Chapter
Sembilan
Shandy
Pov
Aku
membenci Gani? Tidak juga. Iri? Mungkin. Awalnya, aku hanya naksir Beno. Itu
saja, lalu kemudian aku tahu bahwa Beno sudah mempunyai pacar. Gani. Dia
benar-benar cowok yang beruntung. Wajah manis khas type-type bottom primadona
para top. Aku tadi sempat menelusuri twitter Gani. Cukup kaget juga setelah
mengetahui bahwa Denny adalah mantannya. Wow.
Sepertinya
dia cukup sukses memikat cowok-cowok high quality. Denny, hmmm. Aku juga sudah
memfollow akun twitternya. Syukur-syukur difollback. Bukankah para homo bakalan
suka sama wajah-wajah sepertiku? Tiba-tiba aku mendapat ide. Tanpa menunggu
lama aku langsung mengganti avatar twitterku menjadi fotoku yang tengah
shirtles. Good job.
Aku
baru saja mau mengirim picture ketika Bbku bergetar. Temmy, ngapain malem-malem
gini telepon?
“Napa
Tem?”
“Gue
ada job buat lo. Fee nya gede, tapi beda dari biasanya.” Aku langsung mengubah
posisiku menjadi duduk. Job! Berarti duit dalam rekeningku bakal nambah.
“Beda
gimana?”
“Lo
bisa nemuin gue di office sekarang kaga?” aku melirik jam dinding yang
terpasang tepat di atas almari. Jam sembilan malam. Belum terlalu larut
sebenarnya, namun entah kenapa aku agak ragu.
“Gimana?
Bisa gak lo? Kalo gak gue oper ke model lain nih.”
“Oke,
gue otw. Bye.”
Dalam
waktu kurang dari 30 menit aku sudah mengganti bajuku dan berada di pinggir
jalan besar untuk menunggu taksi. (Aduh, ini buat ngisi teks sebelum si Shandy
tiba di office nya Temmy diisi apaan ya? Kalau tiba-tiba aku sudah sampai gitu
kan agak gak nyambung gitu kan ya? Sudahlah ini enggak penting. – Penulis Pov)
Office
sudah kosong. Meja tempat Galang bekerja juga sudah rapi. Hmm, dengan agak
berhati-hati aku menuju ruangan Temmy. Disana juga sudah ada Rendy dan wait,
aku belum pernah lihat anak itu sebelumnya. Manis, mungkin usianya masih
belasan. Dibalik kaos polonya, aku bisa menebak kalau anak ini juga mempunyai
body L’men wanna be. Kalau tidak, ngapain dia disini?
“Oh,
lo dateng juga. Kenalin nih Shan, Tian. Tian, kenalin ini model gue Shandy.” Kata
Temmy begitu batang hidungku sudah terlihat olehnya.
“Hi,
gue Tian.” Ganteng!
“Shandy.”
“Oke,
jadi langsung aja gue jelasin ya projectnya bakal kayak gimana. Ada klien yang
minta buat foto underwear, buat promosi. Orang Thailand. Kita bakal ambil gambarnya
di outdoor, gue uda nemu tempat yang pas dan yah, privasinya lumayan kejaga.”
Aku masih bingung. Kata Temmy tadi bakal sedikit beda. Lalu apa bedanya? Toh,
aku juga sudah sering foto dengan underwear, bahkan yang tanpa apa-apa saja aku
sudah pernah.
“Modelnya
kalian bertiga. Ada foto single, lalu berdua. Dimana masing-masing dari kalian
bakalan berganti pasangan. Dan ada season foto kalian bertiga. Naked.
Bener-bener naked. Artinya, foto perkakas lo bertiga bakal kena shoot kamera.
Dan selama proses foto ada dokumentasi video. Seperti yang gue bilang fee nya
tiga kali lipat dengan fee yang biasa kalian dapetin.” Temmy memandang kita
bertiga secara bergantian.
“Ada
yang keberatan? Bilang sekarang, biar gue punya waktu buat cari penggantinya.”
