Aku memandangi
papa dan mamaku bergantian dengan gemas. Well, bukan apa-apa. Hanya saja
rasanya aku masih belom bisa menerima kenyataan bahwa mereka dengan semena-mena
memutuskan untuk pindah ke rumah eyang. SELAMANYA! Garis bawahi tuh. Dan
jelas keputusan ini mau tidak mau membuatku berpisah dari teman-temanku di
Tangerang sana. Padahal kita sudah merencanakan untuk sekolah SMA bareng di
Jakarta. Tapi apa daya? Terdamparlah sekarang aku di kota tembakau ini (katanya
sih kota tembakau).
“Seno,
berhenti memajukan bibirmu lagi atau mama akan menyunatnya.” Aku memutar kedua
bola mataku dan memandangi mamaku dengan tatapan sebal.
“Ma, bisa
kan eyang saja yang dibawa ke Tangerang? Ngapain coba kita pindah kesini
segala.” Aku mulai melancarkan salah satu argumenku. Aku tahu ini percuma saja.
“Eyang
nggak bisa pindah Sen! Kamu
tahu sendiri sifat eyangmu itu bagaimana. Lagipula, eyang kamu itu kan sayang
banget sama rumah di kampungnya itu. Beliau pasti nggak mau pindah Sen.” Papaku
ngomong panjang lebar. Kalimatnya hampir sama dengan yang kemaren-kemaren.
Bahwa eyang itu sudah tua, bahwa eyang itu sayang sekali dengan rumahnya. Whateverlah, yang jelas ini semua
bikin aku bĂȘte.
“Turun
Sen, sudah sampai.” Tanpa menunggu perintah mamaku untuk yang kedua kali aku
segera turun dari mobil. Ternyata
banyak sekali orang-orang yang berada didalam rumah eyangku. Rumah eyangku itu khas sekali
rumah jaman dulu. Seperti
rumah jaman Belanda gitu, hanya saja sudah dimodifikasi sedemikian rupa. Namun tetap saja, kesan Belanda
masih lengket di rumah eyangku.
“Wah,
Arseno cucu eyang sudah gede tho. Ganteng
temen tho saiki.” Eyang
segera mencium pipiku. Dan
walaupun aku sedang memusuhi eyangku karena kepindahan ini, aku tetap tidak
bisa membenci eyangku. Bagaimana
aku bisa membencinya? Wajahnya
saja ramah dan penyanyang sekali. Aku
hanya tersenyum menanggapi sambutan eyangku.
Ternyata,
banyak orang yang sedang berada di rumah eyang itu karena rumah eyang sedang
digunakan untuk nyinom. Jadi
tetangga eyangku ada yang menikah dan rumah eyangku digunakan untuk
masak-masak. Ya itu
dia, istilahnya nyinom.
“Seno
capek ya? Istirahat saja dulu. Eyang ues nyiapin kamar buat Seno. Cucu eyang ini lho. Jan, ganteng temen!” sepertinya
eyangku masih saja gemas dan tidak percaya bahwa aku sudah tumbuh sebesar ini. Maklum, sudah hampir dua tahun
keluargaku tidak berkunjung
ke kampung eyang. Biasanya sih pas Lebaran,
karena papa dapat libur lama, begitu juga aku. Sekarang
sih nggak perlu lebaran lagi, karena kita bakal tinggal disini selamanya! Ya,
karena eyang kakung baru saja meninggal kurang lebih tiga bulan yang lalu. Keluargaku ikut melayat waktu
itu, namun aku tidak bisa ikut dikarenakan tengah menghadapi ujian semester. Eyang segera menuntunku ke kamar
yang sudah disiapkan untukku. Kelihatannya
eyang bahagia sekali dengan kedatanganku. Oh iya jelas, karena aku satu-satunya
cucu yang dimiliki oleh eyangku.
