FOLLOW ME

Sabtu, 24 Agustus 2013

THE SERIES 2

Aku benar-benar sudah menemukan the big and brilliant idea buat ngerjain si Taufik. Ya, emang sih tu anak nggak pernah menantangku atau mengejekku secara terang-terangan, namun jika dilihat dari ekspresi wajahnya saat bertemu denganku, sudah dipastikan dia tengah mengejekku dalam hatinya! Aku yakin! Jadi hari ini, saat pelajaran tengah berlangsung aku ijin untuk kebelakang. Ini jam-jam terakhir sebelum kita pulang. Dengan santai aku berjalan menghampiri lapangan parkir, aku tentunya sudah mendapatkan info dengan sangat seksama mana motor milik Taufik. Setelah sampai ditempat korban, aku segera menancapkan paku super tajam –ini kata penjualnya langsung tubles ditempat- tepat di ban motor Taufik. Rasain tu! Makanya nggak usah rese!
Dengan senyum geli aku segera kembali ke kelas, mengikuti jalannya pelajaran dengan cengar-cengir sendiri. Membayangkan bahwa Taufik nanti bakal mendorong motornya kurang lebih beberapa meter ke tukang tambal ban panas-panas gini itu cetar ulala banget.
“Kamu iki kenapa tho Sen? Cengar-cengir, edan po piye?”
“Hush! Enak aja lo! Lagi happy ini gue.”
“Lha happy kenopo?” Hendra bertanya dengan polos. Ini anak emang rada ngegemesin.
“Pokoknya happy.”
“Wah, kamu kentir berarti.” Aku menatap Hendra dengan intens.
“Kentir? Apaan tu?”
“Strees!” kata Hendra sambil terkekeh geli. Jelas tanpa suara, ini kan sedang proses pembelajaran. Ketahuan guru bisa berabe cekikak-cekikik sendiri.
“Sialan lo!” aku menjitak kepala Hendra pelan. Aku benar-benar excited, nunggu hingga pelajaran selesai. Nggak sabar banget pengen liat ekspresi Taufik nanti. Hhihi, pasti gokil dah!
Akhirnya bell pulang bordering juga. Aku dengan semangat empat lima langsung mengajak Hendra buat pulang, sekalian menyiapkan perbekalan buat PERSAMI nanti sore. Sengaja banget aku lambatkan langkahku saat melintasi lapangan parkir.
“Wah, parah iki Fik! Kempes pes banmu!” aku nggak tahu nama orang yang ngomong itu siapa, tapi jelas aku jadi tertawa sendiri. Syukurin!
“Kayaknya sih disengaja iki Fik!” aku makin menahan tawaku. Emang! Aku loh yang ngempesin plus nusukin paku cantik diban motornya Taufik. Hahahaha.
“Piye? Aku bantu dorong sampai tempatnya Pak Mulyo ya!” jiah, dorong motor aja rame-rame! Cupu banget! Namun, aku tidak bisa menikmati menderitanya Taufik karena Pak Karyo sudah menjemputku.
“Yok Hen!” Hendra dengan sedikit sungkan masuk juga ke mobilku.
“Wah, adem banget Sen mobilmu.” Aku hanya tersenyum kecil dan langsung mengajak Hendra ngobrol panjang. Kita sudah punya team. Satu team atau disebut sangga terdiri dari 10 anak. Dan aku ditunjuk sebagai ketua sangga. Yah, alasannya sih nggak masuk akal. Katanya karena badanku paling tinggi. Hah? Apa banget ya?
Dikota ini nggak ada mall, jadi aku dan Hendra keliling pasar tradisional buat memburu perlengkapan PERSAMI kita.Tentu saja aku dan Hendra hanya mencari perlengkapanku dan Hendra saja. Karena, semua sudah aku bagi rata. Setiap anak di teamku sudah pasti dapat tugas sendiri-sendiri. Aneh bin ajaib emang, kita disuruh membawa biji kacang hijau sejumlah duaratus biji. Aku sengaja tidak menghitungnya, kurang kerjaan amat! Ada juga bawang putih tunggal. Aku menyerahkan tugas ini ke Lek Tukah. Ember, lalu kayu bakar trus mie instan segala macam. Oh ya telur bebek yang berdiameter 2cm! Parah nggak tuh? Aku juga sembarangan bawanya! Bodo amat, emang aku gila apa ngukur diameter telur bebek segala macam!
