Peringatan
keras!!
Cerita
ini penuh dengan adegan fulgar dan seks juga pertumpahan darah. Cieileh!! Jadi
kalo engga suka dengan tema seperti ini harap jangan dibaca. Thanks!
***
Joshua
Daniel Pradipta
“Lo
tahu Andri gak? Dia baru aja balik dari Amrik lho.”
Aku
menatap Evan dengan pandangan bingung. Andri who? Yang aku tahu sih Andri anak
HRD Departement, dan setahuku Andri yang itu enggak kemana-mana minggu-minggu
ini.
“Siapa
Van?”
“Itu,
selingkuhannya Rasjid.”
Shit!
Yaelah, kirain temenku gitu. “Trus? Penting lo kasih tahu ke gue?”
“Enggak
juga, tapi dia pulang bawa lakinya, bawa bayi juga.”
Aku
menyeruput green tea ku, adem. “Adopsi gitu?”
“Surrogate
mother.” Evan mengatakannya dengan suara lirih.
“Serius
lo?”
“Lha
ini gue mau nengokkin sambil nanya-nanya. Lo temenin gue ya?”
“Anjing
gila lo! Gak mungkin lah gue pergi ke tempat orang yang beberapa tahun lalu
ngancurin mimpi-mimpi gue tentang sebuah relationship!!”
Evan
melambaikan kedua tangannya dengan gaya berlebihan, “Masih dendam aja lo ama
Andri? Gini ya Daniel, technical reach new development sekaligus flavourist
yang terhormat, yang gajinya 25 juta per bulan, kalau waktu itu Andri gak
dateng dalam kehidupan Rasjid, maka lo gak akan pernah tahu kalau Rasjid itu
just another ass hole. Jadi, seharusnya lo berterima kasih sama Andri. Misalnya
dengan mengunjungi dia yang baru aja pulang ke Indonesia lagi. Lagian, lo
berdua juga udah bukan rival lagi.”
“Darimana
lo belajar analogi gila kayak gitu?” Evan tersenyum sambil menunjukku dengan
mukanya. Sial.
“Ayolah
Dan, please? Gue pengen lihat bayinya. Di instanya dia, bayinya lucu banget.”
Aku
menatap Evan dengan jijik, “Lo sama Reno berencana punya bayi?”
“Enggak,
gue come out aja belum berani. Tapi lo sama Uki, pasti iya kan? Toh, kedua
keluarga sudah tahu. Apalagi coba masalahnya?”
“Gundulmu!
Punya bayi itu gak mudah tahu!”
“Gini
ya Dan, sebagian besar penduduk Indonesia itu masih dibawah garis kemiskinan, dan
mereka fine-fine aja punya bayi. Elo sama Uki, yang penghasilannya udah puluhan
juta, apa susahnya punya bayi?”
Aku
menatap Evan kesal, dan Evan tertawa, “Gimana? Enak gak diginiin? Biasanya itu
ya, gue yang lo giniin. Dijawab dengan analogi gila ala Daniel Pradipta. Gue
ya, berteman dengan lo puluhan tahun, belajar banyak banget dari lo!” Evan kembali
berkata sambil masih cekikikan.
“Gini
ya Van, rata-rata masyarakat yang dibawah garis kemiskinan itu, fine punya
bayi, karena rata-rata dari mereka enggak punya gairah akan kepuasan seksual.
Gue, in other hand, sangat mengutamakan kepuasan seks. Lo bayangin, dengan
adanya bayi, trus gue udah mau crot, ampir diujung nih, trus bayi gue nangis?
Kan kentang banget kan? Gue sih bakal tetep lanjut, Uki? Gak yakin, dia pasti
bakal lebih mentingin nangisnya bayi kita dibandingin gue yang udah
kejang-kejang mau orgasme.”
Evan
melongo, “Lo gila!”
“See?
You’ll never beat the original!”
