CERITAKU 11
Syok? Pastinya, tapi aku tetap
berusaha tenang. Aku
tahu statusku masih pacarnya Andi, namun rasanya ada yang mengganjal saat tadi
Rehan mengatakan kalau dia menyukai Rafky.
“hei? Lu kenapa?”, Rehan membuyarkan
lamunanku.
“gak papa. Gua ke kelas dulu Re,
duluan ya!”
“sip!”
Aku bukannya melangkah ke kelas.
Percuma! Karena ini masih jam pelajaran bahasa Indonesia, bukan apa apa tapi
mata pelajaran satu itu mudah tapi aku tak pernah dapat nilai 10. Bahasa
Indonesia, PKn dan Bahasa Jawa!! Ketiga mata pelajaran ini, aku tidak
membencinya. Hanya
saja aku kurang menyukainya. Nilaiku selalu stuck di 7 dan 8 tak pernah lebih.
Menyebalkan!! Lihat saja pada Bahasa Jawa, tulisan ha na ca ra ka saja aku mesti buka kamus
kalau mau baca. Apalagi krama alus, krama inggil dan sekutunya, bikin puyeng! Aku
memilih untuk pergi ke lab komputer saja. Di sekolahku ada 3 lab komputer, 2
lab untuk mata pelajaran KKPI sedangkan 1 lab khusus untuk siswa guna mencari
tugas. Bisa digunakan untuk browsing, facebookan dll gratis pula. Ya tapi
karena gratis itu pula kecepatanya pun apa adanya. Penjaganya namanya pak
Totok. Masih
muda, wajahnya lumayan tapi sayang uda punya bini.
“ada yang kosong gak ni pak?”,
tanyaku begitu masuk ke lab komputer khusus siswa ini.
“kebiasaan. Bahasa Indonesia ya? Tu yang di pojok kosong”,
pak Totok menjawab tanpa mengalihkan pandanganya dari monitor. Pak Totok emang
uda hapal denganku selain karena aku sering mampir ke ‘warung’nya ini aku juga
sangat gemar remedial mata pelajaran KKPI. Walaupun memang bukan pak Totok guru
mata pelajaran KKPI, namun pak Totok lha yang mengurus anak anak yang remidi.
Dan aku termasuk di dalamnya, jadi jangan tanya padaku masalah jaringan komputer
dan sejenisnya. Atau tanganku yang akan berbicara. Hahaha, maaf ketawanya
maksa.
Walaupun ini masih termasuk jam
pelajaran tapi lumayan rame juga. Ya maklum lha, di sekolahku jam pelajaran
kosong sudah terjadwal. Khusus
untuk anak TPHP sudah bisa di pastikan kalau mata pelajaran mesin pasti kosong. Gurunya terlalu malas,
sehingga hanya selalu memberi tugas tanpa pernah menjenguk kelas yang dia ajar.
Dia masuk kelas kalau sudah akan di adakan tes semester. Untuk apa? Memberikan
soal yang akan keluar untuk tes semester lengkap dengan jawabanya. Jadi jangan
di tanya, anak TPHP tak pernah ada yang mendapat nilai di bawah 9 untuk mata
pelajaran mesin. Tapi kemampuanya dalam mesin? Nol besar!! Sekarang aku baru
menyesalinya. Dasar
guru jahanam. Tapi
kami juga salah.
Oke, kembali ke cerita. Maaf untuk penyesalan gak
pentingku. Aku
mulai berselancar di dunia maya. Jujur aku sendiri tidak konsentrasi
penuh. Kemana
sebenarnya perasaanku? Andi
ato Rafky? Untuk
mengharapkan Andi aku sudah putus asa, hingga kini Andi belum menentukan antara
aku atau Rika. Rafky?
Apa iya aku bisa bersaing dengan cowok semanis
Rehan? Aku meragukan diriku sendiri. Aku terlalu larut, bukan dengan
dunia mayaku namun dengan pikiranku sendiri yang tak tentu arah. Hapeku bergetar.
Kita perlu bicara
Sender
Myluph.
Ya Tuhan, bahkan nama Andi di phone
book ku pun belum aku ganti. Ini adalah smsnya yang pertama sejak kejadian aku
memergokinya berbocengan mesra dengan
Rika tempo dulu itu. Aku merasa belum siap, tapi sampai kapan? Masalah ini harus cepat
di selesaikan.
