FOLLOW ME

Minggu, 31 Mei 2015

BOTTOM 14

Peringatan keras!!
Cerita ini penuh dengan adegan fulgar dan seks juga pertumpahan darah. Cieileh!! Jadi kalo engga suka dengan tema seperti ini harap jangan dibaca. Thanks!
***

Uki Bagus Walantaga
Bayangkan ini, kalian membawa pulang seorang cowok dengan tinggi 183cm, tubuh tegap, gagah. Have puppy eyes, belo, besar berwarna coklat terang, seperti cognac. Kulit putih bersih, hidung mancung bangir dengan bibir warna merah darah. Hhh, plus rambut hitam ikalnya. Pekerjaan yang sudah mapan juga. Menurut kalian orang tua kalian bakal bangga enggak? Karena, anaknya kan biasa banget kalau dibandingin makluk yang dibawanya.
Di kasusku, orang tuaku sama sekali tidak bangga. Karena aku juga sama-sama lelaki. Aduh. Malangnya jenis kelamin, jadi penghalang terbesar sebuah hubungan cinta. Oke, jadi penghalang kisah cintaku lebih tepatnya. Aku harap kalian tidak mengalaminya. Jatuh cinta dengan sesama jenis kelamin itu lebih banyak kerugiannya, percaya sama aku. Keuntungannya bisa di itung dengan jari manusia. Kerugiaannya? Bisa di itung dengan jari kelabang.
Jadi, sekarang, Mamaku, yang tengah duduk disebelah papaku itu tengah menatap Daniel, si ganteng –pacarku- dengan tatapan permusuhan. Ajaibnya, Daniel kayaknya cuek aja. Dia makan dengan lahap. Benar-benar mengabaikan tatapan Mama yang membunuh. Pacarku itu memang ‘beda’ ya? Orang biasa pasti udah gak nafsu makan ditatap penuh kebencian begitu.
“Kamu suka udang goreng tepungnya Dan? Om yang masak lho itu.”
“Wah, enak om! Uki juga suka masak kalau pas di rumah.” Daniel tertawa riang, persis anak kecil. Dia kalau lagi makan emang suka gak inget umur sih. But, itu yang bikin Mama dan Papa agak nahan-nahan senyum dari tadi liat cara makannya Daniel.
“Kamu boleh bawa pulang kalau mau.” Papa menawarkan sambil senyum ditahan. Abis, Daniel emang keliatan kayak doyan banget.
“Mas gimana sih? Kemal sama Fadil belom dapat jatah lho.” Shit! Ma, judesnya bisa sih enggak sekarang? Aku melirik Daniel.
“Emang boleh om? Wah, Daniel suka banget soalnya.” He? Ini Daniel bukannya cuek ke Mama, pacarku itu enggak menganggap Mamaku ada. Ya Tuhan. Marahnya pacarku ini ngeri ya?
“Iya. Di dapur masih ada banyak. Kamu santai aja.”
“Wah, om ini emang jujur ya! Bukan pembohong.” Dong! Si Daniel cari perkara. Bukannya bersikap manis biar Mama suka, ini malah kayak ngibarin bendera perang. Pacarku emang beda! Kalau dulu aku pernah enggak suka sama Daniel kayaknya wajar, nyinyirnya itu lho.
Dan wajah mama yang tambah ditekuk membuktikkan bahwa beliau sama sekali tidak terpukau dengan kelakuan Daniel barusan. Aduh, mau dibawa kemana kisah percintaanku ini?
***

