Peringatan
keras!!
Cerita
ini penuh dengan adegan fulgar dan seks juga pertumpahan darah. Cieileh!! Jadi
kalo engga suka dengan tema seperti ini harap jangan dibaca. Thanks!
***
Uki
Bagus Walantaga
“Ya
Tuhan, gue harus lihat tonjolan kon-.” Maya melirik Japheth, yang sepertinya
excited ingin mendengar kelanjutan bibirnya mau ngomong apa, “kondisi yang
tidak sesuai dengan tempat yang layak.” Aku tertawa pelan mendengar koreksi
ucapan Maya hanya karena ada Japheth disini.
“Lo
kali yang datang enggak sesuai dengan kondisi dan tempat yang layak.” Daniel
menimpali. “Hai jagoan, bawa apa ini buat uncle?” Daniel menggendong Japheth,
menaikkannya ke udara beberapa kali yang membuat anak itu tertawa
terpingkal-pingkal.
“Japheth
bawa Lego, uncle! Tapi enggak bisa ngerakitnya.” Japheth dengan semangat
menunjukkan plastik putih besar, berisi sekotak kardus lego yang belum dibuka.
Menyerahkannya dengan susah payah ke tangan Daniel.
“Ya
udah, uncle bantu rakit yuk!” Mereka berdua lalu sibuk sendiri, aku menyerahkan
boxer untuk dipakai Daniel. Aku hanya kurang suka dia hanya memakai brief
didepan orang lain, selain aku. Setelah itu, aku baru masuk kamar, dengan
selimut masih melingkari pinggangku, mencari baju yang nyaman. Kemudian, menyodorkan
minuman untuk Maya yang sepertinya tengah memikirkan sesuatu yang berat jika
dilihat dari mimik wajahnya.
Aku
memperhatikan Daniel dan Japheth yang duduk di karpet. Mereka akrab, Daniel
tidak serta merta merakit lego itu sendiri. Dia mengajari Japheth dengan sabar
dan telaten. Aah, andai kita berdua bisa punya anak. Hatiku malah jadi masygul
sendiri. Bukan hanya kemungkinan itu sangat kecil, namun juga karena aku masih
memiliki harapan untuk memiliki anak bersama Daniel. Aku ingin keluarga yang
utuh, apa itu salah?
“Ki,
turun sebentar yuk. Gue lagi pengen jus nih.” Maya berbicara sambil matanya
mengedip padaku beberapa kali.
Aku
menangkap kodenya, “Oke.” Aku menoleh kearah Daniel dan Japheth, “Japheth mau
jus enggak?”
“Boleh
om, mangoes.”
“Kalau
kamu, ganteng? Mau nitip enggak?”
Daniel
menoleh, tersenyum. “Samain sama punya kamu aja.”
Aku
mengangguk sambil mengambil dompet. Sedangkan Maya, berpamitan dengan Japheth,
yang kalau dilihat tidak begitu dipedulikan oleh anak lelakinya tersebut.
Maklum, Japheth tengah sibuk dengan lego dan uncle gantengnya.
Aku
dan Maya berjalan bersisian dalam diam, turun ke bawah untuk membeli jus.
Padahal sebenarnya aku tahu, Maya ingin membicarakan tentang hal yang beberapa
minggu lalu aku bicarakan dengannya.
“Rumahnya
udah dapet, Ki.” Maya membuka bibirnya. Setelah dia selesai mengucapkan orderannya
pada tukang jus. Tukang jus kan? Atau penjual jus? Terserahlah ya. Karena
cerita ini jelas bukan tentang mamang-mamang penjual jusnya.
Aku
menoleh dengan semangat, “Gimana dengan harganya?”
“Lo
ada duitnya berapa?” Maya balik nanya.
Aku
mengeluarkan ponselku, mengetikkan beberapa password sebelum masuk kedalam
rekeningku, menunjukkan ke Maya jumlah semua tabunganku.
Maya
melirikku, setelah dia melihat jumlah uang dalam tabunganku. “Duit lo banyak
juga ya? Tapi kalau segitu, kayaknya lo cuman dapat rumahnya doang deh Ki.
Apalagi itu rumah udah ditinggal agak lama sama pemilik sebelumnya, mesti ada
yang di renovasi.”
“Hari
jadi gue ama Daniel kan masih ntar Oktober. Keburu enggak ya? Mesti nyari duit
dimana coba gue?”
“Lo
bisa minjem gue. Santai aja.”
Aku
menggelengkan kepalaku, “Enggak May. Bukannya gue nolak bantuan elo, cuman gue
pengen ngasih sesuatu ke Daniel itu pakai jerih payah gue, keringet gue
sendiri.”