Okay. .
Balasku ke Andi. Aku harap apapun yang
nanti jadi keputusan Andi aku bisa menghargainya. Lagi lagi hapeku
bergetar, kali ini panggilan dari Rafky.
“napa Raf?”, jawabku.
“kaga ikut olahraga lu?”, kata Rafky
di seberang telepon sana.
“shit!! Gua lupa bawa kaos ma celana
olga. Mampus gua Raf!”
“Ya uda mampus aja lu sendiri”
“sialan lu Raf!! Gimana ni? Minggu
kemaren gua kan uda absen, masa sekarang absen lagi? Bisa di cincang gua ma Pak
Heri”, aku mulai panik dan membuat beberapa anak yang berada di lab komputer
ini menoleh ke arahku.
“akademis aja jago, olahraga jeblok”,
sumpah Rafky jutek gila.
“gua lagi kaga butuh pujian dari lu
Raf, gua lagi butuh solusi. Ini kan gara gara lu juga”
“gara gara gua gimana? Songong
lu!!”, sepertinya kadar jutek Rafky makin meningkat ni.
“sapa suruh lu maksa gua nginep di
tempat lu semalam? Karena kemaren terburu buru gua jadi lupa kan?”, aku mulai
mengeluarkan amunisiku.
“buruan lu ke kelas, gua temenin lu
minjem ke kelas lain.”. aku segera mematikan sambungan ponselku. Men shut down
komputerku dan berlarian menuju kelas. Sumpah, aku lupa kalau ada jadwal
olahraga. Beneran! Serius! Saat aku sudah tiba di kelas, hanya tinggal anak
anak lelaki yang sedang ganti baju.
“lu jangan ganti dulu. TEMENIN
gua!”, kataku pada Rafky. Rafky diam, mengurungkan niatnya untuk ganti baju dan
keluar kelas bersamaku.
“Muhadi tadi ada jam olahraga, lu
bisa pinjem dia”, kata Rafky sambil tetap berjalan tanpa menoleh ke arahku.
Wait, kenapa sikap Rafky seperti menjaga jarak? Kesalahan apa yang aku lakukan?
Setelah meminta ijin kepada Pak Heri terlebih dahulu bahwa kita akan terlambat,
aku dan Rafky langsung menuju kelas Muhadi.
“ganti dimana?”, tanyaku begitu kaos
dan celana training milik Muhadi
sudah ada di tanganku.
“toilet”, jawab Rafky singkat. Lagi
lagi tanpa menoleh ke arahku. Aku
mengikutinya menuju toilet di belakang lapangan volli, keningku berkerut. Toiletnya Cuma satu.
“ngapain bengong di luar? Kaga
ganti?”. Aku
memutar kedua bola mataku sebelum akhirnya masuk bersama rafky ke toilet. Awalnya aku biasa saja. Berusaha secepat mungkin
mengganti seragamku dengan kaos dan celana training milik Muhadi walau tidak
nyaman. Kaos
dan celana training ini, tidak hanya kebesaran tapi juga agak basah. Lalu aku menyadarinya,
tatapan tajam Rafky ke arahku. Rafky
sedang bersandar di pintu toilet, memakai celana trainningnya namun kaosnya
bertengger pas di pundaknya. Belum
di pakai.
“apa?”, tanyaku gugup. Ditatap
seperti itu benar benar membuatku senam jantung.
“sampai kapan gua harus menunggu?”
“maksud lu?”, aku benar benar
bingung.
“gua suka sama lu! Gua uda bilang itu
berkali kali. Gua pengen lu jadi pacar gua, bisa kan?”. Tenggorokanku tercekat,
entah aku harus bilang apa.
“kayaknya pak Heri uda nunggu kita
Raf”, kataku akhirnya
“persetan!! Jawab dulu pertanyaan
gua. Sampai kapan gua harus nunggu?”, tatapan mata Rafky serius. Aku hanya
terdiam. Pintu
toilet yang di ketuk mengagetkanku.
“ada orang di dalam?”, kata orang
yang mengetuk tadi.
“bentar”, Rafky membuka pintu tanpa
mengenakan kaosnya terlebih dulu. Meninggalkan aku yang masih termenung
sendiri.
