Aku
benar-benar sudah menemukan the big and brilliant idea buat ngerjain si Taufik.
Ya, emang sih tu anak nggak pernah menantangku atau mengejekku secara
terang-terangan, namun jika dilihat dari ekspresi wajahnya saat bertemu
denganku, sudah dipastikan dia tengah mengejekku dalam hatinya! Aku yakin! Jadi
hari ini, saat pelajaran tengah berlangsung aku ijin untuk kebelakang. Ini jam-jam terakhir sebelum kita
pulang. Dengan
santai aku berjalan menghampiri lapangan parkir, aku tentunya sudah mendapatkan
info dengan sangat seksama mana motor milik Taufik. Setelah sampai ditempat
korban, aku segera menancapkan paku super tajam –ini kata penjualnya langsung
tubles ditempat- tepat di ban motor Taufik. Rasain tu! Makanya nggak usah rese!
Dengan
senyum geli aku segera kembali ke kelas, mengikuti jalannya pelajaran dengan
cengar-cengir sendiri. Membayangkan bahwa Taufik nanti bakal mendorong motornya
kurang lebih beberapa meter ke tukang tambal ban panas-panas gini itu cetar
ulala banget.
“Kamu iki
kenapa tho Sen? Cengar-cengir,
edan po piye?”
“Hush!
Enak aja lo! Lagi happy ini gue.”
“Lha
happy kenopo?” Hendra
bertanya dengan polos. Ini
anak emang rada ngegemesin.
“Pokoknya
happy.”
“Wah,
kamu kentir berarti.” Aku
menatap Hendra dengan intens.
“Kentir? Apaan tu?”
“Strees!”
kata Hendra sambil terkekeh geli. Jelas tanpa suara, ini kan sedang proses
pembelajaran. Ketahuan guru bisa berabe cekikak-cekikik sendiri.
“Sialan
lo!” aku menjitak kepala Hendra pelan. Aku benar-benar excited, nunggu hingga
pelajaran selesai. Nggak sabar banget pengen liat ekspresi Taufik nanti. Hhihi,
pasti gokil dah!
Akhirnya
bell pulang bordering juga. Aku dengan semangat empat lima langsung mengajak
Hendra buat pulang, sekalian menyiapkan perbekalan buat PERSAMI nanti sore.
Sengaja banget aku lambatkan langkahku saat melintasi lapangan parkir.
“Wah,
parah iki Fik! Kempes pes banmu!” aku nggak tahu nama orang yang ngomong itu
siapa, tapi jelas aku jadi tertawa sendiri. Syukurin!
“Kayaknya
sih disengaja iki Fik!” aku makin menahan tawaku. Emang! Aku loh yang ngempesin
plus nusukin paku cantik diban motornya Taufik. Hahahaha.
“Piye?
Aku bantu dorong sampai tempatnya Pak Mulyo ya!” jiah, dorong motor aja
rame-rame! Cupu banget! Namun,
aku tidak bisa menikmati menderitanya Taufik karena Pak Karyo sudah
menjemputku.
“Yok
Hen!” Hendra dengan sedikit sungkan masuk juga ke mobilku.
“Wah,
adem banget Sen mobilmu.” Aku hanya tersenyum kecil dan langsung mengajak
Hendra ngobrol panjang. Kita
sudah punya team. Satu
team atau disebut sangga terdiri dari 10 anak. Dan aku ditunjuk sebagai ketua
sangga. Yah,
alasannya sih nggak masuk akal. Katanya
karena badanku paling tinggi. Hah? Apa banget ya?
Dikota
ini nggak ada mall, jadi aku dan Hendra keliling pasar tradisional buat memburu
perlengkapan PERSAMI kita.Tentu saja aku dan Hendra hanya mencari
perlengkapanku dan Hendra saja. Karena,
semua sudah aku bagi rata. Setiap
anak di teamku sudah pasti dapat tugas sendiri-sendiri. Aneh bin ajaib emang,
kita disuruh membawa biji kacang hijau sejumlah duaratus biji. Aku sengaja
tidak menghitungnya, kurang kerjaan amat! Ada juga bawang putih tunggal. Aku menyerahkan tugas ini ke Lek
Tukah. Ember,
lalu kayu bakar trus mie instan segala macam. Oh ya telur bebek yang
berdiameter 2cm! Parah nggak tuh? Aku juga sembarangan bawanya! Bodo amat,
emang aku gila apa ngukur diameter telur bebek segala macam!