Maya
tertawa sambil menepuk pundakku pelan, “Beruntung amat sih Daniel dapet laki
macam elo ini.” Aku tersipu, “Lo kapan ada waktu? Entar elo bisa melihat
kondisi rumahnya kayak gimana. Cuman agak jauh juga sih kalau mau ke tempat
kerja, kan ini di daerah Kebagusan. Agak-agak macet gila.”
“Besok
gimana? Mumpung masih libur ini. Lo bisa?”
“Gue
sih available, Ki. Lo sendiri gimana? Ijinnya ke Daniel? Laki lo itu kan
agak-agak posesif.”
“Gampang,
entar gue pikirin.”
“Ya
udah, yuk naik. Kasihan anak gue ama anak lo, keasyikkan main lego.”
Aku
tersenyum, sambil membayar jus dan membawanya di tangan kiriku. Tangan kananku
memegang ponsel dan dompet.
***
Aku
membawa mobilku menelusuri jalanan Jakarta yang masih lengang, efek dari libur
lebaran. Maya, disampingku sibuk dengan bedak dan lipstik. Katanya, dia bangun agak
kesiangan. Jadi belum sempat dandan. Ajaibnya, ini ibu-ibu satu bisa banget
memakai maskara. Padahal beberapa kali mobilku goyang-goyang.
Aku
dan Maya sudah janjian dengan pemilik rumah yang dulu untuk bertemu di tempat
ini, calon rumahku dan Daniel, jam sepuluh pagi. Aku mendapatkan informasi
tentang rumah ini dari Maya. Orang yang mau menjual rumah ini adalah bosnya di
kantor. Dan entah kenapa, Maya menginformasikan ini kepadaku. Padahal waktu
itu, aku belum kepikiran sama sekali untuk membeli sebuah rumah.
Namun
saat Maya memberitahukannya padaku, aku malah jadi tertarik. Aku ingin memiliki
masa depan bersama Daniel. Berlebihan kalian menyebutnya, terserah. Memang masa
depan yang belum pasti, setidaknya aku berusaha ingin mewujudkannya kan?
Menguras hampir seluruh tabunganku itu bukan persoalan main-main lho.
Aku
keluar dari mobil diikuti dengan Maya. Pak Burhan, ternyata sudah lebih dulu
tiba. Maya, menyalami bosnya itu dan berbasa-basi sebentar. “Aduh Bos, pagi
bener sampainya.”
“Ini
juga baru saja kok May.” Pak Burhan menoleh kearahku, “Jadi anda yang tertarik
dengan rumah saya? Masih muda ya, mana calon istrinya? Kok enggak dibawa?”
Aku
tersenyum kikuk, “Dia sibuk, Pak.”
Pak
Burhan manggut-manggut paham. Dia lalu mengajakku dan Maya masuk. Walaupun
rumah ini catnya sudah agak mengelupas disana-sini, aku suka arsitekturnya.
Perbaduan gaya rumah khas Wyoming sama Jepang. Aku langsung jatuh cinta. Belum
ada kerusakkan major didalam bangunan, mungkin butuh sedikit renovasi sama cat
ulang. Yang jelas, butuh banyak perabotan. Aku enggak mungkin membawa perabotan
dari rumah orang tuaku. Walaupun, beberapa barang disana aku yang membelinya.
Tetapi akan enggak etis kalau aku memintanya kembali, kan?
Aku
mengajak Pak Burhan ke belakang, untuk mengobrol lebih pribadi. Membicarakan
harga, dan menawarnya sebisaku. Begini juga, aku kan AM sebuah perusahaan asing.
Jagolah, dikit-dikit tawar-menawar. Walaupun aku enggak begitu yakin bisa
mengisi rumah ini dengan perabotan sampai hari H aku mempersembahkan rumah ini
sebagai kado untuk Daniel di hari jadi kita yang kedua.
Aku
dan pak Burhan bersalaman, deal dengan harga yang sudah kami berdua sepakati.
Walaupun aku agak tertawa miris dalam hati, karena keinginanku untung membeli
Range Rover jadi tertunda lebih lama lagi. Tidak apa-apa, demi si ganteng.
Di
otakku, aku sudah mempunyai gambaran mau aku apakan rumah ini. Mau aku jadikan
seperti apa rumah ini. Aku bahkan sudah berimajinasi anakku dan Daniel
berlarian bermain di halaman belakang yang luas. Mendadak aku terpekur,
seandainya bisa segampang itu.
