Okay, aku
harus relaks. Benar-benar relaks. Ini
hanya sekedar terapi Sen, biar nanti terbiasa. Namun tetap saja saat mataku
dengan jelas menangkap adegan mandi Herry dan Hendra yang dengan santai bilas
dihadapanku malah membuatku salting sendiri. Pengennya menikmati, tapi nanti
takut ketahuan kalau aku doyan lelaki.Tapi kalau nggak dilihat kok sayang
sekali. Itu kan tepat didepan mata gitu.
“Kamu
nggak ikut mandi tho Sen?” aduh, Herry jangan bertanya sambil menghadap ke
arahku dong. Itu
tititmu melambai-lambai pengen di elus-elus.
“Nggak! Dingin gini, ntar masuk angin!”
“Halah,
alesan!” kata Herry sambil melanjutkan acara bilasnya. Gila ya nih dua anak!
Exposed banget gitu.
Setelah
acara bilas selesai, kita kembali ke rumahnya Herry. Udah disediain banyak makanan. Aku kurang tahu nama-nama dari
makanan itu. Namun
saat aku mencoba ternyata enak juga.
“Ini
namanya Balung kuwuk mas! Cobain
tho mas Seno. Ayo,
Hendra juga cobain!” balung kuwuk? Aneh
banget namanya. Itu bentuknya kayak apa ya? Aduh, nggak berbentuk deh.Tapi
enak, walaupun agak keras di gigi. Ada
juga mendhut, kalau yang ini aku agak kurang suka. Lengket-lengket gitu sih. Terus karang gesing. Banyak deh yang disediain ibunya
Herry.
“Aduh Bu,
malah jadi ngerepotin ibu nih!” kataku kurang enak. Abis jumlah hidangannya
banyak banget. Kayak buat sepuluh orang.
“Ues tho
mas, gak apa-apa! Ibu seneng kalau mas Seno main kesini.” Aku hanya tersenyum
kecil. Akhirnya
karena hari sudah sore, aku memutuskan untuk pulang. Tentu saja Herry ikut, kan
motor dia masih ada dirumahku. Aku mengantarkan Hendra terlebih dahulu, baru
setelah itu kita menuju rumahku untuk mengambil motornya si Herry.
“Thanks
ya Her! Asik banget tadi.”
“Sama-sama
tho Sen! Eh, kamu
iki kok nggak pake mobil sendiri saja ke sekolah?”
“Gue
belom punya SIM bos!” kataku sambil mengantar Herry sampai pintu gerbang depan.
Herry segera menstater motornya, tersenyum padaku sesaat.
“Duluan
yo Sen! Aku balik dulu.” Aku mengangguk sambil tersenyum.
“Hati-hati
Her!” Herry masih sempat mengangguk sebelum akhirnya lepas landas. Hasyah!
Today is
beautiful day! Beneran deh, aku tidak pernah menyangka bahwa di tempat ini
tersembunyi tempat yang menakjubkan seperti tadi. Natural dan belom tersentuh dunia
modern.
“Kenapa
Sen? Senyum-senyum sendiri?” mamaku muncul dari dalam sambil membawa serabi. Aku yang sedang duduk santai di
kursi teras langsung malu sendiri karena ketahuan tengah senyum-senyum sendiri.
“Lagi
Happy nih ma Seno.” Aku mendekat pada mamaku sambil mengambil serabi yang
dibawa mamaku.
“Happy kenapa
nih anak mama yang cakep sendiri?” ya iyalah cakep sendiri, lha aku ini anak
tunggal kok.
“Pokoknya
Happy! Ini siapa
yang bikin Ma? Enak
banget!” tanyaku mengalihkan topic pembicaraan.
“Lek
Tukah! Eh kamu tu semenjak disini udah ketemu belom sama Adi?” keningku
berkerut. Adi siapa ya?
“Adi
siapa ma?”
“Kamu
beneran lupa tho Sen? Dulu
sebelum kita pindah ke Tangerang kan kamu mainnya sama dia!”