“Hahaha,
gue tetep mesti harus belajar dari lo nih, menjawab masalah dengan analogi
gila! By the way, ikut gak lo nemenin gue jengukkin Andri?”
Aku
berpikir sebentar, menimang-nimang dengan bijaksana, “Oke deh.”
***
Andri,
yang dulu badannya penuh otot, sudah berganti dengan lemak. Perutnya membuncit,
khas bapak-bapak yang sudah mempunyai dua anak dan istri. Well, di kasus ini,
dia sama sekali jauh dari mempunyai istri dan dua anak. Hanya saja, you know
what I mean lah. Di lain sisi, lakinya, yang bule, masih terlihat atletis dan
luar biasa menawan. Well, kadang selera bule memang aneh. Atau mungkin bule ini
jatuh cinta pada Andri yang dulu, yang seksi dan easy going. Oke, he’s still
the same person, with lemak yang sedikit berlebihan sekarang.
Pertama
lihat aku tadi, Andri sedikit kaget. Mungkin dikiranya aku bakal nyulik bayinya
kali ya? Atau masih punya dendam.
Dan
bayinya, emang lucu parah. Baru belajar merangkak. Dan dari cara mereka saling
menatap, I know that mereka memang saling jatuh cinta. Dan dengan adanya bayi?
Perfect.
“Gue
gak nyangka yang dateng itu elo Dan.” Andri, menemani gue yang duduk sendirian
di belakang halaman rumahnya. Sementara, Andrew –lakinya- dan Evan sibuk dengan
Abigail, bayinya.
“Well,
gue dipaksa Evan sih sebenernya. Gua gak ilang akal ya sampai datang kesini
dengan niat tulus gue sendiri.”
Andri
langsung ngakak mendengar perkataanku. Padahal gak ada sisi lucunya sama
sekali. “Lo gak berubah ya Dan? Tetep kalau ngomong seenaknya sendiri kaga ada
basa-basi. But, lo lebih berisi ya? Makin ganteng.”
“Dan
elo, makin kayak babi guling. Makan apa aja lo di Amrik?”
Andri
menepuk-nepuk pundak gue, “Rempong bo, ngurus laki gue. Lagian dia cinta gue
apa adanya. Males juga gue ngurus-ngurus badan lagi.” I can see that point.
Andri
terdiam sejenak. Seperti menimang-nimang sesuatu. “Dan, dulu gue belum sempet
minta maaf langsung ke elo. Cuman sempet lewat email sama sms doang. Ya abis,
lo kalau lihat gue, udah kayak mau ngajak ribut gitu mukanya. Gue kan takut.”
“Elo
ya, minta maaf aja masih ada tapi-tapinya. Sebenernya nih ya Ndri, gue sebelum
kesini, gue belum maafin elo. Tapi begitu gue lihat elo, barusan nih ya, dengan
badan bengkak lo, dendam gue ilang. Gak tahu deh kenapa.”
“Anjing.”
Andri ngakak lagi.
Hening
sejenak, setelah tawa Andri mereda.
“Gimana
rasanya punya bayi Ndri? Lo bakalan stay di Indonesia?”
“Rasanya?
Bahagia, tujuan hidup gue jadi bertambah. Yang bikin hidup makin hidup itu
memang gitu kan? Purpose, dan dengan adanya ini bayi, gue jadi punya lebih
banyak tujuan hidup. Makin rajin cari duit buat ntar biaya dia sekolah.
Ngebesarin dia, gak sabar buat nunjukkin indahnya dunia ke dia ntar pas dia
gede. Ngelarang dia dating sama cowok ini atau cowok itu. Atau cewek ini atau
cewek itu, kalau nantinya dia jadi lesbian. Atau milihin lipgloss yang bagus
buat dia.” Andri berhenti, tertawa sebentar. “Stay di Indonesia? Kayaknya
enggak deh Dan. Bukan gue gak cinta tanah air sih, tapi gue lebih cinta anak
gue. Gue gak siap ntar anak gue terima bully, hanya karena dia gak punya ibu
tapi malah punya dua ayah. Lo sendiri Dan? Siapa laki lo sekarang?”
