Peringatan
keras!!
Cerita
ini penuh dengan adegan fulgar dan seks juga pertumpahan darah. Cieileh!! Jadi
kalo engga suka dengan tema seperti ini harap jangan dibaca. Thanks!
***
Uki
Bagus Walantaga
Hari
Minggu ini kita bertiga, aku, Daniel sama Acha masih berada di Semarang. Baru
Senin sore besok kita balik ke Jakarta. Dan pagi ini, kita bertiga sedang
menikmati sarapan di kamarku dan Daniel. Kita bertiga tadi meminta room service
buat nganterin sarapan ke kamar. Daniel, masih memakai kaos buntung yang lobang
lengannya digunting hingga pinggang. Show off banget, dan provokatif. Bikin aku
gak konsentrasi dari tadi. Boxer pendek sepahanya juga tidak membantu.
Acha
di sisi lain membuatku kagum. Dia sama sekali tidak merasa terintimidasi
ataupun terpesona dengan penampilan Daniel. Kadang aku curiga dengan orientasi
seksual Acha. Lesbi kah? Ah, not my bussiness.
Kita
bertiga sarapan di balkon. Dan kenapa memilih kamarku dan Daniel bukan kamarnya
Acha? Alasannya sederhana, kamar kami berdua lebih luas. Dan ada balkonnya.
“Finally,
besok bisa balik Jakarta. I miss my apartment so much.” Daniel bicara sambil
menggigit paha ayam panggang kecapnya yang kedua. Yeah, you hear me right, yang
kedua. Dan belum ada tanda-tanda Daniel sudah kenyang.
“Lo
gak gereja Dan?” Acha mengambil orange juice, menyesap pelan, mengernyit,
mungkin karena agak asam. Namun habis dalam hitungan satu menit kemudian.
“Aah,
gue kan gak tahu gereja daerah sini Cha.”
“Alesan
lo! Bilang aja males!”
“Kan
gak ada temennya.” Daniel tak mau kalah. Mulutnya masih penuh mengunyah. Aku
baru tahu Daniel kalau makan persis kayak anak kecil, berantakkan! But, somehow
itu ngebuat dia tambah cute. Shit!
“Huuuu!”
Acha menoyor kepala Daniel dan berlalu kedalam. Mungkin mau cuci tangan. Aku
sendiri masih sibuk merhatiin Daniel yang sepertinya belum ada tanda-tanda
menyudahi sarapannya. Kalau aku jadi pacarnya, bisa bangkrut kali ya aku buat
membiayai makannya saja. Eh, aku jadi pacarnya Daniel? Hush! Keracunan apa aku?
Ya gak bakalan lah! Aku straight, aku straight!
“Kenapa
sih Ki?”
“Nothing.”
Kataku, kali ini sambil menahan tawa. Daniel mengangkat bahunya lalu mengambil
udang tepung, mengunyahnya penuh semangat. Persis anak kecil yang baru saja
makan udang. Aku makin susah untuk menahan tawa.
“Kenapa
lagi Ki?”
“Lo
tuh ya, cool tapi makannya berantakkan kayak anak kecil. Kayak adikku yang
masih delapan tahun tahu!” Aku entah kenapa secara refleks mengambil serbet dan
membersihkan pipi dan bibirnya dari nada kecap dan saos.
“Masa
sih?” Aku mengangkat serbetku, bekas melap bibir dan pipinya untuk menjawab
pertanyaan Daniel barusan.
“Barang
bukti ya? Hahaha.” Daniel mengambil orange juice. Sudah kenyang sepertinya.
“Eh,
tapi beneran lo punya adik delapan tahun? Lucu banget ya pastinya? Cowok atau
cewek Ki?”
“Cowok,
lucu gundul lo! Tiap gue balik, gangguin gue muluk! Bikin gak bisa santai di
rumah. Padahal di kantor uda stres berat.”
“Tapi
seenggaknya kan lo bisa ketemu keluarga lo tiap hari.”
“Lo
juga kalau mau bisa ketemu keluarga lo tiap hari.”
“Giling!
