FOLLOW ME

Rabu, 11 September 2013

THE SERIES 4

Aku masih mengamati wajah keduanya bergantian.Taufik maupun Bu Marini sepertinya belum tergugah untuk menceritakan sesuatu padaku.
“Mas Angga beneran nggak ingat apa-apa?” Ya Tuhan, jadi sekarang semua orang sepertinya menyalahkanku karena memori otakku yang jelas tidak mengingat apapun itu yang berkaitan dengan Taufik. Tapi hei, aku kan masih tiga tahun waktu itu!
“Aduh Bu, waktu itu kan Seno masih tiga tahun.” Aku seperti ingin menjelaskan bahwa mengharapkan ingatan dari anak seusia tiga tahun itu sangat tidak mungkin.
“Tapi Mas Angga sudah tau kalau Ibu itu. . .” aku mengangguk. Aku mengerti lanjutan dari kalimat Bu Marini. Jadi sekarang Bu Marini pun ikut-ikutan manggil aku Angga.
“Erlangga itu nama anak Ibu. Adik kandung Adi.” Bu Marini menarik nafas panjang. Aku juga belum sepenuhnya paham.Taufik punya adik?
“Tadinya nama Mas Seno itu hanya Arseno Prawiro. Erlangga dan Mas Seno lahir bersamaan, namun Erlangga . . .”
“Erlangga meninggal. Dia tidak menangis sewaktu dilahirkan karena ternyata dia sudah tidak ada.” Taufik melanjutkan kalimat Bu Marini yang terhenti. Sementara itu Bu Marini terisak-isak. Mengingat bahwa anak bungsunya tidak sempat tumbuh besar. Aku tidak tahu harus bersikap bagaimana, masalahnya aku benar-benar blank.
“Eyang Prawiro menambahkan nama Erlangga di tengah nama kamu untuk mengingat anak ibu. Sewaktu Mama kamu meminta Ibu untuk menyusui kamu, Ibu bahagia sekali. Mas Seno itu sudah Ibu anggap seperti Angga, anak ibu sendiri.” Aku jadi teringat samar-samar saat dulu aku masih berusia enam tahun, aku yang dulu sampai menangis histeris saat Bu Marini mendekat padaku.
“Aku kesal sama kamu Sen! Dulu kamu ketakutan sekali melihat ibuku! Padahal ibuku hanya mau memeluk kamu!” Jadi mungkin ini menjelaskan kenapa Taufik sepertinya kesal sekali waktu pertama melihatku disekolah dulu. Sekali lagi aku ingin mengingatkan mereka bahwa waktu itu aku kan masih kecil. Masih sangat kecil malah.
“Oya, Mas Seno sudah makan belum?” aku tersenyum kecil.
“Ibu boleh manggil Seno, Angga kok.” Dan aku sedikit melihat senyum cerah di wajah Bu Marini dan juga Taufik.
“Bener iki Mas?” aku mengangguk. Minimal untuk menebus dosa aku semasa kecil dulu. Walaupun kalau aku mau berdebat juga aku tidak salah. Aku kan masih kecil! Haruskah aku mengingatkan itu berkali-kali? Akhirnya sikap Taufik padaku benar-benar mencair, dia sepertinya mulai tidak nyinyir lagi. Bahkan eem terkadang menjadi sangat memanjakanku. Terserah deh!
“Udah hampir malem nih Bu, Angga pamit dulu. Takut dicariin mama.”
“Aku antar ya?” Taufik langsung mengajukan diri.
“Nggak usah Mas Adi. Angga bisa pulang sendiri.” Kilahku. Pasti nggak dapet banget feelnya kalau aku pulang diantar Taufik.
“Sudah Mas Angga, biar Adi yang nganter!” akhirnya setelah berdebat kecil aku mengalah juga untuk diantar oleh Adi. Perjalanan terasa lebih sepi, bahkan lebih sepi dari tadi waktu aku berjalan sendiri. Kalau aku berjalan pulang sendiri, minimal aku bisa dengerin music lewat earphone. Lah kalo berdua gini? Aku kan nggak enak kalau mau pasang earphone di telingaku.
“Besok kamu masuk sekolah kan Dek?” aku mengangguk. Ya iyalah besok masuk. Memangnya besok tanggal merah apa?
