Peringatan
keras!!
Cerita
ini penuh dengan adegan fulgar dan seks juga pertumpahan darah. Cieileh!! Jadi
kalo engga suka dengan tema seperti ini harap jangan dibaca. Thanks!
***
Evan
Sutedjo
Hidup
gue menyedihkan! Ini masih dalam suasana lebaran, dan gue malah terjebak di
kos-kosan bersama Reno. Kalau mau makan harus ke mall, karena warung makan
kebanyakkan tutup. Dan baik gue maupun Reno sama-sama bukan ahli dapur. Oke,
ada part bagusnya. Momen-momen dimana gue dan Reno bebas untuk bermesraan
hampir dimana saja, di area kosan. Karena hanya ada kita berdua disini.
Seharusnya,
gue pulang ke Bandung. Hanya saja, bayangan orang tua gue yang bakal
menanyakan, mana pacar gue? Kapan nikah? Ya, gue lebih mending disini.
Seenggaknya gue enggak bakal ketemu sama orang-orang yang hanya sekedar gue
tahu tetapi kadar keponya melebihi orang tua gue sendiri.
“Laper.”
Reno ngomong, baru saja, namun wajahnya enggak berpaling dari tv. Apa sih yang
dia tonton? Cuman liputan lebarannya artis, tradisi lebaran di daerah atau negara
lain. Bikin makin nelangsa saja.
“I’m
not your bitch.” Gue berkata kesal. Gue juga laper kali. Jadi karena sama-sama
laper, mbok ya barengan gitu nyarinya. Dia bisa bangun, cuci muka, trus idupin
tuh mobilnya. Kita makan bareng! Masak gue yang mesti keluar sendirian? Pacar
macam mana itu?
Reno
bangkit berdiri, “Sure, you are.” Dia berjalan menghampiri gue yang duduk di
kursi, dengan laptop di meja. “You are my bitch.” Reno mulai memeluk gue dari
belakang. Tangannya menyusup dari bawah kaos yang gue pakai, mencari-cari
puting gue. Mencubitnya lembut sambil lidahnya bermain-main di telinga gue.
“Gue
enggak percaya kalian mau menuju proses pembuatan bayi dengan kamar kos terbuka
kayak gini. How inappropriated!” Daniel masuk membawa sekantong kresek putih besar.
“Mata polos gue ternoda.”
“Hai
ganteng.” Sapa Reno, “Lo tahu aja gue lagi kelaperan.” Lanjutnya sambil
tersenyum.
“Hai
juga Reno,” Gue melihat Daniel melirik kebawah, “Thanks for the show.” Sekarang
mata puppynya itu melirik gue, “Tujuh belas senti huh?” Iya, Reno memang hanya
memakai brief tipis, dan tititnya yang sedang ngaceng itu tercetak jelas.
Orangnya hanya cengengesan sambil mengambil boxer dari lemari gue. Beberapa
baju dan celana Reno memang berada disini. Begitu juga dengan beberapa baju gue
yang berada di lemarinya. Enggak usah gue jelasin kenapa bisa begitu.
“Lo
bawa apa?” Gue bangkit berdiri dari kursi gue. Enggak seperti Reno, pakaian gue
sopan.
Daniel
mengangkat kedua bahunya lalu kemudian duduk di lantai, “Sushi.”
“Lo
enggak sama laki lo?”
“Well,
kalau gue punya hati sekuat baja buat disindirin terus ama emaknya, atau
dijodoh-jodohkan dengan pria-pria pilihan emaknya, gue pasti enggak disini
Van.”
“Gue
pikir elo udah enggak punya hati malah.” Reno ikut nyeletuk sambil
membongkar-bongkar barang bawaan Daniel. Kita semua tahu, siapa yang paling
lapar disini.
