Peringatan
keras!!
Cerita
ini penuh dengan adegan fulgar dan seks juga pertumpahan darah. Cieileh!! Jadi
kalo engga suka dengan tema seperti ini harap jangan dibaca. Thanks!
***
Uki
Bagus Walantaga
Bayangkan
ini, kalian membawa pulang seorang cowok dengan tinggi 183cm, tubuh tegap,
gagah. Have puppy eyes, belo, besar berwarna coklat terang, seperti cognac.
Kulit putih bersih, hidung mancung bangir dengan bibir warna merah darah. Hhh,
plus rambut hitam ikalnya. Pekerjaan yang sudah mapan juga. Menurut kalian
orang tua kalian bakal bangga enggak? Karena, anaknya kan biasa banget kalau
dibandingin makluk yang dibawanya.
Di
kasusku, orang tuaku sama sekali tidak bangga. Karena aku juga sama-sama
lelaki. Aduh. Malangnya jenis kelamin, jadi penghalang terbesar sebuah hubungan
cinta. Oke, jadi penghalang kisah cintaku lebih tepatnya. Aku harap kalian
tidak mengalaminya. Jatuh cinta dengan sesama jenis kelamin itu lebih banyak
kerugiannya, percaya sama aku. Keuntungannya bisa di itung dengan jari manusia.
Kerugiaannya? Bisa di itung dengan jari kelabang.
Jadi,
sekarang, Mamaku, yang tengah duduk disebelah papaku itu tengah menatap Daniel,
si ganteng –pacarku- dengan tatapan permusuhan. Ajaibnya, Daniel kayaknya cuek
aja. Dia makan dengan lahap. Benar-benar mengabaikan tatapan Mama yang
membunuh. Pacarku itu memang ‘beda’ ya? Orang biasa pasti udah gak nafsu makan
ditatap penuh kebencian begitu.
“Kamu
suka udang goreng tepungnya Dan? Om yang masak lho itu.”
“Wah,
enak om! Uki juga suka masak kalau pas di rumah.” Daniel tertawa riang, persis
anak kecil. Dia kalau lagi makan emang suka gak inget umur sih. But, itu yang
bikin Mama dan Papa agak nahan-nahan senyum dari tadi liat cara makannya
Daniel.
“Kamu
boleh bawa pulang kalau mau.” Papa menawarkan sambil senyum ditahan. Abis,
Daniel emang keliatan kayak doyan banget.
“Mas
gimana sih? Kemal sama Fadil belom dapat jatah lho.” Shit! Ma, judesnya bisa
sih enggak sekarang? Aku melirik Daniel.
“Emang
boleh om? Wah, Daniel suka banget soalnya.” He? Ini Daniel bukannya cuek ke
Mama, pacarku itu enggak menganggap Mamaku ada. Ya Tuhan. Marahnya pacarku ini
ngeri ya?
“Iya.
Di dapur masih ada banyak. Kamu santai aja.”
“Wah,
om ini emang jujur ya! Bukan pembohong.” Dong! Si Daniel cari perkara. Bukannya
bersikap manis biar Mama suka, ini malah kayak ngibarin bendera perang. Pacarku
emang beda! Kalau dulu aku pernah enggak suka sama Daniel kayaknya wajar,
nyinyirnya itu lho.
Dan
wajah mama yang tambah ditekuk membuktikkan bahwa beliau sama sekali tidak
terpukau dengan kelakuan Daniel barusan. Aduh, mau dibawa kemana kisah
percintaanku ini?
***
Evan
Sutedjo
“Elo
gila!” Daniel melambaikan tangannya menanggapi perkataan Maya barusan.
Seolah-olah dia enggak peduli. Dan, memang Daniel tidak peduli. Gue dari tadi
belum berkomentar, cuman sedikit geleng-geleng saja saat Daniel menceritakan
kembali kejadian semalam, saat dia makan malam bersama kedua orang tua Uki.
Maya
berkacak pinggang, “ Lo kan seharusnya bisa lebih manis Dan! Biar adorable gitu,
emaknya Uki siapa tahu jadi jinak.”
Gue
menahan senyum geli. Pemilihan kata jinak itu lho.