“Gue
oke-oke aja.”
“Gue
juga gak ada masalah.” Oke, sekarang tinggal aku yang belom memberi jawaban. Di
video?
“Videonya
bakal diedarin?” Akhirnya aku memberanikan buat bertanya. Temmy hanya
mengangkat kedua bahunya.
“Gue
gak tahu, karena seluruh picture dan video bakal dikirim buat klien. Hak dia
buat mau diapain itu video.
“Gak
ada sex scene kan tapi?”
“Gak
ada. Gue bisa jamin yang itu.”
“Tiga
kali lipat?”
“Iya
Shan! Gimana? Lo ambil apa kaga?” Aku menimbang-nimbang keputusanku selama
sesaat.
“Oke,
gue ambil.”
“Good!
Persiapin diri kalian, fitnes, jaga badan! Proses shooting bakal diadain minggu
depan di villa milik temen gue.”
Aku
berharap aku tidak salah ambil keputusan.
***
Gani
Pov
Kelas
tengah kosong, karena guru-guru tengah ada rapat. Sebenarnya ada tugas yang
wajib dikumpulkan nanti. Tapi aku sudah selesai mengerjakannya. Bareng Elliot.
Jadi aku sekarang free dan nganggur. Sambil sesekali aku menyapu pandangan ke
segenap penjuru kelas. Isinya juga sama, anak-anak yang sedang sibuk menyalin
tugas. Tugasku sendiri sudah entah berada dimana.
Aku
berdiri dan memilih untuk duduk dipojok belakang. Membuka akun twitterku dan
dengan iseng searching akun-akun yang sering mengupload foto-foto hot. Yah
kadang-kadang ada yang asian bahkan Indonesia.
Aku
sekali lagi mengamati keadaan, setelah aku merasa bahwa anak-anak yang lain
tidak akan merusuhiku paling tidak untuk tiga puluh menit kedepan, aku mulai
searching. Sekarang ini, twitter lebih bisa diandalkan untuk hal-hal berbau
pornografi ketimbang google. Searh saja pake hashtag LokalHangat, LinkBokep,
GayVid, pasti langsung banyak bermunculan. Buahahaha.
Aku
kembali fokus ke smartphoneku. Mau tidak mau aku sedikit on. Ya mau gimana
coba, gambar-gambar setengah telenji hot gitu kan bisa banget bikin greng.
Eh,
aku seperti kenal gambar barusan. Gambar seorang cowok yang hanya ditutupi
underwear basah yang sayang sekali tidak bisa menutupi bayangan tititnya yang
kecoklatan. Shit! Gak ada tag accountnya lagi. Aku langsung menelusuri akun
yang memposting foto tersebut.
Temmy
Wijaya.
Di
bio twitternya sih ditulis kalau dia seorang fotografer. Dan foto yang aku liat
tadi. Itu jelas foto Shandy. Oke, dia stripper, mungkin dia juga tidak bakal
jauh-jauh dari pekerjaan seperti ini. Model hot atau Hot model? Ya gak penting
juga ya tinggal dibolak-balik ini. Banyak sisi Jakarta yang bahkan aku pun
belum tahu dan sepertinya aku juga tidak ingin tahu.
Oke,
item followingnya sedikit. Siapa tahu dia follow Shandy. Gila, aku jadi seorang
stalker! Gak papalah yang penting gak kepencet favorite atau keretweet aja.
Hahaha.
Oke,
gotcha!
Hmm,
dari sebagian besar foto yang dia upload sih sepertinya dia memang suka pamer
badan.
Aku
beralih melihat isi dari kicauan si Shandy. Aah, ini anak tipe yang sering
nyampah di timeline juga ternyata. Sepertiku. Hahaha. Eh wait, di bionya ada
nomor handphonenya.
Isi
bionya sih lebay banget, for contact you can call 081 sekian sekian sekian.
Kayak sekuter aja.
Hmmm.
Aku belum pernah sesebel ini sama orang tapi ya sudahlah, aku mau ngerjain dia.