“maaf mas, saya mau pipis. Uda
kebelet banget”, kata cewek yang entah-siapa-namanya yang berhasil
menyelamatkanku dari situasi yang belum aku harapkan tadi.
“oh ya, silahkan”, kataku tergugup.
Mudah mudahan anak ini tidak berspekulasi yang tidak tidak tentang aku dan
Rafky. Sepanjang
pelajaran aku tidak bisa konsentrasi, bahkan pada saat matematika sekalipun
yang merupakan pelajaran yang paling aku sukai. Beberapa kali aku menoleh
ke arah Rafky yang duduk di sebelahku. Namun rasanya Rafky seperti jauh. Ke akraban yang terjadi
antara aku dan Rafky akhir akhir ini seperti hilang tak berbekas. Rafky sama
sekali tak mengajakku berbicara semenjak tragedi-penembakan-di-toilet tadi.
Hapeku bergetar lagi.
Sepulang sekolah aku tunggu di ruang
seni
Sender
MyLuph
Aku mendesah pelan, apa yang harus
aku lakukan? Aku menyukaimu Raf, jujur! Tapi aku juga tak bisa bohong kalau
separuh hatiku masih tertinggal di dalam relung hati Andi. Dan aku tak ingin
menjadikanmu pelarianku Raf, tak akan.
“Nansa, tolong kamu kerjakan soal
nomor 3”, kata guru matematikaku tiba tiba. Aku gelagapan. Aku belum mengerjakan. Dan jujur aku sedikit
terkejut saat Rafky menggeser buku kotaknya ke arahku.
“ayo Nansa”
“iya pak”, aku membawa buku kotak
milik rafky. Mengerjakan soal matematika nomor 3 di white board, aku benar
benar menjiplak persis.
“ya, bagus. Kembali duduk, Mahali
tolong kamu nomor 4”.
Setelah duduk aku mengangsurkan
kembali buku kotak milik Rafky dan Rafky mengembalikan buku kotakku. Sejak kapan buku kotakku
berada di tangan Rafky? Aku
hanya melongo. Dan
aku melihatnya, sebuah tulisan di pojok kiri bawah.
Maafin
gua
Lupain
kejadian tadi di toilet
Gua
sabar nunggu lu
Aku menoleh ke arah Rafky dan dia
hanya tersipu malu. Aku
menikmatinya, wajah Rafky yang memerah entah kenapa sangat terlihat seksi di
mataku. Aku
mengambil kembali buku kotaknya. Menulisnya sama di pojok kiri bawah.
Aku
janji tak kan lama
Aku benar benar membulatkan tekadku. Putus dengan Andi dan
memulai yang baru dengan Rafky, kataku dalam hati mantab.
***
“bareng gua kan lu?”, tanya Rafky
tepat setelah bel tanda pulang berbunyi. Aku menggeleng.
“gua ada urusan Raf, ntar gua pulang
sendiri”
“sip lha! Gua duluan ya!”
“okey”. Rafky langsung beranjak
pergi sementara aku merapikan buku bukuku. Setelah memastikan tidak
ada yang tertinggal aku segera melangkah menuju ruang seni. Andi tadi sudah keluar
duluan, jadi mungkin dia sudah berada di ruang seni. Dan ngomong ngomong soal
Rika, dia tidak masuk hari ini. Entah
sakit atau bahkan sekarat aku tak peduli. Aku masuk ke ruang seni
yang tidak terkunci, sebentar lagi anak anak klub seni akan berdatangan. Kenapa
Andi malah memilih tempat ini?
“oey, seneng bisa liat kamu dari
deket lagi. Aku kangen kamu”, Andi tiba tiba memelukku dari belakang. Aku melepaskan pelukannya. Andi hanya berani
memperlihatkan ke akrabannya
denganku kalau tidak ada Rika? Aku harus putus dengan Andi! Aku bertekad dalam hati.
“kamu uda bisa mutusin?”, tanyaku
langsung ke inti permasalahan. Andi terdiam sesaat, memandangku lekat lekat.
“aku gak bisa tanpa kamu”
“tapi An. . .”
“aku belum selesai ngomong okey?”,
Andi memotong perkataanku.
