FOLLOW ME

Minggu, 13 Desember 2015

BOTTOM 19


Peringatan keras!!
Cerita ini penuh dengan adegan fulgar dan seks juga pertumpahan darah. Cieileh!! Jadi kalo engga suka dengan tema seperti ini harap jangan dibaca. Thanks!
***

Evan Sutedjo
Hidup gue menyedihkan! Ini masih dalam suasana lebaran, dan gue malah terjebak di kos-kosan bersama Reno. Kalau mau makan harus ke mall, karena warung makan kebanyakkan tutup. Dan baik gue maupun Reno sama-sama bukan ahli dapur. Oke, ada part bagusnya. Momen-momen dimana gue dan Reno bebas untuk bermesraan hampir dimana saja, di area kosan. Karena hanya ada kita berdua disini.
Seharusnya, gue pulang ke Bandung. Hanya saja, bayangan orang tua gue yang bakal menanyakan, mana pacar gue? Kapan nikah? Ya, gue lebih mending disini. Seenggaknya gue enggak bakal ketemu sama orang-orang yang hanya sekedar gue tahu tetapi kadar keponya melebihi orang tua gue sendiri.
“Laper.” Reno ngomong, baru saja, namun wajahnya enggak berpaling dari tv. Apa sih yang dia tonton? Cuman liputan lebarannya artis, tradisi lebaran di daerah atau negara lain. Bikin makin nelangsa saja.
“I’m not your bitch.” Gue berkata kesal. Gue juga laper kali. Jadi karena sama-sama laper, mbok ya barengan gitu nyarinya. Dia bisa bangun, cuci muka, trus idupin tuh mobilnya. Kita makan bareng! Masak gue yang mesti keluar sendirian? Pacar macam mana itu?
Reno bangkit berdiri, “Sure, you are.” Dia berjalan menghampiri gue yang duduk di kursi, dengan laptop di meja. “You are my bitch.” Reno mulai memeluk gue dari belakang. Tangannya menyusup dari bawah kaos yang gue pakai, mencari-cari puting gue. Mencubitnya lembut sambil lidahnya bermain-main di telinga gue.
“Gue enggak percaya kalian mau menuju proses pembuatan bayi dengan kamar kos terbuka kayak gini. How inappropriated!” Daniel masuk membawa sekantong kresek putih besar. “Mata polos gue ternoda.”
“Hai ganteng.” Sapa Reno, “Lo tahu aja gue lagi kelaperan.” Lanjutnya sambil tersenyum.
“Hai juga Reno,” Gue melihat Daniel melirik kebawah, “Thanks for the show.” Sekarang mata puppynya itu melirik gue, “Tujuh belas senti huh?” Iya, Reno memang hanya memakai brief tipis, dan tititnya yang sedang ngaceng itu tercetak jelas. Orangnya hanya cengengesan sambil mengambil boxer dari lemari gue. Beberapa baju dan celana Reno memang berada disini. Begitu juga dengan beberapa baju gue yang berada di lemarinya. Enggak usah gue jelasin kenapa bisa begitu.
“Lo bawa apa?” Gue bangkit berdiri dari kursi gue. Enggak seperti Reno, pakaian gue sopan.
Daniel mengangkat kedua bahunya lalu kemudian duduk di lantai, “Sushi.”
“Lo enggak sama laki lo?”
“Well, kalau gue punya hati sekuat baja buat disindirin terus ama emaknya, atau dijodoh-jodohkan dengan pria-pria pilihan emaknya, gue pasti enggak disini Van.”
“Gue pikir elo udah enggak punya hati malah.” Reno ikut nyeletuk sambil membongkar-bongkar barang bawaan Daniel. Kita semua tahu, siapa yang paling lapar disini.
Reno ini setipe dengan Daniel, apa yang ada dipikirannya langsung diomongin ke orangnya. Bedanya, Daniel enggak pandang bulu, bisa nyolot ke siapa saja, bahkan binatang sekalipun atau tumbuh-tumbuhan. Reno, hanya nyolot ke orang yang dia anggap enggak bakal tersinggung kalau dia ngomong begitu. Dia agak pendiam sama orang asing atau yang enggak terlalu akrab, adorable kan?