Mungkin ini yang disebut The Insting Of Botty. Alias cemburu buta. Hahaha.
***
Minta
bantuan Beno? Enggak mungkin, Beno jelas kenal sama Shandy. Bahkan mungkin uda
ada nomor kontaknya. Radit? Aduh, hopeless deh sama dia. Yang ada ntar kita
berdua malah ngondek-ngondekkan gaje. Pandanganku tertumbuk pada sosok yang
sampe sekarang masih aku anggap sebagai Taylor Lautnernya sekolahku. Denny.
Aah, tapi gimana ngomongnya? Denny kan walaupun pendiem gitu suka ribet
kadang-kadang.
“Tumben
lo mojok diem gini? Tugas lo emang udah selesai?” Aku menengok kesamping dan
seketika mendapat pencerahan. Tantra! Doi tajir, aku melihat Tantra atas bawah
dengan teliti. Good looking juga. Gak perlu cari korban karena korbannya sudah
mendekat.
“Gue
butuh bantuan lo!” Aku segera menyeret Tantra keluar dari hingar bingar kelas.
Sedih juga karena sebentar lagi kita bakal naik kelas tiga. Tinggal menghitung
hari lagi.
“Gila
lo! Salah apa itu anak sama lo?” Suara Tantra lumayan kenceng saat aku sudah
selesai mengeluarkan ide gilaku mengerjai Shandy. Aku dengan lemah menggeleng.
Masalahnya, Shandy memang tidak ada salah denganku. Dia menyebalkan, iya! Tapi
bukan berarti aku bisa mengerjai dia seperti ini.
“Iya
juga sih. Ya udah deh lupain aja. Mungkin tadi gue terlalu iseng jadi kepikiran
yang iseng-iseng juga.”
“Mending
temenin gue ke kantin.”
“Enggak
sama Ian atau Beno?”
“Mereka
masih sibuk nyalin tugas akhir ini. Kapan lagi ke kantin berdua ama gue? Sapa
tau entar di kelas tiga kita gak sekelas lagi. gue traktir.”
“Oke.”
“Buset,
traktir itu masih work ya buat mancing elu!”
“Uda
deh buruan. Rempong!” dan Tantra hanya tertawa.
Nongkrong
berdua bareng Tantra di kantin ini baru pertama kalinya. Biasanya bakal ada
Beno, Ian atau Radit. Tapi sekarang? Hanya kita berdua. Mau tidak mau, aku jadi
mengamati Tantra lebih seksama. Suer deh, kayaknya gay itu punya tabiat buruk curi-curi pandang
ya kalau didekat cowok bening? Atau ini hanya terjadi denganku?
Tantra
tidak jauh beda dari Beno secara fisik. Putih, tinggi dan atletis. Hanya saja,
Beno populer, Tantra tidak begitu menonjol. Setahuku, Tantra tidak ikut
tergabung dalam ekstrakurikuler apapun. Tidak ikut basket seperti Denny,
football seperti Beno atau, aku memutar kedua bola mataku sebentar. Rohis
seperti Radit. Oh lupa, aku juga tidak ikut tergabung dalam ekstrakurikuler
apapun.
“Kenape
lo? Baru sadar gue keren?” Aku tersedak siomayku.
“Lo
emang keren Tan, gue akui itu. Tapi kenapa lo gak populer ya? Maksut gue, dari
jaman baheula lo uda kemana-mana bareng Beno. Masak iya lo gak kecipratan
populernya Beno sih?”
“Gue
beda dari cowok lo yang gayanya flamboyan tapi sok cool itu! Gue ini
introvert.” Tawaku sukses meledak. Introvert? Come on!
“Lo
introvert? Oke, I believe it.”
“Lo
bilang percaya tapi sambil cengar-cengir gitu. Gue serius, gue mudah banget
ngalamin yang namanya akward moment. Gue gak terlalu suka ngumpul sama anak
baru. Ya seperti yang lo bilang, that’s why temen gue dari dulu cuman Beno sama
Ian doang. Gue gak jago bergaul Gan. Serius!”