Evan Sutedjo
“Elo gila!” Daniel melambaikan tangannya menanggapi perkataan Maya barusan. Seolah-olah dia enggak peduli. Dan, memang Daniel tidak peduli. Gue dari tadi belum berkomentar, cuman sedikit geleng-geleng saja saat Daniel menceritakan kembali kejadian semalam, saat dia makan malam bersama kedua orang tua Uki.
Maya berkacak pinggang, “ Lo kan seharusnya bisa lebih manis Dan! Biar adorable gitu, emaknya Uki siapa tahu jadi jinak.”
Gue menahan senyum geli. Pemilihan kata jinak itu lho.
“Saat orang udah benci sama kita, pasti bakal tetep cari kesalahan kita. Jadi, gue lebih milih jadi diri gue sendiri aja. Biar Tuhan yang bekerja membuka pintu hidayah untuk nyokapnya Uki.” Daniel berkata cuek sambil menggigiti sandwichnya.
“Bahasa lo njing, beuh!”
“Mungkin sekalian dibisikkin Tuhan biar nyokapnya Uki cepet balik ke surga juga gak papa.” Sambung Daniel lagi.
“Bangke!” Gue dan Maya berkata hampir bersamaan.
“Eh, tapi Ukinya gimana?”
“Biasa aja. Tapi ya lo tahu sendiri Uki gimana, secuek-cueknya dia, tetep aja gak bisa lihat nyokapnya sedih kan? Anak alim gitu loh!”
“You turn him. Good boy gone wild.” Maya berbicara sambil ikutan makan sandwich. Sandwich bikinan Banyu, suaminya Maya, emang juara!
Daniel memutar matanya yang sumpah demi Tuhan, gue juga pengen punya mata kayak gitu. Kelihatan kekanakkan, seberapapun jahatnya elo, punya mata kayak Daniel, lo pasti dianggap anak baik. “Gue gak ngerubah Uki ya May, gue cuman ngebangkitin sisi-sisi gelap, yang mungkin selama hidupnya cuman dia pendam.”
Gue berjalan dan duduk di dekat Daniel, “Ini ya Dan, menurut hemat gue, lo kayaknya salah deh jadi food technical! Cocoknya elo jadi poltisi, ngelesnya jago!”
Enggak menunggu lama buat tangan Daniel langsung melayang ke kepala gue. Anjrit nih anak!
Jadi, kenapa kita bertiga disini? Seperti biasa, Maya, Miss suka bikin acara enggak jelas nyuruh kita berdua buat bawa pasangan kita dan ikut pesta berbeque ala dia. Well, yang berakhir dengan Uki, Reno, Banyu dan Japheth yang menyiapkan alat-alat buat bakar-bakaran di halaman belakang. Kita bertiga nih ya, sebenernya nyiapin bumbu sama daging yang mau dibakar. You know lah ketika tiga jiwa perempuan menjadi satu enggak bakalan jauh-jauh dari yang namanya ngegosip.
“Butuh bantuan? Kok lama banget?” Reno muncul dari pintu belakang.
Gue tersenyum kecut, “Bentar lagi selesai kok beb.” Reno tersenyum sebentar ke arah gue, yang membuat pipi gue merona. Gue yakin seratus persen, setelah Reno menghilang dari balik pintu, Daniel dan Maya pasti bakal menjadikan gue bahan kecengan selanjutnya. Siklusnya selalu seperti itu. Dasar teman-teman biadab.
“Well, gue keluar dulu sebentar buat bawa dagingnya ya.” Maya berkata sambil mengedipkan matanya pada kami berdua. Daniel membalasnya dengan cengiran kuda.
“So, udah sampai mana?”
Gue pura-pura enggak ngerti arah pembicaraan Daniel, “Well, eumm, mungkin kalau kita buru-buru bumbunya bakal siap dalam lima menit.”
“You knwo what I mean, dude.”
“Menurut lo? Sialan lo Dan, kayak belom pernah punya pacar aja lo!” Japheth, gue enggak tahu kapan dia masuk dapur. Tapi sekarang, dia sudah mengangkat toples kaca yang hampir separuhnya telah berisi uang. Gue memasukkan sepuluh ribu.
“Cambuk? Atau main BDSM? Budak seks?” Daniel juga mengambil dompetnya dan memasukkan dua puluh ribu di toples kaca tersebut. Japheth, menatap kami berdua dengan tatapan tidak mengerti. Kamu beruntung nak, permasalahanmu hanya pada makanan tak enak dan ibu yang sedikit bawel.
Toples itu? Itu idenya Maya, dan nama toples itu adalah toples kata kasar. Setiap kali seseorang, mengucapkan kata kasar atau kata yang belum dimengerti oleh Japheth, maka Japheth akan mengangkat toplesnya dan orang tersebut wajib membayar sepuluh ribu. Berlaku hanya di rumah Maya.
Dan, sumbangan terbesar dalam toples itu tentu saja dari Maya dan Daniel.
“Just shut up.” Gue merogoh dompet lagi. Bisa bangkrut lama-lama kalau ngobrol di depan Japheth gini.
***

