Chapter
Seven
Shandy
Pov
Kebetulan
yang membawa keberuntungan. Beno! Aku melihatnya sedang bersama pacarnya. Geli
juga melihat tingkahnya yang terkadang konyol menggoda pacarnya. Ah, aku yang
lebih tepat berada disamping Beno. Tinggi badan kita berdua hampir sama, jadi
kita berdua pasti serasi. Aku memperhatikannya sesekali, sampai dia akhirnya
melihatku. Bingo! Dengan langkah gontai aku menghampirinya. Aku dengan jelas
bisa melihat tanda-tanda kecemasan di mata Beno. Sebentar-sebentar dia melirik
antara aku dan pacarnya yang sedang sibuk belanja. Pasti Beno top, tapi tak
apalah aku jadi bottom untuk Beno.
“Hi
Ben,” Beno sebenarnya tampak malas menyahut sapaanku. Tapi wajah cemasnya juga
menarik. Aku makin ingin mendapatkannya.
“Hi.”
Beno menjawab dengan ogah-ogahan. Pacarnya yang sedari tadi sibuk, menoleh ke
arahku. Hahaha, dia membenciku. Aku bisa melihat dari tatapan matanya yang
tajam. Dan entah untuk memanasiku atau apa, Beno merangkul pacarnya dengan gaya
posesif. Aku tahu, itu sinyal untuk memberitahuku bahwa dia sudah punya pacar.
Tapi apa salahnya cowok setampan Beno mempunyai selingan? Aku? Aku tidak
keberatan.
“Sorry
Shan, gue lagi sibuk. Duluan ya.” Beno mendorong troli dan pacarnya yang masih
menatapku dengan tatapan tidak suka.
Ini
bakalan menarik, sepertinya pacarnya Beno sudah tahu kalau aku adalah ancaman.
Justru ini semakin membuatku tertantang, seberapa besar kesetiaan Beno? Dan
seberapa besar kepercayaan sang pacar? Haha, Beno, Beno, I am obsesed.
“Siapa
itu tadi? Ganteng banget, temen lo?” Rendy menghampiriku yang masih menatap
punggung Beno dari tempatku berdiri.
“Kaga,
cuman kenalan.”
“Ajak
gabung aja sekalian. Temmy pasti suka, bening gitu wajahnya.”
“Pasti
ditolak, dia uda tajir dari lahir. Gak perlu kerja keras buat dapetin yang dia
mau.”
“Sinis
banget. Buahaha, lo naksir dia ya?” Aku menoleh ke arah Rendy.
“Kaga,
gue obsesi pengen dapetin dia. Itu doang.”
“Parah
lo!!” Rendy menepuk punggungku kemudian berlalu. Obsesi? Benarkah hanya itu?
Lalu kenapa setiap malam wajah Beno selalu menghantuiku? Debaran jantung yang
berirama lebih cepat jika aku melihatnya, atau perasaan ingin bertemu
dengannya? Yakin hanya obsesi Shan? Aku bertanya pada diriku sendiri dan
menggeleng. Aku jatuh cinta. Aku tersenyum lalu mengejar Rendy yang sudah sibuk
kembali dengan belanjaannya.
***
Gani
Pov
“Sumpah
ya, yang namanya Shandy itu nyebelin banget!” Aku membuka potato lalu
melahapnya dengan kurang ajar.
“Lo
cakar-cakaran sama dia?” Aku melirik sinis pada Radit yang bertanya dengan nada
sepolos gadis usia 7 tahun.
“Pengennya
sih gue cakar itu muka, tapi itu di mall! Tengsin gue.” Kataku sambil memotong
buah apel dalam bentuk kubus kecil-kecil.
“Nih
apelnya uda gue potongin. Lo lebay banget pake masuk angin segala macem.”
“Kemaren
kan gue keujanan Gan. Thanks.”
“Dasar
fisik lo aja kali yang lemah.”
“Babik
lo ya,” Aku tertawa mendengar umpatan Radit.
“You
know what Dit? Bitch temenan sama Bitch, Ratu sama Ratu, dayang sama dayang.”
“Intinya
adalah . . .”
“Ya
kalo gue babik, gue juga temenan ama babik.”