Aku
menunjukkan foto Uki dari handphone gue ke Andri, yang membuat Andri mengernyit
sebentar, “Well, pilihan cowok lo ternyata bergeser ya.”
“Fisik
doesn’t matter lagi buat gue Ndri.” Kataku sambil tersenyum.
“Bukan
itu, tapi gue gak nyangka lo suka cowok kalem sekarang. I mean, Rasjid juga
kalem, well, I wish I’ll not said that jerk again, but whateverlah. Tapi dia
kan gaul juga. You know what I mean lah Dan, karena kita pernah mencecap laki
yang sama. But this one, tipe yang religius-religius gitu gak sih Dan?”
Aku
mengangguk, menjawab pertanyaan Andri. Agak surprise juga dengan tebakan Andri
yang memang benar.
“I
wonder, lo kok bisa putus sama Rasjid. Setelah lo berjuang keras ngerebut dia
dari gue, gitu kan? You just let him go?”
“Bahas
luka lama lagi nih lo? Mungkin gue kena karma kali ya, karena dia juga
selingkuh dari gue. Tapi, serius gue mau bilang sama elo nih Dan, dulu gue
bener-bener gak maksut ngerebut Rasjid dari lo. Pas lo mergokkin kita bobo
bareng itu, itu yang pertama kalinya lho buat gue sama Rasjid.”
“Yang
gue lihat sih lo berbagi keringat sama lendir, bukannya bobo bareng.”
Andri
tertawa kencang, “Lo tuh ya! Kangen gue sama lo!”
“Tapi
toh lo akhirnya pacaran kan ama dia? Bukannya mengakhiri karena lo nidurin laki
temen lo, tapi lo malah lanjut pacaran.”
“Abis
ibarat gini, lo musuhin gue. Mau gue pacaran atau enggak sama Rasjid, lo bakal
tetep musuhin gue. Gue udah tahu sifat lo yang ini. Jadi ya, gue pacarin aja
sekalian.”
“Bangsat
lo ya.”
“Bangsat-bangsat
gini, juga pernah jadi temen lo kan ya?” Aku dan Andri langsung tertawa bareng.
***
Uki
Bagus Walantaga
Tiap
akhir bulan begini, tanggal-tanggal 20 hingga 25 an, aku selalu dikejar-kejar
oleh Finance Department. Report sales, customer value, untuk keperluan closing
mereka. Dan, here I am, masih sibuk di depan laptop sedangkan si ganteng lagi
asyik nonton parade cowok-cowok berotot berjalan diatas catwalk. Technical
macam dia, mana mungkin pernah ngerasain dikejar deadline?
Sesekali
tangan Daniel mengelus rambutku. Posisiku? Aku duduk di karpet, dengan laptop
di meja rendah, di depan televisi. Daniel, tiduran diatas sofa, dengan setoples
makanan ringan ditangan kirinya. Tangan kanannya memegang Iphone, sesekali
mengambil snack, sesekali mengelus rambutku. Mungkin sehabis ini aku harus
keramas.
“I
wanna have babbies.” Babbies? Berarti lebih dari satu bayi, ini ganteng kenapa?
Kesambet?
“Aku
tadi ke rumah temen, dia pake ibu pengganti gitu. Dan bayinya lucu.” Lanjut
Daniel dengan masih fokus ke arah televisi. Aku juga belum menanggapinya. Aku
berpikir, bahwa Daniel mungkin sedang bercanda atau mengkhayal atau something
yang seperti itulah.
Daniel
menaruh topeles snacknya yang sudah kosong, lalu ikut merosot dan duduk diatas
karpet bersamaku, “Ki, gimme comment dong.”
