FOLLOW ME

Senin, 07 September 2015

BOTTOM 16


Peringatan keras!!
Cerita ini penuh dengan adegan fulgar dan seks juga pertumpahan darah. Cieileh!! Jadi kalo engga suka dengan tema seperti ini harap jangan dibaca. Thanks!
***

Joshua Daniel Pradipta
“Lo tahu Andri gak? Dia baru aja balik dari Amrik lho.”
Aku menatap Evan dengan pandangan bingung. Andri who? Yang aku tahu sih Andri anak HRD Departement, dan setahuku Andri yang itu enggak kemana-mana minggu-minggu ini.
“Siapa Van?”
“Itu, selingkuhannya Rasjid.”
Shit! Yaelah, kirain temenku gitu. “Trus? Penting lo kasih tahu ke gue?”
“Enggak juga, tapi dia pulang bawa lakinya, bawa bayi juga.”
Aku menyeruput green tea ku, adem. “Adopsi gitu?”
“Surrogate mother.” Evan mengatakannya dengan suara lirih.
“Serius lo?”
“Lha ini gue mau nengokkin sambil nanya-nanya. Lo temenin gue ya?”
“Anjing gila lo! Gak mungkin lah gue pergi ke tempat orang yang beberapa tahun lalu ngancurin mimpi-mimpi gue tentang sebuah relationship!!”
Evan melambaikan kedua tangannya dengan gaya berlebihan, “Masih dendam aja lo ama Andri? Gini ya Daniel, technical reach new development sekaligus flavourist yang terhormat, yang gajinya 25 juta per bulan, kalau waktu itu Andri gak dateng dalam kehidupan Rasjid, maka lo gak akan pernah tahu kalau Rasjid itu just another ass hole. Jadi, seharusnya lo berterima kasih sama Andri. Misalnya dengan mengunjungi dia yang baru aja pulang ke Indonesia lagi. Lagian, lo berdua juga udah bukan rival lagi.”
“Darimana lo belajar analogi gila kayak gitu?” Evan tersenyum sambil menunjukku dengan mukanya. Sial.
“Ayolah Dan, please? Gue pengen lihat bayinya. Di instanya dia, bayinya lucu banget.”
Aku menatap Evan dengan jijik, “Lo sama Reno berencana punya bayi?”
“Enggak, gue come out aja belum berani. Tapi lo sama Uki, pasti iya kan? Toh, kedua keluarga sudah tahu. Apalagi coba masalahnya?”
“Gundulmu! Punya bayi itu gak mudah tahu!”
“Gini ya Dan, sebagian besar penduduk Indonesia itu masih dibawah garis kemiskinan, dan mereka fine-fine aja punya bayi. Elo sama Uki, yang penghasilannya udah puluhan juta, apa susahnya punya bayi?”
Aku menatap Evan kesal, dan Evan tertawa, “Gimana? Enak gak diginiin? Biasanya itu ya, gue yang lo giniin. Dijawab dengan analogi gila ala Daniel Pradipta. Gue ya, berteman dengan lo puluhan tahun, belajar banyak banget dari lo!” Evan kembali berkata sambil masih cekikikan.
“Gini ya Van, rata-rata masyarakat yang dibawah garis kemiskinan itu, fine punya bayi, karena rata-rata dari mereka enggak punya gairah akan kepuasan seksual. Gue, in other hand, sangat mengutamakan kepuasan seks. Lo bayangin, dengan adanya bayi, trus gue udah mau crot, ampir diujung nih, trus bayi gue nangis? Kan kentang banget kan? Gue sih bakal tetep lanjut, Uki? Gak yakin, dia pasti bakal lebih mentingin nangisnya bayi kita dibandingin gue yang udah kejang-kejang mau orgasme.”
Evan melongo, “Lo gila!”
“See? You’ll never beat the original!”
“Hahaha, gue tetep mesti harus belajar dari lo nih, menjawab masalah dengan analogi gila! By the way, ikut gak lo nemenin gue jengukkin Andri?”
Aku berpikir sebentar, menimang-nimang dengan bijaksana, “Oke deh.”
***