Ayahku,
putra dari eyang mempunyai kakak lelaki, namanya Supriyadi.Tapi sayang, Paman
Pri mandul dan tidak mempunyai anak. Salut
saja dengan istrinya, Lek Tin (aku memanggilnya seperti itu) yang setia
mendampingi Paman Pri.
“Mas
Seno, ini kopernya mau diletakkan dimana?” kata Pak Dirman, lelaki paruh baya
yang sudah mengabdi pada keluarga eyangku sejak dari dulu. Bukan hanya Pak Dirman, istrinya
Lek Tukah juga mengabdi pada keluarga eyang. Mereka tinggal dibelakang rumah
eyang.
“Di situ
aja Pak, makasih.” Jawabku sambil tersenyum. Pak Dirman menganggukan kepalanya
sebelum berlalu dari kamarku. Aku
segera menutup pintu kamarku dan langsung merebahkan diriku di atas ranjang. Urusan nata baju, itu nanti saja. Sekarang ini aku ingin tidur dulu
sepuasnya. Perjalanan dari kota Tangerang hingga sini menempuh waktu sebelas jam. Belum ditambah makan dan
istirahat. Jadi,
wajar saja jika aku ingin tidur sepuasnya.
***
“Sen,
Sen. Bangun tho le, udah malam. Makan
malam dulu tho.” Aku
membuka mataku dan melihat eyang yang sudah duduk di tepi ranjangku. Sudah malam? Ngigau ah nih eyang.
Namun pada saat aku melihat jarum jam yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam,
mataku langsung siaga penuh.
“kok udah
jam tujuh sih eyang?” aku hampir tidak percaya dengan penglihatan mataku
sendiri.
“Lha, koe
kiey tidur kayak kebo kok le. Yo, maem dhisik yo.” Aku segera menyeret kakiku
untuk ke kamar mandi. Mencuci
muka sebelum makan malam. Aku
mengerti bahasa jawa sedikit-sedikit. Namun,
kalau disuruh ngomong bahasa jawa, aku kesulitan. Maklum, kerumah eyang kan
hanya waktu lebaran saja, sedangkan aku besar di Tangerang.
“Rene-rene.
Lauknya mau apa kiey? Ayam bakar? Apa
rica-rica mentok?” Eyangku
sudah heboh sendiri saat aku duduk di meja makan. Sudah ada mama dan papaku yang
kalau dilihat dari tampangnya, sepertinya kesal padaku. Mungkin karena aku, makan malam jadi agak terlambat kali ya.
Sedangkan
Paman Pri dan Lek Tin senyum-senyum saja melihatku. Sebenarnya, keinginan eyang itu
adalah ingin menghabiskan sisa hidupnya bersama kedua anaknya, Supriyadi
Prawiro dan Bambang Prawiro (papaku). Oh ya, namaku sendiri Arseno Erlangga
Prawiro. Nama keluarga Prawiro cukup disegani ternyata di kota ini. Karena,
katanya loh ya, keluarga Prawiro itu salah satu keluarga terkaya di kota ini.
Beuh, berat nih bahasanya. Karena selain eyangku ini punya sawah yang hanya
Tuhan yang tahu seberapa luasnya, juga mempunyai kebon kopi yang seperti kukatakan
tadi, hanya Tuhan yang tahu. Luas banget! Sawah eyangku itu kadang ditanami
tembakau kadang ditanami padi. Ya,
bukan eyang yang nggarap sawahnya, tapi Paman Pri. Paman Pri
tentunya dibantu banyak pekerja juga.
“Ayam bakar aja eyang. Eh, nasinya
jangan banyak-banyak eyang!” aku menatap piringku yang sudah pasti cukup untuk
membuat dua orang mati kekenyangan.
“Ues tho
Sen! Ibu itu
lagi seneng cucunya dateng.” Paman
Pri mengatakannya sambil senyum-senyum sendiri. Aku hanya bisa tersenyum kikuk.