“Mama mah
aneh! Kita pindah kan Seno baru tiga tahun! Mana ingat Seno ma!” mamaku
geleng-geleng kepala sendiri sambil senyum-senyum malu.
“Hehehe,
iya ya. Ya udah, sebelum makan malam kamu main gih ke rumahnya Lek Tukah di
belakang, sambil ngembaliin piring ini.” Aku manyun. Memang sih kita pindah
pada saat aku usia tiga tahun. Lalu lebaran tahun berikutnya kita tidak ke
rumah eyang karena mama keguguran.Tahun berikutnya kita tidak datang lagi
karena mama harus operasi mengangkat tumor di rahimnya. Baru saat aku berusia enam tahun
kita sekeluarga bisa lebaran ke rumah eyang. Dan kalau aku ingat-ingat, aku
tidak pernah tahu tuh kalau Lek Tukah punya anak lelaki. Setahuku anaknya itu
si Karina! Dan itu cewek. Eh, kabar Karina gimana ya? Masa udah hampir sebulan
aku disini dia nggak main kesini sih?
“Aduh ma,
piringnya diisi apa gitu! Masa
iya mau dibalikkin kosongan gitu? Mana
kayaknya belom dicuci lagi!” mamaku meringis lagi sambil masuk kedalam. Lima menit kemudian mamaku sudah
balik lagi dengan piring berisi buah anggur.
“Mama
nggak bilang kalau punya anggur!”
“Baru
beli tadi sama papamu! Masih ada di meja makan tuh! Udah gih anterin dulu!” aku
segera menyambar piring berisi penuh anggur itu dari mamaku dan menuju rumahnya
Pak Dirman dan Lek Tukah. Rumah eyangku tuh besar banget! Mungkin kalau
dibangun secara modern bakal megah banget, seperti rumah artis Hollywood mungkin.
Tapi ya begitulah, eyangku itu tidak suka dengan yang namanya perubahan! Dulu
saja renovasi dilakukan karena rumah eyang emang beneran udah hampir bobrok!
Padahal duit eyang banyak banget!
Aku
berjalan sambil sedikit-sedikit mencicipi anggur yang aku bawa. Kan nggak etis nanti kalau
ternyata anggurnya asem. Halah, ngeles aja!
Ternyata
Pak Dirman sedang di teras. Rumah
Pak Dirman ini masih masuk wilayah tanah eyangku loh. Seperti yang aku bilang tadi
rumah eyang dan lahannya tuh hanya Tuhan yang tahu seberapa luasnya. Karena banyak rumah warga yang
dibangun diatas tanah milik eyang. Oleh karena itu, eyang disegani banget!
“Lha Mas
Seno! Waduh,
ada apa ini Mas?” Pak Dirman yang mengetahui kedatanganku langsung saja
menyambut dan menghampiriku.
“Nggak
apa-apa Pak. Ini mau ngembaliin piring.”
“Welah,
kok repot-repot iki tho Mas Seno. Nanti kan gampang diambil ibune anak-anak
tho!”
“Nggak
papa Pak, sekalian main kok.” Rumah Pak Dirman juga ternyata sudah direnovasi. Seingatku dulu masih terbuat dari
kayu sekarang sudah batu bata.
“Bu! Ini
lho ada Mas Seno! Masuk yok mas!” aku masuk dan duduk nyaman di ruang tamu
rumah Pak Dirman.Tidak berapa lama Lek Tukah muncul sambil kembali membawa
piring berisi anggur yang tadi aku bawa ditambah beberapa kue di toples.
“Waduh,
Lek nggak usah repot-repot! Seno
Cuma main kok!”
“Hush!
Mas Seno ini lho! Udah ayo dimakan! Itu teh jahe angetnya diminum.” Aku jadi
tidak enak sendiri. Itu tadi anggur kan aku bawa buat Lek Tukah masa iya
dihidangkan lagi buat aku? Hihihi.
“Karina
mana Lek?” aku yang tadi menjawab pertanyaan-pertanyaan sepele dari Lek Tukah
kini bertanya tentang sahabat kecilku dulu itu.