“Hahaha,
sial lo ya!! Tapi gue setuju sih ama lo. Emang gak semuanya sih ya. Tapi kalau
diperhatiin kan emang gitu. Semacam membentuk gank atau lingkungan dalam
lingkungan kan?” Aku menggeleng. Bahasa Radit terlalu tinggi, aku ragu Radit
tahu arti kalimat dari yang dia omongkan tadi. I mean, dia lagi demam gitu kan?
Bisa jadi dia tengah menginggau. Lalu tiba-tiba aku kepikiran lagi tentang
Shandy. Dan aku mwnjadi lesu.
“Gue
takut gue bakalan dapet karma Dit.” Aku duduk di tepi ranjang. Ketakutanku juga
bukannya tanpa alasan. Shandy begitu memikat, aku yakin tidak sulit untuk type
cowok seperti Shandy mencari pacar.
“Karma?
Emang apa yang udah lo lakuin sebelum ini?”
“Gue
ninggalin Denny! Untuk orang sebaik Denny? Gue melukainya.”
“Emang
kita tahu kalau Denny dan Felix ternyata hanyalah sandiwara Denny doang? Denny
sendiri yang bilang Felix itu bf nya.”
“Seandainya
gue lebih sabar, seandainya gue dengerin Denny waktu itu.” Radit menonyor
kepalaku dengan kekuatan maksimal ala orang yang sedang demam.
“Dan
lo gak bakalan punya quality time bareng Beno. Masih inget masa-masa Beno deket
sama lo sebelum kalian pacaran? Saat dimana seolah-olah dunia Beno itu adalah
elo? Seinget gue, sampai sekarang buat Beno, elo adalah dunia kecilnya. Gak
yakin gua Beno mau pertaruhin lo cuman buat hal main-main kayak selingkuh.”
“Tapi
. . .”
“Dan
kalaupun Beno selingkuh, it’s not your karma. Remember this Gan, hal buruk dan
baik itu bakalan dateng. Pasti bakalan dateng. Jadi buat apa lo khawatirin
hal-hal yang pasti bakal dateng? Kayak kematian misalnya? Ngapain khawatir? Toh
juga bakal dateng kan walau kita khawatir sekalipun.”
“Tumben
lo pinter?”
“I
am smart but down to earth.”
“Haha,
ngaco! Diminum dulu gih obatnya.” Aku dan Radit berpandangan lalu tertawa
barengan.
“Sumpah
Gan, gue lebih rela kehilangan bf gue daripada harus kehilangan temen kayak
elo.” Aku memeluk Radit. Teman yang selalu ada bahkan disaat-saat terberatku
sekalipun.
“I
will do the same.”
***
Aku
dan Radit tengah memeriksa daftar list armada bus yang menawarkan harga
kompetitif namun worth it buat ditumpangi sampai Sukabumi. Beberapa yang
menarik langsung aku call. Aku dan Radit memang bukan ahli negosiasi, tapi ada
Elliot.
“Hei
Gani, sibuk banget kayaknya.” Tantra berdiri di samping kursi tempatku duduk.
“Lo
pasti ada maunya, ngomong aja to the point.” Aku tetap fokus pada list di
hadapanku. Sudah semakin mendekati hari H. Udah harus bisa dapet transportnya.
“Galak
banget sih. Ntar aja deh pas lagi lenggang.” Aku meletakkan kertas promo ke
atas meja dan menatap Tantra yang sedang kedip-kedipan genggeus dengan Ian.
Pasti ada something nih, sedangkan Ian juga sesekali menyenggol bahu Beno
dengan gaya minta ditonjok. Something wrong or something right nih?
So,
here I am. Di kantin sekolah yang masih kosong karena jam pembelajaran masih berlangsung. Dengan
Tantra yang masih senyum genggeus. Beno disampingku yang dari tadi diam dan
Ian, pandangan matanya yang tajam dan ingin tahu.
“Kita
udah tahu,” Tantra memulai dengan nada detective Conan yang akan menguak sebuah
kasus.