Kita
disuruh berkumpul pukul empat sore, awalnya kita seperti apel pramuka biasa. Lalu dilanjutkan ke materi-materi
oleh guru-guru pembimbing. Tetap saja, push up dan sit up jadi makanan emput
bagi kami. Aku sih tidak kena, jarang ada senior yang berani menghukumku. Tepat
pukul enam kita istirahat, sholat dan makan hingga jam delapan karena ada
pencerahan agama dari para senior.
Jam
delapan malam kita berbaris dilapangan lagi. Mendengarkan penjelasan dari
kakak-kakak senior bahwa kita malam ini musti hati-hati. Intinya sih, mereka
nakut-nakutin kita! Oh ya, PERSAMI ini dilakukan dilingkungan sekolah,
alasannya sih pasti karena didekat sekolah sudah ada hutan kecil yang ditumbuhi
pohon bambu, pinus, pohon sengon, dll. Setelah menikmati api unggun dengan
disuguhi anak-anak kelas dua yang akan dilantik menjadi Bantara –aku tidak tau
singkatan apa itu- hingga jam sepuluh malam akhirnya kita boleh masuk tenda dan
tidur. Garis bawahi, tendanya kita bikin dilapangan sekolah! Emang sih lapangan
sekolahnya luas banget kayak lapangan bola.
Aku dan
teamku tidak tidur. Buat apa? Karena jam satu dini hari nanti kita bakal
dibangunin buat ikutan jerit malam. Katanya sih serem banget. Pret ajah! Aku segera membuka semua snack
yang aku bawa sambil mengeluarkan kartu remi dari tasku.
Sebelumnya,
mungkin aku perlu jelasin dulu kali ya anggota teamku. Ada Tommy, anaknya
kecil, senyumnya manis dan anaknya ramah plus sopan banget. Trus Herry, aku
bisa bilang tingkahnya kayak preman! Sok jago, tapi didepanku dia nggak
berkutik. Kalah
tinggi soalnya. Irfan, putih banget nih anak. Pendiam plus kalo ngomong ala
kadarnya. Aris,
kalau ini anak bawel banget. Sumpah, kayak pembaca berita! Nyerocos terus! Ada
lagi Nahayu, dia cowok lho. Soalnya tingkah lakunya lembut banget kayak putri keraton.
Tapi dia tetap cowok. Candra,
yah bisa dibilang biasa aja, nggak bawel nggak juga pendiam. Nggak ada yang special. Feri, ini
anak sok cool parah! Tapi emang cool sih.Trus ada lagi Widi, kocol abis ini
anak. Selera humornya parah banget! Bikin
ngakak mulu kalau udah ngomong dia.
“Yang mau
molor silahkan, yang mau maen kartu ayok!” kataku sambil merapatkan diri.
Bayangin aja, satu tenda buat lima orang! Emang sih tendanya dari sekolah dan
itu guede banget! Tapi tetap saja kita desak-desakkan. Jadi teamku sendiri dibagi
menjadi dua tenda. Aku, Widi, Hendra, Aris dan Irfan jadi satu. Sedangkan
Tommy, Herry, Feri, Nahayu dan Candra di tenda yang satunya lagi. Irfan memilih
tidur, sedangkan aku, Widi, Hendra dan Aris memilih untuk maen kartu hingga jam
satu nanti. Tentu saja sambil ngemil plus nahan cekikak-cekikik karena
banyolannya Widi. Kita kan nggak mau dicap berisik sama tetangga sebelah.
“Sumpah
ya, lo bikin ngakak mulu nih!” kataku sambil berusaha menahan tawaku akibat
banyolannya Widi barusan. Aris yang ikut nahan tawa malah tawanya keluar dari
bawah.
Tuuuut
Aris
kentut! Tu anak Cuma cengengas-cengenges aja! Sumpah, baunya nggak nahan!
“Ambune
jan seperti telur busuk!” Hendra
mengatakannya sambil membuka resleting pintu tenda kita.
“Parah lo
Ris! Sumpah!”
“Hhehe,
sorry sorry!” kata Aris seperti tidak berdosa.
“Kamu
makan bangkai tho tadi?” ini kata Widi. Aku dan Hendra langsung ketawa
sejadi-jadinya melihat tampang Widi yang gokil abis. Irfan saja sampai terbangun.
Kayaknya racunnya Aris sudah mewabah nih!
“Woi! Itu
sangga berapa yang pada berisik?!” sepertinya ada senior yang tengah patroli nih.
“Tutup
Ris pintunya!” perintahku pada Aris dan semua tenang membisu. Aku dan Hendra masih menahan
tawa. Widi
ekspresinya berlebihan sekali, persis seperti waria yang ketakutan di uber-uber
kamtib. Irfan
melanjutkan tidurnya lagi. Kita
semua benar-benar tegang. Ya jelas, karena takut dihukum! Senior kan parah
banget! Dikit-dikit nyuruh push up! Dikit-dikit nyuruh jalan jongkok!