Ya
Tuhan, aku ingin membangun sebuah keluarga yang utuh layaknya pasangan
straight. Bisa kan? Kabulkan dong Tuhan, selama hidupku, aku kan jarang
minta-minta Tuhan.
Maya
menepuk pundakku, membawaku kembali ke dunia nyata, “Lo kenapa, Ki? Syok,
tabungan lo bakal ludes?”
Aku
tertawa pelan, “Tahu aja lo.”
“Ya
udah, makan yuk. Gue yang traktir deh, karena elo baru saja jatuh miskin.”
Aku
hanya tersenyum kecil mendengar ucapan Maya barusan.
***
Joshua
Daniel Pradipta
“Kamu
kenapa sih, akhir-akhir ini jadi agak pendiem gitu?” Aku memakan coklatku,
sambil melirik Uki yang berada di balik kemudi. Kita berdua lagi on the way ke
rumahnya Maya. Dalam rangka apa? Si gelo itu ulang tahun, dan dia mengadakan
pesta kecil-kecilan.
Uki
meremas tanganku yang bebas sebentar, “Aku memang dari dulu pendiem kan?”
“Heran,
kenapa kamu bisa jadi sales.”
Uki
tertawa renyah. Aaah, Jakarta yang sepi begini mengasyikkan juga. Walaupun
sepertinya, lebaran tahun lalu lebih sepi. Mungkin orang-orang sudah agak malas
untuk pulang kampung. Ya, tidak? Aku saja malas pulang ke Bandung. Lha, disana
enggak ada siapa-siapa. Cuman ada mbok Walmi sama Pak Dirman. Mama? Beliau udah
minggat ke Belanda sama pacar barunya. Oke, aku sih setuju saja ya mama mau
menikah lagi. Toh, aku juga sudah berhenti tanya-tanya ke Jordan tentang
bapaknya, si Ruli itu. I mean, kalau memang nyokap merasa aku sudah siap untuk
menerima kenyataan cerita masa laluku, beliau bakalan cerita kan? Ini semua
kan, Mama lakukan buat kebaikan aku? Ya enggak sih?
“Sekarang
kamu yang jadi pendiem, Dan.”
“Aku
lagi kepikiran buat ngeseks sama kamu di stadion bola dengan full semua
lightning menyala.”
Uki
terbatuk kecil, “Enggak sekalian penontonnya, diajak nonton?”
Aku
nyengir, padahal bukan itu yang aku pikirkan. Kadang kan, kita enggak bisa
langsung mengucapkan apa saja yang ada di pikiran kita kan? Walaupun bibirku
gatal pengen ngomong. “Tapi aku yakin kamu enggak mau.”
“Aku
yang sekarang sih enggak peduli, ganteng. Mau orang lihat aku telanjang atau
gimana. Aku cuman enggak mau orang lain lihat kamu telanjang. And I mean, itu
semua orang ya, include your Mom.” Uki menarik nafas, “Jadi, kalau bukain pintu
jangan pakai celana dalam doang lagi ya, ganteng?”
Aku
tertawa. Uki ternyata seposesif ini. Dan itu cute banget. “Kiss dong.”
Uki
melirikku sebentar, memarkirkan mobil di halaman rumah Maya yang memang besar.
Lalu keluar dari mobil. Jadi enggak ada kiss nih? Hh, aku mengikuti Uki keluar
dari mobil. Namun sebelum aku mencapai pintu depan, Uki menarikku, tangannya
dengan posesif melingkari pinggangku. Lalu bibirnya mengecup bibirku. Aku kira,
karena kita tengah ingin bertamu, Uki hanya akan cukup mengecupnya saja. You
know? Tanpa lidah kita saling bertaut dan berbagi air liur. I was wrong, karena
setelahnya Uki memaksaku untuk membuka bibirku. Lidahnya menerobos masuk,
bertemu dengan lidahku disana. Saling menghisap, saling bertaut.
Tangan
Uki kini beralih ke leherku, memintaku semakin menundukkan kepalaku, agar dia
makin bisa leluasa mengeksplore area bibirku. Damn! Aku sama Uki udah ereksi.
Gila, ini mau di tuntaskan atau diakhiri biar nanggung-nanggung kentang?
Aku
mendengar suara mobil lain, memasuki halaman rumah Maya, namun aku tidak
peduli. Bagaimana aku bisa peduli ketika tangan kiri Uki meremas bokongku
dengan bernafsu? I mean, ini bokongku gitu, salah satu area sensitifku.
“Get
a room, please.” Itu suara Evan.