“Tapi
ini lo lagi ngobrol sama gue.”
“You
are nice and sweet, may be itu kali ya yang bikin gue gak ngrasa strange kalo
lagi deket sama lo Gan.”
“Nice
and sweet? Ngaco lo! Kita baru ngobrol berdua tuh baru kali ini lho.”
“Jadi
lo gak notice kalau gue suka merhatiin lo diem-diem?” Aku setengah kaget.
Tantra?
“Becanda
kali. Hahaha.”
“Sial
lo!”
“Ngarep
gue perhatiin?”
“Haha,
thanks Tan. But seriously, I don’t need. Diperhatiin sama Beno dan Denny aja
kadang uda bikin stres.”
“Jadi
bener lo pernah pacaran sama Denny?”
“I
did.”
“Mantep
lo ya! Hahaha.”
***
Gw
punya lagu buat lo
Aku
tersenyum sendiri membaca BBM dari Tantra. Tumben ini anak BBM bukan urusan
sekolah atau urusan yang penting.
Apa?
Tanpa
menunggu lama,
All
Of Me
Alisku
mengkerut. John Legend?
Uda
pnya.
Aku
memasang earphone kedalam telingaku ketika ada wa dari Beno yang ingin mengajakku
keluar. Dia uda ada dibawah ternyata.
Ini
gw yg nyanyi. Mau gak? Gw send ya?
Tantra
bisa nyanyi?
Oke.
Aku
buru-buru turun kebawah. Dan ternyata Mbok Parni sudah membukakan pintu untuk
Beno. Pacarku itu mengenakan jeans pas badan, oke bener-bener pas dan kaos yang
ehm sekali lagi juga pas badan. Kalau aku lihat, sepertinya badan Beno makin
jadi.
“Kok
gak bilang mau kesini?”
“Surprise
aja pengen ajak kamu makan.”
“Oke,
tunggu bentar ya, aku ganti baju dulu.”
“Oke,”
Tanpa menunggu waktu berjalan lebih lama lagi aku segera naik keatas. Berganti
baju yang menurutku gak jelek-jelek amat buat diajak keluar, semprot parfum
dikit, sisiran sekilas. Oke. Thanks to God, aku punya bibir merah siap cipok.
Hahaha.
“Radit
belom pulang ya? Kok gak keliatan tadi?” Aku mengangguk sambil mengikuti Beno.
“Tadi
uda balik trus pergi lagi sama Risky.” Beno tidak memberi pertanyaan lagi.
Tumben
Beno membawaku ke restoran mewah gini. I mean, dengan dia yang pake jeans dan
kaos aku beranggapan bahwa kita bakal makan malam di tempat biasa. Oleh sebab
itu aku juga cuman pake celana jeans pendek belel robek-robek di beberapa
tempat dan kaos berkerah dengan tulisan FUCKING SKINNY BITCHES tepat di punggung.
Oh My, aku salah kostum.
Setelah
sang pelayan restoran membawaku dan Beno ke tempat yang memang sudah di
booking. Oke, berarti Beno sudah merencanakan ini dari awal. Beno sih terlihat
cuek, tapi aku? Ketika aku menatap sekeliling dan rata-rata dari para tamu lain
memakai pakaian resmi, aku merasa sangat amat gembel.
“Kamu
gak bilang bakal makan ditempat seperti ini.”
“Lho
kenapa? Ini resto bagus lho. Kamu perhatiin gak? Pelayannya tetep ramah kan
walau kita berdua gak pake pakaian resmi?”
“Iya.
Tapi. . .”
“Udah,
biasanya kamu cuek sama apa kata orang.” Oke deh. Aku diam sekarang.
“Gan?”
“Hmm?”
“Kamu
inget enggak hari ini hari apa?”
“Jum’at.
Besok libur.” Jawabanku membuat Beno sedikit menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ini
enam bulan tepat kita jadian.” Aku berpikir sebentar. Hmm, tanggal aku jadian
sama Beno itu. Ya Tuhan, yang aku inget kan tanggal kita jadian ama bulannya.