Gue balik kerja jam berapa? Jakarta Bandung lumayan bro! Weekend aja kadang
males balik.” Aku hanya tersenyum menanggapi perkataan Daniel barusan. Dia itu
emang gemesin ya? Aku baru tahu. Yah, beneran baru tahu. Selama ini kan aku
emang jarang ada trip bareng dia, ketemu juga di kantor doang. Di kantor kan
Daniel sengak abis. Beda aja sama sekarang.
“Eh
ntar jalan-jalan ke pantai yuk! Kata Pak Robby deket lho.” Daniel usul setelah
Acha muncul lagi di balkon. Rambut ikalnya sudah dikuncir kuda, membuat paras
ayu khas jawanya makin nampak.
“Gue
gak bisa. Mau istirahat aja di kamar hotel.”
“Gak
asik lo Cha! Uki, lo temenin gue ya? Gue pengen liat pantainya.”
“Oke.”
Jangan tanya kenapa aku jawab oke. Aku saja masih heran kenapa langsung refleks
mengiyakan ajakkan Daniel.
***
Ada
tampang kecewa di wajah Daniel. Aku juga sebenarnya, tapi yang ngebet ke pantai
kan Daniel. Jadi begitu melihat pantai Marina yang, well let say it, kotor,
Daniel kecewa. bukan hanya itu, kita juga gak bisa buat nyebur. Daniel masih
duduk-duduk di batu beton dan melihat kearah laut, wajahnya benar-benar tampak
kecewa.
“Es
kelapa muda?” Aku menawari Daniel sambil duduk disampingnya.
“Thanks.”
Diam dan hening. Antara aku ataupun Daniel tidak ada yang mau memulai
percakapan. Bedanya diam dan hening itu apa ya? Kan sama saja.
“Ki,
lo berapa bersaudara?”
“He?”
Aku masih kaget. Yang dari tadi diam, mungkin ada lima menitan tiba-tiba Daniel
nanya tentang sudara.
“Saudara
lo berapa?” Daniel mengulangi pertanyaannya.
“Tiga,
gue anak pertama. Kenapa Dan?”
“Enggak,
asik aja kali ya punya saudara. Dari gue kecil, yang gue punya cuman nyokap
doang.” Aku terdiam.
“Eem,
- ” Beneran gak enak mau nanyanya. Tapi aku penasaran.
“Bokap
gue?” Aku mengangguk.
“Gak
tau deh Ki, Gue juga belum pernah ketemu sama bokap gue.”
“Meninggal?”
“Mungkin
itu kedengeran lebih baik. Pulang yok, uda mulai sore nih!” Sebenarnya masih
banyak yang ingin aku tanyakan tapi, aku ragu dan sungkan.
Dengan
gontai aku mengikuti langkah Daniel. Beneran kan ini, semakin aku mengenal
Daniel, semakin aku merasa tidak mengenalnya. Dan semakin aku merasa tersesat
dalamnya.
Belum
juga rasa bingungku pudar, aku sudah dikejutkan dengan apa yang sedang
dilakukan Daniel sekarang. Aku tadi memang berjalan cukup jauh dibelakang, dan
sekarang aku melihat Daniel tengah berjongkok dengan seorang nenek-nenek
penjual makanan ringan.
Daniel
berbicara dengan tulus, tawanya selalu terdengar setiap beberapa detik sekali.
Sang nenek, juga ikut tertawa walau wajahnya terlihat agak kaget. Mungkin dia
tidak menyangka cowok setampan dan terlihat kaya seperti Daniel mau berjongkok
dan mengobrol bersamanya lama-lama.
“Buat
apa lo beli rempeyek sebanyak ini Dan?” Aku bertanya pada Daniel ketika kita
berdua sudah sampai di hotel. Yah, Daniel memborong semua rempeyek yang dijual
nenek-nenek tadi.
“Buat
oleh-oleh anak-anak kantor besok.”
“Sebanyak
ini?” Ada kali itu empat puluh bungkus dalam plastik kecil-kecil. Dan aku juga
jadi korban ikut repot membawakannya tadi. Belum lagi, Daniel tadi masuk mall,
dan aku menenteng-nenteng keresek besar berisi rempeyek, kalian tahu seberapa
malunya? Dan begonya, aku mau-mau saja.