Aku
melepaskan kacamataku dan meletakkannya diatas meja. Biasanya aku memakai
softlens jika berada di kantor. Kalau di rumah, aku memakai kacamata. Bukan
softlens gaya-gayaan berwarna-warni, seperti yang kalian bayangkan ya.
“Komen
apa, sih, sayang?”
Daniel
menatapku lama, “Bayi Ki,”
“Kamu
yakin sanggup punya bayi? Kita dirumah cuman Sabtu Minggu lho, terus siapa yang
bakal ngerawat bayi kita? Babby sitter?” Aku memakai kacamataku lagi, sebentar
lagi pekerjaanku kelar. Dan aku bisa fokus untuk berdebat dengan si ganteng.
Debat sama si ganteng ini, selain membutuhkan ketangkasan untuk menjawab
logikanya yang gila, juga diperlukan kesabaran. Sifatnya yang seperti anak
kecil, kadang bisa memancing emosi juga, sering malah.
“Kita
kan gak bakal tahu kalau belum coba Ki.”
“Kita
sudah pasti bakal hire babby sitter kalau punya bayi, kecuali bayi kita kamu
bawa ke tempat kerja. Kamu yakin, mau menyerahkan bayi kita untuk dibesarkan
orang lain?”
“Yah,
sapa tahu Mamaku mau merawat bayi kita, pas kita lagi kerja.”
Aku
diam. Kalian sendiri pasti sudah hafal diluar kepala kalau Daniel mau A ya A. B
ya B. Jadi, aku harus putar otak agar dia menyerah. Aku lebih dari tahu kalau
Daniel bakalan belum siap mempunyai bayi. Bukan berarti Daniel tidak akan
menyayangi bayi kita ya, tapi sifat dia aja masih kekanakkan. Jadi, intinya,
nanti aku bakalan punya dua bayi. Satu bayi beneran, satunya lagi bayi yang hot
dan siap santap.
“Besok
Sabtu sama Minggu, kita pinjam Japheth biar sama kita ya? Gimana? Kan rencana
beberapa bulan yang kemarin itu belum kesampaian kan?”
Daniel
diam sebentar sebelum akhirnya mengangguk dan menyenderkan kepalanya dibahuku.
Hhhh,
problem solved. At least, untuk sementara waktu.
***
Si
ganteng emang bisa naklukkin Fadil, tapi ternyata, Japheth lebih liar ketimbang
Fadil. Ya secara usia juga Japheth lagi aktif-aktifnya. Lari kesana, lari
kesini. Main ini, main itu, tenaganya enggak ada habisnya. Dan Daniel masih
bisa mengimbangi. Kalau nanti bayiku dan Daniel bakalan seperti Japheth,
kayaknya aku harus mulai work out.
“Uncle
Dan, why Maleficent became an evil? She’s looks so bad.” Keduanya tengah
menonton Maleficent. Dan pertanyaan ini muncul dari bibir mungil Japheth.
“Have
you ask your question to your mom?” Japheth mengangguk, menjawab pertanyaan
Daniel.
“And,
what her answer?”
“Mom,
said it’s in scenario.” Daniel menampilkan mimik muka tak berdaya.
“Listen
to me Japheth, everybody have different reaction, when someone that they love
betraying them. What Stefan did to Maleficent?”
“He’s
betraying her.”
“Nah,
what would you do, if someone abusing, betraying you, Japheth?”
“Angry.”
“That’s
happen to Maleficent.” Japheth mengangguk-angguk. Dan aku dibikin kagum dengan
Daniel. Mungkin, dia memang sudah siap untuk mempunyai bayi.
“But
Jesus told me that we must forgive.”
“And,
you should do that.” Daniel mencium puncak kepala Japheth. “In the end of
story, you’ll see that Maleficent and Aurora still love each other.”
“Yeah,
it’s cool. I love you uncle Dan.”
“I
love you too.”