Andri, yang dulu badannya penuh otot, sudah berganti dengan lemak. Perutnya membuncit, khas bapak-bapak yang sudah mempunyai dua anak dan istri. Well, di kasus ini, dia sama sekali jauh dari mempunyai istri dan dua anak. Hanya saja, you know what I mean lah. Di lain sisi, lakinya, yang bule, masih terlihat atletis dan luar biasa menawan. Well, kadang selera bule memang aneh. Atau mungkin bule ini jatuh cinta pada Andri yang dulu, yang seksi dan easy going. Oke, he’s still the same person, with lemak yang sedikit berlebihan sekarang.
Pertama lihat aku tadi, Andri sedikit kaget. Mungkin dikiranya aku bakal nyulik bayinya kali ya? Atau masih punya dendam.
Dan bayinya, emang lucu parah. Baru belajar merangkak. Dan dari cara mereka saling menatap, I know that mereka memang saling jatuh cinta. Dan dengan adanya bayi? Perfect.
“Gue gak nyangka yang dateng itu elo Dan.” Andri, menemani gue yang duduk sendirian di belakang halaman rumahnya. Sementara, Andrew –lakinya- dan Evan sibuk dengan Abigail, bayinya.
“Well, gue dipaksa Evan sih sebenernya. Gua gak ilang akal ya sampai datang kesini dengan niat tulus gue sendiri.”
Andri langsung ngakak mendengar perkataanku. Padahal gak ada sisi lucunya sama sekali. “Lo gak berubah ya Dan? Tetep kalau ngomong seenaknya sendiri kaga ada basa-basi. But, lo lebih berisi ya? Makin ganteng.”
“Dan elo, makin kayak babi guling. Makan apa aja lo di Amrik?”
Andri menepuk-nepuk pundak gue, “Rempong bo, ngurus laki gue. Lagian dia cinta gue apa adanya. Males juga gue ngurus-ngurus badan lagi.” I can see that point.
Andri terdiam sejenak. Seperti menimang-nimang sesuatu. “Dan, dulu gue belum sempet minta maaf langsung ke elo. Cuman sempet lewat email sama sms doang. Ya abis, lo kalau lihat gue, udah kayak mau ngajak ribut gitu mukanya. Gue kan takut.”
“Elo ya, minta maaf aja masih ada tapi-tapinya. Sebenernya nih ya Ndri, gue sebelum kesini, gue belum maafin elo. Tapi begitu gue lihat elo, barusan nih ya, dengan badan bengkak lo, dendam gue ilang. Gak tahu deh kenapa.”
“Anjing.” Andri ngakak lagi.
Hening sejenak, setelah tawa Andri mereda.
“Gimana rasanya punya bayi Ndri? Lo bakalan stay di Indonesia?”
“Rasanya? Bahagia, tujuan hidup gue jadi bertambah. Yang bikin hidup makin hidup itu memang gitu kan? Purpose, dan dengan adanya ini bayi, gue jadi punya lebih banyak tujuan hidup. Makin rajin cari duit buat ntar biaya dia sekolah. Ngebesarin dia, gak sabar buat nunjukkin indahnya dunia ke dia ntar pas dia gede. Ngelarang dia dating sama cowok ini atau cowok itu. Atau cewek ini atau cewek itu, kalau nantinya dia jadi lesbian. Atau milihin lipgloss yang bagus buat dia.” Andri berhenti, tertawa sebentar. “Stay di Indonesia? Kayaknya enggak deh Dan. Bukan gue gak cinta tanah air sih, tapi gue lebih cinta anak gue. Gue gak siap ntar anak gue terima bully, hanya karena dia gak punya ibu tapi malah punya dua ayah. Lo sendiri Dan? Siapa laki lo sekarang?”
Aku menunjukkan foto Uki dari handphone gue ke Andri, yang membuat Andri mengernyit sebentar, “Well, pilihan cowok lo ternyata bergeser ya.”
“Fisik doesn’t matter lagi buat gue Ndri.” Kataku sambil tersenyum.
“Bukan itu, tapi gue gak nyangka lo suka cowok kalem sekarang. I mean, Rasjid juga kalem, well, I wish I’ll not said that jerk again, but whateverlah. Tapi dia kan gaul juga. You know what I mean lah Dan, karena kita pernah mencecap laki yang sama. But this one, tipe yang religius-religius gitu gak sih Dan?”
Aku mengangguk, menjawab pertanyaan Andri. Agak surprise juga dengan tebakan Andri yang memang benar.
“I wonder, lo kok bisa putus sama Rasjid. Setelah lo berjuang keras ngerebut dia dari gue, gitu kan? You just let him go?”
“Bahas luka lama lagi nih lo? Mungkin gue kena karma kali ya, karena dia juga selingkuh dari gue. Tapi, serius gue mau bilang sama elo nih Dan, dulu gue bener-bener gak maksut ngerebut Rasjid dari lo. Pas lo mergokkin kita bobo bareng itu, itu yang pertama kalinya lho buat gue sama Rasjid.”
“Yang gue lihat sih lo berbagi keringat sama lendir, bukannya bobo bareng.”
Andri tertawa kencang, “Lo tuh ya! Kangen gue sama lo!”
“Tapi toh lo akhirnya pacaran kan ama dia? Bukannya mengakhiri karena lo nidurin laki temen lo, tapi lo malah lanjut pacaran.”
“Abis ibarat gini, lo musuhin gue. Mau gue pacaran atau enggak sama Rasjid, lo bakal tetep musuhin gue. Gue udah tahu sifat lo yang ini. Jadi ya, gue pacarin aja sekalian.”
“Bangsat lo ya.”
“Bangsat-bangsat gini, juga pernah jadi temen lo kan ya?” Aku dan Andri langsung tertawa bareng.
***