Akhirnya,
acara makan pun dimulai. Yah,
sesuai dugaanku perutku tidak sanggup menampung semua makanan yang sudah
diambilkan eyang tadi.
“Sen,
kamu besok langsung sekolah ya? Paman
sudah mengurus semua administrasinya.”
“Iya
paman, trus besok bawa apa aja? kan
besok itu masih masa MOS paman.”
“Udah,
ikutin aja dulu. Lha wong kemarin Sabtu kamu masih di Tangerang kan? Paman udah
ngomong sama kepala sekolahnya kok. Kamu santai saja.” Aku mengangguk. Jadi
disekolah kota ini nggak ada MOS? Yakin nih? Sudahlah pasrah saja, toh pasti
itu kepala sekolah sungkan karena yang meminta masih keluarga Prawiro.
Nepotisme nih ya?
Sekolahku
kayak apa ya besok? Jujur ya, males banget tau! Paling juga gitu-gitu aja.
Sekolah di kota kecil gitu, paling pol ada apanya sih? Dengan kantuk yang sudah
menyerang (hebat, baru juga bangun jam tujuh malam sekarang sudah ngantuk
lagi-biasa lah jetlag-halah), aku segera memejamkan mataku. Sama sekali nggak
excited dengan sekolah baruku besok.
***
Aku masih
mengenakan seragam putih biruku –semasa MOS ini memang belum diperkenankan
memakai seragam putih abu-abu- sepatu putih Nike keluaran terbaru dan juga tas
selempang model keren limited edition. Aku diantar oleh pamanku, karena sama
seperti aku, papaku juga tidak tahu apa-apa tentang sekolah baruku ini. Sejak aku turun dari mobil,
banyak sekali mata-mata yang mengamati gerak-gerikku. Aku jadi risih sendiri. Maksutku,
aku kan tidak biasa ditatap seolah-olah aku artis kesasar seperti itu.
“Waduh,
Pak Pri. Jadi ini keponakannya ya?” tanya bapak-bapak setengah botak saat
melihatku dan pamanku yang berjalan mendekat.
“Iya Pak.
Saya titip lho ya.” Setelah itu mereka berdua –paman dan bapak setengah botak
yang aku duga adalah kepala sekolah disini- terlibat perbincangan seru. Setelah mereka puas berbincang
kesana kemari, akhirnya pamanku pamit pulang juga.
“Ayo
sini, kamu dari Jakarta ya? Nama kamu siapa?” tanya bapak-bapak setengah botak
tersebut yang aku tahu bernama Pak Ponijan.
“Dari
Tangerang pak. Seno nama
saya.”
“Oh ya
Tangerang,” Pak Ponijan manggut-manggut. Seperti paham dengan apa yang aku
bicarakan. “Fik, kamu bawa ini Seno gabung sama anak-anak baru di aula ya.” Pak
Ponijan memanggil anak yang kebetulan tengah melintas. Anak yang dipanggil ‘Fik’ tadi
mengamatiku sekilas. Jelas
sekali pandangan meremehkan tergambar jelas di wajahnya. Salahku apa ya?
“Iya Pak.
Ayo ikut aku.” Aku mengekor dari belakang. Si ‘Fik’ ini ternyata tinggi
juga, karena tinggiku yang 172cm saja masih kalah tinggi dibandingkan si ‘Fik’
ini yang dari tadi hanya membisu.
“Jadi kamu
tho ya cucu satu-satunya Eyang Prawiro itu?” huft, akhirnya mulutnya ngomong
juga.
“Iya.”
Jawabku singkat. Ngapain
balas panjang-panjang? Buang-buang
nafas saja. Lagipula
ini anak kayaknya tipe jutek, nyinyir dan nyebelin.
“Oh, dari
Jakarta sih ya. Pantes!” Mendengar nada bicaranya aku
hampir saja emosi. Aku salah apa sih? Kok dia mencela aku banget! Brengsek
emang!
Setelah
sampai di aula aku segera bergabung dengan anak-anak yang tengah menjalani MOS.