“Anjis,
gue kayak ngelihat adegan porno live gitu.” Ini Reno.
Uki
melepaskan pelukannya, wajahnya memerah, lebih merah dari udang rebus. “Ehm,
aku masuk duluan.” Ya Tuhan, sifat malu-malunya adorable banget enggak sih?
Evan menatapku dengan pandangn sok tahu sebelum mengikuti Uki masuk ke rumah
Maya. Reno masih siul-siul enggak jelas sebelum aku menyikut pinggangnya dan
dia merangkulku.
“Well,
gue baru tahu kalau bakalan kayak gini penyambutannya.”
“Kadang,
orang yang sedang dimabuk cinta itu enggak mengenal situasi dan kondisi, Ren.”
Aku berbicara bak negarawan.
Reno
batuk-batuk kecil, aku yakin hanya dibuat-buat batuknya. “ Ini orang yang sama
yang kemarin dulu itu ngomong pengen putus, bukan?”
“Everybody
change, gorgeous.”
Dan
Reno menanggapinya dengan tertawa.
***
Ada
Banyu dan Maya, minus Japheth karena dia sudah tidur. Lalu aku dan Uki, juga
Evan dan Reno. Tidak, kita enggak merencanakan untuk orgy. Uki tidak bakalan
setuju, kalian ingat kan dia enggak pengen ada orang lain yang melihatku
telanjang? Apalagi orgy coba?
Kue
ulang tahunnya sudah ditiup tadi, sewaktu Japheth masih bangun. Sekarang ini,
acaranya orang dewasa. Ada wine, sampanye, well, Uki hanya meminum es teh dan
es lemon. Sekali-kali jus, namun sama sekali enggak menyentuh minuman haram
itu. Dulu, sewaktu sehabis dia mau minum minuman berakohol, kejadiaannya udah
agak lama sih. Setelahnya dia pernah bilang, “Menurut agamaku, minum-minuman
kayak gitu itu dosa. Pacaran sama kamu, berbuat seks sama kamu, itu dosa. Ya
jadi, aku lebih milih berbuat seks sama pacaran sama kamu aja. Itu dosa
majorku. Lainnya kalau bisa, ya aku hindari. Aku juga sholat lima waktu rajin.
Biar nanti di akhirat, kalau ditanya, aku bisa jawab dengan gamblang. Kamu itu
memang dosaku, dan aku bertanggung jawab sampai akhirat nanti. Enggak bakal
bohong kalau ditanya Tuhan juga. Kalau nanti tetap ke neraka, karena perbuatan
baikku enggak bisa menutupi dosaku karena berhubungan batin dan fisik sama
kamu, aku juga bakal terima dengan ikhlas.” Isn’t that romantic? I mean, lil
bit creepy sih bawa akhirat-akhirat begitu, but still, it’s romantic. Dia tahu
benar apa yang dia lakukan, dan dia akan pertanggungjawabkan kepada Tuhannya.
Kalau dia sampai sudah dalam tahap mengakui aku dihadapan Tuhannya, berarti dia
juga sudah mengakui aku di hadapan teman dan keluarganya. Aku tidak perlu
meragukan cintanya Uki lagi, iya kan?
“May,
we have no time to wrapping it, so here it is,” Aku melemparkan dua tiket untuk
ke Raja Ampat, beserta reservasi hotel, tiket pulang pergi. “Hadiah dari gue.”
Maya
memeluk gue, “Ya Tuhan, lo baik banget. Tahu aja kalau laki lo tabungannya
abis-abisan buat beli rumah.”
Aku
melepas pelukan Maya, “Apa lo bilang, barusan?”
Maya
menutup mulutnya, sepertinya menyadari sesuatu kalau seharusnya dia enggak
ngomong begitu. Uki juga agak tegang disana. Aku menatap Maya dan Uki
bergantian. “Can somebody do explain? Kamu beli rumah buat orang tua kamu? Atau
gimana?”
“Eum,
well, eum, actually . . .”
Belum
sempat Maya menyelesaikan ucapannya, Uki sudah menarikku untuk menjauh. Dia
membawaku ke pekarangan belakang.
Uki
beberapa kali menarik nafas panjang, menatapku tajam. Sorry, Ki aku tidak akan
terintimidasi. “Itu rumah, hadiah buat hari jadi kita kedua.”
“Berapa
kamu beli?”
“Enggak
penting.” Uki berucap pelan dan tegas.
Aku
mendecak kesal, “Yang bakal tinggal di rumah itu bukan hanya kamu ya nantinya,
aku juga kan?” Uki diam, “Berapa harganya?”