“Bareng Mas saja ya?” oh iya ya. Yang bakal antar jemput aku ke sekolah sekarang nggak ada.
“Angga bisa sendiri kok Mas. Ntar biar diantar mama.”
“Lah bukannya mama kamu itu ribet banget ya kalau pas pagi?” aku juga sadar fakta itu. Mamaku memang sepertinya tidak mungkin mengantarkanku ke sekolah. Pasti banyak alasan nanti. Sedangkan kalau ikut papaku, itu sama saja meracuniku. Papaku itu berangkat ke kantor tempat gudang padi itu pagi banget barengan Paman Pri. Lek Tin? Nggak mungkin dia bisa pakai mobil atau motor. Berangkat sendiri? Usiaku saja masih belum genap lima belas, jangankan SIM, KTP saja masih belum ada.
“Iya deh Mas.” Kataku akhirnya. Dalam keheningan akhirnya aku sampai juga dirumah eyang.
“Mampir dulu yuk Mas.”
“Nggak usah, salam saja buat eyang sama papa mama kamu.” Aku hanya mengangguk dan tersenyum kecil sambil mengamati langkah Taufik yang semakin menjauh. Hari ini? Perasaanku acak adut!
***

Hendra dan Herry masih duduk melingkariku dengan tatapan bertanya dan tidak percaya. Yah, Taufik tidak hanya mengantarku sampai sekolah, dia juga menyempatkan diri untuk mengantarkanku hingga pintu masuk kelasku yang menurutku ‘enggak banget’. Dan jelas kejadian tadi langsung membuat Hendra dan Herry menghampiriku. Mereka sepertinya ingin tahu kisah dibalik baikanku dengan mantan musuhku itu.
“Kok bisa?” ini yang pertama kali keluar dari bibir Herry.
“Edan!” ini dari mulut Hendra.
“Nggak usah ngeliat gue segitunya. Emang gue alien apa!”
“Kok kamu bisa bareng Taufik? Piye ceritane kui!”
“Taufik itu anak lelakinya Pak Karyo.”
“Hah? Jadi Taufik jadi sopir kamu tho saiki?” aku menggeleng pelan. Gila ya nih dua anak, pikirannya konslet mulu.
“Kaga! Lagian kalau gue mau ngangkot gue belom apal jalurnya! Ya gue bareng Mas Adi lah. Gratis ini.”
“Mas Adi? Ckck, edan tenan kamu iki Sen!” Hendra sepertinya melebih-lebihkan situasi ini. Herry sepertinya lebih cuek, karena sekarang dia sudah asik dengan ponselku lagi. Pasti dia sedang mengagumi fotonya sendiri. Sudah tidak heran! Herry ini selain sok preman, dia juga narsis tingkat dewa.
“Wah, aku iki jan mbodi tenan!” aku langsung menonyor kepalanya.
“Hasyah! Paling juga ntar kempes tu otot!” jawabku acuh tak acuh.
“Wah Sialan kamu Sen! Nih raba sendiri, ototku tuh asli tau!” kata Herry tidak terima sambil mengarahkan tanganku untuk meraba-raba otot lengannya. Herry, do not do this. Aku bisa semakin jatuh hati padamu tau! Namun aku harus akui, otot lenganya memang sudah tampak sempurna. Demikian juga dengan sixpack perutnya dan kegagahan tititnya. Aduh, kejadian pas di kali kedu membayang lagi. Sial parah!
“Lo ngapain aja sih sampai otot lo kayak kuli gini?” kataku bernada bercanda.
“Hehe, aku kan suka bantuin bapakku nambang pasir kalau sore.”
“Nambang pasir? Gimana cara?”
“Yo ngono kaelah Sen. Ngambil pasir dari sungai. Nanti kalau udah ngumpul banyak bisa dijual.” Aku baru tahu pekerjaan ayahnya Herry sebagai penambang pasir. Namun, bukannya penambang pasir itu gajinya kecil ya? Kok kalau dilihat dari rumahnya, Herry sepertinya bukan anak susah.
“Lo boong ya? Nggak percaya gue bokap lo sebagai penambang pasir!” Herry langsung meringis. Tu kan!