Dan aku kaget setengah mati. Penampilan
mereka semua aneh-aneh sekali. Ajaib banget!
“Hei,
kamu cucu Eyang Prawiro ya? Kenalin namaku Hendra.” Aku memutar kedua bola
mataku sebelum menjabat tangan anak yang ada disampingku ini. Haruskah setiap
orang menyebutku dengan sebutan ‘cucu eyang Prawiro?’. Woi, aku punya nama woi!
“Arseno,
panggil aja Seno.” Jawabku sambil menjabat tangan Hendra.
“Woi yang
disitu jangan ngobrol woi! Anak
baru saja sudah belagu!” tahu siapa yang ngomong? Yup, anak yang dipanggil ‘Fik’
tadi oleh Kepsek.
“Dia
siapa sih? Yang belagu kan dia bukan gue.” Tanyaku pada Hendra.
“Dia itu
Taufik. Ketua panitia MOS ini.” Aku hanya bisa ber ‘oooo’ ria sambil
manggut-manggut. Si Taufik ini sepertinya sensi banget sama aku. Beberapa kali dia menghukumku
dengan semena-mena. Alasannya sih bermacam-macam, seperti aku yang tidak
mengenakan atribut MOS –sepatu hitam, rambut dipotong 321 ala-ala tentara, tas
dari karung tepung terigu, dan masih banyak aturan lainnya- aku juga yang
beberapa kali ketahuan asik smsan –berakhir dengan gadgetku yang disita oleh
Taufik- dan juga kakak-kakak kelas cewek yang beberapa kali menggodaku. Well,
sepertinya keluarga Prawiro tidak berlaku dimata Taufik –si ketua panitia MOS-
sialan itu.
“ingat ya
adek-adek, disini semua diperlakukan sama! Tidak ada yang dibeda-bedakan! Mau
itu keturunan Ningrat atau rakyat
biasa, semua sama! Jadi jangan belagu! Mengerti?!” untuk kesekian kalinya, aku
memutar kedua bola mataku dengan kesal. Aku tahu omongannya ini diarahkan
ke siapa. Jelas ke aku!
“Balikkin
handphone gue!” kataku pada Taufik saat MOS hari ini sudah selesai. Anak-anak sudah berhamburan
pulang, menyiapkan bahan-bahan untuk MOS besok. Aku sih masa bodo. Halo? Kita kan mau sekolah
bukannya mau ikut ketentaraan!
“Oh, iso
sopan ora?” Aku
menelengkan kepalaku ke kiri. Bingung dengan apa yang dia ucapkan.
“Lo bisa
kan ngomong pake bahasa Indonesia aja? Atau dicampur juga boleh. Gue nggak
ngerti apa yang lo omongin tadi.” Mendengar perkataanku, Taufik malah melotot.
“Ini kota kecil, bukan Jakarta! Ndak usah pake
elo-gue, elo-guean.” I see, jadi aku tidak sopan karena pake elo-gue ke kakak
kelas. Sensitive banget sih nih orang. Kayak lagi menstruasi aja.
“Oke,
tapi bisa kan handphoneku dibalikin kak Taufik?” sengaja aku tambahkan kak
disana biar lebih sopan.
“Besok
tidak boleh bawa Hp! Ketahuan aku sita sampai MOS selesai.”Aku manggut-manggut
bosan sambil menerima kembali smartphone ku. Setelah Taufik berlalu, aku
segera menuju ke gerbang sekolah dan ternyata Pak Karyo sudah menjemputku. Pak Karyo ini sopir keluarga
eyang.
“Ayo Den,
dari tadi sudah bapak tunggu-tunggu. Kirain bapak, aden udah pulang.”
“Belom
kok Pak, tadi ada sedikit urusan aja kok.” Lagipula, aku pasti nyasar kalau
pulang sendiri.