“Pasti
habis lagi besok. Liat aja.” Iya sih, pasti habis. Anak-anak kantor adalah
anak-anak yang menganut ajaran orang bijak, ‘barangku adalah barangku, barangmu
adalah barang kita semua.’ Jadi, jangan heran kalau ada makanan nganggur di
meja, dalam beberapa menit kemudian sudah raib. Hal serupa terjadi juga dengan
bollpoint. Di kantorku, bollpoint dan makanan lebih berharga dari handphone dan
dompet, for your information.
“Kasian
lagi Ki neneknya, uda sore gitu rempeyeknya baru terjual lima bungkus. Jadi ya
gue borong aja semua.” Gak cuman lo borong, lo juga ngasih duit sejuta ke itu
nenek. Tentu saja itu aku ngomongnya dalam hati. Aku bukannya pelit, tapi
memberi satu juta rupiah ke orang tidak kita kenal itu pemborosan. Dengan
memborong semua jualannya saja, sebenarnya Daniel juga sudah membantu banyak.
“Cucunya
besok ujian, dan belum dapet kartu ujian karena belum bayar spp.” Daniel
berbicara sambil mengambil remote tv. Aku melongo, bukannya tadi Daniel sama si
nenek ketawa-tawa ya?
“Lo-?”
Aku tidak bisa melanjutkan pertanyaanku. Daniel yang berada di Semarang ini,
yang sekamar denganku ini, yang tadi ke pantai denganku ini, jelas berbeda
dengan Daniel sang technical food development. Berbeda dengan Daniel sang party
goers jago clubbing.
“Kenapa
Ki?”
“Enggak,
gak papa. Gak nyangka saja.” Daniel diam, mungkin masih menunggu kata-kata yang
akan keluar dari mulutku, “Gue gak pernah nyangka,- . . . Sorry kalo lo
tersinggung Dan, well, nenek-nenek penjual rempeyek tadi. Aduh gimana ya, gue
gak nyangka lo tipe orang yang . . . Eer, you know what I mean lah.”
“You
don’t know me that well kalo gitu.” Daniel tersenyum. Anjir, efeknya masih
sama, bikin jantung kebat-kebit.
“Serius?
Masa?”
“Pengen
banget kenal gue lebih dalam ya Ki? Ati-ati jatuh cinta lo.”
“Gue
straight, not interest into man.”
“Asal
tau aja Ki, gak ada cowok yang seratus persen straight di dunia ini. Dan gak
ada cowok yang seratus persen gay.”
“Gak
percaya.”
“Yakin?
I can turn you into gay if I want.” Daniel tersenyum sebelum akhirnya melahap
bibirku. Awalnya aku kaget, namun lama-lama aku semakin menikmati. Tiba-tiba
saja, terlintas Rafky –tokoh utama dalam novel lelaki terindah yang pernah aku
baca secara tidak sengaja- yang bingung saat Valen pertama kali menyentuhnya,
mengajaknya menikmati surga dunia. Sama sepertiku sekarang. Namun aku bukan
Rafky, aku Uki Bagus. Yang tentu saja takkan membiarkan diriku terbakar dalam
nafsu gairah. Belum saatnya.
“I
am not ready for this Dan.” Aku mendorong Daniel pelan. Dan Daniel hanya
tersenyum. Takutnya, aku akan menyesali apa yang baru saja aku tolak barusan.
***
Evan
Sutedjo
Gue
sedang duduk-duduk di Starbucks, nungguin Daniel yang masih di depan kasir. Gue
perhatiin, banyak cewek yang curi-curi lihat ke Daniel. Dengan kemeja pas
badan, lengan yang sudah digulung, dan dua kancing teratas yang dibiarkan
terbuka, Daniel memang benar-benar siap santap. Dia kemudian berjalan kearahku
dengan santai, tidak begitu peduli dengan tatapan ngarep cewek-cewek dan juga
ibu-ibu yang melihat kearahnya. Like I said before, he’s lucky bastard!