Dikit-dikit nyuruh sit up! Nyuruh kok dikit-dikit.
Akhirnya
kita meneruskan maen kartu kita dengan diam dan tenang. Namun belum lama kita menikmati
permainan kartu kita, para senior sudah teriak-teriak pake toa buat bangunin
kita. Yup! Jerit malam dimulai.
Semua
sangga disuruh berbaris berdasarkan regunya. Dan setelah penjelasan panjang
lebar dari para senior, kita diwajibkan untuk duduk menurut regu masing-masing
(sumpah, ini aku otak-atik, kalimatnya tetep aja jelek buat dibaca). Ada dua senior yang membuat soal
dengan dua bendera kecil di tangannya. Sandi apa ya namanya, aduh aku lupa! Aku
sih nggak ngerti apa-apa soal sandi-sandi. Sandi
bendera? Morse? Eh, emang ada sandi bendera? Morse bukannya yang pake
bunyi-bunyian gitu? Au ah gelap. Tapi tenang, ada Tommy di reguku yang jago
banget. Alhasil,
sanggakulah yang pertama berangkat. Asik!
“Iki
beneran ki kita kesini?” tanya Nahayu agak ragu. Kita udah masuk ke hutan kecil
disamping sekolah.
“Bener! Tu tanda panahnya ngarah kesini
kok.”
“Tapi kok
posnya belom kelihatan ya?” aku tetap fokus jalan. Masalahnya satu sangga hanya
boleh bawa dua senter. Jadi
ya gitu deh suasananya. Serem!
“Hawane
ndak enak gini.” Kali
ini Hendra juga ikut mengeluarkan uneg-unegnya.
“Sangga
yang laen mana? Kok
urung nyusul tho.” Sumpah,
kalau anggota sanggaku pada ngomongin kata-kata negative kayak gini aku juga
bisa ikut-ikutan parno ntar.
“Hush! Tu
posnya udah kelihatan! Udah jangan parno!” kita segera tiba di pos dua.
Pertanyaan-pertanyaan tentang Pramuka yang jujur aku tidak mengerti sama sekali
sudah dijawab Tommy dengan sangat cepat. Uidih, nggak rugi nih punya anggota
maniak pramuka. Berguna banget disini! Setelah melakukan yel-yel kami yang agak
norak dan dilumuri apa itu aku nggak tau. Pokoknya item-item gitu kayak
tentara!
Kita
segera melanjutkan ke pos tiga. Menurut
prekdisiku sih kita udah jauh masuk ke hutan. Apalagi jalan setapaknya makin
susah dilalui.
“Itu
putih-putih dipojokkan sana opo tho Sen?” lagi-lagi Nahayu. Aku dan juga anggota
yang lain langsung menoleh ke arah yang ditunjukkan Nahayu. Ada pocong. Yup!
POCONG!
“Halah,
kui ki paling kakak kelas yang menyamar!” iya ya, bener juga ya. Ada gitu setan nampakkin diri ke
banyak orang. Paling kan satu atau dua orang doank yang lihat. Lha ini? Semua anggota sanggaku bisa
melihat.
“Lempar
pake botol air minum yang udah kosong aja Her! Kalau perlu kencingi dulu
botolnya!” usulku iseng. Eh, nggak taunya betul-betul diisi air kencing Herry
betulan. Sempat nelen ludah juga lihat tititnya Herry. Itu masih lemes aja gede banget.
Dia masih lima belas tahun kan sama kayak aku? Gila! Aku belom genap lima belas sih.
Kita
ngakak sejadi-jadinya pas tu pocong berusaha ngehindar dari botol yang dilempar
Herry. Apalagi
aku menyuruh Herry menutup botolnya jangan terlalu kenceng. Makan aja tuh air
kencing si Herry!
“Wah,
kamu iki ternyata strees juga tho Sen? Cocok
iki sama aku!” Herry
langsung sok akrab. Tapi sepertinya aku emang bakalan cocok sama Herry.
Sama-sama badung dan tukang iseng! Akhirnya setelah kita melewati semua pos. Dimana
di pos tiga kita disuruh menutup mata dan disuapi sesuatu yang amis dan
panjang. Rasanya sih kayak cacing, tapi aku percaya itu pasti mie instan yang
kita bawa tadi sore dicampur telur bebek mentah! Amis banget soalnya. Di pos
empat kita disuruh merayap hingga pos lima. But Finally, kita berhasil masuk
lapangan lagi jam 4 dini hari! Kita langsung boleh istirahat sambil menunggu
sangga yang lain berdatangan.