“Oh,
monggo den.” Kata Pak
Karyo sembari membukakan pintu mobil untukku. Aku risih juga, maksutku aku kan
tadi sudah mau duduk didepan, eh malah dibukakan pintu yang belakang. Kota ini
asri sih sebenarnya, banyak banget pohon-pohonnya.
“Gimana
tadi hari pertama sekolah?” Eyang
bertanya saat kita tengah makan malam. Sekarang
aku bisa lega karena aku sudah boleh dan diijinkan mengambil nasiku sendiri.
“Parah
eyang! Beuh,
nggak ada enak-enaknya!”
“Hush!
Seno!” tegur mamaku cepat.
“Emang
gitu kenyataannya ma! Mereka tu, para panitia MOS pada sensi sama Seno! Seno
gini salah, Seno gitu salah. Ini itu salah! Pokoknya serba salah deh!” Eyang hanya tersenyum kecil
mendengar keluhanku sedangkan mamaku menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Trus,
besok disuruh bawa apa saja Sen?” deg! Pertanyaan dari pamanku ini langsung
mengingatkanku. Aku tadi sepulang sekolah langsung molor, abis capek banget.
“Hhehehe,
Seno lupa paman. Udah ah biarin aja! Paling juga dihukum lagi.”Jawabku masa
bodoh. Sekalian mau bikin si Taufik itu kesel!
***
“Sen!
Bangun Seno! Udah setengah tujuh nih!” aku merasa badanku seperti
digoyang-goyangkan seseorang.
“ini
anak, kalau tidur kayak kerbau! Pak Karyo tolong ambilin air Pak.” Aku
lirih-lirih mendengar percakapan itu. Air?
Buat apa air? Lalu aku merasa dahiku dingin, mataku juga merasa dingin.
“Aish,
mama apa-apaan sih? Nggak
lucu tau!” dumelku begitu tau mamaku dengan teganya membasuhkan air dingin ke
wajahku.
“Kamu itu
yang nggak lucu! Udah setengah tujuh Seno! Sekolah gih!” aku masih dengan wajah
cemberut langsung turun dan bergegas ke kamar mandi. Eh, mama bilang jam berapa
tadi? Setengah tujuh? Oh My God! Telat pasti ini, telat pasti!
Manusia
hanya bisa berdoa dan berusaha, keputusan akhir ada di tangan Tuhan. Yup, aku
terlambat! Tidak peduli bahwa tadi aku hanya mandi lima menit –rekor tercepat
mandiku selama seumur hidupku- tidak melakukan ritual wajib setiap pagi, tidak
menyentuh sarapan dan menyuruh Pak Karyo menekan gasnya kuat-kuat. Tetap saja
aku terlambat!
“Maaf pak
saya terlambat.” Kataku pada pak Satpam yang berjaga-jaga di pintu gerbang.
“Oh, mas
Seno! Ayo masuk mas, masuk!” oh hebat! Baru sehari aku sekolah disini, dan
semua orang sudah hapal dengan namaku, Jiah! Namun tidak apa-apa, ini malah
keuntungan buatku. Aku
dengan wajah berseri-seri berniat bergabung bersama anak-anak peserta MOS
lainnya yang tengah mengikuti upacara –heran padahal kemaren juga sepertinya
sudah upacara- namun langkahku terhenti oleh seseorang.
“Kamu
tetap disini sampai apel pagi selesai!” oh, jadi itu bukan upacara tapi apel
pagi. Pantas
yang ikut hanya peserta MOS dan panitia MOS saja. Aku langsung duduk.
“Siapa
suruh kamu duduk?” Ini anak maunya apa? Tadi katanya suruh tetap disini?
“Lah,
bukannya kakak sendiri yang bilang saya tetap disini?”
“Iya!
Berdiri!” jiah, sepertinya Taufik emang super rese banget! Aku langsung berdiri
dan mengikuti jalannya apel pagi dari tempat yang tidak layak. Panas banget
man! Mana tadi belom sarapan pula. Beuh, laper sangat euy! Sebenarnya,
panitia-panitia MOS yang lain agak segan denganku. Tapi Taufik? Ini anak kayak
nyari penyakit denganku!