Joshua Daniel Pradipta
Banyu mengeluarkan daging Babi yang disambut dengan aah uuh dari kami. Kami juga memanggang Sapi dan Ayam. Ingat? Pacarku enggak makan babi. Tentu saja ayam dan sapinya kami panggang dulu. Biar enggak ada bekas babinya. Jadi steril buat dimakan Uki.
Aku menusuk daging ayam yang tampak lezat dan menyuapkannya ke mulut Uki.
Maya dan Evan, tidak meninggalkan momen romantis ini dengan damai, keduanya sibuk memeragakan dan meniru suara ciuman basah untukku. Membuat pipi Uki merona, sedangkan aku langsung mengacungkan jari tengah dengan kedua tanganku ke arah mereka berdua.
Disampingku, Japheth menatap jemarinya berusaha meniru gerakanku. Aku cepat-cepat menggenggam tangannya dan menggelengkan kepala.
“Gue punya ide bagus, gimana kalau Sabtu Minggu ini Japheth gue pinjem sebentar buat tinggal bareng gue?”
Tidak ada yang bereaksi, bahkan Uki sekalipun tidak mendukung ideku. Tidak ada yang menoleh kearahku. Menyebalkan.
Maya dengan cuek malah berkata, “Babinya lezat Yank, gurih banget.”
Yang dibalas dengan ciuman kilat di pipi oleh Banyu.
“Halo? Gue serius nih! Japheth itu butuh panutan sesosok  yang bisa memberi pengaruh positif.”
Dan kalimat ini berhasil menarik perhatian si Maya, “Sialan, memangnya gue ini apa?” dan Japheth menyodorkan toplesnya kepada mamanya. Sepuluh ribu pun masuk. Japheth bisa membeli smartphone keren kalau diliat dari jumlah uang dari toplesnya.
“Lo ibu yang hebat, wanita karrier yang luar biasa. Jangan salah paham, tapi dia harus diperkenalkan dengan dunia lelaki juga,” Kali ini Banyu batuk-batuk. “Demi Tuhan, jangan biarkan dia menonton Cinderella. Contoh seperti apa itu? Gadis tolol yang bahkan tidak ingat dimana dia meninggalkan sepatu kaca terkutuknya! Jadi dia harus menunggu seorang pecundang berpakaian ketat membawakannya? Yang benar saja!”
Aku tidak tahu berapa uang yang harus aku masukkan setelah pidato kecilku barusan. Jadi aku memberikan seratus ribu. Mungkin sebentar lagi aku butuh ke ATM. Aku juga lupa fakta bahwa Japheth adalah lelaki. Contoh Cinderella sama sekali tidak match.
Banyu ikut nimbrung, “Gue rasa, Maya adalah sosok panutan yang luar biasa buat Japheth, no one can do better than her.”
Maya tersenyum penuh kemenangan, “Thanks honey.”
Aaaaargh, pokoknya weekend ini Japheth harus berada di rumahku!
“Sama-sama sayang.”
Aku dan Evan saling lirik kemudian berbisik-bisik dengan suara yang cukup untuk didengar semua orang. “Dicambuk . . . suami takut istri, tunduk.”
Japheth menatapku dan Evan bergantian. Tidak yakin apakah kami harus membayar atau tidak.
“Oke-oke, tapi sebagai gantinya elo harus ambil tawaran yang gue kasih ke elo kemarin.” Hih, ini ibu satu, pikirannya bisnis mulu.
“Oke.” Aku menjawabnya setelah diam selama satu menit.
Kami terlihat obrolan santai lagi. Jagung bakar, ludes. Babi? Ludes. Hanya tersisa beberapa potong daging ayam. Aduh malangnya nasibmu Yam, Yam.
“Eh, gue jadi inget. Van lo mau nemenin gue ke pesta amal yang diadain sama Dorsella enggak? Banyu ada jadwal keluar kota soalnya hari itu.” Maya melirikku, “Gue sebenernya mau ngajak Daniel, tapi you know lah Van dia kalau diajak ke acara-acara begitu suka bersikap baj—” Maya melirik putra semata wayangnya, “Tidak terpuji.”
Sebelum Evan sempat menjawab, Japheht mengambil dua lembar sepuluh ribuan dan memasukkannya kembali ke dalam toples. “Sepertinya uncle Evan tidak bisa ikut Momma, dia terlalu sibuk menjadi budak seks.” Japheth lalu menoleh ke arah ayahnya, “Budak seks itu apa, Daddy?”
Evan langsung tersedak daging yang baru saja dia makan, Uki melotot lalu melirik kearahku dan Evan. Reno terpingkal-pingkal geli sementara Banyu membawa Japheth menjauh. Sudah saatnya tidur katanya.
Sementara itu, Maya melototiku dan Evan secara bergantian. Pelototan kematian level maximal.
Evan menyeletuk setelah tiga puluh detik dia menggaruk-garuk rambutnya yang sama sekali tidak gatal, “Bukan gue May, seriusan.”
Dasar sahabat bangsat.
Ingatkan aku untuk menyembelihnya nanti.
Namun saat pelototan mematikan level maximal milik Maya mengarah tepat kearahku, aku memaafkan Evan. Aku tahu, sebentar lagi mungkin aku bakal bernasib sama dengan Babi, Sapi dan Ayam yang baru saja kami panggang.
Aku tahu hukuman berat menantiku.
***