“Seru ya
tadi! Asik!” Nahayu saja sepertinya bisa
menikmati acara jerit malam ini.
“Gokil
pastinya!” jawabku menyetujui. Mungkin
kalau aku sekolah SMA di Jakarta nggak bakalan ada yang kayak gini. Mulai
sekarang, aku syukuri aja deh apa yang ada.
“Sing
dadi pocong siapa ya? Pasti bau pesing banget!” semua anggota sanggaku tertawa
lebar kecuali Herry. Itu
anak kayaknya tersinggung air kencingnya dibilang pesing. Dalam hati aku sangat
berharap yang jadi pocong tadi si Taufik!
***
“Sen,
lagi ngapain kamu didalam?” Tanya
mamaku dari luar kamar.
“Nggak
ngapa-ngapain ma. Ada
apaan?”
“Itu ada
teman kamu didepan.”
“Bentar
lagi Seno keluar ma!”
“Cepetan!
Kasian tu kalau nunggunya lama.” Mendengar kata mamaku aku segera bangun dari
ranjangku. Mencuci
wajah sebentar baru keluar kamar. Ternyata
Hendra dan Herry. Tumben-tumbenan
ini anak berdua main kesini.
“Ada
apaan nih? Tumben main kesini?” tanyaku begitu sudah duduk dihadapan mereka.
“Maen
aja, masa iya nggak boleh?”
“Kita mau
ngajakkin kamu ke suatu tempat Sen!” kata Herry bersemangat.
“Hhah? Kemana?” Herry tidak langsung menjawab. Mulutnya masih penuh dengan
makanan yang baru saja dihidangkan oleh Lek Tukah.
“Ke kali
kedu.” Aku menelengkan kepalaku kekiri.
“Kali
kedu? Tempat
apaan tu?”
“Ikut wae
Sen! Seru
kok!” kali ini Hendra pun ikut promosi. Jadi sejak PERSAMI waktu itu, Herry semakin akrab denganku dan
Hendra. Ya bisa
dibilang kita bertiga selalu gila-gilaan bareng.
“Okay!
Gue ganti baju dulu. Bawa
mobil gue aja ya? Motor lo biar ditinggal disini dulu Her!”
“Sip-sip!”
kata Herry sambil rebutan setoples chesstik bareng Hendra. Tu anak berdua ya dirumah orang
juga masih aja rebutan makanan.
Walaupun
belum mempunyai SIM, namun aku berani nyetir mobil kali ini, soalnya kata Herry
tadi nggak bakal ada polisi minggu-minggu gini. Dan ternyata benar! Nggak
nampak satu polisi pun berjaga-jaga. Dengan
instruksi dari Herri aku membawa mobilku masuk ke sebuah perkampungan.
“Jalannya
ngepas banget Her!”
“Emang
iki jalannya kok. Aku kan tinggal disini.” Aku mengangguk-angguk mengerti. Jadi ini kampung tempat tinggal
Herry.
“Tu di
depan rumah cat ijo berhenti Sen. Ada lahan luas buat parkir.” Aku segera
mengikuti instruksi Herry. Ternyata
rumah cat ijo itu rumahnya Herry. Asri
banget, walaupun belakangnya banyak pohon bamboo. Menambah kesan angker plus
mistis. Hhehe.
Tidak
selang berapa lama kita turun dari mobil ada wanita kira-kira usia empat
puluhan menghampiri kita.
“Weh,
Her! Koe iki
ngajak konco ra kondo-kondo mbek Ibu tho!” aku hanya bisa menelengkan kepalaku
kekiri. Nggak ngerti sama sekali sama apa yang tengah dibicarakan wanita tadi.
“Iki Seno
bu! Dia nggak
mudeng bahasa Jawa!”
“Waduh,
mas Seno cucunya eyang Prawiro itu? Maaf-maaf mas, tempatnya ala kadarnya
begini.” Perkataan wanita ini –yang aku taksir adalah ibunya Herry- semakin
membuatku tidak enak hati. Semua warga kota kecil ini sudah tahu namaku kah?
“Nggak
apa-apa bu! Saya yang
ngrepotin malah!”
“Nggak
enak ini ibu. Lha iki sopo Her?” tanya ibunya Herry sambil menunjuk Hendra.
“Ini
Hendra Bu, kancaku! Bu, ngobrolnya mengko wae, kita mau main di kali kedu
dulu.”
“Oh, yowes.