Uki Bagus Walantaga
Tiap akhir bulan begini, tanggal-tanggal 20 hingga 25 an, aku selalu dikejar-kejar oleh Finance Department. Report sales, customer value, untuk keperluan closing mereka. Dan, here I am, masih sibuk di depan laptop sedangkan si ganteng lagi asyik nonton parade cowok-cowok berotot berjalan diatas catwalk. Technical macam dia, mana mungkin pernah ngerasain dikejar deadline?
Sesekali tangan Daniel mengelus rambutku. Posisiku? Aku duduk di karpet, dengan laptop di meja rendah, di depan televisi. Daniel, tiduran diatas sofa, dengan setoples makanan ringan ditangan kirinya. Tangan kanannya memegang Iphone, sesekali mengambil snack, sesekali mengelus rambutku. Mungkin sehabis ini aku harus keramas.
“I wanna have babbies.” Babbies? Berarti lebih dari satu bayi, ini ganteng kenapa? Kesambet?
“Aku tadi ke rumah temen, dia pake ibu pengganti gitu. Dan bayinya lucu.” Lanjut Daniel dengan masih fokus ke arah televisi. Aku juga belum menanggapinya. Aku berpikir, bahwa Daniel mungkin sedang bercanda atau mengkhayal atau something yang seperti itulah.
Daniel menaruh topeles snacknya yang sudah kosong, lalu ikut merosot dan duduk diatas karpet bersamaku, “Ki, gimme comment dong.”
Aku melepaskan kacamataku dan meletakkannya diatas meja. Biasanya aku memakai softlens jika berada di kantor. Kalau di rumah, aku memakai kacamata. Bukan softlens gaya-gayaan berwarna-warni, seperti yang kalian bayangkan ya.
“Komen apa, sih, sayang?”
Daniel menatapku lama, “Bayi Ki,”
“Kamu yakin sanggup punya bayi? Kita dirumah cuman Sabtu Minggu lho, terus siapa yang bakal ngerawat bayi kita? Babby sitter?” Aku memakai kacamataku lagi, sebentar lagi pekerjaanku kelar. Dan aku bisa fokus untuk berdebat dengan si ganteng. Debat sama si ganteng ini, selain membutuhkan ketangkasan untuk menjawab logikanya yang gila, juga diperlukan kesabaran. Sifatnya yang seperti anak kecil, kadang bisa memancing emosi juga, sering malah.
“Kita kan gak bakal tahu kalau belum coba Ki.”
“Kita sudah pasti bakal hire babby sitter kalau punya bayi, kecuali bayi kita kamu bawa ke tempat kerja. Kamu yakin, mau menyerahkan bayi kita untuk dibesarkan orang lain?”
“Yah, sapa tahu Mamaku mau merawat bayi kita, pas kita lagi kerja.”
Aku diam. Kalian sendiri pasti sudah hafal diluar kepala kalau Daniel mau A ya A. B ya B. Jadi, aku harus putar otak agar dia menyerah. Aku lebih dari tahu kalau Daniel bakalan belum siap mempunyai bayi. Bukan berarti Daniel tidak akan menyayangi bayi kita ya, tapi sifat dia aja masih kekanakkan. Jadi, intinya, nanti aku bakalan punya dua bayi. Satu bayi beneran, satunya lagi bayi yang hot dan siap santap.
“Besok Sabtu sama Minggu, kita pinjam Japheth biar sama kita ya? Gimana? Kan rencana beberapa bulan yang kemarin itu belum kesampaian kan?”
Daniel diam sebentar sebelum akhirnya mengangguk dan menyenderkan kepalanya dibahuku.
Hhhh, problem solved. At least, untuk sementara waktu.
***