“Uda
tahu kalau H&M lagi ada diskon gede-gedean?” Sahutku santai sambil meminum
jus avocado milik Beno. Aku memesan jus alpukat. Dan masih belum aku minum,
karena sepertinya Beno tidak bernafsu meminum jusnya, aku dengan baik hati
membantu menghabiskannya.
“Kalau
Britney kemaren jalan-jalan ke Mars.” Aku melongo mendengar ucapan Tantra. Gak
nyangka bakal minjem Britney dalam joke nya.
“Kalian
pacaran kan?” Sambung Ian.
“Kan
emang iya, kok baru tahu?” Jawabku, aku melihat isi gelas Beno yang sudah
kosong. Kembali meletakkan gelas Beno di depan pemiliknya dan aku beralih ke
gelasku sendiri yang masih penuh.
“Lo
gak kaget kita berdua uda tahu?” Pertanyaan Ian membuatku seolah-olah aku bukan
bangsa manusia, seolah-olah aku berasal dari planet yang berbeda.
“Justru
kalau kalian gak tahu atau gak ngeh kan malah aneh, masa iya kalian kaga curiga
tiap ke toilet kita berdua selalu barengan?” Ian dan Tantra saling tatap.
“Atau
masa kalian gak perhatiin pas ganti baju mau olahraga, mata Beno gak pernah
lepas liatin gue?”
“Kamu
kan juga merhatiin aku.” Aku menatap Beno.
“That’s
why, aneh aja kalau mereka baru tahu kita pacaran sekarang.”
“Ternyata
lo gak kaget, gak asik!! Eh, tapi jangan-jangan anak sekelas juga uda pada
curiga lagi?” Ini sebenarnya juga aku khawatir. Sudah sering aku bilang pada
Beno supaya tidak terlalu mesra. Tapi susah kalau punya pacar yang senggol
dikit langsung horny.
“Engga
bakalan. Gue bakalan lebih hati-hati sekarang.” Beno berkata pelan.
“Kamu?
Hati-hati?” Aku menatap Beno sayu, tangan kiriku meremas pahanya lembut.
“Jangan
mancing!” Aku tertawa pelan sambil masuk kedalam kantin.
“Eh,
gue mau pesen makan nih. Kalian mau makan juga kaga?”
“Ditraktir?
Uang tutup mulut kan?”
“Oke,
kacang pilus satu biji satu biji ya.”
“Sial.”
***
Aku
dan Radit memeriksa list barang yang harus masuk kedalam koper. Koper? Oke,
sebut kami berlebihan, tapi ini kan liburan 2 hari 1 malam. Lalu ada rafting,
outbond, maen lumpur, pasti butuh baju banyak kan?
“Lotion
nyamuk? Sunblock? Lipbalm?” Radit mengecek lagi kopernya.
“Completed.”
“Lo
gak bawa celana dalem seksi gitu Gan?”
“Gilingan
lo! Satu kamar kan lima orang,”
“Banyak
semak-semak nganggur kaleus.” Radit senyum-senyum porno.
“Ah,
andai aja Risky boleh ikut.” Sambung Radit lagi.
“Lo
tu ya, demen banget sih maen out door!!”
“Sensasinya
bruh!!” Aku memutar kedua bola mataku. Main kilat di toilet sekolah saja sudah
membuatku senam jantung tak karuan. Apalagi main out door? Gimana kalau
kepergok warga terus dikawinkan? Dalam kasusku kayaknya gak bakal semulus itu,
maksutku dibawa ke KUA terus dikawinkan. Kaga dilempari batu atau dibakar aja
sudah untung.
Oke,
kesampingkan faktor ketahuan. Lalu gimana kalau ada pemain ketiga yang terlibat?
Ular phyton may be? Semut rang rang? Itu yang keliatan, lha kalau yang enggak kasat
mata juga pengen join? Yakali.
“Gak
bakal gue maen out door.” Kataku singkat.
“Yakin?
Jangan terlalu mainstream deh mainnya di kamar mele kek perawan abad 12.”
“Jangan
hasut gue, setan!!”
“Haha,
lo gak bawa kondom buat jaga-jaga?” Aku terperangah dengan pertanyaan Radit.
“Enak
aja, lo pikir gue mau ngapain disana?” Kataku sewot sambil menarik laci dan
mengambil beberapa buah kondom dari situ.