Ati-ati yo le! Mas Seno dijaga lho!” aku hanya mengerti sedikit-sedikit
pembicaraan ibu dan anak itu.Tidak butuh lama, Herry langsung mengajak kita
berjalan kaki. Kampung
ini masih asri. Banyak
banget pohon bamboo disini.
Sekarang
ini kita melewati turunan dengan pohon bamboo disekitar kita. Serem juga,
apalagi kita jarang sekali bertemu atau berpapasan dengan orang lain.
“Masih
jauh Her?” Herry dan Hendra malah cekikikan menanggapi pertanyaanku.
“Takut
ya? Hhihihi.” Jawab Herry enteng.
“Sial
lo!” aku jadi tidak bertanya-tanya lagi. Namun sepuluh menit kemudian
mataku terbelalak. Amazing
banget view disini. Airnya jernih! Dengan pohon bamboo di tepi kiri kanan
sungai.
“Gimana
Sen?”
“Ajib
banget! Keren sumpah! Eh foto gue dong!” aku segera mengeluarkan smartphoneku.
Beberapa kali aku foto dengan berbagai pose. Kita juga foto berdua bergantian
dan bertiga dengan tanganku pribadi.
“Dibawah
sana masih ada sendang lho.”
“Sendang? Apaan tu?” tanyaku penasaran.
“Tempat
buat nyuci juga mandi. Kalo siang gini sepi! Kalau sore ntar rame!” rasa
penasaranku tergugah.
“Cowok
cewek campur gitu?” tanyaku penasaran.
“Ya
sendiri-sendiri tho Sen! Nek
buat cewek namanya sendang kelamben. Kalo
buat cowok sendang pancuran!” Jelas
Herry panjang lebar.
“Lo kalau
mandi disitu juga?”
“Dulu sih
iya, tapi sekarang ues ora. Rumahku ada PAMnya sekarang.” Karena aku penasaran akhirnya kita turun buat lihat yang namanya sendang
pancuran. Uih, keren ternyata. Jadi
ada pancuran kecil gitu yang keluar dari pohon bamboo yang tumbang.
“Itu
bikinan orang sini Her?”
“Nggak
Sen! Kalau kata orang-orang dulu itu sudah ada dengan sendirinya. Aku juga nggak ngerti persisnya
gimana. Aku lahir udah ada.” Aku hanya bisa ber ooo ria sambil manggut-manggut.
Jadi mungkin ini adalah buatan alam.
“Mau
renang? Enak lho
airnya. Jernih!”
tawar Herry yang langsung disanggupi dengan semangat oleh Hendra.
“Renang
dimana?” tanyaku heran. Perasaan
kali kedu tadi airnya nggak dalam deh. Mana
asik buat renang?
“Ikut
guweh.” Ucap Herry menirukan logatku namun dengan agak medhok. Aku dan Hendra hanya tertawa-tawa
saja mendengar ucapannya. Ternyata
ada juga bagian kali kedu yang agak dalam. Jernih banget, kalau dilihat dari
atas sih airnya seperti berwarna hijau, tapi kalau diraih pake jari. Uih,
bening! Hendra dan Herry sudah melucuti pakaiannya dan hanya menyisakan sempak
saja. Gila, itu
tititnya Herry membayang gitu.
“Kamu
nggak ikut renang tho Sen?” aku menggeleng pelan. Berabe kalau aku ikut renang dan
mereka melihat celanaku menggembung tanpa kendali. Sekarang saja bagian bawah
tubuhku itu sudah menggeliat-liat minta pembebasan.
“Wah, ra
asik koe!” aku mengacuhkan mereka. Aku pura-pura melihat view disekitar,
walaupun kadang-kadang aku melirik juga ke arah mereka berdua. Lebih tepatnya
ke arah Herry. Itu anak
kayaknya nggak sadar kalau wajah dan tubuhnya sudah bikin aku kebat-kebit. Hendra badannya bagus juga, cukup
ideal dan enak dilihat. Namun
aku sepertinya biasa saja dengan Hendra.Tidak ada feeling khusus. Dia sahabatku. Titik.
Kalau
Herry, aduh!
“Sen,
potret dong!” Herry
baru saja keluar dari air. Shit! Tititnya membayang dengan jelas dari luar
sempaknya. Oh, please help me now!
Dengan
gaya pura-pura biasa saja, aku memotret Herry. Ini anak sepertinya ada bakat
sebagai eksibisme. Dia
berpose-pose layaknya model. Lumayan
lah, nggak bakal aku hapus ini foto.
“Udah yok
turun, kita bilas sekalian.” Aduh, ini artinya mereka mau naked? NAKED? No! aku pasti nggak kuat
nih.
Bersambung
dulu ye.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
leave comment please.