“Udahlah
Dan, kan itu hadiah aku buat kamu.”
“Aku
tanya, berapa harganya?” Aku tetap berkeras.
Uki
diam untuk beberapa saat, “Dua.” Dia mengucapkannya dengan sangat pelan.
“Dua
juta?” Uki menggeleng. Yaiyalah, ini akunya aja yang bego. Mana ada rumah dua
juta? Uang muka cicilan mobil aja enggak ada yang dua juta. Heh, tapi aku lagi
emosi, kadang orang emosi itu ucapannya diluar nalar. Understand, kan? Iya, aku
ngeles.
“Dua
ratus juta?” Lagi-lagi Uki menggeleng.
Aku
mengacak-acak rambutku frustasi, “Dua Milyar?” Uki mengangguk.
“Damn
it Ki!!” Itu angka lumayan. Lumayan banget. Aku aja enggak ada tabungan segede
itu. Oke, kecuali rekening yang dibuat Mama yang atas namaku itu. Tetapi dari
hasil gajiku sendiri? Enggak ada. Mengalir seperti air, gajiku mah. Hey, Louis
Vuitton enggak murah ya. “Udah dibayar?”
Uki
mengangguk. Pantesan Uki jadi pendiem, kehilangan duit dua milyar gitu lho.
Tabungan dia selama berapa tahun itu? Aku mau marah karena merasa dibohongi pun
enggak jadi. Uki membeli rumah ini untuk kita berdua, kenapa aku harus marah?
Alasan dia tidak memberitahuku, jelas ini bakalan jadi suprise. Hanya kebetulan
mulut Maya kadang keceplosan.
“Aku
mau lihat rumahnya.”
Uki
menatapku, masih dengan pandangan mantapnya. “Kamu enggak marah?”
“Ngapain
aku harus marah? Udah dibeliin rumah malah marah-marah, itu namanya enggak tahu
diri, Ki. Lagian mau marah juga, duit dua milyarnya enggak balik. Jadi marahnya
mubazir.” Aku menggandeng tangan Uki untuk masuk dan bergabung bersama Maya dan
yang lainnya, “Tapi tetep ada hukumannya sih.” Aku nyengir mesum.
***
“Ini
beneran?” Uki bertanya ragu. Aku mengangguk.
“Daniel
Pradipta, ini tempat umum lho.”
“Lha
terus kenapa?” Aku menjawab enteng. “Buruan deh, kamu udah janji lho bakalan
nurut pas aku hukum.” Lanjutku.
Uki
melirikku, kombinasi antara sebal dan putus asa, “Enggak gini juga kan?
“Tapi
aku maunya kayak gini.” Aku menjawab sambil tersenyum lebar. Mirip bocah yang
baru saja menang adu kelereng. Uki mengintip keluar lewat jendela, mimik
wajahnya benar-benar terlihat khawatir.
“Kamu
kok tega, gitu?”
Aku
terkikik, “Lho yang bilang, ‘aku enggak peduli juga ada orang yang mau lihat
aku telanjang atau gimana juga’, itu siapa?”
“Masak
aku harus telanjang sampai pintu apartment? Kalau ketemu orang pas di lift,
gimana? Aku malu, sayang.”
Aduh,
enggak bakal mempan sayang-sayangnya itu. Sebenarnya, aku tidak jahat-jahat
amat. Ada lift untuk barang yang kalau jam segini jarang sekali digunakan. Ya,
kalau misalnya nanti ada orang ya sialnya pacarku aja. Aku sih enggak peduli ya
mau ada yang lihat Uki telanjang atau bagaimana. Intinya, mereka cuman bisa
melihat. Yang bisa nyentuh, jilat-jilat, isep-isep, sedot-sedot? Ya cuma aku.
“Buruan
gih, lepas semua bajunya!”
“Ada
beberapa orang yang kenal aku, Dan.” Uki berusaha melobi.
“Terus?
Kan ketemu mereka juga enggak setiap hari.” Aku tetep kekeuh.
Kami
berdebat lagi selama sepuluh menit, sampai akhirnya Uki mengalah dan melepas
semua bajunya. Dia telanjang bulat sekarang, dan nafsuku langsung naik ke
ubun-ubun. Aku sebisa mungkin menahannya. Jangan sekarang, nanti saja.
Walaupun
sudah telanjang, Uki masih belum turun dari mobil. Padahal suasana parkiran
apartment lagi sepi. Uki mengintip lagi lewat jendela, sebelum akhirnya turun
sambil kedua tangannya menutupi tititnya. Aku mengikutinya di belakang sambil
tertawa tertahan. Membawakan handphone dan dompet milik pacar lucuku itu.