“Bapakku yang ngebeli pasir-pasir yang sudah dikumpulin sama orang-orang Sen. Hehehe.” Ini anak! Hendra juga nggak ada beda. Itu anak masih menatapku prihatin seolah-olah aku sedang terkena musibah.
“Tatapan lo tuh ya Hen, bikin gue ngerasa sebagai orang paling berdosa aja!” Hendra nyengir namun masih tetap memandangiku dengan pandangan serupa.
“Lah, aku ini masih heran kok Sen! Kamu kok bisa gitu baikkan sama Taufik.”
“Ya bisa lah. Manusia itu harus saling memaafkan!”
“Pret! Gayamu iki Sen!” aku kembali menjitak kepala Herry.
“Foto lo gue hapus aja dah.” kataku sembari mau merebut ponselku dari Herry.
“Ojo tho. Becanda tadi tu Sen! Sensi aja kayak perawan.”
“Sial lo!” baru aku mau menjitak kepala Herry lagi, eh guruku sudah dateng. Semua anak langsung stand by di bangku masing-masing. Demikian juga Herry yang langsung memperbaiki posisi duduk dan kursinya yang tadi dihadapkan kebelakang. Anganku kembali melayang. Aku juga heran kenapa aku bisa sepatuh itu sama Mas Adi sekarang. Mas Adi? Are you crazy? Mungkin aku memang sudah gila. Namun dari cerita Bu Mar, aku tahu betapa Taufik menyayangiku dulu. Katanya, Taufik nggak bakal tidur kalau dia belum melihatku terlelap. Pernah juga karena aku menangis, Taufik yang waktu itu menjagaku memberiku minum air mentah yang kata Bu Mar membuatku demam dua  hari.
Aku memang belum bisa dikatakan akrab dengan Taufik. Bagaimanapun aku dan Taufik mungkin sama-sama membutuhkan waktu untuk akrab. Aku kadang-kadang masih sering kesal jika mengingat masa-masa dulu waktu MOS. Kenapa Taufik bisa kejam banget ya? Well, ntar aku bisa tanyakan itu padanya. Lamunanku buyar ketika aku merasakan Hendra yang beberapa kali menyodok-nyodok perutku. Ini anak kenapa sih?
“Lo ayan ya?” tanyaku padanya. Hendra hanya diam sambil dagunya memberi sinyal supaya aku menghadap ke depan. Ternyata Pak Imam tengah menatapku jengah. Waduh, acara melamunku ketahuan ternyata.
“Arseno Erlangga Prawiro, bisakah kamu menyelesaikan soal nomor satu di papan tulis?” aku melihat dengan seksama soal itu lalu mengernyit bingung. Kita sudah sampai bab itu ya? Hendra langsung menggeser buku tugasnya ke arahku. Haduh, Thanks Hen! You are my best friend! Aku langsung maju sambil membawa buku tugas milik Hendra. Aduh, mungkin kalau aku bukan cucu eyang Prawiro aku sudah dilalap kali sama Pak Imam.
“Kamu tadi kenapa tho Sen?” aku yang tengah mengaduk-aduk es tehku langsung mendongak dan menatap Hendra heran. Jadi sekarang ini istirahat kedua dan aku bersama Hendra sedang berada di kantin. Herry sendiri tadi begitu bell istirahat berbunyi langsung ngeloyor ke toilet.
“Kenapa apanya?”
“Ngalamun! Ndak biasanya kamu ngalamun.” Hemm, si Herry ke toiletnya lama amat ya. Udah laper banget lagi.
“Hah, tau nih! Lagi banyak pikiran aja gue.”
“Pret lah! Pikiran opo hah?” aku tersenyum garing.
“Jangan bilang kamu lagi mikir ake kae?” kata Hendra lagi sambil menunjuk ke arah barat. Kepalaku secara otomatis melihat arah telunjuk Hendra. Ada Taufik yang sedang berjalan kesini.
“Apaan sih lo!”
“Wajahmu merah lho Sen. Hahaha.”
“Gue bukan homo tau!” Hendra malah semakin kenceng tertawa.
“Makan apa dek Angga?” anjirr, kenapa Taufik harus menyapaku dengan sebutan itu sih. Hendra sudah semakin nyengir saja.
“Siomay Mas.”Jawabku singkat.