“Saat
orang udah benci sama kita, pasti bakal tetep cari kesalahan kita. Jadi, gue
lebih milih jadi diri gue sendiri aja. Biar Tuhan yang bekerja membuka pintu
hidayah untuk nyokapnya Uki.” Daniel berkata cuek sambil menggigiti
sandwichnya.
“Bahasa
lo njing, beuh!”
“Mungkin
sekalian dibisikkin Tuhan biar nyokapnya Uki cepet balik ke surga juga gak
papa.” Sambung Daniel lagi.
“Bangke!”
Gue dan Maya berkata hampir bersamaan.
“Eh,
tapi Ukinya gimana?”
“Biasa
aja. Tapi ya lo tahu sendiri Uki gimana, secuek-cueknya dia, tetep aja gak bisa
lihat nyokapnya sedih kan? Anak alim gitu loh!”
“You
turn him. Good boy gone wild.” Maya berbicara sambil ikutan makan sandwich. Sandwich
bikinan Banyu, suaminya Maya, emang juara!
Daniel
memutar matanya yang sumpah demi Tuhan, gue juga pengen punya mata kayak gitu.
Kelihatan kekanakkan, seberapapun jahatnya elo, punya mata kayak Daniel, lo
pasti dianggap anak baik. “Gue gak ngerubah Uki ya May, gue cuman ngebangkitin
sisi-sisi gelap, yang mungkin selama hidupnya cuman dia pendam.”
Gue
berjalan dan duduk di dekat Daniel, “Ini ya Dan, menurut hemat gue, lo kayaknya
salah deh jadi food technical! Cocoknya elo jadi poltisi, ngelesnya jago!”
Enggak
menunggu lama buat tangan Daniel langsung melayang ke kepala gue. Anjrit nih
anak!
Jadi,
kenapa kita bertiga disini? Seperti biasa, Maya, Miss suka bikin acara enggak
jelas nyuruh kita berdua buat bawa pasangan kita dan ikut pesta berbeque ala
dia. Well, yang berakhir dengan Uki, Reno, Banyu dan Japheth yang menyiapkan
alat-alat buat bakar-bakaran di halaman belakang. Kita bertiga nih ya,
sebenernya nyiapin bumbu sama daging yang mau dibakar. You know lah ketika tiga
jiwa perempuan menjadi satu enggak bakalan jauh-jauh dari yang namanya
ngegosip.
“Butuh
bantuan? Kok lama banget?” Reno muncul dari pintu belakang.
Gue
tersenyum kecut, “Bentar lagi selesai kok beb.” Reno tersenyum sebentar ke arah
gue, yang membuat pipi gue merona. Gue yakin seratus persen, setelah Reno
menghilang dari balik pintu, Daniel dan Maya pasti bakal menjadikan gue bahan
kecengan selanjutnya. Siklusnya selalu seperti itu. Dasar teman-teman biadab.
“Well,
gue keluar dulu sebentar buat bawa dagingnya ya.” Maya berkata sambil mengedipkan
matanya pada kami berdua. Daniel membalasnya dengan cengiran kuda.
“So,
udah sampai mana?”
Gue
pura-pura enggak ngerti arah pembicaraan Daniel, “Well, eumm, mungkin kalau
kita buru-buru bumbunya bakal siap dalam lima menit.”
“You
knwo what I mean, dude.”
“Menurut
lo? Sialan lo Dan, kayak belom pernah punya pacar aja lo!” Japheth, gue enggak
tahu kapan dia masuk dapur. Tapi sekarang, dia sudah mengangkat toples kaca
yang hampir separuhnya telah berisi uang. Gue memasukkan sepuluh ribu.
“Cambuk?
Atau main BDSM? Budak seks?” Daniel juga mengambil dompetnya dan memasukkan dua
puluh ribu di toples kaca tersebut. Japheth, menatap kami berdua dengan tatapan
tidak mengerti. Kamu beruntung nak, permasalahanmu hanya pada makanan tak enak
dan ibu yang sedikit bawel.
Toples
itu? Itu idenya Maya, dan nama toples itu adalah toples kata kasar. Setiap kali
seseorang, mengucapkan kata kasar atau kata yang belum dimengerti oleh Japheth,
maka Japheth akan mengangkat toplesnya dan orang tersebut wajib membayar
sepuluh ribu. Berlaku hanya di rumah Maya.