Aku mana ngitung ini uda sebulan, dua bulan atau tiga bulan. Tapi hari jadian
aku masih inget dong.
“Okay,
I am sorry.”
“Ya,
aku juga tau kamu pengingat yang buruk.”
“Thanks
honey, I take it as a compliment.” Jawabku agak nyinyir sebenarnya.
“Kamu
masih sayang sama aku kan? Setelah enam bulan kita pacaran? Belom bosen?”
“Hmm,
bosen? Enggak. Aku gak bosen sama kamu. Dan yah, I still love you. Kenapa sih
Ben?”
“Gak
papa, aku kan ngebosenin orangnya.” Aku termangu sebentar.
“Ngebosenin
dalam hal apa dulu nih? Seks? I think, kamu lumayan ada progres kemajuan sih
gak kaku kayak kanebo kering lagi seperti awal kita pacaran.”
“Kaku?
Kamu kali yang kaku, seberapa sering kamu nolak waktu aku ajak outdoor? Kamu
yang ada progres sayang. Not me. Aku selalu unpredictable.” Membicarakan seks
di restoran? Nasty ya? But, I don’t care!
“I
have a plan.”
“What
is it?” Aku bertanya sambil lalu karena menu hidangan sudah disajikan
didepanku. Makanan selalu bisa mengalihkan duniaku.
“Aku
uda sewa kamar hotel.” Aku mendongakkan kepalaku.
“Uda
disewa? Uda dibayar?”
“Belum
sih, kan masih rencana.”
“Gak
usah deh Ben. Buang-buang duit kalau kayak gitu.”
“Aku
pengen hari ini spesial aku sama kamu.”
“Gak
berarti harus di hotel kan? Kamu mending makan dulu deh.” Aku mencium bakal
adanya pertikaian disini. Beno, walau tidak sekeras kepala Denny, tapi tidak
bisa dibujuk dengan mudah juga kalau sudah mempunyai rencana.
Dan
aku? Aku bukan tipe orang yang akan menghamburkan uang begitu saja hanya untuk
menyewa hotel mewah. Ini saja sudah terlalu berlebihan menurutku. Walau aku dan
Denny tidak sampai enam bulan pacaran, aku yakin dia tidak akan terlalu
membuang uang banyak hanya untuk hal sepele seperti ‘Enam Bulanan’. Shit! Aku
malah jadi membanding-bandingkan begini.
“Jadi
gak mau di hotel?” Aku dan Beno sudah berada di parkiran sekarang. Aku
menggeleng.
“Kan
aku yang bayar.” What? Entah kenapa harga diriku tersentil dengan kalimat
barusan.
“Oke,
selama ini kita jalan, kita nonton, kita makan kamu yang bayar! Itu juga karna
kamu yang selalu ngelarang aku buat ngluarin duit kan? Kamu lupa?”
“Hei,
kok jadi emosi? Merembet kesitu juga? Bukan itu maksutku.”
“Ahh,
udahlah. Anterin aku pulang, aku ngantuk.” Aku marah. Rada kesel juga, tapi
enggak berniat buat beranjak pergi biar dikejar. Males, iya kalau dikejar lha
kalau kaga? Nangis aku! Aku diam saja ketika Beno mulai menstater motornya.
“Naik,
atau aku yang naikkin?” Dengan gaya ogah-ogahan persis anak TK merajuk aku naik
motor, namun urung memeluk pinggang Beno.
Sepanjang
perjalanan, aku dan Beno hanya diam. Aku diam wajar, kan aku yang sedang marah.
Lha Beno? Seharusnya ada something yang dia lakukan dong? Ngerayu dikit kek, ngebujuk
dikit kek? Jujur nih ya, mulutku sebenernya uda gatel pengen ngomong, tapi aku
tahan. Takutnya, jatuhnya ntar aku gak konsisten ngambeknya.