“aku udah mutusin buat jauhin Rika, aku sadar kalau ternyata selama
ini kedekatanku dengan Rika membuat kamu sakit. Kita bisa kan mulai dari awal
lagi?”, mata itu. Mata yang berseri seri itu, mengapa masih bisa membiusku? Kemana perginya tekadku
tadi? Aku
seperti melemah, kebencianku terhadap Andi seperti padam. Aku berusaha mengingat
kemesraan Andi dengan Rika yang tak wajar untuk kembali mengobarkan tekadku,
namun aku gagal.
“mau kan Nan? Aku sayang kamu”, kata
Andi perlahan sambil merengkuhku ke dalam pelukanya. Dan anehnya aku hanya
pasrah. Namun
wajah Rafky membayang dalam benakku. Senyum malu malunya, wajah juteknya,
bibir kirinya yang selalu di tekuk ke atas jika sedang berpikir keras dan
wajahnya yang memerah tadi. Aku
melepas pelukan Andi.
“maafkan aku An, maaf”, kataku
terbata.
“kenapa?”, wajah polos itu seakan
akan kembali membiusku. Namun aku menggelengkan kepalaku, berusaha membulatkan
tekadku.
“aku tak bisa”, air mataku mulai
bergulir.
“Rafky?”.Aku hanya bisa mengangguk. Andi terdiam.
Aku berjalan keluar dari ruang seni,
meninggalkan Andi begitu saja. Rasanya
berat, tapi ini keputusanku.Tapi walau dalam keadaan seperti ini aku tidak
bodoh. Pertama tama aku harus menghapus air mata dan ingusku baru setelah itu
aku keluar dari ruang seni. Aku belum siap jadi pusat perhatian para siswa. Dengan air mata terurai
dan ingus kemana mana? Tidak,
terima kasih.
“Nan”, suara itu aku kenal. Aku
menoleh ke belakang, oh not now!
“hei Re”, aku berusaha terdengar
sewajar mungkin.
“kok lu belum pulang?”
“ada urusan tadi, lu sendiri?”,
tanyaku balik.
“kelas satu kan ada kesamptaan Nan”
“oh iye, good luck ya! Gua duluan”
“yoyoi”.
Aku berbalik dan melangkah menjauhi Rehan. Mungkin dia sedikit
curiga dengan suaraku yang agak parau atau dengan mataku yang memerah. Ah,
peduli amat! Saat ini aku harus fokus.
We need to talk
Pesan singkat itu aku kirim ke
Rafky, tak beberapa lama nama si Jutek menghiasi layar Hapeku.
“ngomongin apaan?”, Rafky uda
nyerocos duluan setelah teleponnya aku angkat.
“tentang lu sama gua”
“apaan?”
“yang tadi di toilet masih berlaku
kan?”, jujur aku deg degan gila.
“hha? Yang jelas dong lu!”
“gua mau jadi pacar lu”. Hha,
akhirnya aku ngomong juga. Tapi hening, sama sekali tak ada jawaban di ujung
sana.
“Raf?”
“lu dimana sekarang?”, sumpah! Rafky
kaga nyambung banget sih.
“masih di sekolah. Lagi otw ke
rumah”
“tapi masih di skul kan?”, tanya
Rafky ngotot.
“masih”, aku hanya menjawab pendek.
“ya uda tunggu situ!! Jangan kemana
mana”.Rafky langsung mematikan sambungan teleponnya. Ni anak maunya apa sih?
Kan aku uda bersedia jadi pacarnya? Apa susahnya sih tinggal bilang
terima kasih? Atau aku juga sayang kamu kek! Atau aku sangat beruntung dapat
cowok semanis kamu kek! Idih amit amit.
Aku dengan gontai melangkah ke
lapangan parkir dan setelah mendapatkan tempat duduk yang teduh dan nyaman aku
pun duduk. Sumpah,
ini kalimat kaga enak banget di bacanya. Ada usul? Lupakan! Kita
sedang serius. Cukup lama aku menikmati keindahan motor yang terpampang di
lapangan parkir ini, sampai hampir setengah jam.
Kita baru aja jadian (versiku, aku
dan Rafky sudah jadian. Entah kalau versi Rafky) dan Rafky mencampakanku di
lapangan parkir begitu saja? Ironis.