“Yowes, aku kedalam dulu ya?” aku hanya mengangguk pelan. Setelah Taufik kebagian dalam kantin, tawa Hendra langsung meledak.
“Dek Angga? Hhahaha!”
“Asli! Lo semprul banget!”
“Weleh, aku sepertinya kehilangan momen menarik iki!” Herry yang baru datang langsung duduk disampingku.
“Iki lho Her! Seno. . .” belum sempat Hendra merampungkan kalimatnya aku sudah menginjak sepatunya dengan kekuatan maksimal.
“Buruan pesen! Atau mau gue tinggal?” kataku mencoba mengalihkan perhatian Herry. Si Hendra masih mengaduh-aduh. Sepertinya injakanku tadi terlalu keras. Hehehe, syukurin aja dah! Herry segera bangkit dari tempat duduk dan berlalu ke dalam kantin.
“Sakit Sen!”
“Salah lo sendiri.” Kataku cuek sambil menatap punggung Herry. God damn it! I love him so much!
***

Aku, Hendra dan Herry tengah belajar bareng dirumahku. PR hari ini banyak banget, makanya kita mutusin buat belajar bareng. Ya, tapi salah satu hal negative kalau belajar bareng bersama teman akrab tu ya kayak yang aku alami sekarang ini. Banyak becandanya ketimbang ngerjain tugasnya! Baru kelar satu soal udah cekikak-cekikik. Aduh, gimana mau selesai ini mah!
“Wah jan! budrek iki otakku.” Herry menyandarkan tubuhnya di sofa.
“Welah, perasaan sing mikir iki aku karo Seno. Lah kok koe sing budrek tho Her?”
“Hehehe, lihat soale wae sudah bikin pusing.” Jawab Herry santai. Memang, kebanyakan yang mikir buat ngerjain itu aku dan Hendra.Tidak ada yang bisa diharapkan dari Herry soal pelajaran. Dia mah punyanya otot, nggak punya otak. Hadeh, kok bisa ya aku jatuh hati padanya? Semoga bukan karena ukuran tititnya yang wow banget.
“Iki Mas Hendra, Mas Herry, diunjuk minumannya.” Mbok Dirah meletakkan minumannya dan juga beberapa toples kecil ke meja. Setelah itu langsung balik lagi kebelakang.
“Lah, Lek Tukah mana Sen?” tanya Hendra sambil mengambil minumannya yang diikuti oleh Herry.
“Bantu-bantu di rumahnya Bu Marini. Mau tujuh harian.” Jawabku singkat. Karena ini hari Sabtu, Herry dan Hendra berencana menginap dirumahku.Tidur bareng Hendra sih sudah biasa, tapi bareng Herry? Alamak! Ini pertama kalinya!
“Oh iya ya. Ini sudah seminggu ya? Berarti ntar kamu ikut tahlilan Sen?”
“Kalian berdua juga ikut!”
“Beres!” aku dan Hendra segera menoleh kearah Herry secara bersamaan. Heran saja, kenapa itu anak diam seribu bahasa dari tadi. Herry yang sadar tengah ditatap aku dan Hendra segera mendongakkan kepalanya dan memasang wajah tidak berdosa.
“Hehehe, abis cheese tick nya enak.” Katanya dengan senyum garing. Modal otot doang, makannya rakus, kadang sok preman, kenapa aku bisa suka sih? Cinta memang buta!
“Sampai nomor piro Hen? Sen?” katanya lagi sok melibatkan diri. Aku dan Hendra secara kompak langsung menjitak kepala Herry.
“Semprul!” aku dan Hendra hanya tertawa saja melihat Herry yang mengusap-usap kepalanya bekas jitakanku dan Hendra. Finally, tugasnya selesai juga walaupun aku harus mengorbankan setoples penuh cheese tick dan juga sepiring pisang goreng. Herry memang bikin geleng-geleng kepala kalau soal makan! Setelah mengerjakan tugas, kita memutuskan untuk memetik buah kelapa disamping rumah. Kebetulan banget, buah kelapanya sudah tampak hijau dan mengundang. Lah, kalau untuk urusan yang satu ini, kita baru bisa ngandelin Herry. Itu anak dengan lincah memanjat, padahal kan tahu sendiri buah kelapa itu nggak ada dahannya. Ciamik dah pokoknya, Tarzan mungkin kalah saing. Aku dan Hendra dengan setia menunggu dibawah. Lumayan banget. Udah dapet tiga buah nih. Setelah dapet lima buah, Herry turun dan langsung membuka kaosnya.