Kita
memakai lift untuk barang, dan Uki menghembuskan nafas lega ketika didalam lift
tidak ada orang. Aku tersenyum lagi. Muncul ide jahil. Aku menarik Uki kedalam
pelukanku, meraba kelaminnya dengan tanganku. Membuat gerakan masturbasi hingga
aku yakin Uki ngaceng maksimal.
Uki
mendorongku, “Kamu ngapain sih?”
“Biar
tititmu itu enggak bisa ditutupi pakai tangan.” Kataku santai.
Uki
hanya menatapku gemas namun tidak berkomentar. Dia keluar lift setelah sampai
di lantai kamarku berada. Kami berpapasan dengan seorang nenek-nenek yang aku
pelototi agar tidak menatap Uki. Uki sendiri berlari agar cepat sampai didepan
kamar apartmentku. Dengan kondisi tititnya masih ngaceng, goyang kekiri kekanan
pas dia lari tadi. Lucu-lucu bikin horny gitu. Namun si pacar lucuku itu
akhirnya sadar kalau yang memegang card key apartment itu aku. Begitupun dengan
card apartment milik Uki, juga ada di tanganku. Kan dompetnya, aku yang pegang.
Dia
melototiku begitu aku muncul dihadapannya.
“Nenek
Sahira lihat tititku.” Katanya setelah masuk kedalam apartment. Sekarang dia
tidak repot-repot untuk berusaha menutupi ereksinya. Aku menatap Uki penuh
nafsu. Uki itu dewasa, unyu adorable bikin gemes sekaligus bikin nafsu. Apalagi
Uki yang telanjang.
Aku
memeluknya, meredam semua keluhan yang akan keluar dari bibirnya dengan
bibirku. “Komplainnya nanti, seks aja dulu.” Kataku sambil berlutut, dan mulai
mengoral Uki. Aku sudah gemas ingin melakukannya sejak tadi di mobil. Lelaki
itu kelemahannya ada di perut sama kelamin. Kenapa aku tahu? Karena aku juga
lelaki, bego! Cowok itu cepat buat dibikin naik. Nah, kalau mereka lagi nafsu,
otak mereka enggak bisa berpikir yang lain. Baru setelah crot lah, otak mereka
berfungsi lagi.
Aku
mau kasih servis ke Uki Bagus dulu, sebagai hadiah atas keberaniannya barusan.
See you . . .
***
Uki
Bagus Walantaga
Ini
sudah seminggu masuk kantor. Menjalani rutinitas seperti biasa. Dan belum
pernah, selama empat tahun aku bekerja, aku menunggu tanggal gajian se-excited
ini. Aku memang tidak perlu membayar biaya listrik, air, atau tetek bengek
lainnya di apartment Daniel, karena Sophia yang melakukannya. Dengan memaksa,
dia agak setengah bingung mau membuang uangnya dimana, karena Daniel juga sudah
tidak minta-minta lagi. kecuali BMW mewahnya itu.
Namun
aku berkewajiban membayar kebutuhan rumah orang tuaku. Aku tahu, gaji papa
masih mampu. Namun, aku berkeras bahwa semenjak aku bekerja, semua tagihan
listrik dan tetek bengek rumah, aku yang bayar. Hingga saat ini. Bertengkar
dengan ibuku, bukan berarti aku tidak memperhatikan mereka. Mereka tetap
keluargaku.
“Ini
costumer baru. Calon peluang buat goalnya gede.” Pak Bimo bersuara dari depan.
Membuyarkan lamunanku. Oke, jadi aku, Daniel dan pak Bimo ada visit customer ke
daerah sudirman. Calon value-nya gede kata Pak Bimo. Tetapi anehnya, sang calon
customer ini meminta pak Bimo juga mengajak flavourist-nya. Padahal sebenarnya
tidak perlu, itu alasannya kenapa si ganteng juga ikut.
Aku
sempat marah sama Daniel sewaktu aku menerima hukuman aneh darinya beberapa
minggu yang lalu, tapi ya sudahlah. Rasa marahku sudah lenyap dengan servisnya
setiap hari. Selama sisa libur lebaran, baik aku dan dia sama sekali tidak
mengenakan baju sehelaipun. Kita berdua benar-benar seperti binatang. Makan,
mandi, bercinta. Istirahat sebentar, ngeseks lagi. Makan, ngeseks lagi. Mandi,
sambil ngesek lagi. Shit, aku malah mulai terangsang karena bayangan memabukkan
itu.