“Karina
sekolah di kota sebelah Mas
Seno! Ngekos
dia, pulangnya sebulan sekali. Nanti kalau pulang Lek suruh main”
“Kelas berapa
sekarang Karina Lek?”
“Dua SMP
mas! Maklum nggak naik kelas satu kali!” akhirnya aku hanya ngobrol basa-basi
sama Lek Tukah dan Pak Dirman. Mau pamit pulang rasanya nggak nemu kalimat yang
pas. Ponselku
bergetar. Sebenarnya
itu sms dari Herry tapi aku gunakan ini buat alasan aku pamit. Ntar mamaku bisa melotot karena
waktu makan malam bisa ditunda lagi gara-gara aku belom datang.
“Waduh,
Lek, Pak, Seno pamit dulu ya! Udah
dicariin mama!” alibiku.
“Lah? Nggak makan malam disini aja tho
Mas Seno?” tawar Lek Tukah.
“Lain
kali Seno main kesini lagi Lek. Ntar Seno makan malam disini deh! Janji!”
“Janji
lho ya Mas Seno. Ati-ati
ya Mas ya!”
“Iya
Lek!” aku segera menelusuri jalan yang tadi aku lewati. Belum genap setengah jalan, aku
bertemu seseorang yang mungkin menjadi daftar terakhir orang yang ingin aku
temui tahun ini. Taufik! Ngapain tu anak nyasar sampai kesini? Aku sengaja pura-pura tidak tahu. Sebodo amat dah, ngeselin sih
orangnya.
“Darimana
Sen?” hah? Nggak salah dengar nih kuping?
“Itu dari
rumah tetangga. Lo
sendiri?”
“Ini mau
pulang. Duluan
ya!” aku mangut-manggut bego. Ya
saking bingungnya dengan sikap Taufik barusan aku jadi seperti orang idiot.
Beneran dah! ini Taufik kesambet kali ya? Sumpah, Sikapnya kayak nggak ada
dendam sama sekali. Padahal kan sepertinya dia dendam pas MOS. Seperti punya
urusan pribadi gitu sama aku. Bodo amat ah! Makan malam sudah menanti! Cepet ah
jalannya!
***
Aku
tengah ngumpul bareng Herry dan Hendra di kantin saat Taufik masuk kedalam
kantin. Sepertinya
kemarin itu, Taufik emang kesambet. Lihat
saja ekspresi wajahnya ke arahku. Jutek banget kayak induk anjing baru beranak.
“Eh, foto
sing kemarin di kali kedu mana Sen?”
“Nih, mau
lo cetak Her? Nggak tau malu banget lo!” Herry meringis saja sambil
menerima ponselku. Dia
sepertinya takjub dengan fotonya sendiri. Berarti dia tidak hanya eksibis
namun juga narsis.
“Kamu
bisa nggak cetakkin? Kamu kan punya printer tho Sen? Ntar kertas fotonya aku
yang beli.” Aku mengangguk walaupun tidak mengerti. Maksutku, dia kan foto hanya
mengenakan celana dalam dan itupun basah. Buat apaan coba foto seperti itu
dicetak?
“Emang
buat apaan tho Her?” good job Hen! Seengaknya aku tidak perlu bertanya sendiri.
Thanks to Hendra.
“Rahasia.”
“Nggak
asik lo main rahasia-rahasiaan!” Herry
Cuma cengengesan saja. Kita
bertiga ngobrol ngalur ngidul. Ya
emangnya kita mau ngomongin soal pelajaran? Nggak mungkin kan? Nanti juga kita
masuk kelas pelajaran sudah menanti.
“Eh,
katanya kalo kita kelas tiga bakalan ada study tour ke Bali lho.” Ini Herry
yang mulai.
“Makanya
kan kita wajib nabung seminggu dua kali. Ya itu buat persiapan study tour.”
Sambung Herry lagi. Memang
sih, kita semua diwajibkan untuk menabung seminggu dua kali. Biar nanti pas
study tour tidak ada yang tidak ikut karena alasan biaya.