Beno
tidak langsung mengantarku pulang ternyata, dia berhenti didepan tukang penjual
martabak manis yang memang sering banget aku dan Radit datengin. Sama Beno juga
sering.
Dengan
gaya masih merajuk aku turun dari motor.
“Bang,
martabaknya lima ya. Yang spesial semua.”
“Sip
boss, ditunggu!”
“Agak
cepet ya bang, soalnya pacar gue lagi ngambek.” Ada dua orang yang tengah
mengantri. Sepertinya sepasang sekong juga yang langsung menatapku penuh iri.
Sepertinya mereka gak perlu belajar bahasa tubuh kalau yang dimaksud ngambek
oleh Beno itu adalah aku.
“Aku
lagi gak mood makan martabak.” Aku dan Beno tengah berada di kamarku. Radit
tadi bilang kalau dia bakal menginap di rumahnya Risky.
“Hmm,
enam bulan kita pacaran dan baru kali ini aku lihat kamar kamu. Khas bottom.”
Aku diam saja mendengar kalimat yang dikeluarkan Beno. Radit gitu-gitu kan dia
top, yah dia yang bilang sih dia top.
“Apa
yang bikin kamu berpikir khas bottom?”
“Tuh.”
Beno menunjuk beberapa komik, buku, majalah yang tersebar cantik diatas kasur.
Dan aku mengkernyit tidak paham. Sudahlah, aku sedang ngambek. Jadi jangan
banyak bicara.
Beno
mulai membuka bungkus martabaknya dan mulai melahap dengan gaya inoncent sambil
nonton tv. Aku melirik sekilas, melihat lelehan coklat yang tepat sedang
digigit Beno. Sabar, sabar Gan, inget? Lo lagi ngambek!
Tapi
martabak itu seolah memanggil jiwaku untuk melahapnya. Aku gak kuat!!
Aku
turun dari ranjang dan menyomot satu martabak.
“Katanya
gak mood?” Aku tahu Beno tengah menahan senyum geli dibibirnya.
“You
know what? Remaja mengubah pikiran mereka berulang kali sebelum mengambil
keputusan.” Tu kan ini martabak emang juara.
“Oh
gitu.” Hening.
Baik
aku dan Beno masing-masing sibuk dengan pemikiran masing-masing. Sesekali aku
melirik Beno dan sekuat tenaga pula aku menahan lidahku untuk tidak menjilati
rempah-rempah martabak yang belepotan di bibirnya. Yakin, aku sudah menahan
diri. Aku pastikan aku kuat menghadapi godaan bibir Beno ketika pada saat yang
sama lidahku sudah mencecap rasa bibir Beno.
“Sorry
for being childish.” Aku berkata sesudah menyudahi ciumanku.
“Aku
juga minta maaf uda ngasih kamu surprise yang engga terlalu kamu suka.”
“I
like it Ben, serius. But not to much.” Beno tersenyum lalu merogoh saku
jeansnya.
“I
have present for you.” Sepasang gelang. Satu bertuliskan Beno didalamnya yang
aku pakai dan satu bertuliskan Gani yang Beno pakai.
“I
love you so much,”
“I
love you too.” Kataku sambil bibirku kembali merapat ke bibir Beno.
“Aku
heran akhir-akhir ini kamu agresif banget.” Beno naik ke atas ranjang setelah
melepas celana jeansnya. Melihat gelagatnya, sepertinya Beno bakal menginap
disini malam ini.
“Do
I?” Beno mengangguk.
“Gan?
Boleh gak semalaman ini aku meluk kamu?” Aku tersenyum sebelum mengunci kamar,
mematikan lampu lalu naik keatas ranjang. Aku merebahkan kepalaku diatas dada
Beno, lalu tanganku menelusup kebalik kaosnya. Sesekali dengan iseng aku membelai
putingnya.
“once
again I love you, good night my prince.” Dan aku hanya tersenyum sambil
memejamkan mataku. No sex, but I feel more than just orgasm.
“I
love you too.”
Bersambung
. . .