Si ganteng emang bisa naklukkin Fadil, tapi ternyata, Japheth lebih liar ketimbang Fadil. Ya secara usia juga Japheth lagi aktif-aktifnya. Lari kesana, lari kesini. Main ini, main itu, tenaganya enggak ada habisnya. Dan Daniel masih bisa mengimbangi. Kalau nanti bayiku dan Daniel bakalan seperti Japheth, kayaknya aku harus mulai work out.
“Uncle Dan, why Maleficent became an evil? She’s looks so bad.” Keduanya tengah menonton Maleficent. Dan pertanyaan ini muncul dari bibir mungil Japheth.
“Have you ask your question to your mom?” Japheth mengangguk, menjawab pertanyaan Daniel.
“And, what her answer?”
“Mom, said it’s in scenario.” Daniel menampilkan mimik muka tak berdaya.
“Listen to me Japheth, everybody have different reaction, when someone that they love betraying them. What Stefan did to Maleficent?”
“He’s betraying her.”
“Nah, what would you do, if someone abusing, betraying you, Japheth?”
“Angry.”
“That’s happen to Maleficent.” Japheth mengangguk-angguk. Dan aku dibikin kagum dengan Daniel. Mungkin, dia memang sudah siap untuk mempunyai bayi.
“But Jesus told me that we must forgive.”
“And, you should do that.” Daniel mencium puncak kepala Japheth. “In the end of story, you’ll see that Maleficent and Aurora still love each other.”
“Yeah, it’s cool. I love you uncle Dan.”
“I love you too.”
***

Enggak mungkin kita bisa punya bayi di Indonesia. Kita, aku dan Daniel, maksudku, sudah berdiskusi dengan Sophia. Dan, Sophia setuju jika nanti bayi kita lahir, well, aku bahkan have no idea alias blank sama sekali tentang tata cara mempunyai bayi lewat surrogate mother. Bahwa bayi tersebut akan diangkat anak oleh Sophia, secara akta lahir dan lain-lainnya, nanti atas nama Sophia. Is that possible? Sekali lagi aku bilang, aku gak ada gambaran sama sekali!
“Ki?”
“Hmmm?”
“Kayaknya susah punya bayi disini Ki.”
Aku mengurut keningku. Lapar karena puasa ini, belum seberapa dibanding mikirin rencana Daniel yang emang udah bulet pengen punya bayi. “Ntar kita cari solusinya ya, sayang.”
“Nonton aja yuk.”
“Nonton apa?”
“Ya apa aja, yang penting kita jalan-jalan keluar. Malam minggu ini.”
Aku memejamkan mataku sebentar, “Aku ganti baju dulu ya?”
***