“Panas banget diatas.” Shit! Shit! Shit! Herry, do not do this to me! Your body make me horny!
“Tenang aja, kita bikin es kelapa muda!” tentu saja itu hanya usulku. Yang mengerjakan? Ya jelas Mbok Dirah lah. Kita bertiga menunggu diteras sambil bercanda. Herry  masih belum juga memakai kaosnya. Aduh, bisa pusing ini kepala saking horny nya ntar. Kita hanya perlu nunggu sepuluh menit sebelum akhirnya Mbok Dirah datang dengan panci agak besar dan tiga gelas.
“Niki Mas, ambil sendiri ya.” Kata Mbok Dirah sambil berlalu ke belakang lagi. Jadi Mbok Dirah hanya memberi kami sepanci penuh es kelapa muda dan tiga gelas. Mungkin Mbok Dirah gedeg juga disuruh bikin es kelapa muda. Makanya dikasih panci segede ini. Memangnya bakal habis ya sepanci penuh gini? Namun sepertinya tidak butuh waktu lama untuk menjawab pertanyaan itu. Sekarang ini saja, Herry sudah habis dua gelas dan Hendra satu gelas. Pasti habis deh. Aku hanya menatap dua sahabatku itu sambil geleng-geleng kepala.

Fiuuh, akhirnya bisa istirahat juga. Agak gimana juga sih soalnya aku ditengah dengan Hendra dan Herry disampingku. Acara tahlilan di rumah Taufik tadi berjalan cukup haru. Jujur saja, aku memang belum pernah merasakan kehilangan seorang ayah. Tapi melihat sikap Taufik tadi, aku tahu seberapa luka yang dia alami. Taufik tidak menangis, dia malah menebarkan senyum kepada para tetangga yang datang. Malah justru itu yang membuatku merasa tidak tega. Bu Mar menangis sesenggukan saat menyalami para tamu walaupun pada akhirnya dia masuk kedalam. Ini adalah kali pertama aku ikut tahlilan tujuh hariannya orang meninggal. Cukup surprised juga mengetahui bahwa yang datang adalah lelaki semua. Katanya aturannya memang begitu. Aku baru ngeh, hehe. Aku nggak tau apa-apa sih.
Aku sendiri duduk bersama papaku, Hendra dan juga Herry. Kita bertiga yang biasanya cekikikan entah kenapa kali ini diam saja. Herry bahkan tidak berani mengambil makanan yang sudah dihidangkan begitu tahlilan berakhir. Dia malah menyuruhku buru-buru untuk pulang. Katanya udah ngantuk berat lah, kepalanya pening lah. Pokoknya alesannya macam-macam. Hmm, pasti dia ada yang disembunyikan nih! Nanti dah aku korek-korek.
Sekarang?Aku malah tidak bisa tidur. Bagaimana aku bisa tidur jika orang yang aku cintai tidur dengan pulasnya disampingku? Apalagi tangan kanannya secara tidak sengaja memelukku. Begitu juga dengan kaki kanannya yang setengah menindih tubuhku. Deg-degan, senang, sir-siran juga. Apalagi ya? Pokoknya tidak bisa tenang deh! Rasanya pengen bales meluk Herry, tapi kok maju mundur ya? Aduh, pokoknya suasananya tu benar-benar bikin seneng sekaligus deg-degan. Apalagi Herry tidurnya grasak-grusuk. Dan karena tidurnya yang grusak-grusuk tadi, beberapa kali aku yang hanya berdiam diri saja tanpa sengaja tanganku bergesekkan dengan tititnya Herry. Aduh! Jangan-jangan Herry sengaja lagi?
Tapi ini anak kalau sedang tidur begini jadi seperti anak kecil. Lugu dan polos kelihatannya. Ingin rasanya aku membelai pipinya, mengecup pelan keningnya, menyentuh tititnya. Sial, pikiranku konslet! Aduh, bisa sinting aku! Herry, you drive me crazy!


Bersambung sajalah. . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

leave comment please.