Aku masih
membasuh tubuh Herry dengan kain basah. Beberapa kali Herry meringis karena
perih. Aku sendiri? Berusaha keras agar air mataku tidak jatuh. Aku harus kuat.
Aku tahu siapa sekarang yang pantas aku perjuangkan. Dan aku tidak ingin
kehilangannya.
“Pelan-pelan
Sen, periih.”
“Iya.”
Aku masih terkejut dengan kondisi tubuh Herry yang masih merah biru
disana-sini. Bahkan di putingnya ada bekas darah.
“Maaf,”
ucapku lirih. Aku tau kata maaf tidak akan cukup. Aku juga tau kata maaf tidak
akan bisa menyembuhkan Herry, tapi aku bisa apa?
“Gak
perlu minta maaf Sen. Ini bukan salahmu.”
“Seandainya
aku gak dateng ke kota ini, kamu gak akan ngalamin kayak gini Her!”
“Kalau
kamu gak dateng ke kota ini, aku gak akan pernah belajar mencintai seseorang
setulus ini. Aku bahagia kenal mbeg kamu Sen, aku gak menyesalinya.” Aku
terdiam, mendongak dan menatap wajah Herry. Wajahnya masih sama, kekanakan dan
menggemaskan. Tapi sorot matanya berbeda. Dewasa dan cinta. Secara perlahan aku
mendekatkan bibirku ke bibirnya.
“Aku
cinta kamu Herry Prawira.” ucapku sebelum akhirnya melumat bibirnya. Kerinduan,
dahaga akan Herry membuatku melahap bibirnya dengan rakus. Aku ingin
mencecapnya. Merasai seluruh tubuhnya. Aku mencintai Herry dan aku ingin
menunjukkannya.
Aku
beranjak ke leher. Memberi gigitan kecil dan terpekik senang saat akhirnya
Herry mengeluarkan desahan pertamanya. Melodi terindah. Berhenti agak lama di
pangkal lehernya dan sedikit bermain-main disana.
“Aah,
Senooo.”
“Iya Her?
Kenapa? Kamu gak suka?” Herry menggeleng keras-keras.
“Lanjutin.”
Aku tersenyum sebelum akhirnya berhenti di dadanya. Aku hanya menatapnya. Kalau
aku gigit kecil putingnya, apa Herry akan kesakitan? Jelas bekas lukanya masih
keliatan.
“Kenapa?”
Mungkin karena aku lama terdiam, Herry jadi membuka matanya.
“Puting
kamu masih perih?”
“Coba
jilat.”
“Aku
serius!!” kataku. Apa-apaan jawabannya tadi.
“Aku juga
serius Seno, coba jilat!” aku ragu-ragu sebentar. Namun akhirnya lidahku
mendarat disana. Mencecap rasanya dengan sangat perlahan. Aku takut menyakitinya.
“Aaarrgh,
Senooo.”
“Perih?”
tanyaku was-was.
“Iyahhh,
tapi enakk. Lanjutin.” Aku jadi tersenyum geli melihat ekspresi Herry. Dia
jujur dan sangat ekspresif. Aku menyukai keduanya. Eh, salah! Aku menyukai
semuanya. Semua yang ada di Herry. Yah, SEMUANYA.
Aku turun
setelah lama merasai dada Herry yang semakin bidang, aku menelusuri ke bawah.
Menciumi setiap lebam merah biru dengan lembut. Aku berharap aku adalah seorang
penyihir. Sehingga ciumanku bisa menyembuhkan lukanya. Sayangnya tidak. Luka
itu tidak sembuh walau aku menciuminya berkali-kali.
Aku
berhenti di celananya. Membuka kait celana Jeans Herry dan melorotkannya
sedikit. Kejantanan Herry sudah tegang, sedikit mengintip lewat ban karet
celana dalamnya. Aku mengabaikannya dan kembali ke atas. Aku mencium bibir
Herry lagi. Kali ini, karena aku yakin bibirnya tidak ada luka aku menciumnya
penuh nafsu. Bibir yang bertaut, lidah yang bekejaran. Aku menyukainya. Dan aku
terbakar. Ada dua pilihan, berhenti dan gosong atau lanjut dan menjadi abu. Aku
memilih option kedua. Aku ingin melebur bersama Herry.
“Kamu ues
gak perjaka ya Sen?” tanya Herry saat aku melepaskan ciuman kita.