Dan soal binatang dan tumbuhan, gue serius. Daniel pernah bilang kata-kata menyakitkan ke anjing milik Pak Ridwan, tetangganya di Bandung. Berakhir dengan permusuhan dingin antara keduanya hingga sekarang. Itu anjing kalau melihat Daniel udah langsung menggonggong galak. Daniel juga enggak kalah galaknya. Sama anjing. Gue kok bisa ya temenan sama dia dari SD?
Dan tumbuhan, Daniel pernah memaki sayur bayam, yang tidak sengaja bisa mampir ke makan siangnya. Waktu itu, Daniel memesan bakmie goreng daging babi. Dan ada satu bayam yang nyempil disitu. Malangnya si bayam yang harus dimaki-maki sama Daniel. Plus, pelayan restorannya.
“Aah, hanya karena lo enggak bisa dapetin gue, bukan berarti lo harus sinis ke gue kan, Ren?”
“Sial lo! Laper banget nih gue, mana Evan enggak bisa masak lagi!”
“Kamu kan juga enggak bisa masak!” Gue muncul lagi sehabis mengambil piring dari dapur.
“Tapi kan tugas istri untuk bisa masak.”
“Sejak kapan aku jadi istri kamu, hah?” Enak saja istri, kasih duit bulanan aja kaga pernah, mau nganggep gue istri dia. Nih, makan nih pantat. Eh, jangan dia kesenengan malah ntar.
“Kalau laper makan dong, jangan malah berantem. Heran gue, kapan sih kalian mau jadi pasangan yang dewasa kayak gue sama Uki?”
Reno mencibir sebentar sebelum akhirnya sibuk makan.
“Lo enggak makan?” Daniel menggeleng.
“Lo ada masalah?” Gue bertanya sambil mengambil saus.
Lagi-lagi Daniel menggeleng. Guenya malah yang jadi agak enggak enak hati. Kalau Daniel seperti ini, justru masalahnya cukup complicated. Dan Daniel itu jarang mengalami masalah yang complicated. Jarang, hampir enggak pernah. Well, bukan berarti Daniel enggak pernah ada masalah, tapi dia tipe yang kalau ada masalah langsung babat, selesain saat itu juga. Ada bentrok sama orang, Daniel juga bakal langsung nanya. Langsung dicari sumbernya dimana, kalau enggak langsung pecat. Kalau itu orang bawahannya.
Gue menghabiskan makanan gue secepat mungkin. Untuk kemudian fokus ke Daniel. Makan sambil ngobrol serius ke Daniel itu impossible buat gue lakuin. Dia kayak belut, bisa berkelit dan memutar balikkan topik.
Gue keluar, membawa piring, sendok dan sumpit gue ke dapur kosan. Masuk lagi hanya untuk membawa Daniel keluar ke teras. Mengabaikan Reno yang belum menunjukkan akan menyudahi sarapannya. Mungkin dia kehabisan energi karena harus genjot gue beronde-ronde semalam.
Gue menyodorkan minuman alkohol kurang berkelas yang gue beli di supermarket kemarin malam, ke Daniel.
“Cerita gih ke gue.”
Daniel menerima botol itu, meneguknya sekali. “Anjir, minuman apaan nih? Asem banget!”
“Iya, asem ada kecut-kecutnya dikit kayak kehidupan manusia. Ntar lo juga terbiasa sama rasanya. Enak di tenggorokkan kok.”
“Sejak kapan cara ngomong lo kayak ahli filsafat gitu?”
“Sejak lo ada masalah, tapi enggak mau cerita ke gue.”
Daniel menatap gue beberapa detik sebelum akhirnya memandang kedepan. Berkali-kali menarik nafas panjang. Ini masalahnya separah apa sih?
“Gue pengen putus dari Uki.” Gue menoleh. Menatap Daniel dengan pandangan tidak percaya. Gue berkali-kali berterima kasih ke Uki karena dia berhasil merubah Daniel ke sosok yang lebih manusiawi. Lidahnya, enggak setajam pas dia masih belum pacaran sama Uki. Lebih bisa down to earth. Lebih perhatian ke sekitar, enggak secuek dulu. Paling penting, bisa membedakan mana manusia mana hewan, ini gue serius. Gue juga melihat perubahan penampilan Uki. Mulai gaya, potongan rambutnya kekinian, badannya mulai terbentuk. Wajahnya lebih terawat dan bersih sekarang. Itu semua karena Daniel kan? Mereka saling memengaruhi satu sama lain, terus kenapa sekarang tiba-tiba Daniel pengen putus?