“Gimana
liburan ke Semarang?” Gue bertanya sambil menggigit pelan brownies gue. Aah, manisnya.
“Liburan
pala lo pecah! Gue kerja kali. Mana panas gila cong disana.”
“Uki?”
Pertanyaan gue itu membuat wajah Daniel merona. Hem, pasti something telah
terjadi nih bau-baunya.
“Hey,
hallo? Are you there?” Gue melambai-lambaikan tangan gue didepan Daniel.
Pertanyaan gue dijawab kaga, Daniel malah ngalamun.
“Oh.
Ya Uki fine, baik-baik aja.” Gue masih menatapnya, dengan begini ntar juga dia
bakal ngasih jawaban yang sejujurnya. Gue kenal Daniel sejak SD remember? Aah,
sebenernya males gue ngingetin ini mulu ke kalian. Tapi serius deh, gue ngerti
dalem-dalemnya Daniel itu kayak gimana, dan gue yakin pasti ada something ini
sama dia sekarang.
“Oke,
gimana kalau taruhannya kita batalin? Gue bakal kasih elo setengah gaji gue
bulan ini gimana?”
“What’s
wrong?” Gue mengambil capuccino gue dan menyesapnya pelan. Baru kali ini Daniel
mengibarkan bendera putih, setahu gue itu anak paling anti sama yang namanya
menyerah.
“Kayaknya
gue jatuh cinta sama Uki.”
“What?”
Oke gue hampir kesedak tadi.
“Lo
gak lagi bercanda kan? Gak lagi mau ngerjain gue or something gitu?” Lanjut gue
kemudian.
“Pengennya
gitu, but no. Gila ya Van, lo tau sendiri kan gue sukanya kayak cowok model
gimana? Bimo, Rasjid, trus Hendri, - ”
“Wait,
we rewind for one second, Hendri siapa ya? Bimo? oke. Rasjid? Oke. Hendri who?”
Beneran gue gak kenal Hendri. Bimo? Ya bos gue sama bosnya si Daniel itu emang
laki banget. Secara penampilan juga sikap. Idola para battem gue jamin. Rasjid?
Pacar serius pertamanya Daniel. Gue bilang, pacar serius pertamanya ya, jadi
jangan salah paham. Karena sebelum Rasjid, Daniel sudah mencicipi hampir semua
jenis ras lelaki yang ada di muka bumi ini. Chinese? Sudah, gue lupa namanya.
Sunda? Western? Jawa? Batak? Ah, sudahlah tak perlu gue bahas sepak terjang
Daniel.
Rasjid?
Well, mereka pacaran sewaktu dua-duanya masih kuliah. Bertahan hampir tiga
tahun kalau tidak salah. Sampai akhirnya Rasjid ketahuan selingkuh dengan cowok
lain. Dan parahnya, cowok lainnya ini gak lebih bagus dari Daniel. Gak adil
sebenarnya karena kadang Daniel juga pernah one night stand saat masih pacaran
dengan Rasjid. Hanya saja, Daniel main cantik. Rasjid? Dia gak one night stand,
dia beneran menjalin hubungan dengan orang lain selain Daniel.
Gimana
dengan Daniel? Frustasi? Ya, namun dalam hitungan jam dia bahkan sudah move on.
Perkataan yang masih jelas gue ingat diucapkan Daniel saat mendeklarasikan ke
move on nya adalah, “Cowok dengan selera buruk macam Rasjid itu tak pantas
untuk ditangisi.”
Dan
demikian, bahkan saat Rasjid memohon-mohon untuk balikkan –mungkin dia sadar
bahwa dia telah melepaskan berlian untuk mendapatkan perak, dia memutuskan
untuk mengejar berliannya lagi- Daniel dengan angkuh menolaknya.
“Hendri
Subakti, novelis idola gue.”
“I
don’t know him.”
“Ah
elo mah bacaannya men’s health mulu sih! Pokoknya, intinya, type-type gue itu
kayak mereka-mereka itu. Uki? Far. . . Far . . . Far from them!”
“Oke,
but, lo emang udah pernah ketemu sama who tadi? Hendri Subakti? Gue mau
ngingetin aja, teknologi rekayasa foto itu ngeri banget di jaman 2014 ini”
“He
eh, he’s totally hot!”