 Lelaki waras mana yang mau memakai celana berwarna ungu dengan motif bunga-bunga? Ditambah dengan Jas senada? Oke, kalian tidak usah menatapku ngeri seperti itu. Iya, lelaki waras itu aku. Gila! Ini adalah salah satu hukuman Maya.
Dorsella, transgender sekaligus designer kondang di Jakarta yang namanya tengah melejit, akan mengadakan fashion show. Dan Maya, sebagai staff dari majalah yang bekerja sama, menawarkanku untuk menjadi salah satu peraganya. Aku ulangi kawan, MENAWARKANKU!!
Tentu saja aku dapat bayaran, tapi lihat beberapa model yang menatapku kelaparan? Ditambah Dorsella yang matanya hampir lepas menatapku. Sorry, maaf, aku homo tapi berkelas.
Aku sama sekali tidak berniat mengabadikan penampilanku hari ini. Enggak, kalau bisa, jangan sampai ada orang yang tahu. Menggelikan.
Aku menampik tangan Dorsella yang hampir saja mendarat di pantatku, “Don’t touch me, bitch! Or, I’ll kill you instantly.”
Dan Dorsella hanya meringis gaje.
***

Uki Bagus Walantaga
Kalian tahu, tidak semua lelaki cocok memakai baju warna merah muda atau polkadot. Dan, si ganteng, Daniel termasuk didalamnya. Untuk kali ini. Apalagi, kombinasi warna ungu terang mengerikan dengan motif bunga-bunga besar, well, aku tak akan merogoh kocek untuk membeli pakaian itu. Bahkan, jika diberi pun, aku akan memberikannya ke orang lain. Peduli setan dengan harganya yang katanya mahal dan rancangan designer kondang.
Sejauh ini, aku belum menangkap makna dari pagelaran busana ini. Ini pakaian untuk pria, seharusnya dibikin elegan, simple, bukan seperti banci tampil. Ssst, jangan beritahu Daniel yang aku katakan barusan.
“Gue bakal kasih saran supaya Dorsella enggak lagi bikin baju-baju buat cowok. Ngeri.” Aku setuju dengan apa yang dikatakan Maya barusan. Dan aku yakin, Daniel tengah berjuang mati-matian diatas stage sana. Setidaknya, walaupun dia bukan model beneran, namun cara jalannya yang angkuh dan percaya diri, membuat dia lebih bersinar dibandingkan dengan model yang sesungguhnya. Tak henti-hentinya aku meneriakkan dalam hati, bahwa dia pacarku, dia milikku!
Angkuh? Percaya diri? Sepertinya, itu efek lingkungan yang membesarkannya. Daniel anak satu-satunya, dan Sophia mencintainya bahkan memujanya. Cinta Sophia untuk Daniel tidak terbagi dengan siapapun. Seluruh perhatian, harta, semua untuk Daniel. Jadi, jika Daniel mempunyai karakter manja, angkuh, tidak mau mengalah, itu wajar. Tapi, dia juga lembut, manis dan selalu mengagumkan. Aku mencintainya, ya Tuhan!
“Hei, Uki ya? Boleh ganggu sebentar?” Aku menoleh dan menatap cowok tampan yang menepuk pundakku. Yang merusak lamunanku.
“Iya?”
“Bisa keluar sebentar? Biar enak ngobrolnya?” Aku menimang-nimang sebentar, sebelum akhirnya bangkit dari kursiku dan mengikuti pemuda yang aku taksir berusia 25 tahunan itu.
“Gue gak mau basa-basi, gue Rasjid mantannya Daniel. Cuman mau bilang aja, pikirin mateng-mateng kalau lo mau komitmen serius sama Daniel. Dia ganteng, penggemarnya banyak, lo yakin lo itu cinta terakhir dia? Lo yakin lo itu soulmate dia? Dan apa lo siap, kehilangan kesempatan buat memiliki istri, anak, keluarga yang sesungguhnya, yang enggak bakalan elo dapet dari hasil pacaran dengan Daniel?”
Aku termangu. Sama sekali tidak siap dibombardir seperti ini.
“Well, you are nice Ki. Dan elo, berhak banget buat punya masa depan yang lebih baik daripada bersama Daniel. Trust me.”
Rasjid menepuk pundakku lagi, berlagak seperti kawan lama. Padahal, apa yang dia lakukan barusan, tak ubahnya bagai menusukku dengan ribuan jarum secara bersamaan.
***

Hendri Subakti
“Good boy.” Kata gue kepada Rasjid yang baru saja kembali setelah berbicara dengan Uki. Gue bisa ngelihat wajah kaget, dan keraguan. Langkah pertama berhasil. Begitu Uki ragu, maka sikap dia untuk Daniel akan mulai berubah, dan disitulah gue akan mulai masuk.
Tidak sulit untuk menyelidiki siapa pemuda yang tengah berpacaran dengan Daniel sekarang. Pergaulan gue luas, dan Jakarta, tidak seluas yang lo kira, bung!
Unfortunetely, Uki harus bersaing sama gue. Yang, well jelas bukan berada dalam satu kelas.
“Gue gak nyangka, lo ngejar mati-matian bekas gue Mas.” Rasjid berkata sambil merebut sebungkus rokok dari tangan gue.
Gue tersenyum sinis, “Gue lebih gak nyangka, lo ngelepas berlian dan malah ngejar lumpur.”
“Lo emang bajingan lumpur!”
***