“Jiah,
tetep cari-cari kesempatan ya.”
“Seperti
kata lo, banyak semak-semak nganggur kaleus.”
***
Jadi
selain aku dan Radit hanya Puspita yang membawa koper, lainnya hanya membawa
tas ransel. It’s okay, tidak ada salahnya kan kita jaga-jaga? Tempat duduk mini
busnya dua-dua. Dengan kapasitas empat puluh orang. Kita satu kelas hanya 36
orang. Wali kelas kita satu, untungnya wali kelas kita masih muda dan single.
Jadi bakalan asyik. Lagipula, ini kan acara pribadi sebenarnya bukan kegiatan
sekolah.
Setelah
semua anak-anak dirasa komplit, bus segera lepas landas. Haha.
Aku
berdiri dari tempat dudukku dan berjalan ke depan.
“Tan,
pindah bentar boleh?” Tantra memandangiku sebentar.
“Mau
pacaran ya?” Aku menggeleng. Walaupun sepertinya agak keberatan, toh akhirnya
Tantra pindah ke tempat Elliot yang duduk sendirian.
“Mau
yang deket jendela?” Beno berbicara sambil berdiri. Aku mengangguk.
“Ngantuk
ya? Sampai jam berapa semalem nyiapin barang sebanyak itu buat dibawa?” Beno
mengelus-elus kepalaku sambil merebahkannya ke pundak miliknya.
“Jam
satu.” Jawabku sambil menguap dan meringkuk, tangan kananku menyelinap memeluk
pinggang Beno yang tertutup selimut yang sudah disediakan bus. AC dalam bus
lumayan dingin. Perjalanan ke Sukabumi mungkin memerlukan waktu 3 hingga 4 jam.
Dan ya, aku kurang tidur. Tidur di pundak Radit sangat tidak disarankan karena
Radit sudah mengubah dua tempat duduk menjadi satu untuk dia kuasai sendiri.
“Bawa
apa aja yank?” Suara Beno lirih, jadi
mungkin akan sulit didengar oleh orang lain. Apalagi mereka juga tengah sibuk
sendiri. Ada yang gosip lah, ngupil lah atau sibuk menghabiskan snack temennya.
Hih!
“Baju,
sunblock, macem-macem, trus ntar buat tempat oleh-oleh. Kan Minggu besok aku
pulkam sebentar.”
“Aku
ikut boleh?” Aku menengadahkan kepalaku.
“Hmm?
Kan cuman bentar aku pulangnya.”
“Ya
makanya aku pengen ikut.”
“Ntar
deh,” Aku berkata sambil memejamkan mataku. So sleepy.
***
Tiba
di tempat yang dimaksud oleh panitia, hampir dari kita semua enggak ada yang
kecewa. Amazing! Kita menginap di pondok Imah. Satu pondok diisi lima orang. Dan
beruntungnya, dalam listku ada Beno dan Radit. Oke, jadi aku, Beno, Radit,
Denny dan Tantra. Kurang drama apa coba? Model pondok Imah ini kayak rumah adat
Kalimantan mana gitu, pokoknya yang gantung-gantung gitu. Jadi, lantainya gak
nyentuh tanah. Ada lapangan khusus, yang rencananya kalau engga hujan, ntar
malem bakalan dibuat sebagai acara api unggun plus berbeque ala-ala gitu.
Bus
yang mengantar kita tidak bisa sampai kesini. Mereka hanya sampai jalan depan.
Berangkatnya kesini kita dijemput mobil pick up yang ada tudungnya. Mirip
seperti angkot jaman dulu di film si Doel anak sekolahan. Jangan ditanya cara
bawanya ya, tiba disini dengan selamat aja kita uda puji syukur banget.
Setelah
anak-anak lelaki, termasuk aku kelar jum’atan, kita mengisi perut. Lunch!
Persiapan karena sehabis ini kita bakalan basah-basahan. Satu game yang uda
ditunggu-tunggu. Rafting!! 12km, kurang edan apa coba? Dan you know what?
Arusnya lagi deres-deresnya. Arggggh! Gokil, can’t wait!