“Itu kan
masih lama Her! Dua tahun lagi.” Kataku pelan. Aku sengaja tidak menambahi
bahwa study tour SMPku ke Bali dan sudah sangat sering ke Bali, nggak
etis saja kali ya.
“Hehehe,
tapi aku seneng banget! Nggak
sabar!”
“Halah,
nanti kalo udah mulai belajar kamu yo lupa tentang Bali.” Aku tertawa saja
kalau Hendra dan Herry sudah mulai berdebat. Lucu aja lihat keduanya debat
dengan bahasa jawa. Walaupun aku nggak ngerti.
Seperti
biasa, kalau sudah jam pulang gini Herry sudah cabut duluan dengan motornya. Sedangkan aku dan Hendra masih
setia menunggu Pak Karyo menjemput. Tumben-tumbenan
Pak Karyo jemputnya terlambat. Biasanya
on time bahkan kadang-kadang jemput lebih awal.
“Pak
Karyo kok lama amat ya? Biasanya on time nih!”
“Macet
kali Sen!” aku menatap Hendra dengan jengah.
“Gila,
macet? Sejak kapan nih kota mengenal macet?”
“Hehehe. Sabar saja. Udah di sms belom?”
“Udah,
nggak ada balesan! Apa
gue telepon aja ya?” Hendra mengangguk. Emang mungkin lebih cepat kalau
aku langsung menelepon.
Ternyata
hasilnya juga nihil. Nggak diangkat! Akhinya aku menelepon mamaku.
“Ma,
jemput Seno dong!” kataku langsung begitu sambungan teleponku diangkat.
“Iya. Ini mama juga sudah di jalan. Pak Karyo sakit jadi nggak bisa
jemput kamu.”
“Oh, ya
udah. Cepet ya
ma.”
“Iya.”
Jawab mamaku singkat sambil mematikan sambungan telepon. Pak Karyo sakit apa?
Perasaan fisik Pak Karyo tuh terlihat sehat dan bugar banget.
“Piye
Sen?”
“Mamaku
lagi jemput kok Hen. Pak Karyo sakit.” Hendra hanya ber-ooo panjang. Aku sendiri tengah sibuk dengan pikiran-pikiranku
sendiri. Tidak
selang berapa lama mamaku sudah datang.
“Pak
Karyo sakit apa ma?” tanyaku begitu aku dan Hendra masuk mobil.
“Ini mau
nganterin Hendra dulu?” Mamaku
emang sudah hafal dengan Hendra. Ya
secara itu anak sering banget aku ajak main ke rumah. Tapi kok mama nggak menjawab
pertanyaanku sih?
“Ke rumah
aja ma. Hendra main dulu dirumah sama aku.” Mamaku hanya mengangguk.Tumben ini
mama nggak secerewet biasanya. Ada
apaan sih sebenarnya? Sumpah
aku jadi bingung sendiri.
“Perasaan
tadi pagi Pak Karyo masih baik-baik saja kok. Masa iya sekarang dia sakit?”
lagi-lagi mamaku tidak menjawab.
Aku
sedikit tersentak saat sudah memasuki gapura kampung tempat tinggal eyang. Ada bendera putih disana. Belum genap keterkejutanku, aku
sudah disuguhi pemandangan yang tidak biasa. Dirumah eyang banyak sekali
orang.
“Sen, Pak
Karyo sudah nggak ada Sen.” Ujar mamaku pelan. Aku syok jujur. Maksutku tadi pagi Pak Karyo
masih baik-baik saja. Aku
tahu itu karena dia masih mengantarkanku ke sekolah.
“Kapan ma?”
tanyaku tidak bertenaga.
“Tadi
siang. Pak Karyo tertabrak motor saat menyebrang jalan Sen.” Umur manusia
memang tidak ada yang tahu. Selama ini aku memang tidak tahu apa-apa tentang
Pak Karyo. Setahuku
dia dari dulu bujangan sampai berkeluarga memang sudah menjadi sopir pribadi
eyangku. Bahkan
sudah dianggap keluarga.Tapi aku tidak tahu apa-apa tentang Pak Karyo. Yang aku tahu hanya dia sangat
baik, ramah, sopan dan tepat waktu. Betapa jahatnya aku! Tidak mengetahui
apa-apa tentang sopirku. Aku
juga tidak pernah bertanya pada Pak Karyo tentang keluarganya. Damn me!