“Heh kamu
yang berdiri disitu, jalan jongkok masuk aula!” aku
mengerucutkan bibirku. Gila ya, halo kakak Taufik yang baik, aku punya nama
lho! Namun dengan setengah niat aku melaksanakan juga perintahnya. Aku tidak mau dicap manja pada
akhirnya nanti.Ternyata ada Hendra di barisan belakang, aku segera duduk bareng
dia.
“Telat
tho Sen?”
“He eh.”
Kataku singkat sambil membuka tas karung kandumku yang sudah dibuatkan oleh Lek
Tukah semalam. Aku segera mengambil roti tawar yang diolesi susu cokelat
kesukaanku. Aku memang tadi menyuruh Lek Tukah sekalian memasukkan makanan ke
tasku. Mengingat
bahwa aku pasti tidak sempat sarapan. Antisipasi!
“Mau
Hen?” tawarku pada Hendra. Hendra
menggeleng pelan. Aku
makan dengan sembunyi-sembunyi. Untung
dibarisan belakang. Sedangkan
seperti biasa, para panitia MOS sedang teriak-teriak tidak jelas. Ternyata,
tidak ketahuan! Aye! Perut pun sudah terisi.
Hukuman
hari ini tidak sebanyak kemaren, walaupun ada beberapa yang lupa atau memang
sengaja tidak aku bawa. Seperti,
apel tiga warna –merah, kuning, hijau- ini nyari apel atau lampu lalu lintas?
Aku tidak membawanya karena sudah pasti hanya akan merepotkan. Lalu permen Kiss
yang bertuliskan ‘aku anak dungu’. Ini panitia MOS sepertinya kurang
berpengetahuan luas. Sejak kapan ya Kiss mengeluarkan produknya dengan tulisan
seperti itu? Mau belajar bangkrut atau bagaimana? Dan juga membawa kecap dengan
merek ‘miring-miring’. Kalau
yang ini aku juga sempat geleng-geleng kepala. Maksutku, kalau memang kota ini
memproduksi kecap dengan merek ‘miring-miring’ dan sepertinya itu tidak ada
karena aku sudah bertanya pada Lek Tukah semalam, apakah ini salah satu motif
kakak panitia MOS yang terhormat itu untuk menghukum kita? Sepertinya sih iya!
***
Finally,
MOS itu pun berakhir! Walaupun Sabtu depan kita akan ada PERSAMI (Perkemahan
Sabtu Malam Minggu) dan pastinya juga dijadikan ajang pembantaian juga. Namun,
itu kan masih besok Sabtu. MOS disekolah ini hanya tiga hari, namun tetap saja
terasa seperti sebulan. Udah kenyang banget aku sama yang namanya jalan
jongkok, push up dan sit up. Ini MOS mirip banget sama kemiliteran. Ya nggak
sekejam itu juga sih, tapi miriplah!
“Sen.
Kamu dapet kelas ndi?” Hendra
yang dari belakang langsung menjajari langkahku.
“Sepuluh
B Hen. Lo?”
“Sama! Kita sekelas berarti!” aku
mengangguk senang. Bagaimanapun juga, aku kan tidak punya kenalan disini.
Berbeda lah dengan mereka yang paling tidak ada teman-teman mereka semasa SMP. Aku kangen teman-teman SMP ku. Aku dan Hendra segera memasuki
kelas kami. Pemandangan
disini agak beragam. Ada
yang sudah memakai seragam putih abu-abu, ada juga yang masih memakai seragam
putih biru. Mungkin
seragam mereka belum jadi kali. Aku
sendiri sudah memakai seragam putih abu-abu yang dulu aku beli di Tangerang. Warna abu-abunya keren dan pas di
tubuhku. Kalau
seragam yang diberikan oleh sekolah ini masih ditukang jahit. Aku dan Hendra memilih bangku
paling belakang.