Evan Sutedjo
“Gue yakin, Uki pasti banyak pikiran.”
Gue menggigit kentang goreng gue sekali tiga batang, sebelum akhirnya menengok ke arah Daniel yang sepertinya lagi galau, “Lo paranormal? Atau Uki cerita sama lo?”
“Logika aja nih ya bot, bentar lagi lebaran, dia masih musuhan sama Mamanya. Gue juga, ngribetin dia punya bayi. Pusing gak tuh kepala laki gue?”
Gue geleng-geleng kepala, “Ya kalau lo tahu, laki lo pusing, kasih apa kek gitu? Hadiah? Lo selama puasa ini udah berhubungan seks berapa kali?”
Daniel, matanya langsung melotot. Respon cepatnya terhadap ucapan gue barusan.
“Udah deh bo, lo gak usah sensi sama hal-hal beginian. Kayak lo gak pernah cerita dengan inisiatif sendiri aja.”
“Bisa diitung sih Van. Gue juga gak mempermasalahkan. Yang penting kan Uki seneng, ya udah itu juga cukup bikin gue seneng.”
“Kalau selama ini Uki ternyata pengen seks, tapi dia malu bilang gimana?”
“Enggak. Dia udah gak sepemalu itu sama gue.”
“Efek puasa?”
Daniel diam sesaat, “Lo kurang makan enak ya Van?” katanya kemudian.
“Semprul!!”
Sejujurnya, gue iri sama mereka berdua. Having relationship yang gimana ya? Saling ngerti each other. Halah! Tapi serius deh, Uki, bakal nglakuin hampir apa aja biar Daniel bisa bahagia. Daniel, walaupun kelihatannya paling cuek diantara mereka berdua, tapi dia mencintai Uki. Well, seenggaknya itu yang gue lihat. Pengorbanan bangun jam tiga pagi untuk nyiapin sahur, mungkin bagi sebagian orang adalah hal yang biasa. Gue, lihatnya ini luar biasa. Ini Daniel gitu loh, yang bisa enggak telat kantor yang masuknya jam sembilan aja udah syukur. Bukan berarti gue gak bersyukur punya Reno ya. But, sometimes kalian juga pernah ngerasain apa yang tengah gue rasain kan? Iri sama hubungan orang lain? Kalau gak pernah, congratullation!
“Mungkin masalah kerjaan juga kali Dan, lo udah denger hot gosip di kantor belum?”
Daniel menghentikan aktifitas ngemilin kentang gorengnya, lalu menatap gue dengan pandangan datar, “Gosip apa?”
“Kita masih kurang dari budget 1,5 juta. Padahal ini kan udah setengah tahun. Tinggal enam bulan lagi.”
“Segitu bukannya kecil ya?”
“US dolar, lagian beberapa customer kita banyak yang mendadak cancel PO. Pusing gak tuh para salesnya, musti gimana?”
“Gue juga tahu dalam dolar. Secara gak mungkin juga si Paul mau terima rupiah. Tapi gini Van, jumlah segitu itu kecil tahu! Budget buat outing aja 200 juta tahun ini. Rupiah ya, lagian bukannya tiap tahun kita pasti achieve ya?”
“Lo kemarin ikut quartal meeting gak sih? Gue juga gak tahu sih tepatnya masih kurang berapa, tapi sampai Pak Bimo itu stress gara-gara mikirin ini!!”
“Gue kan trial di Bogor nyet, pas meeting quartal kemarin. Ntar gue tanya-tanya laki gue deh. Lagian juga, lo ngasih info setengah-setengah gitu.”
“Eh bot, gue kan bagian Human Resource Development, beda divisi tahu! Mana ngarti gue finance-finance gitu?”
Daniel mencibir pelan, “Bukannya Finance sama HRD berkaitan erat ya?”
Gue cuman bisa nyengir.
***