Aku turun
dari mobil dan berlalu ke kamarku. Setelah
aku berganti baju aku bersama Hendra dan mamaku pergi kebelakang.Ternyata rumah
Pak Karyo terletak dibelakang rumah Pak Dirman.
“Taufik?”
aku tidak habis pikir. Kok
ada Taufik? Aku juga
melihat beberapa senior yang aku kenal.
“Lha itu
kamu masih ingat sama Adi. Dia anaknya Pak Karyo. Temen main kamu dulu waktu
kamu kecil.” Aku berusaha mengingat-ingat, namun tetap saja tidak ada memori
tentang Adi di otakku.
“Taufik
itu Adi?”
“Taufik
Adi Widayat. Masa kamu lupa?” aku beneran tidak ingat. Sumpah! Sepertinya aku
harus menggali ingatanku. Namun
tidak sekarang pastinya. Taufik
dan ibu separuh baya yang aku taksir adalah istri Pak Karyo berjalan menghampiriku
dan mamaku.
“Ikut
berduka ya Bu.” Kata mamaku sambil menjabat wanita paruh baya tersebut.
“Nggih Bu
Lilis. Niki Mas Seno? Bagus
temen saiki nggih?” aku tidak mengerti yang mama dan wanita ini bicarakan. Aku hanya ikut menyalami wanita
ini dan sedikit terkejut saat wanita ini memelukku dengan sangat erat. Menepuk-nepuk pipiku sesaat dan
memandangiku gemas. Bahkan
air matanya semakin deras mengalir setelah melihat wajahku. Kenapa?
Lalu saat
aku menyalami Taufik. Jujur
dendamku hilang tidak berbekas. Aku
sudah tidak mengingat-ingat lagi kejadian-kejadian saat MOS dimana dia dengan
semena-mena menghukumku seenak jidat. Aku
melihat luka yang dalam di wajahnya. Kerapuhan
yang berusaha ditutupi dengan wajah tegar.Tidak ada air mata di wajahnya. Hanya matanya yang merah sudah
menunjukkan seberapa dalam luka yang dia derita.
“Aku ikut
berduka cita Mas Adi.” Aku tidak tahu kenapa aku memanggilnya ‘Mas Adi’. Insting saja. Dan aku bisa melihat sedikit air
muka terkejut di wajahnya.
“Iya
sama-sama Dek Angga.” Jawabnya sambil memelukku erat. Aku bingung. Dek Angga? Lagi-lagi
aku mengutuk otakku. Kenapa
aku bisa tidak mengingat satu momenpun bersama Taufik? Yang aku ingat hanya momenku saat
bersama Karina.Tapi bersama Taufik? Atau Adi? Tidak ada sama sekali. Lagipula
pandangan wajahnya tadi. Pandangan merindu. Sial! Adakah
sesuatu di masa laluku dengan Adi? Aku
dan Hendra hanya mengobrol kecil. Sedangkan
mamaku sudah menemani ibunya Taufik lagi. Beberapa kali wanita yang masih
terlihat cantik itu menangis di pundak mamaku. Dan sesekali juga melirikku
dengan tatapan merindu. Aku benar-benar tidak mengerti!
***
Aku
memandangi wajah mama dan papaku bergantian. Pasti mereka tahu sesuatu! Ini
sudah dua hari lewat dari waktu Pak Karyo meninggal dan kali ini aku tengah menginterogasi
mama dan papaku. Mereka
pasti tahu sesuatu, terlihat dari mereka berdua yang dari tadi hanya
berpandang-pandangan saja.
“Come on
Ma, Pa! aku siap kok nerima kenyataan apa saja! Termasuk kalau aku ternyata
adik kandung Adi!” teriakku putus asa karena kedua orang tuaku tetap tidak mau
membuka suara.