Reno
ini setipe dengan Daniel, apa yang ada dipikirannya langsung diomongin ke
orangnya. Bedanya, Daniel enggak pandang bulu, bisa nyolot ke siapa saja,
bahkan binatang sekalipun atau tumbuh-tumbuhan. Reno, hanya nyolot ke orang
yang dia anggap enggak bakal tersinggung kalau dia ngomong begitu. Dia agak
pendiam sama orang asing atau yang enggak terlalu akrab, adorable kan?
Dan
soal binatang dan tumbuhan, gue serius. Daniel pernah bilang kata-kata
menyakitkan ke anjing milik Pak Ridwan, tetangganya di Bandung. Berakhir dengan
permusuhan dingin antara keduanya hingga sekarang. Itu anjing kalau melihat
Daniel udah langsung menggonggong galak. Daniel juga enggak kalah galaknya.
Sama anjing. Gue kok bisa ya temenan sama dia dari SD?
Dan
tumbuhan, Daniel pernah memaki sayur bayam, yang tidak sengaja bisa mampir ke
makan siangnya. Waktu itu, Daniel memesan bakmie goreng daging babi. Dan ada
satu bayam yang nyempil disitu. Malangnya si bayam yang harus dimaki-maki sama
Daniel. Plus, pelayan restorannya.
“Aah,
hanya karena lo enggak bisa dapetin gue, bukan berarti lo harus sinis ke gue
kan, Ren?”
“Sial
lo! Laper banget nih gue, mana Evan enggak bisa masak lagi!”
“Kamu
kan juga enggak bisa masak!” Gue muncul lagi sehabis mengambil piring dari
dapur.
“Tapi
kan tugas istri untuk bisa masak.”
“Sejak
kapan aku jadi istri kamu, hah?” Enak saja istri, kasih duit bulanan aja kaga
pernah, mau nganggep gue istri dia. Nih, makan nih pantat. Eh, jangan dia kesenengan
malah ntar.
“Kalau
laper makan dong, jangan malah berantem. Heran gue, kapan sih kalian mau jadi
pasangan yang dewasa kayak gue sama Uki?”
Reno
mencibir sebentar sebelum akhirnya sibuk makan.
“Lo
enggak makan?” Daniel menggeleng.
“Lo
ada masalah?” Gue bertanya sambil mengambil saus.
Lagi-lagi
Daniel menggeleng. Guenya malah yang jadi agak enggak enak hati. Kalau Daniel
seperti ini, justru masalahnya cukup complicated. Dan Daniel itu jarang
mengalami masalah yang complicated. Jarang, hampir enggak pernah. Well, bukan
berarti Daniel enggak pernah ada masalah, tapi dia tipe yang kalau ada masalah
langsung babat, selesain saat itu juga. Ada bentrok sama orang, Daniel juga
bakal langsung nanya. Langsung dicari sumbernya dimana, kalau enggak langsung
pecat. Kalau itu orang bawahannya.
Gue
menghabiskan makanan gue secepat mungkin. Untuk kemudian fokus ke Daniel. Makan
sambil ngobrol serius ke Daniel itu impossible buat gue lakuin. Dia kayak
belut, bisa berkelit dan memutar balikkan topik.
Gue
keluar, membawa piring, sendok dan sumpit gue ke dapur kosan. Masuk lagi hanya
untuk membawa Daniel keluar ke teras. Mengabaikan Reno yang belum menunjukkan
akan menyudahi sarapannya. Mungkin dia kehabisan energi karena harus genjot gue
beronde-ronde semalam.
Gue
menyodorkan minuman alkohol kurang berkelas yang gue beli di supermarket
kemarin malam, ke Daniel.
“Cerita
gih ke gue.”
Daniel
menerima botol itu, meneguknya sekali. “Anjir, minuman apaan nih? Asem banget!”
“Iya,
asem ada kecut-kecutnya dikit kayak kehidupan manusia. Ntar lo juga terbiasa
sama rasanya. Enak di tenggorokkan kok.”