“Enak
aja! Aku masih perjaka lah!”
“Yakin?
Kok jago banget?” tanyanya kurang percaya.
“Mau
bukti?” kataku sambil turun dari ranjang. Aku membuka kaosku, celana jeansku
dan celana dalamku sekaligus. Herry sedikit membelalakkan matanya. Aku tak
tahu, bahkan tidak bisa membaca ekspresinya.
“Kamu
yang mancing lho Sen.” Kata Herry sebelum akhirnya dia menarikku kedalam
pelukannya.
“Aku
mungkin bukan yang pertama untukmu Her, but be my first.”
“Opo
artine?” aku agak kesal. Uda romantis, malah dia kaga tahu artinya.
“Jadi
yang pertama buat aku Her.” Herry mencium bibirku lembut sebelum akhirnya dia
berdiri dan melepas celana jeans beserta celana dalamnya.
Glek!
Aku
mungkin menyesali kata-kataku. Bagaimana mungkin benda sebesar itu akan muat di
lubang pantatku? Oooh Shit!!
***
Aku
tiduran telungkup dengan selimut yang menutupi hingga pinggang. Herry sedang ke
dapur untuk mengambilkan air minum. Saat pintu kamar dibuka, aku menoleh dan
melihat Herry tersenyum lebar. Senyum yang dulu sering ia pamerkan untukku. Aku
masih menyukai senyum itu.
“Ada susu
buat kamu. Masih anget.” Aku membayangkannya. Herry membuat susu masih dalam
kondisi telanjang bulat. Sama seperti kondisinya saat ini. Damn! Aku
terangsang! Lagi!
“Masih
perih?” Herry bertanya sambil menyerahkan segelas susu padaku.
“Sedikit,”
jawabku agak dusta. Harus kuakui diawal memang sangat menyakitkan. Panas,
perih, mulas, rasanya campur aduk. Namun setelah agak lama jadi geli-geli enak.
Stop! Berhenti mengingatnya atau Herry akan melihat tonjolan berbentu tenda di
selimutku. Namun jujur, setelah sesudahnya, anusku memang agak perih.
Herry
merebahkan tubuhnya ke dinding ranjang dan bergabung bersamaku dalam selimut
kemudian menarik tubuhku ke pelukannya. Agak aneh memang, mengingat tubuhku
lebih besar dari Herry.
“Sen,
mungkin ini bakal jadi yang pertama dan terakhir.” Aku tersedak oleh susu yang
baru aku minum. Aku meletakkannya di atas meja samping tempat tidur sebelum
akhirnya menoleh. Berharap bahwa apa yang dikatakan Herry barusan adalah
candaan dia semata.
“Aku gak
ngerti Her maksutmu.” Herry mengacak-acak rambutnya sendiri. Terlihat agak
frustasi.
“Aku gak
mau membahayakan posisimu Sen! Kalau sampe Taufik tahu, kamu bakal abis. Aku
gak mau itu terjadi. Aku gak mau!”
“Aku gak
peduli.”
“Sen, itu
masa depanmu!”
“Iya! Dan
aku gak peduli.”
“Sen, aku
lakuin ini semua biar kamu bahagia!” aku menggeleng perlahan.
“Gimana
aku bisa bahagia, kalau aku tahu bahwa orang yang aku sayang enggak bahagia?”
“Aku
bahagia Sen, aku ikhlas kamu sama Galih.” Deg. Darimana Herry tahu Galih?
Perasaan mereka belom sempat bertemu atau bertegur sapa.
“Aku tahu
dari Hendra kamu punya sopir baru. Dia suka kan sama kamu?”
“Jangan
egois Her! Aku gak mau tambah korban lagi! Kalau Taufik tahu, Galih juga
bakalan kayak kamu nasibnya. Mending aku yang pergi.”
“Pergi?
Maksut kamu?”
“Kalo aku
mati semuanya bakalan clear!!” mendengar kata-kataku Herry langsung memelukku
erat.
“Jangan,
jangan tinggalin aku. Kita hadapi bareng-bareng, aku gak akan lari lagi
sekarang. Gak akan.”
***
Aku
tengah berkutat dengan laptopku ketika mamaku masuk. Aku tersenyum pada mamaku.
Seandainya mama tau kalau aku gay? Apakah beliau akan masih sesayang ini?