Dan,
sumbangan terbesar dalam toples itu tentu saja dari Maya dan Daniel.
“Just
shut up.” Gue merogoh dompet lagi. Bisa bangkrut lama-lama kalau ngobrol di
depan Japheth gini.
***
Joshua
Daniel Pradipta
Banyu
mengeluarkan daging Babi yang disambut dengan aah uuh dari kami. Kami juga
memanggang Sapi dan Ayam. Ingat? Pacarku enggak makan babi. Tentu saja ayam dan
sapinya kami panggang dulu. Biar enggak ada bekas babinya. Jadi steril buat
dimakan Uki.
Aku
menusuk daging ayam yang tampak lezat dan menyuapkannya ke mulut Uki.
Maya
dan Evan, tidak meninggalkan momen romantis ini dengan damai, keduanya sibuk
memeragakan dan meniru suara ciuman basah untukku. Membuat pipi Uki merona,
sedangkan aku langsung mengacungkan jari tengah dengan kedua tanganku ke arah
mereka berdua.
Disampingku,
Japheth menatap jemarinya berusaha meniru gerakanku. Aku cepat-cepat
menggenggam tangannya dan menggelengkan kepala.
“Gue
punya ide bagus, gimana kalau Sabtu Minggu ini Japheth gue pinjem sebentar buat
tinggal bareng gue?”
Tidak
ada yang bereaksi, bahkan Uki sekalipun tidak mendukung ideku. Tidak ada yang
menoleh kearahku. Menyebalkan.
Maya
dengan cuek malah berkata, “Babinya lezat Yank, gurih banget.”
Yang
dibalas dengan ciuman kilat di pipi oleh Banyu.
“Halo?
Gue serius nih! Japheth itu butuh panutan sesosok yang bisa memberi pengaruh positif.”
Dan
kalimat ini berhasil menarik perhatian si Maya, “Sialan, memangnya gue ini
apa?” dan Japheth menyodorkan toplesnya kepada mamanya. Sepuluh ribu pun masuk.
Japheth bisa membeli smartphone keren kalau diliat dari jumlah uang dari
toplesnya.
“Lo
ibu yang hebat, wanita karrier yang luar biasa. Jangan salah paham, tapi dia
harus diperkenalkan dengan dunia lelaki juga,” Kali ini Banyu batuk-batuk.
“Demi Tuhan, jangan biarkan dia menonton Cinderella. Contoh seperti apa itu?
Gadis tolol yang bahkan tidak ingat dimana dia meninggalkan sepatu kaca
terkutuknya! Jadi dia harus menunggu seorang pecundang berpakaian ketat
membawakannya? Yang benar saja!”
Aku
tidak tahu berapa uang yang harus aku masukkan setelah pidato kecilku barusan.
Jadi aku memberikan seratus ribu. Mungkin sebentar lagi aku butuh ke ATM. Aku
juga lupa fakta bahwa Japheth adalah lelaki. Contoh Cinderella sama sekali
tidak match.
Banyu
ikut nimbrung, “Gue rasa, Maya adalah sosok panutan yang luar biasa buat
Japheth, no one can do better than her.”
Maya
tersenyum penuh kemenangan, “Thanks honey.”
Aaaaargh,
pokoknya weekend ini Japheth harus berada di rumahku!
“Sama-sama
sayang.”
Aku
dan Evan saling lirik kemudian berbisik-bisik dengan suara yang cukup untuk
didengar semua orang. “Dicambuk . . . suami takut istri, tunduk.”
Japheth
menatapku dan Evan bergantian. Tidak yakin apakah kami harus membayar atau
tidak.
“Oke-oke,
tapi sebagai gantinya elo harus ambil tawaran yang gue kasih ke elo kemarin.”
Hih, ini ibu satu, pikirannya bisnis mulu.
“Oke.”
Aku menjawabnya setelah diam selama satu menit.
Kami
terlihat obrolan santai lagi. Jagung bakar, ludes. Babi? Ludes. Hanya tersisa
beberapa potong daging ayam. Aduh malangnya nasibmu Yam, Yam.
