya memberi sinyal supaya aku menghadap
ke depan. Ternyata Pak Imam tengah menatapku jengah. Waduh, acara melamunku ketahuan ternyata.
“Arseno Erlangga
Prawiro, bisakah kamu menyelesaikan soal nomor satu di papan tulis?” aku
melihat dengan seksama soal itu lalu mengernyit bingung. Kita sudah sampai bab
itu ya? Hendra langsung menggeser buku tugasnya ke arahku. Haduh, Thanks Hen!
You are my best friend! Aku langsung maju sambil membawa buku tugas milik
Hendra. Aduh, mungkin kalau aku bukan cucu eyang Prawiro aku sudah dilalap kali
sama Pak Imam.
“Kamu tadi kenapa tho
Sen?” aku yang tengah mengaduk-aduk es tehku langsung mendongak dan menatap
Hendra heran. Jadi sekarang ini istirahat kedua dan aku bersama Hendra
sedang berada di kantin. Herry sendiri tadi
begitu bell istirahat berbunyi langsung ngeloyor ke toilet.
“Kenapa apanya?”
“Ngalamun! Ndak biasanya kamu
ngalamun.” Hemm, si Herry ke toiletnya lama amat ya. Udah laper banget
lagi.
“Hah, tau nih! Lagi
banyak pikiran aja gue.”
“Pret lah! Pikiran opo hah?” aku
tersenyum garing.
“Jangan bilang kamu
lagi mikir ake kae?” kata Hendra lagi sambil menunjuk ke arah barat. Kepalaku secara
otomatis melihat arah telunjuk Hendra. Ada Taufik yang sedang
berjalan kesini.
“Apaan sih lo!”
“Wajahmu merah lho
Sen. Hahaha.”
“Gue bukan homo tau!” Hendra malah semakin
kenceng tertawa.
“Makan apa dek Angga?”
anjirr, kenapa Taufik harus menyapaku dengan sebutan itu sih. Hendra sudah semakin
nyengir saja.
“Siomay Mas.”Jawabku
singkat.
“Yowes, aku kedalam
dulu ya?” aku hanya mengangguk pelan. Setelah Taufik
kebagian dalam kantin, tawa Hendra langsung meledak.
“Dek Angga? Hhahaha!”
“Asli! Lo semprul banget!”
“Weleh, aku sepertinya
kehilangan momen menarik iki!” Herry yang baru datang
langsung duduk disampingku.
“Iki lho Her! Seno. .
.” belum sempat Hendra merampungkan kalimatnya aku sudah menginjak sepatunya
dengan kekuatan maksimal.
“Buruan pesen! Atau mau gue tinggal?”
kataku mencoba mengalihkan perhatian Herry. Si Hendra masih
mengaduh-aduh. Sepertinya injakanku tadi terlalu keras. Hehehe, syukurin
aja dah! Herry segera bangkit dari tempat duduk dan berlalu ke dalam kantin.
“Sakit Sen!”
“Salah lo sendiri.” Kataku cuek sambil
menatap punggung Herry. God damn it! I love him so much!
***
Aku, Hendra dan Herry
tengah belajar bareng dirumahku. PR hari ini banyak
banget, makanya kita mutusin buat belajar bareng. Ya, tapi salah satu hal
negative kalau belajar bareng bersama teman akrab tu ya kayak yang aku alami
sekarang ini. Banyak becandanya ketimbang ngerjain tugasnya! Baru kelar satu
soal udah cekikak-cekikik. Aduh, gimana mau selesai ini mah!
“Wah jan! budrek iki otakku.”
Herry menyandarkan tubuhnya di sofa.
“Welah, perasaan sing
mikir iki aku karo Seno. Lah kok koe sing budrek tho Her?”
“Hehehe, lihat soale
wae sudah bikin pusing.” Jawab Herry santai. Memang, kebanyakan
yang mikir buat ngerjain itu aku dan Hendra.Tidak ada yang bisa diharapkan dari
Herry soal pelajaran. Dia mah punyanya otot,
nggak punya otak. Hadeh, kok bisa ya aku
jatuh hati padanya? Semoga bukan karena
ukuran tititnya yang wow banget.
“Iki Mas Hendra, Mas
Herry, diunjuk minumannya.” Mbok Dirah meletakkan
minumannya dan juga beberapa toples kecil ke meja. Setelah itu langsung
balik lagi kebelakang.
“Lah, Lek Tukah mana
Sen?” tanya Hendra sambil mengambil minumannya yang diikuti oleh Herry.
“Bantu-bantu di
rumahnya Bu Marini. Mau tujuh harian.” Jawabku singkat. Karena ini hari Sabtu,
Herry dan Hendra berencana menginap dirumahku.Tidur bareng Hendra sih sudah
biasa, tapi bareng Herry? Alamak! Ini pertama kalinya!
“Oh iya ya. Ini sudah seminggu ya? Berarti ntar kamu ikut
tahlilan Sen?”
“Kalian berdua juga
ikut!”
“Beres!” aku dan
Hendra segera menoleh kearah Herry secara bersamaan. Heran saja, kenapa itu
anak diam seribu bahasa dari tadi. Herry yang sadar
tengah ditatap aku dan Hendra segera mendongakkan kepalanya dan memasang wajah
tidak berdosa.