***
Enggak
mungkin kita bisa punya bayi di Indonesia. Kita, aku dan Daniel, maksudku,
sudah berdiskusi dengan Sophia. Dan, Sophia setuju jika nanti bayi kita lahir,
well, aku bahkan have no idea alias blank sama sekali tentang tata cara
mempunyai bayi lewat surrogate mother. Bahwa bayi tersebut akan diangkat anak
oleh Sophia, secara akta lahir dan lain-lainnya, nanti atas nama Sophia. Is
that possible? Sekali lagi aku bilang, aku gak ada gambaran sama sekali!
“Ki?”
“Hmmm?”
“Kayaknya
susah punya bayi disini Ki.”
Aku
mengurut keningku. Lapar karena puasa ini, belum seberapa dibanding mikirin
rencana Daniel yang emang udah bulet pengen punya bayi. “Ntar kita cari
solusinya ya, sayang.”
“Nonton
aja yuk.”
“Nonton
apa?”
“Ya
apa aja, yang penting kita jalan-jalan keluar. Malam minggu ini.”
Aku
memejamkan mataku sebentar, “Aku ganti baju dulu ya?”
***
Evan
Sutedjo
“Gue
yakin, Uki pasti banyak pikiran.”
Gue
menggigit kentang goreng gue sekali tiga batang, sebelum akhirnya menengok ke
arah Daniel yang sepertinya lagi galau, “Lo paranormal? Atau Uki cerita sama
lo?”
“Logika
aja nih ya bot, bentar lagi lebaran, dia masih musuhan sama Mamanya. Gue juga,
ngribetin dia punya bayi. Pusing gak tuh kepala laki gue?”
Gue
geleng-geleng kepala, “Ya kalau lo tahu, laki lo pusing, kasih apa kek gitu?
Hadiah? Lo selama puasa ini udah berhubungan seks berapa kali?”
Daniel,
matanya langsung melotot. Respon cepatnya terhadap ucapan gue barusan.
“Udah
deh bo, lo gak usah sensi sama hal-hal beginian. Kayak lo gak pernah cerita
dengan inisiatif sendiri aja.”
“Bisa
diitung sih Van. Gue juga gak mempermasalahkan. Yang penting kan Uki seneng, ya
udah itu juga cukup bikin gue seneng.”
“Kalau
selama ini Uki ternyata pengen seks, tapi dia malu bilang gimana?”
“Enggak.
Dia udah gak sepemalu itu sama gue.”
“Efek
puasa?”
Daniel
diam sesaat, “Lo kurang makan enak ya Van?” katanya kemudian.
“Semprul!!”
Sejujurnya,
gue iri sama mereka berdua. Having relationship yang gimana ya? Saling ngerti
each other. Halah! Tapi serius deh, Uki, bakal nglakuin hampir apa aja biar
Daniel bisa bahagia. Daniel, walaupun kelihatannya paling cuek diantara mereka
berdua, tapi dia mencintai Uki. Well, seenggaknya itu yang gue lihat.
Pengorbanan bangun jam tiga pagi untuk nyiapin sahur, mungkin bagi sebagian
orang adalah hal yang biasa. Gue, lihatnya ini luar biasa. Ini Daniel gitu loh,
yang bisa enggak telat kantor yang masuknya jam sembilan aja udah syukur. Bukan
berarti gue gak bersyukur punya Reno ya. But, sometimes kalian juga pernah
ngerasain apa yang tengah gue rasain kan? Iri sama hubungan orang lain? Kalau
gak pernah, congratullation!
“Mungkin
masalah kerjaan juga kali Dan, lo udah denger hot gosip di kantor belum?”
Daniel
menghentikan aktifitas ngemilin kentang gorengnya, lalu menatap gue dengan
pandangan datar, “Gosip apa?”
“Kita
masih kurang dari budget 1,5 juta. Padahal ini kan udah setengah tahun. Tinggal
enam bulan lagi.”
“Segitu
bukannya kecil ya?”