Daniel menyodorkan Iphonenya, yang gue terima dengan pandangan masih bertanya-tanya. Gue membaca percakapan Daniel dan emaknya Uki di WA. Agak mengernyit sebentar, ternyata ini perempuan satu masih denial juga anaknya udah jadi homo.
“Gini ya Van, gue sayang banget sama Uki. Enggak pernah gue sesayang ini sama orang. Di satu sisi, gue pengen dia sama gue. Dia itu bahagianya sama gue.”
“Trus kenapa lo pengen putus?” Potong gue cepat.
“Gue nutup kemungkinan-kemungkinan kebahagiaan yang lain buat dia. Dia bisa nikah, punya anak. Ya Tuhan, Van! Dia bisa! Dia masih tertarik gitu lho sama perek, masak harus berakhir sama gue sih? Kadang gue ngomong sama diri gue sendiri, gue egois banget sama orang yang gue sayang.”
Gue agak kaget sebentar. Enggak nyangka kalau Daniel bisa berpikiran seruet ini. I mean, ini Daniel gitu lho, laper ya makan. Horny, ya ngeseks. Marah, ya berantem. Udah enggak cinta, ya putus. Enggak suka sama orang, ya bakalan manjauh. Daniel selalu sesimple itu.
“Lo ngomong sama Uki?”
“Tentang gue mau putus sama dia? Ya enggaklah, gue aja masih bingung.” Gue tambah syok lagi. Daniel sedang menapakki karier berbohongnya untuk pertama kali. I mean, the big one.
“Menurut gue, jadi egois itu kadang penting lho Dan.” Reno muncul dari dalam kamar.
“Sampun kelar Kanjeng Raden Bagus Moreno Mangkuwidjojo?” Gue nyeletuk, menyebut nama lengkap Reno. Dan dia selalu benci, ketika gue melakukannya. Iya, dia masih ada darah keturunan ningrat-ningrat begitu di darahnya. Darah biru, istilahnya.
Reno mengabaikan ucapan gue. “Kayak gue sama Evan, kita berdua iri sama lo dan Uki yang bisa terbuka sama orang tua kalian masing-masing. Kalaupun belom ada restu dari salah satunya, lo mau nyerah gitu aja? Ngorbanin satu tahun lo bareng Uki gitu saja? Lo enggak mikir kalau Uki ada kemungkinan enggak suka anak kecil? Enggak pengen punya anak? Sebuah hubungan itu kan keputusan dua orang Dan, bukan satu orang. Karena Uki juga berada di perahu yang sama barengan elo. Kalau lo mau ke Selatan, lo harus ngobrolin ke Uki, biar tujuannya cepat bisa dijangkau.”
Gue melongo, gue kira Reno otaknya cetek. Dia bisa ngomong sejelimet ini juga toh?
“Dan kalau itu perahu tenggelam, yang jatuh ke air bukan cuman elo, tapi Uki juga. Iya, kalau lo bisa berenang, gimana kalau Uki enggak bisa berenang sampai ke tepi?”
“Artinya?” Ini gue yang nanya. Apa sih pakai istilah perahu-perahu dan renang-renang segala.
Reno tersenyum maklum sebentar kearah gue, dasar semprul! “Yang bakal patah hati ketika Daniel sama Uki putus, itu bukan cuman Daniel doang, tapi Uki juga. Iya, mungkin kalau Daniel bisa move on. Tapi kalau Uki enggak bisa? Lalu dia stres dan gila? Banyak kan kasus orang bunuh diri karena putus cinta? Ngerti sayang? Kamu bikin gemes deh.” Reno mencium pipi gue berulang kali. Untuk yang kelima, gue terpaksa mendorong kepalanya.
“Gue rasa Uki cukup dewasa.” Daniel berbicara.
Reno menatap Daniel, “Dia dewasa karena pengen manjain elo Dan. Dan sudah terbiasa dewasa. Dia anak sulung, di didik untuk lebih dewasa ketimbang adik-adiknya, bukan? Enggak ada salahnya lho manjain dia sekali-kali. Tanggungan di pundaknya gede lho, karena harus jadi panutan buat adik-adiknya. Jangan egois Dan, putus sama Uki, takutnya malah bakal mendorong Uki buat melakukan sesuatu yang belum pernah dia lakukan selama ini. Lo sendiri tahu, dia anak baik selama ini. Anak baik itu sekalinya gone bad, lebih parah dari aslinya yang emang udah bener-bener bad dari sononya.”