Kita disuruh berkumpul pukul empat sore, awalnya kita seperti apel pramuka biasa. Lalu dilanjutkan ke materi-materi oleh guru-guru pembimbing. Tetap saja, push up dan sit up jadi makanan emput bagi kami. Aku sih tidak kena, jarang ada senior yang berani menghukumku. Tepat pukul enam kita istirahat, sholat dan makan hingga jam delapan karena ada pencerahan agama dari para senior.
Jam delapan malam kita berbaris dilapangan lagi. Mendengarkan penjelasan dari kakak-kakak senior bahwa kita malam ini musti hati-hati. Intinya sih, mereka nakut-nakutin kita! Oh ya, PERSAMI ini dilakukan dilingkungan sekolah, alasannya sih pasti karena didekat sekolah sudah ada hutan kecil yang ditumbuhi pohon bambu, pinus, pohon sengon, dll. Setelah menikmati api unggun dengan disuguhi anak-anak kelas dua yang akan dilantik menjadi Bantara –aku tidak tau singkatan apa itu- hingga jam sepuluh malam akhirnya kita boleh masuk tenda dan tidur. Garis bawahi, tendanya kita bikin dilapangan sekolah! Emang sih lapangan sekolahnya luas banget kayak lapangan bola.
Aku dan teamku tidak tidur. Buat apa? Karena jam satu dini hari nanti kita bakal dibangunin buat ikutan jerit malam. Katanya sih serem banget. Pret ajah! Aku segera membuka semua snack yang aku bawa sambil mengeluarkan kartu remi dari tasku.
Sebelumnya, mungkin aku perlu jelasin dulu kali ya anggota teamku. Ada Tommy, anaknya kecil, senyumnya manis dan anaknya ramah plus sopan banget. Trus Herry, aku bisa bilang tingkahnya kayak preman! Sok jago, tapi didepanku dia nggak berkutik. Kalah tinggi soalnya. Irfan, putih banget nih anak. Pendiam plus kalo ngomong ala kadarnya. Aris, kalau ini anak bawel banget. Sumpah, kayak pembaca berita! Nyerocos terus! Ada lagi Nahayu, dia cowok lho. Soalnya tingkah lakunya lembut banget kayak putri keraton. Tapi dia tetap cowok. Candra, yah bisa dibilang biasa aja, nggak bawel nggak juga pendiam. Nggak ada yang special. Feri, ini anak sok cool parah! Tapi emang cool sih.Trus ada lagi Widi, kocol abis ini anak. Selera humornya parah banget! Bikin  ngakak mulu kalau udah ngomong dia.
“Yang mau molor silahkan, yang mau maen kartu ayok!” kataku sambil merapatkan diri. Bayangin aja, satu tenda buat lima orang! Emang sih tendanya dari sekolah dan itu guede banget! Tapi tetap saja kita desak-desakkan. Jadi teamku sendiri dibagi menjadi dua tenda. Aku, Widi, Hendra, Aris dan Irfan jadi satu. Sedangkan Tommy, Herry, Feri, Nahayu dan Candra di tenda yang satunya lagi. Irfan memilih tidur, sedangkan aku, Widi, Hendra dan Aris memilih untuk maen kartu hingga jam satu nanti. Tentu saja sambil ngemil plus nahan cekikak-cekikik karena banyolannya Widi. Kita kan nggak mau dicap berisik sama tetangga sebelah.
“Sumpah ya, lo bikin ngakak mulu nih!” kataku sambil berusaha menahan tawaku akibat banyolannya Widi barusan. Aris yang ikut nahan tawa malah tawanya keluar dari bawah.
Tuuuut
Aris kentut! Tu anak Cuma cengengas-cengenges aja! Sumpah, baunya nggak nahan!
“Ambune jan seperti telur busuk!” Hendra mengatakannya sambil membuka resleting pintu tenda kita.
“Parah lo Ris! Sumpah!”
“Hhehe, sorry sorry!” kata Aris seperti tidak berdosa.
“Kamu makan bangkai tho tadi?” ini kata Widi. Aku dan Hendra langsung ketawa sejadi-jadinya melihat tampang Widi yang gokil abis. Irfan saja sampai terbangun. Kayaknya racunnya Aris sudah mewabah nih!
“Woi! Itu sangga berapa yang pada berisik?!” sepertinya ada senior yang tengah patroli nih.