“Tapi
lo sukanya sama Uki kan?” Gue bahkan gak bisa menahan diri untuk buat gak
ketawa.
“Dia
bahkan gak lebih tinggi dari lo! Trus entar siapa yang jadi topnya? Atau kalian
beli dildo ntar?” Daniel merengut.
“Kata
lo Uki straight?” Gue diem mendadak.
“Ya
iya, tapi kalau Uki gay, gue bilang kalau ya, kalau lho. Kan gak lucu lo punya
top yang lebih slim dari lo! Lebih pendek dari lo.” Gue menahan tawa. Karena
mau gak mau, gue jadi bayangin. Cowok dengan body bak kontestan L’men macam Daniel
digagahi cowok skinny macam Uki. Well, sebenarnya Uki itu gak kurus. Dia ideal,
tapi lebih pendek dari Daniel. Daniel 180an, Uki mungkin hanya 165an, well,
kalian tahu maksutku kan?
“Shut
your hole bitch! Ada yang lebih genting nih dari itu.”
“Apa?”
“Uki
nolak gue.”
“Jelas
lah, dia kan straight.” Gue menyesap capuccino gue lagi, sebelum akhirnya gue
sadar apa yang dibilang sama Daniel. Nolak? Nolak?
“Eh
cong, lo gak nembak Uki kan?”
“Gue
nyium dia.” Gue melongo.
“Di
bibir.” Gue tambah melongo.
“Lima
menitan.” Gue sukses mangap.
“Trus
apa yang Uki bilang ke elo? Setelah elo nyium bibir dia selama lima menitan?”
“Dia
dorong gue dan dengan santai bilang, ‘I am not ready for this.’ Hah, gue
ditolak mentah-mentah. Rasa-rasanya belom pernah gue diginiin ama laki.
Biasanya nih ya, mereka langsung ngajak ngesong abis gue embat bibirnya.” Gue,
somehow antara pengen ketawa dan prihatin sama sahabat gue satu ini.
“Sabar
ya nak, masih banya lekong menarik di luaran sana. By the way, lo masih inget
kan nomor rekening gue?”
“Monyet
lo!”
***
Joshua
Daniel Pradipta
Kemarin
hari Senin, aku langsung ngajak Evan ketemuan. Begitu meletakkan
barang-barangku secara sembarangan di apartment, aku langsung ngajak Evan buat
ngopi bareng. Apalagi, kalau bukan membahas masalah Uki? Tapi bukannya mendapat
solusi, malah aku makin pusing. Saran Evan yang menyuruhku untuk menyerah soal
Uki jelas bukan karakterku. Menyerah sama sekali tidak masuk dalam kamus
hidupku. Oke, well! Yang taruhan sama Evan kemarin itu tidak masuk hitungan ya.
Aku
meletakkan rempeyek satu meja besar ke pantry.
“Wo,
ini boleh dimakan ya? Bilang aja sama anak-anak, kalau mau tinggal ambil.”
Sebenarnya, tanpa aku ngomong seperti itu, ini rempeyek juga bakalan habis.
Kantor ini penuh dengan jiwa-jiwa lapar akan makanan gratis.
Aku
naik keatas, dan di lantai dua aku berpapasan dengan Uki. Aku tersenyum
canggung begitu juga dengan Uki. Sepertinya sejak ciuman, yang aku lakukan
secara spontan dan kemudian aku sesali dalam-dalam setelahnya, aku dan Uki
mungkin tidak akan lagi bisa bersikap seperti dulu. Eh wait, emangnya aku dan
Uki dulu romantis, mesra-mesra gitu? Aah, dulu juga sudah jutek-jutekkan bukan?
Tapi dia yang di Semarang itu beda. Perhatian, terus lembut, pengertian, top
idaman banget, secara sifat ya.
“Mas,
Ini ada sample banyak banget dari GMC.” Andi, asistenku langsung menyambutku
dengan pekerjaan. Kalau dia bukan asisten andalanku, sudah aku marah-marahi
dia. Baru datang sudah dihadapkan pada pekerjaan. Nanya kabar dulu kek.