Lo enggak mau ntar Uki jadi malah dating sama banyak cowok-cewek enggak peduli ama kesehatan atau kebersihannya lagi, kan?” Sambung Reno lagi.
Daniel menoleh, “Lo ini psikolog ya?”
“Lo udah temenan sama gue berapa lama, baru nyadar hah?”
“Taek lo!” Daniel diam lalu tiba-tiba tertawa. “Iya ya, begok banget gue kalau ampe putus ama Uki, I mean itu kan tujuan emaknya Uki? Sejak kapan gue ngebiarin orang lain menang atas gue?”
Reno menepuk pundak Daniel. Aduh, jadi makin cinta kan gue sama Raden Bagus yang ini.
“Cari alkohol yang enak yuk! Alkohol punya bini lo enggak enak sama sekali, seleranya payah.”
Dua laki-laki ganteng yang gue sayang dengan cara berbeda itu sama-sama tertawa.
***

Uki Bagus Walantaga
Aku hafal ritual Daniel setiap pagi lebih dari aku hafal jumlah bulu di tanganku sendiri.
Oke, itu mungkin sedikit berlebihan. Tapi aku memang lebih peduli dengan Daniel daripada jumlah bulu di tanganku. Ataupun bulu kaki, dan bulu-bulu di tempat lainnya. Kecuali, dia dengan nada manja mulai mengajukan protes, “Sayang, dicukur dikit boleh? Biar aku ngisepnya jadi lebih nyaman.” Itu akan jadi beda cerita. Jujur, aku memang selalu menjaga bulu disekitar selakanganku agar tetap rapi. Karena sekarang, sejak satu tahun tiga bulan yang lalu, yang menikmati area itu bukan hanya aku saja. Jadi, aku juga harus mempertimbangkan kenyamanannya.
Ngaco, ngapain jadi ngebahas bulu selangkangan?
Pagi ini, rutinitasnya agak berbeda. Well, sangat berbeda. Biasanya aku bangun lebih dulu. Masak, atau sekedar memanggang roti, untuk sarapannya si ganteng. Nyiapin susu dan jus, karena aku tahu si ganteng agak kurang suka dengan sayuran, aku selalu menyiasati agar bagaimana caranya dia memakan sayuran. Dan itu enggak gampang. Lidah si ganteng sensitif sama sayuran. Even sudah dimodifikasi sedemikian rupa, dia masih ngeh aja kalau itu bukan daging beneran. Salut!
Pagi ini, si ganteng bangun duluan. Hanya memakai boxer dia menyiapkan sarapan untukku. Oke, bukan kali pertama Daniel memasak untukku. Pas bulan puasa, dia sering sekali menyiapkan sahur. Kalian ingat kan?
Nah, hari ini kan aku tidak puasa. Tidak ada hari spesial juga, lalu kenapa Daniel mau repot-repot bangun jam enam pagi cuman agar bisa masak nasi goreng untuk aku sarapan?
Bukan aku mau curiga atau bagaimana ya, hanya saja kan agak aneh.
“Mau jus atau susu Ki?” Perhatianku dibagi menjadi dua. Nasi goreng daging plus telur mata sapi yang kelihatan enak itu dan Daniel yang hanya memakai boxer lusuh yang enggak kalah enaknya. Kalau yang ini pernah aku cicipi ratusan kali dan belum bosan.
“Ehm, jus aja Yank.”
Daniel tersenyum. Ganteng! Aku saja sampai ngilu saking gantengnya. Dia lalu menarik kursi dan menuntunku duduk disana.
“Kamu enggak lagi pengen sesuatu kan?”
Daniel menoleh, “Ha?”
“Pengen putus gitu, misalnya?” Lanjutku.
“Kemarin sempat kepikiran Ki.” Aku meneguk ludah. “Trus aku pikir-pikir lagi, aku ini kan udah semakin tua, ngapain sih masih nyari-nyari mulu. Iya, enggak?”
Si Daniel mungkin memang lagi sakit. Sejak kapan dia menganggap dirinya sendiri tua? Apalagi wajahnya masih kekanakan begitu. Tingkah lakunya juga sih.