“Tapi
kenapa juga, aku harus ikut?”
“Kan
request dari kliennya begitu Dan.”
Daniel
hanya mengedikkan bahu lalu kembali fokus pada smartphonenya. Aku sendiri juga
sedikit heran. Mengajak flavourist sebenarnya wajar-wajar saja, hanya saja agak
sedikit aneh. Karena toh, kita tidak membawa sample atau aplikasi apapun untuk
didemokan.
Kita
tiba di kantor customer sekitar jam setengah tiga, dan disuruh menunggu
sebentar. Lalu munculah seorang bapak-bapak ganteng, aku tebak mungkin berusia
empat puluhan. Dan mengingatkanku akan seseorang. Eeeum, Jordan. Iya, mirip
Jordan. Si bapak ini menyalami pak Bimo, lalu aku kemudian menatap Daniel lama.
“Halo Dan, masih ingat saya?”
“Pak
Ruli, bukan?” Si bapak ganteng itu tertawa. Lalu kita mulai meeting. Aku
melirik Daniel yang sepertinya excited. Padahal, biasanya gantengku itu jarang
banget semangat seperti ini. Rapat weekly di kantor aja si ganteng
males-malesan, apalagi sama customer coba? Herannya, itu enggak terjadi hari
ini.
Jadi
pak Ruli ini mau membuat sebuah aplikasi teh ocha mirip dengan milik Indofood
Asahi. Aku agak heran, kalau cuman sesepele itu, kan bisa lewat sales saja.
Enggak perlu minta pak Bimo dan Daniel kesini juga. Buang-buang tenaga dan
waktu. Mungkin pak Bimo juga sepemikiran sepertiku, namun karena ini nanti
bakal menambah income, lumayan besar juga kalau goal, pak Bimo diam saja.
Pura-pura excited malahan.
“Daniel,
bisa tidak kita bicarakan soal project ini diluar jam kantor?” Kita berempat
sudah selesai meeting dan tengah duduk di lobi. Menunggu pak Bimo yang
kebetulan tengah ke toilet. Mobilnya kan cuman bawa satu tadi.
“Enggak
bisa. Saya lembur atau enggak lembur gajinya sama.” Aku mengelus kepalaku
pelan. Si ganteng kalau jawab suka enggak dipikir dulu.
Pak
Ruli terlihat berpikir sebentar, “Mungkin kita bisa ngomongin next project atau
bagaimana, gitu?”
Daniel
menoleh kearah pak Ruli dengan wajah lelah, “Gimana kalau ngomongin tentang
mama saya saja? Saya penasaran dengan hubungan pak Ruli dengan mama saya dulu.”
Pak
Ruli menegang, aku bisa melihat rahangnya yang mengeras. Aku jadi bingung
sendiri, ada yang gantengku ini belum ceritain ke aku?
“Oke.
Mau dimana? Berdua saja?”
“Ichi
Resto di Senayan gimana, Pak? Enggak dong, bertiga sama pacar saya. Nih yang
duduk disamping saya. Hari Jum’at ini?” Pak Ruli langsung melihat kearahku
tidak suka. Namun, aku juga balas menatapnya. Aku tidak mau terintimidasi hanya
karena dia bos besar.
“Oke.”
Jawab pak Ruli setelah lama diam.
***
Ternyata
Daniel tidak hanya mengajakku, dia juga mengajak Sophia. Namun menyuruhku,
untuk mengatakan bahwa kita hanya makan malam bertiga. Daniel menyuruhku yang
memberitahu Sophia, katanya aku pandai bohong sedangkan dia enggak jago bohong.
Kurang ajar kan bibirnya? Minta dicium enggak, tuh? Ngatain pacar sendiri pinter
bohong? Itu kan bukan pujian.
Kita
pergi menggunakan mobil camry milikku. Sophia cantik banget, sumpah! Sama
sekali tidak terlihat kalau sudah memiliki anak usia dua puluhan. Sophia
memakai gaun hitam dengan belahan dada rendah, sepatu boots sepanjang lutut. Belahan
kakinya juga bikin ngiler, aku saja sampai takjub.
Tapi
beda dengan Daniel yang bilang penampilan Sophia enggak matching. Dia bahkan
menyuruh mamanya untuk mengganti boots-nya dengan high heels. Padahal dimataku,
Sophia sudah sempurna banget. Gaunnya mirip banget sama yang dipakai Selena
Gomez di video klipnya yang Same Old Song. Bedanya, Sophia dadanya berisi,
belahan kakinya sampai paha.