“Tutup Ris pintunya!” perintahku pada Aris dan semua tenang membisu. Aku dan Hendra masih menahan tawa. Widi ekspresinya berlebihan sekali, persis seperti waria yang ketakutan di uber-uber kamtib. Irfan melanjutkan tidurnya lagi. Kita semua benar-benar tegang. Ya jelas, karena takut dihukum! Senior kan parah banget! Dikit-dikit nyuruh push up! Dikit-dikit nyuruh jalan jongkok! Dikit-dikit nyuruh sit up! Nyuruh kok dikit-dikit.
Akhirnya kita meneruskan maen kartu kita dengan diam dan tenang. Namun belum lama kita menikmati permainan kartu kita, para senior sudah teriak-teriak pake toa buat bangunin kita. Yup! Jerit malam dimulai.
Semua sangga disuruh berbaris berdasarkan regunya. Dan setelah penjelasan panjang lebar dari para senior, kita diwajibkan untuk duduk menurut regu masing-masing (sumpah, ini aku otak-atik, kalimatnya tetep aja jelek buat dibaca). Ada dua senior yang membuat soal dengan dua bendera kecil di tangannya. Sandi apa ya namanya, aduh aku lupa! Aku sih nggak ngerti apa-apa soal sandi-sandi. Sandi bendera? Morse? Eh, emang ada sandi bendera? Morse bukannya yang pake bunyi-bunyian gitu? Au ah gelap. Tapi tenang, ada Tommy di reguku yang jago banget. Alhasil, sanggakulah yang pertama berangkat. Asik!
“Iki beneran ki kita kesini?” tanya Nahayu agak ragu. Kita udah masuk ke hutan kecil disamping sekolah.
“Bener! Tu tanda panahnya ngarah kesini kok.”
“Tapi kok posnya belom kelihatan ya?” aku tetap fokus jalan. Masalahnya satu sangga hanya boleh bawa dua senter. Jadi ya gitu deh suasananya. Serem!
“Hawane ndak enak gini.” Kali ini Hendra juga ikut mengeluarkan uneg-unegnya.
“Sangga yang laen mana? Kok urung nyusul tho.” Sumpah, kalau anggota sanggaku pada ngomongin kata-kata negative kayak gini aku juga bisa ikut-ikutan parno ntar.
“Hush! Tu posnya udah kelihatan! Udah jangan parno!” kita segera tiba di pos dua. Pertanyaan-pertanyaan tentang Pramuka yang jujur aku tidak mengerti sama sekali sudah dijawab Tommy dengan sangat cepat. Uidih, nggak rugi nih punya anggota maniak pramuka. Berguna banget disini! Setelah melakukan yel-yel kami yang agak norak dan dilumuri apa itu aku nggak tau. Pokoknya item-item gitu kayak tentara!
Kita segera melanjutkan ke pos tiga. Menurut prekdisiku sih kita udah jauh masuk ke hutan. Apalagi jalan setapaknya makin susah dilalui.
“Itu putih-putih dipojokkan sana opo tho Sen?” lagi-lagi Nahayu. Aku dan juga anggota yang lain langsung menoleh ke arah yang ditunjukkan Nahayu. Ada pocong. Yup! POCONG!
“Halah, kui ki paling kakak kelas yang menyamar!” iya ya, bener juga ya. Ada gitu setan nampakkin diri ke banyak orang. Paling kan satu atau dua orang doank yang lihat. Lha ini? Semua anggota sanggaku bisa melihat.
“Lempar pake botol air minum yang udah kosong aja Her! Kalau perlu kencingi dulu botolnya!” usulku iseng. Eh, nggak taunya betul-betul diisi air kencing Herry betulan. Sempat nelen ludah juga lihat tititnya Herry. Itu masih lemes aja gede banget. Dia masih lima belas tahun kan sama kayak aku? Gila! Aku belom genap lima belas sih.
Kita ngakak sejadi-jadinya pas tu pocong berusaha ngehindar dari botol yang dilempar Herry. Apalagi aku menyuruh Herry menutup botolnya jangan terlalu kenceng. Makan aja tuh air kencing si Herry!
“Wah, kamu iki ternyata strees juga tho Sen? Cocok iki sama aku!” Herry langsung sok akrab. Tapi sepertinya aku emang bakalan cocok sama Herry. Sama-sama badung dan tukang iseng! Akhirnya setelah kita melewati semua pos. Dimana di pos tiga kita disuruh menutup mata dan disuapi sesuatu yang amis dan panjang. Rasanya sih kayak cacing, tapi aku percaya itu pasti mie instan yang kita bawa tadi sore dicampur telur bebek mentah! Amis banget soalnya. Di pos empat kita disuruh merayap hingga pos lima. But Finally, kita berhasil masuk lapangan lagi jam 4 dini hari! Kita langsung boleh istirahat sambil menunggu sangga yang lain berdatangan.