“Lagi
ngapain sayang?”
“Nyelesain
tugas sekolah ma. Banyak banget nih.”
“Ya udah,
nih mama buatin coklat anget buat kamu. Tidurnya jangan larut-larut ya.”
“Iya.”
Mamaku tersenyum sebelum akhirnya berlalu. Aku memusatkan mataku ke layar laptopku
lagi dan tersenyum agak geli karenanya. Aku tengah browser cara bunuh diri yang
elegan. Konyol. Tapi aku serius.
Seandainya
aku mati, semua masalah akan beres. Herry akan terbebas dari Taufik. Mungkin
Mama, Papa, Herry dan Hendra akan menangis kehilanganku. Mereka akan sedih, aku
tahu. Tapi tidak lama kan? Paling beberapa hari, atau minggu? Tidak sampai
bertahun-tahun kan? Jadi jelas, aku harus mati.
Aku
brilliant, tapi aku terlalu pengecut untuk mengambil pisau dan memotong nadiku.
Aku tak bisa. Atau minum baygon? Itu sama sekali tidak elegan.
Drrt drrt
drrt
“Halo?”
“Hey
ganteng, apa kabar?” gila! Ngapain si Revan nelpon gua?
“Nape lo
Rev?”
“Gua uda
di Magelang. Kata supirnya, 2 ato 3 jaman lagi gua nyampe tempat lo nih.” Aku
hampir meloncat. Gila nih anak. Mau dateng kaga bilang-bilang.
“Lo kaga
bilang kalo mau dateng.”
“Lha ini
gua bilang barusan. Uda ya cyin, see you then!” bener-bener nyebelin ya tuh
anak. Kayak belom pernah diperkosa orang sekampung aja. Ckckck.
Aku
segera keluar dari kamar. Untung mama dan papa belum tidur. Mereka berdua masih
nampak nonton tv bersama eyang. Sinetron kayaknya. Khas ibu-ibu Indonesia.
“Ma, Pa,
Revan mau dateng.”
“Revannya
mb. Nia?” aku mengangguk.
“Mau
dateng kapan Sen?” gantian papaku yang nanya sekarang. Walaupun matanya tetap
fokus pada layar televisi. Entahlah, kenapa papaku juga bisa menikmati sinetron
seperti ini.
“Uda
sampai Magelang katanya Pa.”
“Weleh?!
Kok biso?” okay, ini pertama kalinya aku mendengar papaku berbicara bahasa
jawa. Direct denganku. Bukannya papaku tidak bisa bahasa Jawa, tapi papa tidak
pernah ngobrol denganku dengan bahasa Jawa. Jadi ini pertama kalinya. Dan ini
karena Revan. Salut!
“Mana aku
tahu Pa, Seno tidur dulu ya? Takut telat besok.”
“Engga
nungguin Revan?”
“Engga
ah. Masih sampai Magelang. Masih jauh. Seno uda ngantuk.” Mama dan papaku hanya
mengangguk.
Sampai
kamar tidur, aku langsung mengunci kamarku. Sesuatu yang jarang banget aku
lakukan. Tapi sekarang harus. Bakal ada Revan, dan aku engga mau tiba-tiba ada
yang ngegrepeku saat aku tertidur. Engga. Kecuali Herry, atau emm, Galih. Ah
sudahlah.
***
Aku dan
Herry benar-benar tidak menyembunyikan bahwa “hubungan kami baik-baik” saja
dari Taufik. Kami serasa baru pacaran kembali. Aku dan Herry maksutku. Hendra
juga seneng, setidaknya dia mengira kalau aku dan Herry sudah tidak musuhan
lagi. Hendra benar, aku dan Herry sudah tidak musuhan lagi. Bahkan kami pacaran
lagi.
Aku tidak
tau jam berapa Revan datang, hanya saja waktu aku mau berangkat sekolah tadi
aku melihatnya masih tertidur dengan nyaman di ruang tidur tamu. Dan aku
terlalu malas untuk membangunkannya.
Galih?
Hari ini dia tidak mengantarkanku. Dia mengantarkan eyang untuk melihat
beberapa kebun dan sawahnya. Dan aku? Sekarang aku dan Herry tengah berada di
tempat pertama kali Herry mengajakku kencan dulu.
“Es teh
beb.” Aku memelototinya karena jelas Herry tidak memelankan suaranya saat
memanggilku beb tadi.