“Hush!
Kamu itu anak kandung papa sama mama! Wajah kamu saja nurun dari mama gitu!”
iya sih. Wajahku
memang wajah mama versi laki-laki.Terus? Kenapa Bu Marini –ibunya Adi-
menatapku sarat kerinduan seperti itu?
“Lah
terus apa Ma? Aku pengen tahu!”
“Ibu
Marini itu ibu susu kamu.” Deg. Maksutnya apa?
“Dulu,
waktu mama ngelahirin kamu mama tidak bisa mengeluarkan ASI. Ibu Marini yang menyusui kamu Sen.” Okay, I
knew it.
“Tapi
kenapa aku nggak ingat sama sekali sama Bu Marini sama Adi Ma?” papaku menarik
nafas panjang.
“Kamu
dulu nangis meraung-raung saat mau berpisah dengan Bu Mar. Mungkin kamu nggak
inget karena kamu masih tiga tahun waktu itu.Tapi saat kita datang lagi pas
lebaran, umur kamu enam tahun waktu itu. Kamu
menangis sejadi-jadinya waktu Bu Mar ingin memeluk kamu. Kamu ingat?” aku
samar-samar memang mengingat momen itu. Dimana aku ketakutan dan menangis
setiap ada wanita yang menurutku asing waktu itu ingin memelukku.
“Sejak
itu Bu Mar hanya mengamati kamu dari jauh. Beliau tidak tega melihat kamu yang
selalu menangis jika beliau mendekat.” Oh gitu. Gila ya! Kok bisa aku membenci
ibu susuku sendiri? Ya, tapi aku kan tidak bisa disalahkan juga. Aku masih
kecil waktu itu.
“Kenapa
sih Mama nggak cerita?”
“Lah kamu
nggak pernah nanya.” Aku merengut. Huh! Dengan langkah yang seolah-olah aku
tengah merajuk aku meninggalkan kedua orangtuaku yang tengah duduk di teras dan
bergegas masuk ke dalam kamar.
Apa iya
aku sekarang ke rumahnya Bu Mar saja ya? Minta maaf gitu. Ih, tapi bisa mati
gaya. Mau ngomong apaan aku nanti? Ah, masa bodo ah! Yang penting
aku main dulu kesana. Urusan
mau ngomong apaan bisa dipikirin ntar.
Aku
segera melangkahkan kakiku walaupun masih dengan ragu. Tersenyum kecil pada Lek Tukah
yang tengah menyapu halaman rumahnya.
“Mau
kemana Mas Seno?” tanya Lek Tukah sambil menghentikan aktifitas menyapunya
sebentar.
“Ini mau
ke rumah Bu Mar Lek.” Lek Tukah hanya tersenyum kecil sambil mengangguk dan
meneruskan aktifitas menyapunya. Aku
melangkah lagi dan semakin meragu. Aduh,
balik lagi aja kali ya?
“Lho Mas
Seno?” tepat saat aku mau membalikkan tubuhku, aku kepergok Bu Mar.
“Hehe,
iya Bu.” Aku menjawab salting. Nggak
ngerti harus bagaimana.
“Darimana?
Mampir dulu yuk ke rumah Ibu.” Aku hanya mengangguk dan menjawab tidak jelas
sambil mengikuti Bu Mar masuk kerumahnya.
“Mas Seno
sekarang udah gede ya? Gagah!”
aku kembali tersenyum tidak enak. Aduh, mau ngomong apaan nih?
“Lho Dek
Angga?” Taufik yang baru saja keluar dari kamarnya terkejut malihatku. Aku juga terkejut dan penasaran
pastinya. Karena
seumur-umur belum pernah ada yang memanggilku Angga. Bahkan mama dan papaku sekalipun.
“Angga? Kenapa Mas Adi manggil aku
Angga?” lalu aku melihat wajah kebingungan dalam raut Bu Marini dan Taufik Adi
Widayat. Beneran tambah nggak ngerti!
Bersambung
lagi. . .