“US
dolar, lagian beberapa customer kita banyak yang mendadak cancel PO. Pusing gak
tuh para salesnya, musti gimana?”
“Gue
juga tahu dalam dolar. Secara gak mungkin juga si Paul mau terima rupiah. Tapi
gini Van, jumlah segitu itu kecil tahu! Budget buat outing aja 200 juta tahun
ini. Rupiah ya, lagian bukannya tiap tahun kita pasti achieve ya?”
“Lo
kemarin ikut quartal meeting gak sih? Gue juga gak tahu sih tepatnya masih
kurang berapa, tapi sampai Pak Bimo itu stress gara-gara mikirin ini!!”
“Gue
kan trial di Bogor nyet, pas meeting quartal kemarin. Ntar gue tanya-tanya laki
gue deh. Lagian juga, lo ngasih info setengah-setengah gitu.”
“Eh
bot, gue kan bagian Human Resource Development, beda divisi tahu! Mana ngarti
gue finance-finance gitu?”
Daniel
mencibir pelan, “Bukannya Finance sama HRD berkaitan erat ya?”
Gue
cuman bisa nyengir.
***
Uki
Bagus Walantaga
“Ki,
Indobiscuit itu sekarang dipegang siapa?” Daniel bertanya padaku yang tengah
mengevaluasi project pro active untuk Nutrifood, L’Men water. Fruit varian.
“Anis.
Kenapa?”
Daniel
mengangkat kedua bahunya cuek.
“Ini
bagus-bagus lho Dan, profiel mouth-nya. Apalagi yang apple, type-nya emang yang
fresh green gitu. Di Indonesia masih jarang.” Pak Bimo, sepertinya mengabaikan
pertanyaan Daniel untukku barusan. Disini, kita berdua tengah mengevaluasi
hasil created nya Daniel untuk, well, Nutrifood.
“Well,
kita kepentok harga deh Pak. Ini flavournya dari US. Mahal, 40 USD per kilonya.
Gak yakin Nutrifood mau, even ini natural.”
Pak
Bimo geleng-geleng kepala, “Berapa kemungkinan valuenya Ki, kalau misalnya
goal? Setahu saya, Nutrifood memang maunya natural kan?”
“Ini
kan new product pak, sekitar 500 kg per bulannya.”
“Ini
bisa gak Dan, kamu blending disini? Jadi nanti kita bisa minta biangnya dari
US, kita produce disini.”
“Bisa
aja sih Pak. Tapi saya perlu trial error.”
Pak
Bimo menatapku dan Daniel bergantian, “Minggu depan? Sudah bisa di evaluasi
lagi?”
“Jangan
gila Pak!! Lha, saya kan mesti nyari raw material yang paling enggak mendekati
profile raw mat yang dipakai US, kalau mau cepet, mending kita encerin aja.
Pakai PG. Tapi paling mentok jadi 20 USD per kilonya.”
“Kalau
di encerin, berubah gak profilnya?”
Aku
melirik Daniel yang memutar bola matanya. Ini si pacar ya, emang masih
ngeselin. Sifat kurang ajarnya belom ilang. Untung dia adorable. “Enggak Pak,
paling jadi lebih weak aja mouth feelnya.”
“Oke,
kalo yang ini minggu depan, bisa?” Kali ini Bimo menanyakannya dengan lebih
hati-hati.
“Oke.
Agak sorean ya Pak? Paginya saya mesti nyiapin sample untuk GMC.”
“No
problem. Ya udah, saya turun dulu.”
“Oke
Pak, eh Ki, kamu jangan turun dulu. Aku mau ngomong.”
Aku
sempat menangkap ekspresi Pak Bimo yang menarik nafas panjang. Well, dulu,
Daniel sering sekali menahan Pak Bimo setelah evaluasi. Sekarang? Dia menahanku,
well, aku sedikit banyak, mengerti apa yang dirasakan Pak Bimo
Aku
mengikuti Daniel masuk kedalam ruangannya, tersenyum pada Acha. Oke, dari cara
Acha menatapku, dia seperti mau bilang, “Kalian mau main kotor ya?”