Bimo Adiaguna
Gue tengah menemani Damian mengerjakan PRnya. Beberapa kali anak kebanggaan gue itu menunjukkan pekerjaan rumahnya dan dengan bangga memperlihatkan kerja kerasnya. That’s my boy!
“Daddy, Dammy, kalau udah gede pengen jadi kayak uncle Daniel.” Hati gue mencelos. Gue sudah menyerah atas Daniel. Bukan berarti gue udah gak cinta lagi ya, tapi kalau melihat dia yang sekarang, bersama Uki, gue gak bego, gue tahu mereka punya hubungan spesial, tinggal bareng lagi. Gue sadar kalau Daniel juga berhak bahagia, menjalani kehidupannya dengan orang yang hanya mencintainya. Tidak terbagi. Fokusnya hanya pada dirinya.
“Why?”
“Euum, he is an independent. Not waiting something to reach his desire. He’s run, for it. He’s always awesome Dad.”
“I am not awesome enough, huh?”
“You are my herro Dad, but uncle Daniel is my inspiration.” Dan gue cuman bisa tergelak.
Bagi gue, Daniel adalah kesalahan terindah, dosa termanis yang pernah gue cecap. Dan gue sama sekali enggak berniat cari penggantinya, gue juga enggak menyesalinya. Tapi sekarang, gue bakal fokus sama keluarga gue. Mencurahkan kasih sayang gue ke anak dan istri. Udah cukup buat gue untuk bersifat egois. Kali ini gue bakal memperbaiki semuanya. Untuk masa depan anak gue.
Daniel? Gue merasa, dia udah berada di tangan yang tepat. Uki mencintainya, memujanya. Daniel akan aman.
He was my boy.
He is my boy.
And he will  always be my boy, in my heart. Itu enggak bakal berubah.
“Mas, ajak Damian ke dalam sini, makan malamnya udah siap.”
Gue tersenyum. And this, yeah, this is my familly.
***

Uki Bagus Walantaga
Kalian, pasti sudah bisa menebak, apa yang akan terjadi denganku setelah tadi, seseorang yang sama sekali belum aku kenal, memberikan nasehat luar biasa untuk hidupku. Aku tipe pemikir. Memikirkan baik dan buruk semua hal sebelum aku mengambil langkah tersebut. Aku bukan Daniel, tipe pengambil resiko. Act dulu, baru dipikir belakangan.
“Hei,” Daniel masuk ke dalam mobil. Mencium pipiku kilat dan langsung memasang safe belt.
Aku menoleh ke arahnya, dan mau tidak mau langsung terpikirkan lagi olehku pembicaraanku dengan Rasjid tadi. “Hei, kamu capek Dan?”
Tapi aku tidak bisa membiarkan beban pikiranku membuat Daniel sedih kan? Aku tidak bisa melakukannya.
“Banget! Enggak ding sebenernya, tapi pengen mandi. Baju-baju tadi bikin gatal kulit.”
Aku menahan senyum. Yang jelas siapapun designernya, kalau aku disuruh memakai pakaian model seperti tadi, aku tidak bakal mau.
“Ya udah, aku ngebut ya.”
Daniel tersenyum, “Aku bobo bentar ya. Gak papa kan?”
“Iya, gak papa Dan.”
***