“Sejak
kapan cara ngomong lo kayak ahli filsafat gitu?”
“Sejak
lo ada masalah, tapi enggak mau cerita ke gue.”
Daniel
menatap gue beberapa detik sebelum akhirnya memandang kedepan. Berkali-kali
menarik nafas panjang. Ini masalahnya separah apa sih?
“Gue
pengen putus dari Uki.” Gue menoleh. Menatap Daniel dengan pandangan tidak
percaya. Gue berkali-kali berterima kasih ke Uki karena dia berhasil merubah
Daniel ke sosok yang lebih manusiawi. Lidahnya, enggak setajam pas dia masih
belum pacaran sama Uki. Lebih bisa down to earth. Lebih perhatian ke sekitar,
enggak secuek dulu. Paling penting, bisa membedakan mana manusia mana hewan,
ini gue serius. Gue juga melihat perubahan penampilan Uki. Mulai gaya, potongan
rambutnya kekinian, badannya mulai terbentuk. Wajahnya lebih terawat dan bersih
sekarang. Itu semua karena Daniel kan? Mereka saling memengaruhi satu sama
lain, terus kenapa sekarang tiba-tiba Daniel pengen putus?
Daniel
menyodorkan Iphonenya, yang gue terima dengan pandangan masih bertanya-tanya.
Gue membaca percakapan Daniel dan emaknya Uki di WA. Agak mengernyit sebentar,
ternyata ini perempuan satu masih denial juga anaknya udah jadi homo.
“Gini
ya Van, gue sayang banget sama Uki. Enggak pernah gue sesayang ini sama orang.
Di satu sisi, gue pengen dia sama gue. Dia itu bahagianya sama gue.”
“Trus
kenapa lo pengen putus?” Potong gue cepat.
“Gue
nutup kemungkinan-kemungkinan kebahagiaan yang lain buat dia. Dia bisa nikah,
punya anak. Ya Tuhan, Van! Dia bisa! Dia masih tertarik gitu lho sama perek,
masak harus berakhir sama gue sih? Kadang gue ngomong sama diri gue sendiri,
gue egois banget sama orang yang gue sayang.”
Gue
agak kaget sebentar. Enggak nyangka kalau Daniel bisa berpikiran seruet ini. I
mean, ini Daniel gitu lho, laper ya makan. Horny, ya ngeseks. Marah, ya
berantem. Udah enggak cinta, ya putus. Enggak suka sama orang, ya bakalan
manjauh. Daniel selalu sesimple itu.
“Lo
ngomong sama Uki?”
“Tentang
gue mau putus sama dia? Ya enggaklah, gue aja masih bingung.” Gue tambah syok
lagi. Daniel sedang menapakki karier berbohongnya untuk pertama kali. I mean,
the big one.
“Menurut
gue, jadi egois itu kadang penting lho Dan.” Reno muncul dari dalam kamar.
“Sampun
kelar Kanjeng Raden Bagus Moreno Mangkuwidjojo?” Gue nyeletuk, menyebut nama
lengkap Reno. Dan dia selalu benci, ketika gue melakukannya. Iya, dia masih ada
darah keturunan ningrat-ningrat begitu di darahnya. Darah biru, istilahnya.
Reno
mengabaikan ucapan gue. “Kayak gue sama Evan, kita berdua iri sama lo dan Uki
yang bisa terbuka sama orang tua kalian masing-masing. Kalaupun belom ada restu
dari salah satunya, lo mau nyerah gitu aja? Ngorbanin satu tahun lo bareng Uki
gitu saja? Lo enggak mikir kalau Uki ada kemungkinan enggak suka anak kecil?
Enggak pengen punya anak? Sebuah hubungan itu kan keputusan dua orang Dan,
bukan satu orang. Karena Uki juga berada di perahu yang sama barengan elo.
Kalau lo mau ke Selatan, lo harus ngobrolin ke Uki, biar tujuannya cepat bisa
dijangkau.”