Gimana
enggak? Ini udah jam setengah tujuh malam, evaluasi ini dilakukan sehabis buka
puasa. Karena menungguku.
“Lihat
deh nih Ki, udah tiga kali Indobiscuit minta sample Dairy Boost, pertama 3kg,
5kg dua kali. Gilak gak tuh? 200 USD nih!!” Pikiranku yang kotor nih, tak
kirain mau ngajak ngapain, ternyata ngomongin kerjaan.
“Masalahnya,
aku lupa nge record, yang minta ini sample siapa. Karena dulu kan indobiscuit
dipegang kamu.”
“Emang
ada masalah Yank?”
“Gak
ada sih, tapi jarang aja customer minta sampe segitu banyak. Kecuali mereka
udah mulai trial, lha ini, open PO juga kaga. Tiba-tiba disscontinue gitu aja.
Pas meeting pipeline besok kan pasti dibahas Ki.”
“Yang
pegang kalau gak salah Anis sekarang. Eem,”
“Kenapa
Ki?”
“Gak
tahu ini cuman perasaanku aja atau gimana ya, tapi semenjak Pak Bimo tahu kita
pacaran, semua customer gede dilempar ke aku. Ya aku omsetnya jadi gede sih,
tapi jadi enggak enak sama yang lain, Yank. Apalagi sama Pak Deddy, dia kan
lebih senior.”
Daniel
mencium bibirku lembut, “You need treatment honey. Come with me.”
“Hah?
Ngapain?”
“Enjoying
this little bitch nasty life, of course!!”
***
Daniel
mengajakku ke Salon and Spa, di daerah Kelapa Gading. Well, jujur ini pertama
kalinya aku ke tempat semacam ini. Potong rambut saja, aku cukup ke barber
shop. Daniel menyuruhku untuk treatment massage plus ear candle. Halah, gak
ngerti apa-apa aku tentang beginian. Daniel sendiri, ingin ganti suasana dengan
meng highlight rambutnya. Warna merah darah, di beberapa helai rambutnya yang
sudah berwarna coklat tembaga, ditambah rambut bergelombangnya yang memang
sudah agak panjang. He’s just looks fantastic! Dan tambah adorable.
Setelahnya
shoping. Baju, celana panjang, jeans, jaket, bahkan celana dalam. Ada keisengan
semasa di ruang ganti, ketika dengan sengaja Daniel meremas tititku waktu aku
tengan mencoba celana panjang.
“Shoping,
sama nyalon itu the best cure buat stres Ki! That’s why, wanita gila shoping
sama nyalon.” Kita berakhir dengan makan malam di McD. Well, ada beberapa mata
yang memperhatikan kita berdua. Gak heran, belanjaan banyak, dan penampilan
Daniel yang, well, jadi pusat perhatian.
“Mereka
gampang stress ya?”
“Secara
mereka lebih sering pakai perasaan daripada otak. Wajar gampang stress sama
depresi.” Daniel menjawab santai.
“Kalau
kamu? Lebih banyak pakai otak apa perasaan?”
Daniel
mencolek ayamnya dengan saus lumayan banyak, memakannya dengan sekali suap,
“Dua-duanya bekerjasama dengan baik. Di kasusku mereka best friend.”
Aku
tersenyum sambil mengelap bibir merahnya yang belepotan saos.
“Itu
kenapa aku pacarin kamu Ki, karena secara kebetulan, kamu bisa bikin otak dan
perasaanku bilang yes secara bersamaan.”
Salting,
sumpah! Si ganteng ini, kalau mau ngegombal, jago amat! Makan malam gak
romantis gini, di McD pula, sudah cukup bikin aku makin cinta sama si ganteng.