“Sayang kamu sakit ya? Perlu ke dokter?” Kataku akhirnya. Daniel dengan santai malah menurunkan boxernya. Penisnya menggelantung indah didepanku sekarang.
“Sarapannya yang cepet ya, aku tunggu di bathtub.” Daniel memelukku dari belakang. “Semalem, kamu pulangnya malem banget. Aku enggak tega buat minta.” Aku meneguk lidah.
Daniel melepaskan pelukannya dan berjalan menjauh. Aku sendiri semalam pulang agak malam karena berantem dengan mama. Aku enggak suka caranya mencampuri urusan pribadiku dengan Daniel.
Dan sekarang, aku makan dengan konsentrasi yang sangat minim. Tangan dan mulutku menyendok dan mengunyah dengan otomatis, sementara otakku sudah membayangkan tubuh Daniel didalam bathtub dan apa yang akan aku lakukan dengannya tidak lama lagi.
Aku meminum jusku, melepas semua pakaian yang menempel di tubuhku, melemparkannya ke keranjang pakaian kotor. Aku masuk kedalam kamar mandi, melihat Daniel sudah berada didalam bathtub dengan tubuh ditutupi busa. Aku nyengir sebentar sebelum akhirnya menggosok gigiku. Aku ingin nafasku segar, bukannya bau daging yang baru saja aku makan.
Penisku sudah tegang luar biasa dibawah sana. Berdenyut ingin bertemu dengan idolanya. Aku berkumur, meletakkan sikat gigiku ke tempatnya semula, berjalan tenang kearah Daniel, lalu mencium bibir merahnya. Bibir yang selalu membuatku penasaran, kenapa bisa semerah ini. Perlahan, tubuhku juga mulai masuk kedalam bathtub dengan bibirku dan bibir Daniel masih bertaut.
Tangan Daniel tidak bisa tinggal diam. Dia memang bukan tipe partner bercinta yang pasif. Kadang, dia malah lebih agresif daripada aku sendiri. Tangan kanannya memeluk leherku, memintaku untuk lebih mendekat, mengeksplore bibirnya lebih lagi.
Tangan kirinya dengan iseng membelai bola testisku. Mengusapnya lembut, aku mengerang tertahan. Jemarinya masih menggelitikiku sebelum akhirnya menyentuh penisku. Menggegamnya dengan kuat, lalu membuat gerakan maju mundur dengan ritme teratur.
“Aku mau gantian.” Kata-kata Daniel membuatku tercengang. “Janji, kali ini enggak bakalan bikin kamu sakit.”
Aku meringis, teringat saat-saat dimana penis Daniel yang cukup besar itu mencoba menembus lubang analku. Sakitnya, perihnya, sesaknya, aku masih ingat betul.
Aku seharusnya curiga dari awal, kenapa si ganteng mau repot-repot bangun pagi dan membuatkanku sarapan kalau dia tidak ada maunya. Ternyata ini maunya. Aku menghela nafas, “Kamu tahu kan aku enggak bisa?” Kataku berusaha membujuk Daniel.
Daniel pasang tampang andalannya. Aduh, siapa yang tahan sih ditatap dengan puppy eyes-nya yang adorable itu. “Sekali-kali Ki.”
Dan aku, pacar yang enggak pernah bisa berkata ‘tidak’ untuk Daniel. Apa yang akan terjadi, terjadilah. Tuhan lindungi pantatku.
“Oke.”
Dan senyum iblis Daniel langsung terkembang. Senyum yang sudah lama tidak aku lihat itu. Senyum yang dulu sering dia pamerkan saat belum berpacaran denganku. Dan aku langsung merinding.
***

Daniel tengah berada di sofa, didepan tv. Bibirnya menyenandungkan lagu yang tengah dibawakan oleh Katy Perry. Kita tengah menonton ulang Superbowl Half Time Show, dimana Katy Perry sebagai guest listnya. Aku memegangi pantatku. Antara sakit dan enak. Hanya satu ronde kok, sebelum akhirnya Daniel minta gantian lagi. Katanya, dia lebih nyaman menjadi bottom. Aku sih terserah saja, selama bisa bikin si ganteng bahagia, apa saja aku lakukan.