Gue
melongo, gue kira Reno otaknya cetek. Dia bisa ngomong sejelimet ini juga toh?
“Dan
kalau itu perahu tenggelam, yang jatuh ke air bukan cuman elo, tapi Uki juga.
Iya, kalau lo bisa berenang, gimana kalau Uki enggak bisa berenang sampai ke
tepi?”
“Artinya?”
Ini gue yang nanya. Apa sih pakai istilah perahu-perahu dan renang-renang
segala.
Reno
tersenyum maklum sebentar kearah gue, dasar semprul! “Yang bakal patah hati
ketika Daniel sama Uki putus, itu bukan cuman Daniel doang, tapi Uki juga. Iya,
mungkin kalau Daniel bisa move on. Tapi kalau Uki enggak bisa? Lalu dia stres
dan gila? Banyak kan kasus orang bunuh diri karena putus cinta? Ngerti sayang?
Kamu bikin gemes deh.” Reno mencium pipi gue berulang kali. Untuk yang kelima,
gue terpaksa mendorong kepalanya.
“Gue
rasa Uki cukup dewasa.” Daniel berbicara.
Reno
menatap Daniel, “Dia dewasa karena pengen manjain elo Dan. Dan sudah terbiasa
dewasa. Dia anak sulung, di didik untuk lebih dewasa ketimbang adik-adiknya,
bukan? Enggak ada salahnya lho manjain dia sekali-kali. Tanggungan di pundaknya
gede lho, karena harus jadi panutan buat adik-adiknya. Jangan egois Dan, putus
sama Uki, takutnya malah bakal mendorong Uki buat melakukan sesuatu yang belum
pernah dia lakukan selama ini. Lo sendiri tahu, dia anak baik selama ini. Anak
baik itu sekalinya gone bad, lebih parah dari aslinya yang emang udah
bener-bener bad dari sononya.”
Lo
enggak mau ntar Uki jadi malah dating sama banyak cowok-cewek enggak peduli ama
kesehatan atau kebersihannya lagi, kan?” Sambung Reno lagi.
Daniel
menoleh, “Lo ini psikolog ya?”
“Lo
udah temenan sama gue berapa lama, baru nyadar hah?”
“Taek
lo!” Daniel diam lalu tiba-tiba tertawa. “Iya ya, begok banget gue kalau ampe
putus ama Uki, I mean itu kan tujuan emaknya Uki? Sejak kapan gue ngebiarin
orang lain menang atas gue?”
Reno
menepuk pundak Daniel. Aduh, jadi makin cinta kan gue sama Raden Bagus yang
ini.
“Cari
alkohol yang enak yuk! Alkohol punya bini lo enggak enak sama sekali, seleranya
payah.”
Dua
laki-laki ganteng yang gue sayang dengan cara berbeda itu sama-sama tertawa.
***
Uki
Bagus Walantaga
Aku
hafal ritual Daniel setiap pagi lebih dari aku hafal jumlah bulu di tanganku
sendiri.
Oke,
itu mungkin sedikit berlebihan. Tapi aku memang lebih peduli dengan Daniel
daripada jumlah bulu di tanganku. Ataupun bulu kaki, dan bulu-bulu di tempat
lainnya. Kecuali, dia dengan nada manja mulai mengajukan protes, “Sayang,
dicukur dikit boleh? Biar aku ngisepnya jadi lebih nyaman.” Itu akan jadi beda
cerita. Jujur, aku memang selalu menjaga bulu disekitar selakanganku agar tetap
rapi. Karena sekarang, sejak satu tahun tiga bulan yang lalu, yang menikmati
area itu bukan hanya aku saja. Jadi, aku juga harus mempertimbangkan
kenyamanannya.
Ngaco,
ngapain jadi ngebahas bulu selangkangan?