Sedikit lagi hampir satu jam, bahkan motor yang terparkir di lapangan parkir
ini pun bisa di hitung pake jari ketika Rafky dan motornya muncul.
“cepet naek”, kata Rafky tanpa
membuka helm. Aku memasang tampang cemberut. Bilang maaf kek, sorry
kek karena uda telat. Okey,
memang tidak bisa di bilang telat sih karena Rafky kaga ngomong jam berapa dia
bakal datang. Tapi setidaknya dia telah membuatku menunggu satu jam! Tidak
adakah niat baiknya untuk meminta maaf? Apa pilihanku salah ya?
Rafky membawaku ke rumahnya lagi dan
aku segera waspada. Jangan jangan Rafky langsung minta jatah nih? Hush!! Aku
belum siap. Setelah
aku dan Rafky masuk ke kamarnya, Rafky langsung MENGUNCI pintu kamar.Tanpa
menoleh ke arahku Rafky kemudian membuka baju seragamnya yang langsung membuat
mataku melotot.
“ngapain lu liat liat?”
“ye boleh aja kali. Pacarnya sendiri
kok”, aku benar benar menyesal mengatakan ini. Karena setelah kalimatku
selesai Rafky langsung melotot tajam.
“sejak kapan gua jadi pacar lu?”.
Jleb!! Jantungku seperti di tusuk jarum berlapis lapis. Emang ada gitu jarum
berlapis lapis? Lupakan! Mulutku benar benar
terkunci dengan perkataan Rafky barusan. Dan aku berusaha reka ulang
kejadian. Rafky
nembak aku, aku menerimanya (walau telat). Berarti secara hukum kita sudah
jadian kan? Halah makin ngaco! Tapi serius deh, kita uda jadian kan?
SEHARUSNYA.
“gua pengen bukti”, kata Rafky
kemudian setelah terdiam sesaat.
“bukti apaan?”, aku semakin gugup.
“lepas baju seragam lu”. Deg!
Kayaknya beneran Rafky minta jatah ni. Aku hanya diam, tidak langsung
melaksanakan apa yang di katakan Rafky.
“kok diem aja? Katanya lu sayang
gua? Lepas dong baju lu”. Kini aku tidak tersipu malu lagi, aku geram. Dengan perlahan aku
melangkah mendekati Rafky lalu menonjok tepat pada perutnya.
“gua bukan pelacur! Stop nyuruh gua
berlaku layaknya gua adalah simpanan lu!”, jawabanku di sambut oleh tawa Rafky
dan pelukannya. Rafky beberapa kali mencium keningku membuat aku tambah
keheranan.
“makasih Nan uda mau jadi pacar gua.
Gua percaya kok kalau lu emang sayang ma gua”, aku hanya terdiam. Menikmati diriku yang
lebur dalam pelukan Rafky. Entah apa yang aku rasakan, yang jelas aku masih sedikit syok dengan apa yang
dilakukan Rafky barusan.
“lu?”, aku benar benar bingung.
“ya? Kenapa sayang?”.Ya Tuhan, Rafky
manggil aku sayang.
“coba ulangi Raf”
“ulangi yang mana? Apaan sih? Marah ya gua kerjain
tadi?”
“kaga kok, gua kaga marah. Ulangi
yang kata sayang tadi”. Perasaanku
melayang dalam pelukan Rafky. Dan
terlalu bahagia untuk marah karena kejadian tadi.
“iya sayang. Lu kenapa sih?”, aku
merona. Aku benar benar bahagia.
Tok tok tok
Ketokan di pintu kamar Rafky
mengagetkanku. Untung
tadi sudah di kunci.
“Riri, kamu di dalam kan? Eyang mau
bicara”
Tbc. . .
Aku harap kalian masih menyukainya.
. .
Membosankan ya?
Tapi ntah mengapa kalau boleh jujur
aku menyukai part sebelas ini. . .
Dan kalau ada yang salah denganku
aku minta maaf. . .
Pembaca, aku benar benar minta maaf.
. .
Maaf. . .
Maaf. . .
Sudahlah, semoga kalian menyukai
tulisanku ini. . .
I wish all the best for you guys. .
.
Thanks. . .
ayo lanjut lage
BalasHapus