“Seru ya tadi! Asik!” Nahayu saja sepertinya bisa menikmati acara jerit malam ini.
“Gokil pastinya!” jawabku menyetujui. Mungkin kalau aku sekolah SMA di Jakarta nggak bakalan ada yang kayak gini. Mulai sekarang, aku syukuri aja deh apa yang ada.
“Sing dadi pocong siapa ya? Pasti bau pesing banget!” semua anggota sanggaku tertawa lebar kecuali Herry. Itu anak kayaknya tersinggung air kencingnya dibilang pesing. Dalam hati aku sangat berharap yang jadi pocong tadi si Taufik!
***

“Sen, lagi ngapain kamu didalam?” Tanya mamaku dari luar kamar.
“Nggak ngapa-ngapain ma. Ada apaan?”
“Itu ada teman kamu didepan.”
“Bentar lagi Seno keluar ma!”
“Cepetan! Kasian tu kalau nunggunya lama.” Mendengar kata mamaku aku segera bangun dari ranjangku. Mencuci wajah sebentar baru keluar kamar. Ternyata Hendra dan Herry. Tumben-tumbenan ini anak berdua main kesini.
“Ada apaan nih? Tumben main kesini?” tanyaku begitu sudah duduk dihadapan mereka.
“Maen aja, masa iya nggak boleh?”
“Kita mau ngajakkin kamu ke suatu tempat Sen!” kata Herry bersemangat.
“Hhah? Kemana?” Herry tidak langsung menjawab. Mulutnya masih penuh dengan makanan yang baru saja dihidangkan oleh Lek Tukah.
“Ke kali kedu.” Aku menelengkan kepalaku kekiri.
“Kali kedu? Tempat apaan tu?”
“Ikut wae Sen! Seru kok!” kali ini Hendra pun ikut promosi. Jadi sejak PERSAMI waktu itu, Herry semakin akrab denganku dan Hendra. Ya bisa dibilang kita bertiga selalu gila-gilaan bareng.
“Okay! Gue ganti baju dulu. Bawa mobil gue aja ya? Motor lo biar ditinggal disini dulu Her!”
“Sip-sip!” kata Herry sambil rebutan setoples chesstik bareng Hendra. Tu anak berdua ya dirumah orang juga masih aja rebutan makanan.
Walaupun belum mempunyai SIM, namun aku berani nyetir mobil kali ini, soalnya kata Herry tadi nggak bakal ada polisi minggu-minggu gini. Dan ternyata benar! Nggak nampak satu polisi pun berjaga-jaga. Dengan instruksi dari Herri aku membawa mobilku masuk ke sebuah perkampungan.
“Jalannya ngepas banget Her!”
“Emang iki jalannya kok. Aku kan tinggal disini.” Aku mengangguk-angguk mengerti. Jadi ini kampung tempat tinggal Herry.
“Tu di depan rumah cat ijo berhenti Sen. Ada lahan luas buat parkir.” Aku segera mengikuti instruksi Herry. Ternyata rumah cat ijo itu rumahnya Herry. Asri banget, walaupun belakangnya banyak pohon bamboo. Menambah kesan angker plus mistis. Hhehe.
Tidak selang berapa lama kita turun dari mobil ada wanita kira-kira usia empat puluhan menghampiri kita.
“Weh, Her! Koe iki ngajak konco ra kondo-kondo mbek Ibu tho!” aku hanya bisa menelengkan kepalaku kekiri. Nggak ngerti sama sekali sama apa yang tengah dibicarakan wanita tadi.
“Iki Seno bu! Dia nggak mudeng bahasa Jawa!”
“Waduh, mas Seno cucunya eyang Prawiro itu? Maaf-maaf mas, tempatnya ala kadarnya begini.” Perkataan wanita ini –yang aku taksir adalah ibunya Herry- semakin membuatku tidak enak hati. Semua warga kota kecil ini sudah tahu namaku kah?
“Nggak apa-apa bu! Saya yang ngrepotin malah!”
“Nggak enak ini ibu. Lha iki sopo Her?” tanya ibunya Herry sambil menunjuk Hendra.
“Ini Hendra Bu, kancaku! Bu, ngobrolnya mengko wae, kita mau main di kali kedu dulu.”