Pagi
ini, rutinitasnya agak berbeda. Well, sangat berbeda. Biasanya aku bangun lebih
dulu. Masak, atau sekedar memanggang roti, untuk sarapannya si ganteng. Nyiapin
susu dan jus, karena aku tahu si ganteng agak kurang suka dengan sayuran, aku
selalu menyiasati agar bagaimana caranya dia memakan sayuran. Dan itu enggak
gampang. Lidah si ganteng sensitif sama sayuran. Even sudah dimodifikasi
sedemikian rupa, dia masih ngeh aja kalau itu bukan daging beneran. Salut!
Pagi
ini, si ganteng bangun duluan. Hanya memakai boxer dia menyiapkan sarapan
untukku. Oke, bukan kali pertama Daniel memasak untukku. Pas bulan puasa, dia
sering sekali menyiapkan sahur. Kalian ingat kan?
Nah,
hari ini kan aku tidak puasa. Tidak ada hari spesial juga, lalu kenapa Daniel
mau repot-repot bangun jam enam pagi cuman agar bisa masak nasi goreng untuk
aku sarapan?
Bukan
aku mau curiga atau bagaimana ya, hanya saja kan agak aneh.
“Mau
jus atau susu Ki?” Perhatianku dibagi menjadi dua. Nasi goreng daging plus
telur mata sapi yang kelihatan enak itu dan Daniel yang hanya memakai boxer
lusuh yang enggak kalah enaknya. Kalau yang ini pernah aku cicipi ratusan kali
dan belum bosan.
“Ehm,
jus aja Yank.”
Daniel
tersenyum. Ganteng! Aku saja sampai ngilu saking gantengnya. Dia lalu menarik
kursi dan menuntunku duduk disana.
“Kamu
enggak lagi pengen sesuatu kan?”
Daniel
menoleh, “Ha?”
“Pengen
putus gitu, misalnya?” Lanjutku.
“Kemarin
sempat kepikiran Ki.” Aku meneguk ludah. “Trus aku pikir-pikir lagi, aku ini
kan udah semakin tua, ngapain sih masih nyari-nyari mulu. Iya, enggak?”
Si
Daniel mungkin memang lagi sakit. Sejak kapan dia menganggap dirinya sendiri
tua? Apalagi wajahnya masih kekanakan begitu. Tingkah lakunya juga sih.
“Sayang
kamu sakit ya? Perlu ke dokter?” Kataku akhirnya. Daniel dengan santai malah
menurunkan boxernya. Penisnya menggelantung indah didepanku sekarang.
“Sarapannya
yang cepet ya, aku tunggu di bathtub.” Daniel memelukku dari belakang.
“Semalem, kamu pulangnya malem banget. Aku enggak tega buat minta.” Aku meneguk
lidah.
Daniel
melepaskan pelukannya dan berjalan menjauh. Aku sendiri semalam pulang agak
malam karena berantem dengan mama. Aku enggak suka caranya mencampuri urusan
pribadiku dengan Daniel.
Dan
sekarang, aku makan dengan konsentrasi yang sangat minim. Tangan dan mulutku
menyendok dan mengunyah dengan otomatis, sementara otakku sudah membayangkan
tubuh Daniel didalam bathtub dan apa yang akan aku lakukan dengannya tidak lama
lagi.
Aku
meminum jusku, melepas semua pakaian yang menempel di tubuhku, melemparkannya
ke keranjang pakaian kotor. Aku masuk kedalam kamar mandi, melihat Daniel sudah
berada didalam bathtub dengan tubuh ditutupi busa. Aku nyengir sebentar sebelum
akhirnya menggosok gigiku. Aku ingin nafasku segar, bukannya bau daging yang
baru saja aku makan.
Penisku
sudah tegang luar biasa dibawah sana. Berdenyut ingin bertemu dengan idolanya.