Uki Bagus Walantaga
“Ki, Indobiscuit itu sekarang dipegang siapa?” Daniel bertanya padaku yang tengah mengevaluasi project pro active untuk Nutrifood, L’Men water. Fruit varian.
“Anis. Kenapa?”
Daniel mengangkat kedua bahunya cuek.
“Ini bagus-bagus lho Dan, profiel mouth-nya. Apalagi yang apple, type-nya emang yang fresh green gitu. Di Indonesia masih jarang.” Pak Bimo, sepertinya mengabaikan pertanyaan Daniel untukku barusan. Disini, kita berdua tengah mengevaluasi hasil created nya Daniel untuk, well, Nutrifood.
“Well, kita kepentok harga deh Pak. Ini flavournya dari US. Mahal, 40 USD per kilonya. Gak yakin Nutrifood mau, even ini natural.”
Pak Bimo geleng-geleng kepala, “Berapa kemungkinan valuenya Ki, kalau misalnya goal? Setahu saya, Nutrifood memang maunya natural kan?”
“Ini kan new product pak, sekitar 500 kg per bulannya.”
“Ini bisa gak Dan, kamu blending disini? Jadi nanti kita bisa minta biangnya dari US, kita produce disini.”
“Bisa aja sih Pak. Tapi saya perlu trial error.”
Pak Bimo menatapku dan Daniel bergantian, “Minggu depan? Sudah bisa di evaluasi lagi?”
“Jangan gila Pak!! Lha, saya kan mesti nyari raw material yang paling enggak mendekati profile raw mat yang dipakai US, kalau mau cepet, mending kita encerin aja. Pakai PG. Tapi paling mentok jadi 20 USD per kilonya.”
“Kalau di encerin, berubah gak profilnya?”
Aku melirik Daniel yang memutar bola matanya. Ini si pacar ya, emang masih ngeselin. Sifat kurang ajarnya belom ilang. Untung dia adorable. “Enggak Pak, paling jadi lebih weak aja mouth feelnya.”
“Oke, kalo yang ini minggu depan, bisa?” Kali ini Bimo menanyakannya dengan lebih hati-hati.
“Oke. Agak sorean ya Pak? Paginya saya mesti nyiapin sample untuk GMC.”
“No problem. Ya udah, saya turun dulu.”
“Oke Pak, eh Ki, kamu jangan turun dulu. Aku mau ngomong.”
Aku sempat menangkap ekspresi Pak Bimo yang menarik nafas panjang. Well, dulu, Daniel sering sekali menahan Pak Bimo setelah evaluasi. Sekarang? Dia menahanku, well, aku sedikit banyak, mengerti apa yang dirasakan Pak Bimo
Aku mengikuti Daniel masuk kedalam ruangannya, tersenyum pada Acha. Oke, dari cara Acha menatapku, dia seperti mau bilang, “Kalian mau main kotor ya?”
Gimana enggak? Ini udah jam setengah tujuh malam, evaluasi ini dilakukan sehabis buka puasa. Karena menungguku.
“Lihat deh nih Ki, udah tiga kali Indobiscuit minta sample Dairy Boost, pertama 3kg, 5kg dua kali. Gilak gak tuh? 200 USD nih!!” Pikiranku yang kotor nih, tak kirain mau ngajak ngapain, ternyata ngomongin kerjaan.
“Masalahnya, aku lupa nge record, yang minta ini sample siapa. Karena dulu kan indobiscuit dipegang kamu.”
“Emang ada masalah Yank?”
“Gak ada sih, tapi jarang aja customer minta sampe segitu banyak. Kecuali mereka udah mulai trial, lha ini, open PO juga kaga. Tiba-tiba disscontinue gitu aja. Pas meeting pipeline besok kan pasti dibahas Ki.”
“Yang pegang kalau gak salah Anis sekarang. Eem,”
“Kenapa Ki?”
“Gak tahu ini cuman perasaanku aja atau gimana ya, tapi semenjak Pak Bimo tahu kita pacaran, semua customer gede dilempar ke aku. Ya aku omsetnya jadi gede sih, tapi jadi enggak enak sama yang lain, Yank. Apalagi sama Pak Deddy, dia kan lebih senior.”
Daniel mencium bibirku lembut, “You need treatment honey. Come with me.”
“Hah? Ngapain?”
“Enjoying this little bitch nasty life, of course!!”
***