“Eh,
gue jadi inget. Van lo mau nemenin gue ke pesta amal yang diadain sama Dorsella
enggak? Banyu ada jadwal keluar kota soalnya hari itu.” Maya melirikku, “Gue
sebenernya mau ngajak Daniel, tapi you know lah Van dia kalau diajak ke
acara-acara begitu suka bersikap baj—” Maya melirik putra semata wayangnya,
“Tidak terpuji.”
Sebelum
Evan sempat menjawab, Japheht mengambil dua lembar sepuluh ribuan dan
memasukkannya kembali ke dalam toples. “Sepertinya uncle Evan tidak bisa ikut
Momma, dia terlalu sibuk menjadi budak seks.” Japheth lalu menoleh ke arah
ayahnya, “Budak seks itu apa, Daddy?”
Evan
langsung tersedak daging yang baru saja dia makan, Uki melotot lalu melirik
kearahku dan Evan. Reno terpingkal-pingkal geli sementara Banyu membawa Japheth
menjauh. Sudah saatnya tidur katanya.
Sementara
itu, Maya melototiku dan Evan secara bergantian. Pelototan kematian level
maximal.
Evan
menyeletuk setelah tiga puluh detik dia menggaruk-garuk rambutnya yang sama
sekali tidak gatal, “Bukan gue May, seriusan.”
Dasar
sahabat bangsat.
Ingatkan
aku untuk menyembelihnya nanti.
Namun
saat pelototan mematikan level maximal milik Maya mengarah tepat kearahku, aku
memaafkan Evan. Aku tahu, sebentar lagi mungkin aku bakal bernasib sama dengan Babi,
Sapi dan Ayam yang baru saja kami panggang.
Aku
tahu hukuman berat menantiku.
***
Lelaki waras mana yang mau memakai celana
berwarna ungu dengan motif bunga-bunga? Ditambah dengan Jas senada? Oke, kalian
tidak usah menatapku ngeri seperti itu. Iya, lelaki waras itu aku. Gila! Ini
adalah salah satu hukuman Maya.
Dorsella,
transgender sekaligus designer kondang di Jakarta yang namanya tengah melejit,
akan mengadakan fashion show. Dan Maya, sebagai staff dari majalah yang bekerja
sama, menawarkanku untuk menjadi salah satu peraganya. Aku ulangi kawan,
MENAWARKANKU!!
Tentu
saja aku dapat bayaran, tapi lihat beberapa model yang menatapku kelaparan?
Ditambah Dorsella yang matanya hampir lepas menatapku. Sorry, maaf, aku homo
tapi berkelas.
Aku
sama sekali tidak berniat mengabadikan penampilanku hari ini. Enggak, kalau
bisa, jangan sampai ada orang yang tahu. Menggelikan.
Aku
menampik tangan Dorsella yang hampir saja mendarat di pantatku, “Don’t touch
me, bitch! Or, I’ll kill you instantly.”
Dan
Dorsella hanya meringis gaje.
***
Uki
Bagus Walantaga
Kalian
tahu, tidak semua lelaki cocok memakai baju warna merah muda atau polkadot.
Dan, si ganteng, Daniel termasuk didalamnya. Untuk kali ini. Apalagi, kombinasi
warna ungu terang mengerikan dengan motif bunga-bunga besar, well, aku tak akan
merogoh kocek untuk membeli pakaian itu. Bahkan, jika diberi pun, aku akan
memberikannya ke orang lain. Peduli setan dengan harganya yang katanya mahal
dan rancangan designer kondang.
Sejauh
ini, aku belum menangkap makna dari pagelaran busana ini. Ini pakaian untuk
pria, seharusnya dibikin elegan, simple, bukan seperti banci tampil. Ssst,
jangan beritahu Daniel yang aku katakan barusan.
“Gue
bakal kasih saran supaya Dorsella enggak lagi bikin baju-baju buat cowok.
Ngeri.” Aku setuju dengan apa yang dikatakan Maya barusan. Dan aku yakin,
Daniel tengah berjuang mati-matian diatas stage sana. Setidaknya, walaupun dia
bukan model beneran, namun cara jalannya yang angkuh dan percaya diri, membuat
dia lebih bersinar dibandingkan dengan model yang sesungguhnya. Tak
henti-hentinya aku meneriakkan dalam hati, bahwa dia pacarku, dia milikku!
Angkuh?