Aku berkumur, meletakkan sikat gigiku ke tempatnya semula, berjalan tenang
kearah Daniel, lalu mencium bibir merahnya. Bibir yang selalu membuatku
penasaran, kenapa bisa semerah ini. Perlahan, tubuhku juga mulai masuk kedalam
bathtub dengan bibirku dan bibir Daniel masih bertaut.
Tangan
Daniel tidak bisa tinggal diam. Dia memang bukan tipe partner bercinta yang
pasif. Kadang, dia malah lebih agresif daripada aku sendiri. Tangan kanannya
memeluk leherku, memintaku untuk lebih mendekat, mengeksplore bibirnya lebih
lagi.
Tangan
kirinya dengan iseng membelai bola testisku. Mengusapnya lembut, aku mengerang
tertahan. Jemarinya masih menggelitikiku sebelum akhirnya menyentuh penisku.
Menggegamnya dengan kuat, lalu membuat gerakan maju mundur dengan ritme
teratur.
“Aku
mau gantian.” Kata-kata Daniel membuatku tercengang. “Janji, kali ini enggak
bakalan bikin kamu sakit.”
Aku
meringis, teringat saat-saat dimana penis Daniel yang cukup besar itu mencoba
menembus lubang analku. Sakitnya, perihnya, sesaknya, aku masih ingat betul.
Aku
seharusnya curiga dari awal, kenapa si ganteng mau repot-repot bangun pagi dan
membuatkanku sarapan kalau dia tidak ada maunya. Ternyata ini maunya. Aku
menghela nafas, “Kamu tahu kan aku enggak bisa?” Kataku berusaha membujuk
Daniel.
Daniel
pasang tampang andalannya. Aduh, siapa yang tahan sih ditatap dengan puppy
eyes-nya yang adorable itu. “Sekali-kali Ki.”
Dan
aku, pacar yang enggak pernah bisa berkata ‘tidak’ untuk Daniel. Apa yang akan
terjadi, terjadilah. Tuhan lindungi pantatku.
“Oke.”
Dan
senyum iblis Daniel langsung terkembang. Senyum yang sudah lama tidak aku lihat
itu. Senyum yang dulu sering dia pamerkan saat belum berpacaran denganku. Dan
aku langsung merinding.
***
Daniel
tengah berada di sofa, didepan tv. Bibirnya menyenandungkan lagu yang tengah
dibawakan oleh Katy Perry. Kita tengah menonton ulang Superbowl Half Time Show,
dimana Katy Perry sebagai guest listnya. Aku memegangi pantatku. Antara sakit dan
enak. Hanya satu ronde kok, sebelum akhirnya Daniel minta gantian lagi.
Katanya, dia lebih nyaman menjadi bottom. Aku sih terserah saja, selama bisa
bikin si ganteng bahagia, apa saja aku lakukan.
Tangannya
menarik kepalaku untuk tiduran di lengannya. Selimut menutupi tubuh telanjang
kita berdua. Aneh, tidak biasanya Daniel bersikap dominan seperti ini.
Biasanya, dia yang akan ndusel-ndusel ke tubuhku. Entah ke dada atau ketiak.
Sekarang, dia memaksaku untuk ndusel-ndusel ke tubuhnya. Bukannya aku tidak
suka, aku hanya merasa aneh.
“Kamu
terlalu banyak mikir Ki. Try to rilex just for lil bit.” Aku menarik nafas
panjang sebelum benar-benar memasrahkan diriku untuk rebah didalam pelukan
Daniel. Aku menyukai aroma tubuh Daniel. Bau sabun cair, dicampur deodorant
plus aroma alami kulitnya adalah perpaduan yang magis. Seperti narkotika
untukku. Candu, yang tidak bisa aku hentikan dan memang aku tidak mau berhenti
kecanduan.
Sekarang
bibirnya melantunkan lagu California Girls. Dan aku ikut menatap layar tv. Katy
Perry memang cantik, namun kalau menyanyi secara live, tidak sebagus dengan
yang versi record-nya ya? Aku lebih menikmati senandung dari bibir Daniel,
jujur saja.