“Jangan
sembarangan ah!”
“Aku lagi
seneng aja. Enggak nyangka bisa meluk kamu lagi.”
“Hmm,
luka kamu gimana? Masih perih?” Herry menyandarkan tubuhnya di pintu mobil.
“Sedikit
kok. Sen?”
“Ya?
Kenapa Her?”
“Ajarin
nyetir mobil.”
“Kirain
apa, serius banget.” Herry memalingkan wajahnya. Rona merah terlihat samar di
wajahnya. Aku bahkan tidak mengerti, apa yang membuatnya tersipu malu begitu?
“Aku
pengen yang kayak kemarin sore.” Bisik Herry tepat di telingaku. Gantian aku
yang sekarang merona. Ya Tuhan.
“Ke mobil
yuk.” Ya ampun, Herry! Seperti kerbau dicucuk aku masuk kedalam mobil. Kaca
mobilku gelap. Jadi tidak bakal kelihatan dari luar. Tapi ya ampun, ntar kan
pasti goyang-goyang.
“Beb,
yang kemaren masih perih?”
“Enggak
kok.” Jawabku jujur dan agak malu.
“Coba
nungging, aku pengen liat.” Gila!! Aku malu banget.
“Engga ah
Her!”
“Nungging
ah! Pengen lihat!” dengan perasaan malu, ganjil dan jujur agak excited, aku
menurunkan celana abu-abuku beserta celana dalamku dan nungging. Ya ampun. Malu
banget sumpah!
“Iya,
merah ya warnanya.”
“Uda kan
Her?” tanyaku masih dengan perasaan malu.
“Bentar.”
Aku agak terperanjat saat ada jari yang menyentuh bagian sensitifku itu dengan
lembut. Rasanya aaah, dasar bottom! Hahaha.
“Enak
engga?” Aku hanya mampu mengangguk. Jujur, terlalu malu untuk menjawab. “Yah,
enak banget!”
“Sini
beb.” Herry menarikku kedalam pelukannya. Agak sulit mengingat mobilku yang
agak kecil. Oke, mungkin aku harus mempertimbangkan untuk membeli trans
jakarta. Sepertinya bakalan lebih luas untuk bercinta. Hahaha.
“Aku
ketagihan mbek bibirmu Sen.” Tepat saat bibir Herry mau menyentuh bibirku, kaca
mobilku diketuk seseorang. Dengan kecepatan yang hanya aku dan Tuhan yang tahu,
aku segera membetulkan celanaku. Shit!
“Inggih
Pak?” Herry keluar dari pintu mobil samping dan menyapa bapak-bapak pedagang
siomay. Kita tadi memang sempat pesan siomay sebelum adegan mesum tadi terjadi.
Dan setelah aku yakin bahwa aku rapi dan wujudku tidak begitu terlihat seperti
perawan yang baru saja digagahi, aku keluar dari mobil dan tersenyum ramah pada
bapak-bapak penjual siomay tadi yang agaknya sedikit curiga.
“Monggo
den, siomaynya.”
“Iya Pak,
makasih.” Aku berusaha mengabaikan bapak-bapak tadi. Serius, tatapan menyelidik
si bapak siomay itu bener-bener aku abaikan. Aku abaikan. Walaupun jujur,
sangat mengganggu. Dan Herry hanya senyum-senyum gaje. Sudahlah.
***
“Lo ada
sodara lo berkunjung juga malah pulang malem.” Aku mengabaikan celotehan Revan.
Keluar dari mobil dan menutupnya tanpa sekalipun menatap Revan.
“Lo tahu
gak gua mati garing disini tadi kare. . .” Mulut Revan langsung berenti ketika
melihat Herry turun dari mobil. Aku rasa hampir semua cowo gay juga akan
melakukan hal yang sama. Mengingat, aku melirik pacarku itu dari samping. Body
Herry yang sekarang memang sangat seksi.
“Eh,
temannya Seno ya? Kenalin gua Revan. Sepupunya Seno.” Entah pendengaranku yang
memang agak keliru atau bagaimana tapi, sejak kapan Revan jadi sok laki begini?
Cara bicara dia barusan kaga ada logat ngondeknya sama sekali. Bahaya!