Percaya diri? Sepertinya, itu efek lingkungan yang membesarkannya. Daniel anak
satu-satunya, dan Sophia mencintainya bahkan memujanya. Cinta Sophia untuk
Daniel tidak terbagi dengan siapapun. Seluruh perhatian, harta, semua untuk
Daniel. Jadi, jika Daniel mempunyai karakter manja, angkuh, tidak mau mengalah,
itu wajar. Tapi, dia juga lembut, manis dan selalu mengagumkan. Aku
mencintainya, ya Tuhan!
“Hei,
Uki ya? Boleh ganggu sebentar?” Aku menoleh dan menatap cowok tampan yang
menepuk pundakku. Yang merusak lamunanku.
“Iya?”
“Bisa
keluar sebentar? Biar enak ngobrolnya?” Aku menimang-nimang sebentar, sebelum
akhirnya bangkit dari kursiku dan mengikuti pemuda yang aku taksir berusia 25
tahunan itu.
“Gue
gak mau basa-basi, gue Rasjid mantannya Daniel. Cuman mau bilang aja, pikirin
mateng-mateng kalau lo mau komitmen serius sama Daniel. Dia ganteng,
penggemarnya banyak, lo yakin lo itu cinta terakhir dia? Lo yakin lo itu
soulmate dia? Dan apa lo siap, kehilangan kesempatan buat memiliki istri, anak,
keluarga yang sesungguhnya, yang enggak bakalan elo dapet dari hasil pacaran
dengan Daniel?”
Aku
termangu. Sama sekali tidak siap dibombardir seperti ini.
“Well,
you are nice Ki. Dan elo, berhak banget buat punya masa depan yang lebih baik
daripada bersama Daniel. Trust me.”
Rasjid
menepuk pundakku lagi, berlagak seperti kawan lama. Padahal, apa yang dia
lakukan barusan, tak ubahnya bagai menusukku dengan ribuan jarum secara
bersamaan.
***
Hendri
Subakti
“Good
boy.” Kata gue kepada Rasjid yang baru saja kembali setelah berbicara dengan
Uki. Gue bisa ngelihat wajah kaget, dan keraguan. Langkah pertama berhasil.
Begitu Uki ragu, maka sikap dia untuk Daniel akan mulai berubah, dan disitulah
gue akan mulai masuk.
Tidak
sulit untuk menyelidiki siapa pemuda yang tengah berpacaran dengan Daniel
sekarang. Pergaulan gue luas, dan Jakarta, tidak seluas yang lo kira, bung!
Unfortunetely,
Uki harus bersaing sama gue. Yang, well jelas bukan berada dalam satu kelas.
“Gue
gak nyangka, lo ngejar mati-matian bekas gue Mas.” Rasjid berkata sambil
merebut sebungkus rokok dari tangan gue.
Gue
tersenyum sinis, “Gue lebih gak nyangka, lo ngelepas berlian dan malah ngejar
lumpur.”
“Lo
emang bajingan lumpur!”
***
Bimo
Adiaguna
Gue
tengah menemani Damian mengerjakan PRnya. Beberapa kali anak kebanggaan gue itu
menunjukkan pekerjaan rumahnya dan dengan bangga memperlihatkan kerja kerasnya.
That’s my boy!
“Daddy,
Dammy, kalau udah gede pengen jadi kayak uncle Daniel.” Hati gue mencelos. Gue
sudah menyerah atas Daniel. Bukan berarti gue udah gak cinta lagi ya, tapi
kalau melihat dia yang sekarang, bersama Uki, gue gak bego, gue tahu mereka
punya hubungan spesial, tinggal bareng lagi. Gue sadar kalau Daniel juga berhak
bahagia, menjalani kehidupannya dengan orang yang hanya mencintainya. Tidak
terbagi. Fokusnya hanya pada dirinya.
“Why?”
“Euum,
he is an independent. Not waiting something to reach his desire. He’s run, for
it. He’s always awesome Dad.”
“I
am not awesome enough, huh?”
“You
are my herro Dad, but uncle Daniel is my inspiration.” Dan gue cuman bisa
tergelak.
Bagi
gue, Daniel adalah kesalahan terindah, dosa termanis yang pernah gue cecap. Dan
gue sama sekali enggak berniat cari penggantinya, gue juga enggak menyesalinya.