Aku
dan Daniel memakai kemeja formal. Karena kita akan makan di Ichi Resto, sebuah
restoran ala Jepang yang punya peraturan tentang table manner. You know lah,
mesti formal gitu.
“Dan,
what it is? Sejak kapan kamu mau ngajak Mom makan malam kayak gini? Mau ngumumumin
tanggal pernikahan kalian?” Aku yang dibalik kemudi langsung batuk-batuk kecil.
Daniel
mengelus tengkukku sebentar, “Nothing, it’s just a little a familly time, Mom.
Is that crime?”
Sophia
mencibir, mengacak-acak rambut Daniel dengan sayang sebelum akhirnya fokus
melihat jalanan Jakarta. Namun Sophia agaknya menjadi bosan melihat macetnya
Jakarta sore ini, dia lalu mengajukan pertanyaan untukku. “I wanna ask you
something, Uki. Since you dating my son, I’m little curious selama satu tahun
ini kamu tahu tentang apa aja soal Daniel.” Sophia melirik jendela mobil lagi,
“Daripada aku mati bosan, could I?”
Aku
melirik Sophia dari kaca spion, lalu tersenyum. “I know almost everything about
your son, Soph.” Daniel terkekeh disampingku, lalu mengecup pipiku.
“You
know everything about my son?” Sophia terkekeh, mirip Daniel barusan.
Sepertinya bukan hanya wajah, kepribadian mereka pun mirip. “What is Daniel
allergic too?”
“Seriouslly
Soph? It’s that easy, pine nuts, all of kind vegetable and the full spectrum of
human emotion.”
Daniel
merengut, gemesin banget. “Oh that’s . . . that was funny.” Aku mencubit
pipinya gemas. Sophia diam, berarti dia setuju dengan jawabanku kan?
“Do
Daniel has any scars?” Sophia bertanya lagi. Jalanan Jakarta masih padat.
Mungkin kita baru akan sampai Ichi Resto setengah jam lagi.
Aku
meringis sejenak, mengingat-ingat tubuh Daniel dan agak menggeram pelan. Aku ereksi,
padahal hanya mengingat-ingat saja. “No. But I am pretty sure that Daniel has
tattoo.” Aku tersenyum, “And I know exactly where they are.”
“We
done with all your question, Mom. Lama-lama mommy bisa nanyain dimana Uki dan
aku pertama kali berhubungan seks.” Daniel mengerang.
“Emang
dimana?” Tanya Sophia penasaran. Lalu tiba-tiba dia menjentikkan jarinya, “Mom
inget, pas Mommy dateng waktu itu kan?”
“Aaaargh,
mommy rese! Ki, kebut kek, biar cepet sampai. Mommy rese kalau lagi laper.”
“Gimana
bisa ngebut ganteng, lha mobilnya aja banyak tuh didepan. Jalannya lelet, kamu
marahin gih mobil-mobil didepan.” Daniel menatapku horror lalu membuang muka.
Sementara itu, aku dan Sophia berbagi senyum. Setidaknya, aku benar-benar tahu
bagaimana membuat Daniel tidak emosi. Namun aku juga tahu bagaimana cara
membuatnya emosi. Lebih gampang kan? Daniel enggak susah-susah amat kok buat
dimengerti. Otaknya lempeng. A ya A, B ya B. Daniel gitu orangnya.
Kita
tiba di Ichi lima menit lebih terlambat dari waktu yang dijanjikan. Namun
Daniel sepertinya tidak merasa menyesal. Dia bertanya kepada pelayan tempat
yang sudah di booking oleh Ruli Dirga. Dan aku bisa melihat sekilas kecemasan
di mata Sophia.
Sewaktu
pelayan Ichi Resto mengantarku, Daniel dan Sophia ke meja Ruli. Bukan hanya
Sophia saja yang terkejut, Ruli juga. Dia hampir berdiri dan akan berlari
memeluk Sophia, namun sepertinya Ruli menahan diri. Sophia, lain lagi. Aku
tidak bisa membaca raut wajahnya. Senang, sedih, kaget atau tertekan.
Daniel,
otherwise, malah duduk dengan nyaman setelah melepas sepatunya. “So, can you
both explain? My PARENTS? Your kid, here need to know. And I am not idiot.”
Kata Daniel.
Sophia
berdeham sebentar sebelum akhirnya melepas sepatunya dan bergabung bersama
Daniel dan Ruli. Aku menyusul dalam bingung. Benar-benar bingung.
Bersambung.
. .
Aye-aye,
tinggal satu atau dua chapter lagi tamat. Yaaaaaaaas! Hahaha!