Satu
boat ada enam orang dengan guide satu orang. Aku ada di boat ketiga. Bocoran
aja nih, guide yang memandu boat ketiga masih muda, eh emang semuanya masih
muda ding. Tapi setidaknya guide ku agak beningan. Celana ketat dan singlet
yang . . .
Beno
dan Denny ada di depan. Eh lupa, jadi di boatku isinya ada aku, Beno, Denny,
Puspita, Radit dan ketambahan Ayuk. Aku dan Radit sengaja memilih yang paling
belakang, biar deket-deket sama mas guide. Namanya Lingga. Baru 20 tahun!!
***
Sebelum
ntar malem ada api unggun plus bakar-bakaran, ada waktu free sejenak. Buat
bebersih, mandi atau nyemil sore yang udah disediain sama Pondok Imah. Ada
pijet gratis juga. Terbatas cuman sampai jam 7 malem. Setelah beres mandi dan
pijetan, aku kembali ke Pondok Imah kedua, tempatku nanti bakal tidur. Kasurnya
kasur lantai sih, tapi lumayan tebal. Lagipula, ada Beno dan Denny, gak mungkin
aku khawatir soal dingin lagi kan ya? Hahaha.
“Hi,
gimana? Uda enakkan?” Beno tengah memakai celana pendeknya dengan santai. Tidak
tahu bahwa efek dia shirtless itu masih tetap membuatku deg-degan dan umm, turn
on. Seberapa pun sering aku melihatnya shirtless.
“Lumayan,
keknya suaraku bakal habis besok gegara jejeritan tadi.”
“Oya?
Sini aku kasih ekstra suara.” Aku masih belum mengerti arti dari ‘memberi
ekstra suara’ ketika Beno mendekat lalu mencium bibirku lembut.
“Ntar
ada yang dateng. Katanya mau hati-hati sekarang?” Aku mendorong Beno dengan
berat hati. Ini beneran berat. Beratnya berciuman dengan pacar dan terpaksa
disudahi karena takut ketahuan itu sama dengan beratnya kamu ngakat Agung
Hercules yang lagi Gendong Ade Rai dan kebetulan Ade Rai sedang njinjing Prety
Asmara. Bayangin deh beratnya.
“Iya-iya,
abis jeritnya kamu tadi di boat mirip teriaknya kamu pas orgasme sih.” Oke,
it’s to much ya. Perasaan tadi aku teriaknya biasa aja. Enggak ada unsur
sengaja didesah-desahin atau gimana.
“Jangan
ngawur.” Aku mengobrak-abrik koperku
bertepatan dengan Tantra dan
Denny yang masuk ke pondok. Dilema, aku tidak mungkin kembali ke kamar mandi
hanya untuk mengganti handukku dengan baju. Apalagi mereka berdua sudah pernah
melihatku telanjang. Kecuali Tantra tentu saja.
Dengan
cuek aku memakai celana pendek dan kaos singlet pas badan. Sebodo amat deh
dengan Tantra, dia straight kan? Seingatku dia straight.
“Pantes
aja Beno kepincut ama elu, lu mulus banget sih jadi cowok.” Oh, mungkin
dugaanku salah. Mungkin Tantra ada bakat bisex.
“Hasyah,
minggir gue mau keluar.”
“Kamu
makin seksi ya?” Ini terucap dari bibir Denny. Dan seketika itu juga aku
merasakan hawa di pondok memanas.
“Ati-Ati
Den liatin pacar orang.”
“Lha
kenapa? Mata, mata gue. Terserah gue lah.”
“Daripada
kalian berantem disini dan bikin berantakkan, mending kumpulin tenaga berantem
di lumpur besok.” Ideku benar-benar mulia banget. Maksutku, aku tidak berkata
ala drama korea.
Semisal;
“Kalau
kalian berantem, aku bakal loncat.” atau
“Aku
gak tau harus milih siapa, plis jangan berantem!!” Drama banget.
Untung
dua kalimat lenjeh itu tidak keluar dari mulutku. Setidaknya di game perang
lumpur, gak bakal ketahuan juga mereka mukulnya beneran sekuat tenaga.
Hahahaha.
Bersambung
. . .