Tangannya menarik kepalaku untuk tiduran di lengannya. Selimut menutupi tubuh telanjang kita berdua. Aneh, tidak biasanya Daniel bersikap dominan seperti ini. Biasanya, dia yang akan ndusel-ndusel ke tubuhku. Entah ke dada atau ketiak. Sekarang, dia memaksaku untuk ndusel-ndusel ke tubuhnya. Bukannya aku tidak suka, aku hanya merasa aneh.
“Kamu terlalu banyak mikir Ki. Try to rilex just for lil bit.” Aku menarik nafas panjang sebelum benar-benar memasrahkan diriku untuk rebah didalam pelukan Daniel. Aku menyukai aroma tubuh Daniel. Bau sabun cair, dicampur deodorant plus aroma alami kulitnya adalah perpaduan yang magis. Seperti narkotika untukku. Candu, yang tidak bisa aku hentikan dan memang aku tidak mau berhenti kecanduan.
Sekarang bibirnya melantunkan lagu California Girls. Dan aku ikut menatap layar tv. Katy Perry memang cantik, namun kalau menyanyi secara live, tidak sebagus dengan yang versi record-nya ya? Aku lebih menikmati senandung dari bibir Daniel, jujur saja.
“Payudaranya Katy bagus, bulet gitu.” Cetusku tiba-tiba. Enggak tahu juga, kenapa aku tiba-tiba bilang begitu. Dan disini, dengan rambutnya yang dikuncir kuda, Katy terlihat sangat seksi. Jujur, aku tidak terlalu suka dengan perempuan yang terlalu kurus. Misalnya Taylor Swift atau Ariana, mereka berdua terlalu kurus untukku. Aku takut mereka terlalu rapuh, jika sedang aku peluk atau ketika melakukan hubungan seks.
Aku lebih suka yang agak sedikit montok. Katy ini contohnya. Atau Beyonce. Yang pantat dan payudaranya besar, hahaha. Namanya juga laki-laki.
“Kalau Missy Elliot?” Tanya Daniel. Missy baru saja bergabung dengan Katy diatas panggung Superbowl.
Aku tertawa pelan, “Enggak yank, aku kan udah punya kamu.”
“Jadi kalau ada Katy, kamu bukan punyaku?”
“Lha kok gitu kamu nyimpulinnya? Aku kan cuman bilang dadanya Katy bagus, bulet.” Ini apa lagi, berantem cuman gara-gara teteknya Katy.
Aku semakin ndusel. Entahlah, Daniel mengarahkan diriku untuk bermanja-manja dengan dirinya dan aku akan manfaatkan. Sebelum jiwa kekanakkannya muncul lagi dan merengek-rengek minta sesuatu. Sekarang Missy Elliot nyanyi sendiri. Katy-nya mungkin lagi ganti baju.
“Missy kan juga cantik.” Kata Daniel kemudian setelah agak lama terdiam.
Aku menahan senyumku, “Iya, wanita kan memang cantik.”
“Kenapa harus nahan tawa gitu? Racist kamu.”
“Racist dari mananya sih? Kan aku udah bilang Missy cantik, yank.” Obrolan enggak penting seperti ini, buat orang lain pasti membuat kupingnya risih. Tapi menurutku, pacar ideal adalah pacar yang bisa mengobrol tentang apa saja, se-silly apapun topiknya.
“Karena dia kulit hitam.”
“Katherine Graham juga kulit hitam, tapi dia cantik.”
“Nah kan! berarti kamu secara enggak langsung bilang Missy enggak cantik!”
“Buat aku, iya dia enggak cantik. Buat orang lain kan belum tentu. Toh nyatanya kamu bilang Missy cantik.”
“Iya sih, Missy emang enggak cantik.”
Lha, aku melongo. Inti dari debat barusan terus apa? “Kamu minta cium bener ya?” Aku mengangkat kepalaku, mencium pipi, daun telinga, kening, pokoknya apa saja yang bisa aku jangkau dengan bibirku. Daniel kegelian, namun tidak menolak.
“Tuh, Katy ada lagi.” Kata Daniel, nafasnya masih tersengal-sengal akibat kiss attack-ku barusan.
“Aku enggak peduli sama Katy, kalau disini sudah ada yang lebih bisa aku nikmati.” Aku menyibak selimut yang menyelimti tubuh telanjang kita berdua. Memandang penuh kekaguman atas makhluk ciptaan Tuhan yang satu ini. Aku selalu berpikir bahwa Tuhan menyediakan waktu khusus sewaktu menciptakan Daniel.