Jangan menertawakanku kalau kalian melihat apa yang tengah aku lakukan saat ini. Well, aku tengah berendam. Ekh hmm, kalau meminjam istilah Daniel, ‘bubble bath’. Oh, itu? Itu lilin aroma theraphy, aku pinjam punya Daniel. Aku mana punya yang begituan?
Daniel, setelah mandi tadi, langsung jatuh tertidur. So, mungkin ini bisa disebut me time. Well, enggak me time juga sih, aku berendam dengan aroma yang aneh tapi menenangkan ini karena pikiranku kalut, rusak yang kaset yang pitanya kemana-mana.
Aku memejamkan mataku. Menenggalamkan omongan Rasjid ke sedalam-dalamnya.
Sebenarnya, mau tidak mau aku jadi membanding-bandingkan diriku sendiri dengan Rasjid. Dia tampan, dan pas. Aku? Hhhh.
Aku menoleh ke arah pintu yang tiba-tiba terbuka. Daniel masuk dengan wajah bingung. Yeah, karena aku selalu menolak saat diajak bubble bath sama dia. Dan sekarang, malah ke pergok tengah bubble bath sendirian. Muka mau ditaruh dimana?
“Kamu kebangun Dan? Nightmare?” Aku pura-pura cool. Yup, tepat! Bertingkah seolah-olah aku baik-baik saja. Seolah-olah apa yang aku lakukan kali ini sudah sering aku lakukan sebelumnya.
“Enggak.” Daniel, punya kebiasaan yang well, merugikan perusahaan laundry. Dia hampir tidak pernah berpakaian lengkap jika sedang di apartment. Seringnya sih, hanya memakai celana dalam model boxer. Sisanya? Dia tidak memakai baju sama sekali. Aku juga tidak pernah melarang, toh, aku menikmatinya.
Dan untung hanya di dalam rumah.
Malam ini, dia memakai boxer tipis, berwarna abu-abu.
“Kamu enggak bilang-bilang mau bubble bath.” Daniel memelorotkan boxer abu-abunya lalu bergabung denganku. Untung, ini bathtub cukup besar untuk menampung aku dan Daniel, bersamaan.
Daniel menarik tubuhku agar bersandar di dadanya. Aku menggeser tubuhku, sehingga posisi kepalaku tepat di dada Daniel, sedangkan bokongku bergesekkan dengan penis Daniel di bawah.
“Lagi ada masalah Ki?” Daniel bertanya sambil memijat bahuku dengan kedua tangannya.
“Eeem, cuman lagi kepikiran Mama aja.” Dasar pembohong! Aku merutukki diriku sendiri.
Daniel diam. Selanjutnya, hanya tangan dan bibirnya yang bergerak. Awalnya, tangan Daniel secara tidak niat membelai paha atasku. Mulutnya mengulum daun telingaku, sedangkan lidahnya berusaha untuk masuk. Weird, tapi ada perasaan janggal bercampur enak. Jemari Daniel, sekarang sudah menggenggal kejantananku yang sudah ereksi sempurna. Selalu seperti itu. Selalu tidak butuh waktu lama, untuk bisa ikut panas bersama Daniel.