Daniel mengajakku ke Salon and Spa, di daerah Kelapa Gading. Well, jujur ini pertama kalinya aku ke tempat semacam ini. Potong rambut saja, aku cukup ke barber shop. Daniel menyuruhku untuk treatment massage plus ear candle. Halah, gak ngerti apa-apa aku tentang beginian. Daniel sendiri, ingin ganti suasana dengan meng highlight rambutnya. Warna merah darah, di beberapa helai rambutnya yang sudah berwarna coklat tembaga, ditambah rambut bergelombangnya yang memang sudah agak panjang. He’s just looks fantastic! Dan tambah adorable.
Setelahnya shoping. Baju, celana panjang, jeans, jaket, bahkan celana dalam. Ada keisengan semasa di ruang ganti, ketika dengan sengaja Daniel meremas tititku waktu aku tengan mencoba celana panjang.
“Shoping, sama nyalon itu the best cure buat stres Ki! That’s why, wanita gila shoping sama nyalon.” Kita berakhir dengan makan malam di McD. Well, ada beberapa mata yang memperhatikan kita berdua. Gak heran, belanjaan banyak, dan penampilan Daniel yang, well, jadi pusat perhatian.
“Mereka gampang stress ya?”
“Secara mereka lebih sering pakai perasaan daripada otak. Wajar gampang stress sama depresi.” Daniel menjawab santai.
“Kalau kamu? Lebih banyak pakai otak apa perasaan?”
Daniel mencolek ayamnya dengan saus lumayan banyak, memakannya dengan sekali suap, “Dua-duanya bekerjasama dengan baik. Di kasusku mereka best friend.”
Aku tersenyum sambil mengelap bibir merahnya yang belepotan saos.
“Itu kenapa aku pacarin kamu Ki, karena secara kebetulan, kamu bisa bikin otak dan perasaanku bilang yes secara bersamaan.”
Salting, sumpah! Si ganteng ini, kalau mau ngegombal, jago amat! Makan malam gak romantis gini, di McD pula, sudah cukup bikin aku makin cinta sama si ganteng. Lha, aku gak bisa paham sama orang yang bilang, ‘Seganteng-gantengnya pacarmu, atau secantik-cantiknya pacarmu, pasti ada masa kamu bosan sama dia.’
Nah, itu tak berlaku untukku. Aku dan Daniel tinggal bareng, kita sekantor pula. Bosen? Enggak. Kalian pernah coli? Atau nonton bokep? Well, Daniel itu bisa di ibaratkan bokep. Sekuat apapun aku mau berpaling, atau berhenti, sekuat itu pula aku ingin berbalik, atau hanya mengintip, namun ujung-ujungnya nonton lagi.
Pengibaratannya gak romantis ya? Haha.
“Hey, boleh gabung gak? Meja lain penuh nih.” Aku menoleh. Aku pernah melihat ini cowok. Yang tertawa bareng Daniel sewaktu aku dan Daniel ada masalah beberapa bulan yang lalu.
“Boleh.” Aku menjawab spontan. Aku melirik si ganteng yang langsung manyun. Minta banget dicubit bibirnya.
“Thanks! Eh, Dan lo kok sekarang jarang lari-lari lagi sih di GBK? Gak pernah lihat lo lagi gue.”
“Sibuk.” Daniel menjawab tanpa menoleh.
“Sibuk atau ngehindarin gue?” Ini cowok tersenyum lalu menatapku, “Sorry, lupa kenalan. Gue Hendri, lo?”
“Uki.” Jawabku singkat. Moodku tiba-tiba gak enak.
Ini cowok manggut-manggut, lalu menatap Daniel lagi. “Eh Dan, lo kan suka robot-robotan tuh, gue ada invitation buat bisa lihat pameran robot-robot se Asia di Bandung, mau join gak sama gue?”
Aku diam. Bukan apa-apa, hanya enggak ngerti juga mau masuk obrolan.
“Gak, thanks.” Daniel menoleh kearahku, “Aku udah selesai Yank, kamu udah belum?”
Aku hanya mengangguk bego.
“Duluan Hend,”
“Oke.”
Aku tersenyum ramah, yang hanya dibalas senyum kecut oleh Hendri. Resiko punya pacar ganteng, fansnya dimana-mana. Yang suka dimana-mana.
“Another rival. Yang ini agak berat kayaknya.”
Daniel, yang tengah melap tangannya dengan tissue basah, mengabaikan perkataanku. Dia malah meraih tanganku dan membersihkannya juga. Kita memang tadi langsung keluar. Enggak sempat cuci tangan, Danielnya udah keburu badmood.
“Rival itu, kalau aku ada rasa juga ama itu orang. Lha aku gak ada apa-apa kok.”
“Tapi pernah ada kan?” Aku keceplosan bertanya.
“Maksutnya?”
Aku menghembuskan nafas perlahan, sudah terlanjur. “Aku pernah lihat kamu ketawa bareng sama Hendri. Entah kapan itu waktu kita berantem.”
Daniel menatapku, apakah aku sudah bilang ke kalian kalau aku menyukai mata pacarku ini? Indah, lucu, bikin gemes.
“Yah, it was. But it’s gone for good.”
Aku merana, “Sekarang?”
“Ki, kalau aku masih suka sama Hendri, suka ya bukan cinta! Sekarang mungkin aku udah putusin kamu trus ngisep kontolnya Hendri dibawah mejanya McD.”
Aku menarik Daniel mendekat, memeluknya erat. Walau agak enggak enak karena kita berdua didalam mobil. “Don’t, please don’t.”
“Atau aku ngisep punyamu aja, Ki?”
“Sekarang?”
“Kamu tetep bisa fokus nyetir kan?”
Aku yakin wajahku pasti sudah kayak kacang rebus. “Eem, not sure sih.”
“Let’s try, then.”
Well, . . .

Bersambung . . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

leave comment please.