Matanya, menatapku gemas. Hidung mancungnya, pasangan yang sempurna untuk bibir merahnya. Aku membelai bibir merahnya dengan jariku. “Kenapa bibir kamu bisa semerah ini sih Dan?”
Daniel tersenyum sambil memasukkan jariku kemulutnya, menghisapnya seolah-olah dia tengah menghisap penisku. Aku mengerang tertahan.
“Karena aku enggak merokok.” Dia menjawab, lima menit kemudian.
“Aku juga enggak merokok, tapi bibirku enggak semerah bibir kamu.” Aku menggunakan jariku yang baru saja dihisap oleh Daniel untuk bermain-main di lubang analnya. Daniel menggeliat. Dia melebarkan kedua kakinya, memberiku akses lebih. Jari-jariku berputar-putar disana, sebelum akhirnya menerobos masuk. Sulit, walaupun aku sering melakukannya.
Bibir merah Daniel terbuka, dan aku tergoda untuk mengecupnya lagi. Menggeram pelan saat Daniel semakin merapatkan tubuhnya ke tubuhku. Penisnya yang sudah ereksi menusuk-nusuk perutku. Sementara jariku masih saja berkutat di bawah sana, sesekali keluar dan membelai kulit diantara lubang anal dan testisnya.
“Mau gantian lagi?” Godaku.
Daniel menggeleng, walaupun rambutnya sudah dia potong cepak, dia tetap menggemaskan.
“Coba bilang, kamu mau apa?”
“Aku mau penis kamu yang udah ngaceng itu, masuk ke tempat dimana seharusnya dia berada.” Aku tertawa.
“Kamu enggak asik. Enggak ada mohon-mohonnya atau gimana gitu.” Daniel memamerkan senyum iblisnya lagi, lalu kemudian membalikan tubuhku. Dia berada diatasku sekarang.
“Why I must begging? While, you’re so desperate want this?” Daniel adalah seorang pencium yang luar biasa. Namun, dia juga seorang pengoral yang tidak ada bandingan.
“Jangan lama-lama disitu yank, ntar aku keburu keluar.” Aku memperingatkannya. Daniel terkekeh. Sebelum wajahnya muncul lagi dihadapanku.
“Kiss me, dickhead.”
“What?”
Daniel mendekatkan bibirnya di telingaku, “Kiss me.”
Aku tersenyum, sebelum akhirnya aku mengabulkan permintaanya itu dengan senang hati. Aku baru saja akan membalikkan tubuhnya ketika gedoran di pintu apartment mengagetkanku dan Daniel.
“Shit, aku lupa kalau ini masih siang hari.” Daniel mengambil brief putihnya. Memakainya dengan cepat lalu menuju ke pintu.
“Uncle Daaaaaaaan!! Japheth, bawa oleh-oleh banyak buat uncle Dan sama Uncle Uki.” Beberapa saat kemudian suara anak kesayangan Daniel itu berkumandang keras. Aku menutup wajahku dan menenggelamkannya kedalam selimut.
Tenyata Maya dan Japheth yang datang. Aaaaaargh, baru kali ini aku membenci Maya dan ingin mencekiknya.


Tamat.

Kidding . . .
Buahaha, jadi ini bakalan selesai setelah Daniel tahu siapa bapaknya dan mau maafin bapaknya yang udah ninggalin dia puluhan tahun. Bakal di chapter berapa? Ya mana gue tahu ya, gue aja belum kepikiran. Buahaha. Oke? Jangan lupa buat baca cerita gue di wattpad juga. Kalau enggak, gue ngambek.
https://www.wattpad.com/user/Ginggietama
Bercanda lagi, gue enggak peduli mau ada yang baca atau kaga, gue tetep nulis kok. Namanya juga hobi.
Tentang Barista, bakal gue selesain kok. Hanya enggak tahu kapan. Gue bukan tipe penulis yang lupa sama apa yang udah gue mulai. Gue hanya lagi stuck sama itu cerita. So please, understand lah ya. Gue kalau update kan juga gue kasih tahu. Oke? I hope you guys understand.



Jakarta, 13 Desember 2015 diatas Kasur sambil memeluk guling hidup.


Ardhinansa Adiatama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

leave comment please.