“Dia laki
gua. Awas lo macem-macem!” kataku cepat. Harus banget mengubur harapan-harapan
indah yang mungkin sudah diangan-angankan oleh Revan begitu melihat ‘the young
hot boy’.
“Eh?
Serius?” Revan sepertinya agak tidak percaya. Namun melihat anggukan kikuk dari
Herry sepertinya sudah lebih dari cukup untuk Revan.
Dan hal
yang paling menyebalkan adalah Revan mengikutiku dan Herry ke kamarku.
Entahlah, aku ingin berduaan dengan pacarku. Serius, aku kangen Herry dan you
know what lah, aku pengen agak esek-esek sama dia. Tapi kalau ada Revan? Masa
kita mau threesome? Sama Revan? Mending Galih aja, Eeh?
“Gimana
kalian bisa jadian?” Aku langsung menoleh ke arah Revan dan menyuruhnya agak
memelankan suaranya. Kalian tau kan banci kalau uda kepo bawelnya bisa ngalahin
cewe? Karena jujur, aku juga kadang begitu. Ha? Lupakan!
Herry
memang rencananya mau nginap disini. Besok akan ada ulangan, kita mau belajar
bareng. Okay, aku akui ini Cuma buat modus doang. Yah, alesan sebenarnya sih
emang dasarnya aku kangen. Jadi aku paksa Herry untuk menginap disini.
“Tapi
kalian gak cocok! Masak bottomnya lebih tinggi dari topnya sih?!” Aku yang
tengah berkutat dengan laptopku langsung menoleh sadis ke arah Revan.
“Bottom
apa Rev?” Tanya Herry.
“Panggil
dia Revi Her,” kataku sebelum akhirnya bantal empuk bersarang dikepalaku. Fakta
bahwa sesudah Revan tahu kalau Herry pacarku, sifat machonya di awal sudah
lenyap.
“Lo gak
tau bottom sama Top Her?”
“Lagian
kayak lo yakin aja gua yang jadi bottomnya!” Sahutku sengit. Revan memandangiku
atas bawah.
“Lo emang
gak ngondek Sen, tapi gua yakin lo jelas bottom. Yakin!”
“Sial
lo!” gantian aku yang melempar bantal tepat ke kepalanya.
“Lha
emang bottom sama top apa artinya Rev?” Ni anak masih aja nanya.
“Bukan
hal penting kok Her,”
“Tapi aku
pengen ngerti Sen.” Herry sepertinya ngotot. Hmm, ingatkan aku untuk
menggantung Revan nanti di pohon mangga samping rumah.
“Top itu
yang masukkin, kalo bot itu yang dimasukkin.” Revan benar-benar menjelaskannya.
Gila!
“Ooh,
tapi aku gak keberatan kok jadi bot.”
“Uda lah,
bisa kita ganti kali topiknya?” Aku akhirnya menyampaikan keberatanku. Bagaimanapun
juga, aku takut ada yang mendengar percakapan kita bertiga.
“Maaf den
mengganggu, bisa saya pinjam kontak mobilnya? Sudah waktunya di service den.”
Aku menoleh ke pintu dan melihat Galih disana. Dan entah kenapa tiba-tiba
hatiku nelangsa. Salahkah jika aku mencintai dua orang dalam waktu yang
bersamaan?
“Iya mas,
sebentar Seno ambilin.” Aku sempat menangkap beberapa kali Galih dan Herry
sama-sama saling curi pandang.
“Ini
mas.”
“Inggih
Den, monggo.” Aku hanya mengangguk sambil tersenyum tertahan.
“Ee Ee,
kamu ketahuan, matanya jelalatan!”
“Sial
lo!” kataku sambil menjitak kepala Revan. Revan langsung kabur dengan
memeletkan lidahnya. Ck, dasar anak kecil!
“Galih
ganteng, kamu cocok sama dia.” Aku menoleh ke arah Herry dan agak terkejut
mendengar kata-katanya.
“Dia
dewasa juga Sen.”
“Oke,
kalau itu mau kamu. Aku bakalan pacaran sama Galih.” Kataku agak jengkel.
“Lho kok
ngono sih?”
“Lha kan
kamu yang nyuruh tadi?”
“Guyon!
Aah, ra ngerti dicemburui.” Aku tersenyum sejenak sebelum akhirnya memeluk
Herry.
“I love
you.”
“Sen,
mama denger ada Herry ya?”
Deg.
Bersambung
. . .