“Hehehe, abis cheese
tick nya enak.” Katanya dengan senyum
garing. Modal otot doang, makannya rakus, kadang sok preman, kenapa
aku bisa suka sih? Cinta memang buta!
“Sampai nomor piro
Hen? Sen?” katanya lagi sok melibatkan diri. Aku dan Hendra secara
kompak langsung menjitak kepala Herry.
“Semprul!” aku dan
Hendra hanya tertawa saja melihat Herry yang mengusap-usap kepalanya bekas
jitakanku dan Hendra. Finally, tugasnya selesai juga walaupun aku harus
mengorbankan setoples penuh cheese tick dan juga sepiring pisang goreng. Herry
memang bikin geleng-geleng kepala kalau soal makan! Setelah mengerjakan tugas,
kita memutuskan untuk memetik buah kelapa disamping rumah. Kebetulan banget, buah
kelapanya sudah tampak hijau dan mengundang. Lah, kalau untuk
urusan yang satu ini, kita baru bisa ngandelin Herry. Itu anak dengan lincah
memanjat, padahal kan tahu sendiri buah kelapa itu nggak ada dahannya. Ciamik
dah pokoknya, Tarzan mungkin kalah saing. Aku dan Hendra dengan
setia menunggu dibawah. Lumayan banget. Udah
dapet tiga buah nih. Setelah dapet lima buah, Herry turun dan langsung membuka
kaosnya.
“Panas banget diatas.”
Shit! Shit! Shit! Herry, do not do this to me! Your body make me horny!
“Tenang aja, kita
bikin es kelapa muda!” tentu saja itu hanya usulku. Yang mengerjakan? Ya jelas Mbok Dirah
lah. Kita bertiga menunggu diteras sambil bercanda. Herry masih belum juga memakai kaosnya. Aduh, bisa
pusing ini kepala saking horny nya ntar. Kita hanya perlu
nunggu sepuluh menit sebelum akhirnya Mbok Dirah datang dengan panci agak besar
dan tiga gelas.
“Niki Mas, ambil
sendiri ya.” Kata Mbok Dirah sambil berlalu ke belakang lagi. Jadi Mbok Dirah hanya
memberi kami sepanci penuh es kelapa muda dan tiga gelas. Mungkin Mbok Dirah
gedeg juga disuruh bikin es kelapa muda. Makanya dikasih panci
segede ini. Memangnya bakal habis ya sepanci penuh gini? Namun sepertinya tidak
butuh waktu lama untuk menjawab pertanyaan itu. Sekarang ini saja,
Herry sudah habis dua gelas dan Hendra satu gelas. Pasti habis deh. Aku hanya menatap dua
sahabatku itu sambil geleng-geleng kepala.
Fiuuh, akhirnya bisa
istirahat juga. Agak gimana juga sih
soalnya aku ditengah dengan Hendra dan Herry disampingku. Acara tahlilan di
rumah Taufik tadi berjalan cukup haru. Jujur saja, aku memang
belum pernah merasakan kehilangan seorang ayah. Tapi melihat sikap
Taufik tadi, aku tahu seberapa luka yang dia alami. Taufik tidak menangis,
dia malah menebarkan senyum kepada para tetangga yang datang. Malah justru itu yang
membuatku merasa tidak tega. Bu Mar menangis
sesenggukan saat menyalami para tamu walaupun pada akhirnya dia masuk kedalam. Ini adalah kali
pertama aku ikut tahlilan tujuh hariannya orang meninggal. Cukup surprised juga
mengetahui bahwa yang datang adalah lelaki semua. Katanya aturannya memang
begitu. Aku baru ngeh, hehe. Aku nggak tau apa-apa sih.
Aku sendiri duduk
bersama papaku, Hendra dan juga Herry. Kita bertiga yang
biasanya cekikikan entah kenapa kali ini diam saja. Herry bahkan tidak
berani mengambil makanan yang sudah dihidangkan begitu tahlilan berakhir. Dia malah menyuruhku
buru-buru untuk pulang. Katanya udah ngantuk
berat lah, kepalanya pening lah. Pokoknya alesannya
macam-macam. Hmm, pasti dia ada yang disembunyikan nih! Nanti dah aku
korek-korek.
Sekarang?Aku malah
tidak bisa tidur. Bagaimana aku bisa
tidur jika orang yang aku cintai tidur dengan pulasnya disampingku? Apalagi tangan
kanannya secara tidak sengaja memelukku. Begitu juga dengan
kaki kanannya yang setengah menindih tubuhku. Deg-degan, senang,
sir-siran juga. Apalagi ya? Pokoknya
tidak bisa tenang deh! Rasanya pengen bales meluk Herry, tapi kok maju mundur
ya? Aduh, pokoknya suasananya tu benar-benar bikin seneng sekaligus deg-degan. Apalagi Herry tidurnya
grasak-grusuk. Dan karena tidurnya yang grusak-grusuk tadi, beberapa kali
aku yang hanya berdiam diri saja tanpa sengaja tanganku bergesekkan dengan
tititnya Herry. Aduh! Jangan-jangan Herry sengaja lagi?
Tapi ini anak kalau
sedang tidur begini jadi seperti anak kecil. Lugu dan polos
kelihatannya. Ingin rasanya aku membelai pipinya, mengecup pelan
keningnya, menyentuh tititnya. Sial, pikiranku konslet! Aduh, bisa sinting aku!
Herry, you drive me crazy!
Bersambung sajalah. .
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
leave comment please.