“Payudaranya
Katy bagus, bulet gitu.” Cetusku tiba-tiba. Enggak tahu juga, kenapa aku
tiba-tiba bilang begitu. Dan disini, dengan rambutnya yang dikuncir kuda, Katy
terlihat sangat seksi. Jujur, aku tidak terlalu suka dengan perempuan yang
terlalu kurus. Misalnya Taylor Swift atau Ariana, mereka berdua terlalu kurus
untukku. Aku takut mereka terlalu rapuh, jika sedang aku peluk atau ketika
melakukan hubungan seks.
Aku
lebih suka yang agak sedikit montok. Katy ini contohnya. Atau Beyonce. Yang
pantat dan payudaranya besar, hahaha. Namanya juga laki-laki.
“Kalau
Missy Elliot?” Tanya Daniel. Missy baru saja bergabung dengan Katy diatas
panggung Superbowl.
Aku
tertawa pelan, “Enggak yank, aku kan udah punya kamu.”
“Jadi
kalau ada Katy, kamu bukan punyaku?”
“Lha
kok gitu kamu nyimpulinnya? Aku kan cuman bilang dadanya Katy bagus, bulet.”
Ini apa lagi, berantem cuman gara-gara teteknya Katy.
Aku
semakin ndusel. Entahlah, Daniel mengarahkan diriku untuk bermanja-manja dengan
dirinya dan aku akan manfaatkan. Sebelum jiwa kekanakkannya muncul lagi dan
merengek-rengek minta sesuatu. Sekarang Missy Elliot nyanyi sendiri. Katy-nya
mungkin lagi ganti baju.
“Missy
kan juga cantik.” Kata Daniel kemudian setelah agak lama terdiam.
Aku
menahan senyumku, “Iya, wanita kan memang cantik.”
“Kenapa
harus nahan tawa gitu? Racist kamu.”
“Racist
dari mananya sih? Kan aku udah bilang Missy cantik, yank.” Obrolan enggak
penting seperti ini, buat orang lain pasti membuat kupingnya risih. Tapi menurutku,
pacar ideal adalah pacar yang bisa mengobrol tentang apa saja, se-silly apapun
topiknya.
“Karena
dia kulit hitam.”
“Katherine
Graham juga kulit hitam, tapi dia cantik.”
“Nah
kan! berarti kamu secara enggak langsung bilang Missy enggak cantik!”
“Buat
aku, iya dia enggak cantik. Buat orang lain kan belum tentu. Toh nyatanya kamu
bilang Missy cantik.”
“Iya
sih, Missy emang enggak cantik.”
Lha,
aku melongo. Inti dari debat barusan terus apa? “Kamu minta cium bener ya?” Aku
mengangkat kepalaku, mencium pipi, daun telinga, kening, pokoknya apa saja yang
bisa aku jangkau dengan bibirku. Daniel kegelian, namun tidak menolak.
“Tuh,
Katy ada lagi.” Kata Daniel, nafasnya masih tersengal-sengal akibat kiss
attack-ku barusan.
“Aku
enggak peduli sama Katy, kalau disini sudah ada yang lebih bisa aku nikmati.”
Aku menyibak selimut yang menyelimti tubuh telanjang kita berdua. Memandang
penuh kekaguman atas makhluk ciptaan Tuhan yang satu ini. Aku selalu berpikir
bahwa Tuhan menyediakan waktu khusus sewaktu menciptakan Daniel.
Matanya,
menatapku gemas. Hidung mancungnya, pasangan yang sempurna untuk bibir
merahnya. Aku membelai bibir merahnya dengan jariku. “Kenapa bibir kamu bisa
semerah ini sih Dan?”
Daniel
tersenyum sambil memasukkan jariku kemulutnya, menghisapnya seolah-olah dia
tengah menghisap penisku. Aku mengerang tertahan.
“Karena
aku enggak merokok.” Dia menjawab, lima menit kemudian.