Aku
memeriksa beberapa sample. Dan ketika melihat kalender aku baru ingat bahwa FIA
itu sebentar lagi. Apa itu FIA? Well, FIA adalah Festival Ingredient Asean.
Semacam Pesta rakyat Jakarta, hanya saja disini stand-standnya adalah makanan.
Kebanyakkan makanan-makanan dengan ingredient unik dan baru. You know what?
Karena yang datang adalah bos-bos besar seperti Indofood, Nutrifood, Forissa,
Mayora dan lain-lainnya itulah, maka disini perusahaan seperti Savior ini bisa
unjuk gigi. Secara kita kan jualan ingredient, jadi ya kita harus bisa
memasarkan flavour kita secara maksimal dengan produk baru. Sapa tahu
formulanya nanti dibeli Mayora atau Indofood ya kan? Jangan Forissa, ribet dan
nawar mulu. Apalagi Sosro, aku paling sebal dengan RnD wanita tua yang dulu
sempat discuss denganku. Membicarakan rencana pengembangan teh ocha yang
bakalan dijadikan teh botol.
Karena
kelamaan dan kebanyakkan teoriku dicaci habis-habisan. Dia bilangnya sih
kritikkan, tapi dilihat dari cara dia mengkritik, aku lebih memilih menggunakan
kata mencaci. Lebih tepat. Maka aku langsung beralih ke Garudafood yang
kebetulan tengah membuat anak cabang perusahaan baru yaitu Suntory Garuda.
Walaupun Mirai Ocha hasilnya agak melenceng dari trial akhir, biarlah. Yang
pasti itu perusahaan masih membeli tea flavournya dari kita.
“Keep
di kulkas aja dulu Ndi. Masih jetlag nih gue. Masih belum bisa mikir.”
“Gaya
lo mas, cuman dari Semarang juga.”
“Bodo.”
Aku berjalan ke ruanganku. Menghidupkan komputer. Sambil menunggu komputerku
benar-benar ready, aku berjalan ke laboratorium lagi. Membuat kopi dari mesin
coffee maker –I need cafein- dan menambah sedikit cream dan susu.
“Lo
sakit atau ngantuk sih mas?” Andi asistenku memang dekat denganku. Jadi
penggunaan kata lo-gue, gak pernah membuatku tersinggung. Berbeda dengan Herman
yang selalu sungkan denganku.
“Stress
gue Ndi. Eh, lo tolong bikinin tea soda yang Minggu lalu gue kasih formulanya
itu ya? Mau gue evaluasi bareng Pak Bimo ntar.”
“Mau
jam berapaan evaluasinya?”
“Jam
sepuluhan.”
“Sip
Bos.” Aku berlalu kembali ke ruanganku. Mengecek beberapa email. Membalas email
dari Pak Deddy yang meminta sample. GMC juga, lalu Vina, Pak Bimo, Paul Manings
dari corporate. Haduh, baru juga gue tinggal empat hari. Hari libur gak diitung
dong ya?
Dengan
cepat aku mengeprint beberapa sample yang harus disiapkan oleh Herman. Oya, aku
mempunyai dua asisten. Andi, tugasnya lebih sering trial error denganku,
mengembangkan sebuah produk. Dia yang harus menimbang secara teliti
formula-formula yang sudah aku beri agar menjadi sebuah produk.
Herman,
cowok jawa manis itu lebih ke stock barang-barang di laboratorium. Termasuk
market sample, yang kebetulan selalu aku beli lebih agar bisa dimakan
sewaktu-waktu jika warga lab mengalami kelaparan. Market sample adalah
produk-produk baru, new release yang harus kita evaluasi. Fungsinya? Supaya
kita tidak ketinggalan dengan issue apa yang sedang hits diluar sana. Dan
tugasku pula untuk mereview apakah produk baru itu akan bertahan lama dipasaran
atau akan jatuh beberapa saat kemudian.