Aku berbalik badan. Menciumi bibir merah Daniel. Bibir yang tidak pernah bisa membuatku terpuaskan. Selalu meminta untuk dicium, lagi dan lagi. aku menghisap puting merah mudanya bergantian. Membuat Daniel menggelinjang, menyebut namaku berkali-kali.
Aku mengangkat tubuh Daniel, sehingga sekarang, kakinya dikeluarkan dan menggantung di sisi kanan dan kiri bathtub. Penis dan bokongnya terekspos. Aku mengambil shower, membersihkan sisa busa dari kemaluan Daniel sebelum akhirnya melumatnya. Sementara jemariku bermain-main dengan lubang pantatnya.
“Shit! Damn, Ki!”
Yeah, sebut namaku terus-menerus Dan! Aku merangkak ke atas lagi. menemukan bibir Daniel lalu menerkamnya lagi.
“Sayang, kita mau pindah ke ranjang, atau mau dituntaskan disini?”
“Disini aja Ki.”
Pandanganku turun ke bawah, dimana kedua kaki Daniel yang menggantung keluar dari kedua sisi bathtub untuk menopang agar bokongnya tidak masuk dalam air.
“Kamu gak sakit? Gak pegel gitu?” Daniel terlihat berpikir sebentar.
“Eeum, kita bilas dulu deh Ki, baru pindah ke ranjang.” Aku tersenyum geli, sebelum akhirnya mengikuti Daniel keluar dari bathtub dan membilas diri dari busa dibawah shower.
Aku menundukkan kepala Daniel sebelum melumat lagi bibirnya. Seperti kataku tadi, bibir Daniel itu seperti candu. Kalian tidak akan pernah terpuaskan. Penis Daniel yang sudah tegang, menusuk-nusuk perutku.
“Mau pindah ke ranjang atau dibawah shower aja?” Kali ini Daniel yang bertanya? Aku tertawa, menepuk bokong penuh Daniel dan menyuruhnya berjalan keluar kamar mandi.
Daniel menjatuhkan dirinya diatas ranjang. Merentangkan kedua pahanya. Aku menelan ludah.
Aku menindihnya, menciuminya seperti sudah lama aku tidak melakukan hal tersebut.
Hingga akhirnya, aku melihat handphone milik Daniel bergetar-getar dengan nama Rasjid terpampang disitu.
Daniel masih menyimpan nomor Rasjid?
Daniel termangu sesaat, bingung, kenapa tiba-tiba aku berhenti. Padahal tadi tengah panas-panasnya.
“Ki? Sayang?”
“Mantan kamu telepon itu.” Kataku datar sebelum akhirnya keluar dari kamar. Aaaaaarrgh!


TBC . . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

leave comment please.