“Aku
juga enggak merokok, tapi bibirku enggak semerah bibir kamu.” Aku menggunakan jariku
yang baru saja dihisap oleh Daniel untuk bermain-main di lubang analnya. Daniel
menggeliat. Dia melebarkan kedua kakinya, memberiku akses lebih. Jari-jariku
berputar-putar disana, sebelum akhirnya menerobos masuk. Sulit, walaupun aku
sering melakukannya.
Bibir
merah Daniel terbuka, dan aku tergoda untuk mengecupnya lagi. Menggeram pelan
saat Daniel semakin merapatkan tubuhnya ke tubuhku. Penisnya yang sudah ereksi
menusuk-nusuk perutku. Sementara jariku masih saja berkutat di bawah sana,
sesekali keluar dan membelai kulit diantara lubang anal dan testisnya.
“Mau
gantian lagi?” Godaku.
Daniel
menggeleng, walaupun rambutnya sudah dia potong cepak, dia tetap menggemaskan.
“Coba
bilang, kamu mau apa?”
“Aku
mau penis kamu yang udah ngaceng itu, masuk ke tempat dimana seharusnya dia
berada.” Aku tertawa.
“Kamu
enggak asik. Enggak ada mohon-mohonnya atau gimana gitu.” Daniel memamerkan
senyum iblisnya lagi, lalu kemudian membalikan tubuhku. Dia berada diatasku
sekarang.
“Why
I must begging? While, you’re so desperate want this?” Daniel adalah seorang
pencium yang luar biasa. Namun, dia juga seorang pengoral yang tidak ada
bandingan.
“Jangan
lama-lama disitu yank, ntar aku keburu keluar.” Aku memperingatkannya. Daniel
terkekeh. Sebelum wajahnya muncul lagi dihadapanku.
“Kiss
me, dickhead.”
“What?”
Daniel
mendekatkan bibirnya di telingaku, “Kiss me.”
Aku
tersenyum, sebelum akhirnya aku mengabulkan permintaanya itu dengan senang
hati. Aku baru saja akan membalikkan tubuhnya ketika gedoran di pintu apartment
mengagetkanku dan Daniel.
“Shit,
aku lupa kalau ini masih siang hari.” Daniel mengambil brief putihnya.
Memakainya dengan cepat lalu menuju ke pintu.
“Uncle
Daaaaaaaan!! Japheth, bawa oleh-oleh banyak buat uncle Dan sama Uncle Uki.”
Beberapa saat kemudian suara anak kesayangan Daniel itu berkumandang keras. Aku
menutup wajahku dan menenggelamkannya kedalam selimut.
Tenyata
Maya dan Japheth yang datang. Aaaaaargh, baru kali ini aku membenci Maya dan
ingin mencekiknya.
Tamat.
Kidding
. . .
Buahaha,
jadi ini bakalan selesai setelah Daniel tahu siapa bapaknya dan mau maafin
bapaknya yang udah ninggalin dia puluhan tahun. Bakal di chapter berapa? Ya mana
gue tahu ya, gue aja belum kepikiran. Buahaha. Oke? Jangan lupa buat baca
cerita gue di wattpad juga. Kalau enggak, gue ngambek.
https://www.wattpad.com/user/Ginggietama
Bercanda
lagi, gue enggak peduli mau ada yang baca atau kaga, gue tetep nulis kok.
Namanya juga hobi.
Tentang
Barista, bakal gue selesain kok. Hanya enggak tahu kapan. Gue bukan tipe
penulis yang lupa sama apa yang udah gue mulai. Gue hanya lagi stuck sama itu
cerita. So please, understand lah ya. Gue kalau update kan juga gue kasih tahu.
Oke? I hope you guys understand.
Jakarta, 13 Desember 2015 diatas Kasur sambil memeluk
guling hidup.
Ardhinansa Adiatama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
leave comment please.