“Lo napa
Hen? Natap gua
segitunya banget!” tanyaku heran. Hendra
memang sedari tadi mengamatiku atas bawah.
“Ndak
kok. Anak Jakarta emang beda yo! Keren banget seragammu
kiey Sen!” aku menggeleng pelan. Semua daerah tu sama saja kok. Di Tangerang
yang cupu juga banyak.
“Hahaha,
mau lo?”
“Yo pasti
kegedean tho kalau buat aku. Lha
wong kamu tinggi banget kok Sen.” Aku tertawa lirih. Kalau kata mamaku sih, aku masih
bisa tinggi lagi.Tinggi badanku aku warisi dari mama. Mamaku itu dulunya super model
top ibukota, namun semenjak menikah dengan papa, mama sudah tidak bekerja lagi.
Mama fokus membesarkanku. Makanya, aku dekat sekali dengan mamaku. Mamaku tingginya 175cm sedangkan
papa hanya 165cm. Hhihihi.
Hari ini
belom mulai pelajaran, hanya perkenalan guru-guru saja. Walaupun sudah ada beberapa guru
yang mulai memperkenalkan materinya.
“Kantin
yuk Hen!” ajakku saat istirahat kedua.
“Kamu
wae, aku ndak usah.”
“Lha
kenapa? Lo nggak
laper gitu?” aku mengamati wajah Hendra yang memerah. Ini anak kenapa sih?
“Gue
traktir deh, ayok ah! Temenin gue makan! Laper banget!”
“Eh
serius iki?”
“Serius
apaan?” tanyaku bingung.
“Itu
traktir.”
“Iye! Yok ah!” aku dan Hendra, setelah
bertanya-tanya akhirnya nemu juga kantinnya. Aku segera memesan bakso goreng,
demikian juga Hendra. Katanya,
menunya disamakan denganku. Asik juga nih Hendra anaknya, manis lagi. Coba
kalau sedikit di make over, pasti kelihatan keren. Maksutku, itu celana jangan
gantung gitu. Sepatunya
juga musti diganti. Ntar
deh, kayaknya ada beberapa sepatuku yang udah nggak aku suka. Tapi dia tersinggung nggak ya
kalau aku kasih sepatu bekasku? Masih bagus kok.
Dari
obrolanku dengan Hendra, aku tahu kalau Hendra ternyata uang sakunya pas-pasan. Dia masih bisa jajan sebenarnya,
tapi uang sakunya mau ditabung buat beli gitar katanya. Dia nggak mungkin minta duit ke
ortunya buat beli gitar, soalnya Hendra nggak enak banget ngomongnya. Dia juga sempat
menolak abis-abisan ideku untuk setiap hari mentraktirnya, akhirnya aku
mengusulkan supaya aku akan membawa bekal dari rumah untuk makan siang Hendra.
Daripada tu nasi-nasi mubazir kan buat makan ayam sama mentok-mentok dibelakang
rumah eyang. Hendra akhirnya setuju saja.
“Waduh,
ndoro priyayi doyan juga tho dahar ting kantin sekolah kampung.” Aku tidak tahu
apa arti ucapan Taufik yang baru saja masuk kantin tadi. Namun kalau didengar
dari suaranya, dia seperti menghinaku.
“Apa
artinya tadi Hen?”
“Itu
kamu, ningrat kok mau makan di kantin ini. Gitu kurang lebih.” Jawab Hendra
takut-takut. Aku tahu, Hendra sengaja memperhalus bahasanya, dia kan masih
kelas satu. Baru lagi, pasti lah takut dengan kakak kelas. Sepertinya Taufik emang mau cari
gara-gara denganku. Dia
pikir aku takut gitu? Lihat saja ntar! Senyum iblis langsung terkembang
dibibirku.
Bersambung
ye pamiarsa. . .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
leave comment please.