Dan
tugasku pula, apakah kita juga harus ikut nyemplung atau biarkan lewat saja
karena itu produk tidak bakal menjanjikan. Contoh gampangnya, Indomie goreng
cabe hijau. Walau sempat terjadi euforia namun aku malah mengusulkan pada
Indofood untuk membuat mie keriting. Keluarlah bulgogi dan semacamnya. Walau
belum booming-booming amat.
Aku
menyerahkan semua daftar yang sudah aku print rapi ke Herman, beserta surat
pengantarnya. Herman sudah hafal apa yang harus dia lakukan. Suara Michael
Bubble mengalun lembut dari entah handphone milik siapa. Aku tidak pernah
melarang assistenku untuk mp3an, main handphone, internetan di lab, whatever,
karena aku toh juga melakukannya. Asal, kerjaannya beres. Kalau masih
berantakkan, jangan salahkan aku kalau surat peringatan melayang.
“Jam
sepuluh harus sudah siap tea sodanya ya Ndi? Ntar Pak Bimo bakalan keatas.”
“Oke
mas.” Ini sebenarnya yang aku takutkan. Evaluasi new produk, new formula itu
dilakukan oleh aku as technical, Pak Bimo sang bos besar dan sales. Termasuk
Uki. Bertemu Uki dan Bimo secara bersamaan? Aku belum siap. Aku belum ngobrol
apa-apa ke Bimo. Sudahlah, aku sepertinya sudah tidak jatuh cinta lagi padanya.
Bukan berarti Bimo jadi buruk rupa, he is still hot like a fuck!
FYI
aja, aku suka dengan cowok-cowok pintar. Rasjid contohnya, penggila
perpustakaan itu langsung membuatku jatuh cinta saat aku pertama kali bertemu
dengannya. Dia cool, penggila gym but smart. Di kampus, tongkrongan favoritnya
saja Perpustakaan. Bukan untuk tidur sepertiku dan Evan, tapi beneran untuk
belajar. Satu-satunya cowok yang tidak bisa aku kalahkan dalam berdebat.
Tapi
siapa sangka cowok penggila perpustakaan itu ternyata selingkuh? Aah, lupakan.
Then
Bimo. Di usianya yang masih awal 30an, sudah bisa menjadi general manager di US
Company? Jelas bukan karena faktor tampang ya, karena interviewnya sendiri di
US bersama Paul Manings, sama sepertiku dulu saat sudah lulus interview dengan
Bimo. Aku exactly ngerti banget Paul Manings gak bakalan mempan disogok wajah
ganteng. Dia straight.
Bukan
berarti fisik jadi terlupakan. Aku gak mungkin memacari cowok yang gak mungkin
gak bisa aku peluk karena dia bau badan kan? Don’t get me wrong, brain number
one, wallet number two and fisic actually number three.
Aku
tetap profesional ketika Bimo, Deddy, Vina dan Uki sudah berada di lab. Deddy,
Vina dan Uki adalah sales food divison. Sebenarnya mereka juga diperbolehkan
untuk mempromote fragrance, hanya saja untuk food divison saja mereka sudah
kewalahan, mana sempat promote divisi lain?
“Sodanya
berasa sih, tapi terlalu asem ini kalau menurut gue. Untuk tea lho ya, emang lo
pakein acid berapa persen Dan?” Deddy ini seniornya para sales. Karena dulu dia
juga technical, sebelum akhirnya banting setir jadi sales, dia paham betul
beberapa formula yang aku pakai.
“Satu
persen.” Aku menjawab santai. Masih menunggu pendapat dari Bimo, Uki dan Vina.
“Kalau
saya sih pas. Karena kan sodanya nendang banget, asemnya gak begitu kerasa,
ditambah tea nya yang kerasa tapi gak ganggu. Uda pas sih. Gimana Vin? Ki?”
Bimo oke nih ya. Jangan bilang karena faktor aku adalah bfnya, dia bilang ini
oke.
“Terlalu
asem. Aneh, bener kata Pak Deddy, ini kan tea, jadi kalau asem gini malah jadi
aneh.” Uki ini balas dendam atau gimana sih?
“Kalau
aku sih Oke. Pas kok, asemnya justru bikin tea flavournya makin boosting.”