Lha, aku gak bisa paham sama orang yang bilang, ‘Seganteng-gantengnya pacarmu,
atau secantik-cantiknya pacarmu, pasti ada masa kamu bosan sama dia.’
Nah,
itu tak berlaku untukku. Aku dan Daniel tinggal bareng, kita sekantor pula.
Bosen? Enggak. Kalian pernah coli? Atau nonton bokep? Well, Daniel itu bisa di
ibaratkan bokep. Sekuat apapun aku mau berpaling, atau berhenti, sekuat itu
pula aku ingin berbalik, atau hanya mengintip, namun ujung-ujungnya nonton
lagi.
Pengibaratannya
gak romantis ya? Haha.
“Hey,
boleh gabung gak? Meja lain penuh nih.” Aku menoleh. Aku pernah melihat ini
cowok. Yang tertawa bareng Daniel sewaktu aku dan Daniel ada masalah beberapa
bulan yang lalu.
“Boleh.”
Aku menjawab spontan. Aku melirik si ganteng yang langsung manyun. Minta banget
dicubit bibirnya.
“Thanks!
Eh, Dan lo kok sekarang jarang lari-lari lagi sih di GBK? Gak pernah lihat lo
lagi gue.”
“Sibuk.”
Daniel menjawab tanpa menoleh.
“Sibuk
atau ngehindarin gue?” Ini cowok tersenyum lalu menatapku, “Sorry, lupa
kenalan. Gue Hendri, lo?”
“Uki.”
Jawabku singkat. Moodku tiba-tiba gak enak.
Ini
cowok manggut-manggut, lalu menatap Daniel lagi. “Eh Dan, lo kan suka
robot-robotan tuh, gue ada invitation buat bisa lihat pameran robot-robot se
Asia di Bandung, mau join gak sama gue?”
Aku
diam. Bukan apa-apa, hanya enggak ngerti juga mau masuk obrolan.
“Gak,
thanks.” Daniel menoleh kearahku, “Aku udah selesai Yank, kamu udah belum?”
Aku
hanya mengangguk bego.
“Duluan
Hend,”
“Oke.”
Aku
tersenyum ramah, yang hanya dibalas senyum kecut oleh Hendri. Resiko punya
pacar ganteng, fansnya dimana-mana. Yang suka dimana-mana.
“Another
rival. Yang ini agak berat kayaknya.”
Daniel,
yang tengah melap tangannya dengan tissue basah, mengabaikan perkataanku. Dia
malah meraih tanganku dan membersihkannya juga. Kita memang tadi langsung
keluar. Enggak sempat cuci tangan, Danielnya udah keburu badmood.
“Rival
itu, kalau aku ada rasa juga ama itu orang. Lha aku gak ada apa-apa kok.”
“Tapi
pernah ada kan?” Aku keceplosan bertanya.
“Maksutnya?”
Aku
menghembuskan nafas perlahan, sudah terlanjur. “Aku pernah lihat kamu ketawa
bareng sama Hendri. Entah kapan itu waktu kita berantem.”
Daniel
menatapku, apakah aku sudah bilang ke kalian kalau aku menyukai mata pacarku
ini? Indah, lucu, bikin gemes.
“Yah,
it was. But it’s gone for good.”
Aku
merana, “Sekarang?”
“Ki,
kalau aku masih suka sama Hendri, suka ya bukan cinta! Sekarang mungkin aku
udah putusin kamu trus ngisep kontolnya Hendri dibawah mejanya McD.”
Aku
menarik Daniel mendekat, memeluknya erat. Walau agak enggak enak karena kita
berdua didalam mobil. “Don’t, please don’t.”
“Atau
aku ngisep punyamu aja, Ki?”
“Sekarang?”
“Kamu
tetep bisa fokus nyetir kan?”
Aku
yakin wajahku pasti sudah kayak kacang rebus. “Eem, not sure sih.”
“Let’s
try, then.”
Well,
. . .
Bersambung
. . .