“Oh, yowes. Ati-ati yo le! Mas Seno dijaga lho!” aku hanya mengerti sedikit-sedikit pembicaraan ibu dan anak itu.Tidak butuh lama, Herry langsung mengajak kita berjalan kaki. Kampung ini masih asri. Banyak banget pohon bamboo disini.
Sekarang ini kita melewati turunan dengan pohon bamboo disekitar kita. Serem juga, apalagi kita jarang sekali bertemu atau berpapasan dengan orang lain.
“Masih jauh Her?” Herry dan Hendra malah cekikikan menanggapi pertanyaanku.
“Takut ya? Hhihihi.” Jawab Herry enteng.
“Sial lo!” aku jadi tidak bertanya-tanya lagi. Namun sepuluh menit kemudian mataku terbelalak. Amazing banget view disini. Airnya jernih! Dengan pohon bamboo di tepi kiri kanan sungai.
“Gimana Sen?”
“Ajib banget! Keren sumpah! Eh foto gue dong!” aku segera mengeluarkan smartphoneku. Beberapa kali aku foto dengan berbagai pose. Kita juga foto berdua bergantian dan bertiga dengan tanganku pribadi.
“Dibawah sana masih ada sendang lho.”
“Sendang? Apaan tu?” tanyaku penasaran.
“Tempat buat nyuci juga mandi. Kalo siang gini sepi! Kalau sore ntar rame!” rasa penasaranku tergugah.
“Cowok cewek campur gitu?” tanyaku penasaran.
“Ya sendiri-sendiri tho Sen! Nek buat cewek namanya sendang kelamben. Kalo buat cowok sendang pancuran!” Jelas Herry panjang lebar.
“Lo kalau mandi disitu juga?”
“Dulu sih iya, tapi sekarang ues ora. Rumahku ada PAMnya sekarang.” Karena aku penasaran akhirnya kita turun buat lihat yang namanya sendang pancuran. Uih, keren ternyata. Jadi ada pancuran kecil gitu yang keluar dari pohon bamboo yang tumbang.
“Itu bikinan orang sini Her?”
“Nggak Sen! Kalau kata orang-orang dulu itu sudah ada dengan sendirinya. Aku juga nggak ngerti persisnya gimana. Aku lahir udah ada.” Aku hanya bisa ber ooo ria sambil manggut-manggut. Jadi mungkin ini adalah buatan alam.
“Mau renang? Enak lho airnya. Jernih!” tawar Herry yang langsung disanggupi dengan semangat oleh Hendra.
“Renang dimana?” tanyaku heran. Perasaan kali kedu tadi airnya nggak dalam deh. Mana asik buat renang?
“Ikut guweh.” Ucap Herry menirukan logatku namun dengan agak medhok. Aku dan Hendra hanya tertawa-tawa saja mendengar ucapannya. Ternyata ada juga bagian kali kedu yang agak dalam. Jernih banget, kalau dilihat dari atas sih airnya seperti berwarna hijau, tapi kalau diraih pake jari. Uih, bening! Hendra dan Herry sudah melucuti pakaiannya dan hanya menyisakan sempak saja. Gila, itu tititnya Herry membayang gitu.
“Kamu nggak ikut renang tho Sen?” aku menggeleng pelan. Berabe kalau aku ikut renang dan mereka melihat celanaku menggembung tanpa kendali. Sekarang saja bagian bawah tubuhku itu sudah menggeliat-liat minta pembebasan.
“Wah, ra asik koe!” aku mengacuhkan mereka. Aku pura-pura melihat view disekitar, walaupun kadang-kadang aku melirik juga ke arah mereka berdua. Lebih tepatnya ke arah Herry. Itu anak kayaknya nggak sadar kalau wajah dan tubuhnya sudah bikin aku kebat-kebit. Hendra badannya bagus juga, cukup ideal dan enak dilihat. Namun aku sepertinya biasa saja dengan Hendra.Tidak ada feeling khusus. Dia sahabatku. Titik.
Kalau Herry, aduh!
“Sen, potret dong!” Herry baru saja keluar dari air. Shit! Tititnya membayang dengan jelas dari luar sempaknya. Oh, please help me now!
Dengan gaya pura-pura biasa saja, aku memotret Herry. Ini anak sepertinya ada bakat sebagai eksibisme. Dia berpose-pose layaknya model. Lumayan lah, nggak bakal aku hapus ini foto.
“Udah yok turun, kita bilas sekalian.” Aduh, ini artinya mereka mau naked? NAKED? No! aku pasti nggak kuat nih.


Bersambung dulu ye.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

leave comment please.