Vina, the sexiest woman in Savior ini memang sopan santunnya ngalahin
cewek-cewek keraton.
“Jadi
dua sama nih? Kalau gitu besok Rabu pas evaluasi sama RnDnya Mayora saya bikin
dua prototype saja ya? Satu tanpa acid dan satu lagi yang ini. Gimana? Yang
lainnya sudah oke kan? Atau perlu ada yang dikurangi?”
“Oke.”
Akhirnya. Tumben evaluasinya lancar gak alot seperti biasanya. Kita memang
biasa evaluasi secara internal dulu sebelum di evaluasi dengan custumer.
Sebelum di evaluasi internal, tentu saja sudah aku dan Andi evaluasi terlebih
dahulu.
***
“Lo
pulang jam berapa?” Uki tiba-tiba muncul di Lab disaat aku tengah membuat mie
rebus dengan microwave. Oke, sebenarnya salah menggunakan fasilitas kantor
untuk kepentingan perut, tapi diluar sedang hujan deras. Males banget kan kalau
mau keluar? Herman sedang kebawah, dia tengah memeriksa stock susu. Andi sedang
ada beberapa keperluan yang perlu dibicarakan dengan HRD.
“On
time. Jam enam langsung balik gue. Kenapa?”
“Makan
yuk. Bakmi GM. Bill for me” Aku memutar kedua bola mataku.
“Lo
mau nraktir gue di Bakmi GM? Really? Gak sekalian McD?”
“What
can I say? I am cheap. Kan lo harus siap buat makan sederhana kalo lo pacaran
sama gue.” Aku langsung keselek mouse komputer. Apa tadi Uki bilang? Pacaran
sama dia my ass! Mau dong tentu saja.
“Kayak
gue gak tahu gaji lo sebulan berapa.” Uki tertawa.
“Terus
kamu maunya ditraktir dimana?” Aku diam sejenak. Mikirnya harus benar-benar
serius. Aku gak tahu Uki mentraktirku dalam rangka apa, itu tidak penting kan?
“Partico?
Atau Cork and Screw?”
“Aku
kan gak minum Dan. Gila kamu!”
“Social
House then.”
“Oke,
kamu ke apartment dulu ntar pulangnya. Kita berangkat pake mobilku aja.”
“Oke.”
Uki masih tersenyum ketika meninggalkan lab. Dan ketika aku kembali akan
berkonsentrasi dengan mie rebusku, Evan sudah muncul disampingku sambil
cengengesan.
“Ciye
yang udah aku-kamu an ama yayang.”
“Anjrit!
Sejak kapan lo nguping? Sembunyi dimana lo tadi?”
“Gak
penting lagi gue kasih tau persembunyian gue. Jadi sekarang pacaran lo sama
Uki?” Evan bertanya sambil mengunyah rempeyek yang tadi pagi aku bawa.
“Anjing
gila! Gue aja masih bingung kenapa tiba-tiba Uki ngajak gue makan malam
bareng.”
“Mau
nembak elo itu pasti. By the way, rempeyeknya enak banget. Lo beli dimana sih?”
“Di
Semarang. Ah, masa Uki nembak gue. Lo masih inget gak ucapan lo apa? Uki itu
straight!”
“Gue
koreksi sekarang ya, gak ada cowok straight manggil cowok lain dengan sebutan
aku kamu. He’s totally fall for you.” Kriuk, kriuk, kriuk. Itu suara Evan
ngunyah rempeyek jadi bikin pengen.
“Oke,
berarti bisa dong gue minta balik duit yang udah gue transfer ke elo?”
“Hahaha,
ntar gue beliin lo baju bagus di Zara deh.”
“Kayak
gue gak tahu di Zara lagi ada diskon aja.”
“Hahaha,
uda ya, gue cuman mau minum teh botol di kulkas aja tadi. Eh, malah denger lo
sama Uki aku-kamu aku-kamu an. Hahaha, gue kebawah dulu ya. Oya Dan, be ready
aja, jangan lupa kondom. Pasti kejadian deh ntar malem.”
“Sinting
lo!” Dan Evan hanya tertawa sambil berlalu.
TBC
. . .