Tapi sekarang, gue bakal fokus sama keluarga gue. Mencurahkan kasih sayang gue
ke anak dan istri. Udah cukup buat gue untuk bersifat egois. Kali ini gue bakal
memperbaiki semuanya. Untuk masa depan anak gue.
Daniel?
Gue merasa, dia udah berada di tangan yang tepat. Uki mencintainya, memujanya.
Daniel akan aman.
He
was my boy.
He
is my boy.
And
he will always be my boy, in my heart.
Itu enggak bakal berubah.
“Mas,
ajak Damian ke dalam sini, makan malamnya udah siap.”
Gue
tersenyum. And this, yeah, this is my familly.
***
Uki
Bagus Walantaga
Kalian,
pasti sudah bisa menebak, apa yang akan terjadi denganku setelah tadi, seseorang
yang sama sekali belum aku kenal, memberikan nasehat luar biasa untuk hidupku.
Aku tipe pemikir. Memikirkan baik dan buruk semua hal sebelum aku mengambil
langkah tersebut. Aku bukan Daniel, tipe pengambil resiko. Act dulu, baru
dipikir belakangan.
“Hei,”
Daniel masuk ke dalam mobil. Mencium pipiku kilat dan langsung memasang safe
belt.
Aku
menoleh ke arahnya, dan mau tidak mau langsung terpikirkan lagi olehku
pembicaraanku dengan Rasjid tadi. “Hei, kamu capek Dan?”
Tapi
aku tidak bisa membiarkan beban pikiranku membuat Daniel sedih kan? Aku tidak
bisa melakukannya.
“Banget!
Enggak ding sebenernya, tapi pengen mandi. Baju-baju tadi bikin gatal kulit.”
Aku
menahan senyum. Yang jelas siapapun designernya, kalau aku disuruh memakai
pakaian model seperti tadi, aku tidak bakal mau.
“Ya
udah, aku ngebut ya.”
Daniel
tersenyum, “Aku bobo bentar ya. Gak papa kan?”
“Iya,
gak papa Dan.”
***
Jangan
menertawakanku kalau kalian melihat apa yang tengah aku lakukan saat ini. Well,
aku tengah berendam. Ekh hmm, kalau meminjam istilah Daniel, ‘bubble bath’. Oh,
itu? Itu lilin aroma theraphy, aku pinjam punya Daniel. Aku mana punya yang
begituan?
Daniel,
setelah mandi tadi, langsung jatuh tertidur. So, mungkin ini bisa disebut me
time. Well, enggak me time juga sih, aku berendam dengan aroma yang aneh tapi
menenangkan ini karena pikiranku kalut, rusak yang kaset yang pitanya
kemana-mana.
Aku
memejamkan mataku. Menenggalamkan omongan Rasjid ke sedalam-dalamnya.
Sebenarnya,
mau tidak mau aku jadi membanding-bandingkan diriku sendiri dengan Rasjid. Dia
tampan, dan pas. Aku? Hhhh.
Aku
menoleh ke arah pintu yang tiba-tiba terbuka. Daniel masuk dengan wajah
bingung. Yeah, karena aku selalu menolak saat diajak bubble bath sama dia. Dan
sekarang, malah ke pergok tengah bubble bath sendirian. Muka mau ditaruh
dimana?
“Kamu
kebangun Dan? Nightmare?” Aku pura-pura cool. Yup, tepat! Bertingkah
seolah-olah aku baik-baik saja. Seolah-olah apa yang aku lakukan kali ini sudah
sering aku lakukan sebelumnya.
“Enggak.”
Daniel, punya kebiasaan yang well, merugikan perusahaan laundry. Dia hampir
tidak pernah berpakaian lengkap jika sedang di apartment. Seringnya sih, hanya
memakai celana dalam model boxer. Sisanya? Dia tidak memakai baju sama sekali.
Aku juga tidak pernah melarang, toh, aku menikmatinya.
Dan
untung hanya di dalam rumah.
Malam
ini, dia memakai boxer tipis, berwarna abu-abu.
“Kamu
enggak bilang-bilang mau bubble bath.” Daniel memelorotkan boxer abu-abunya
lalu bergabung denganku. Untung, ini bathtub cukup besar untuk menampung aku dan
Daniel, bersamaan.
Daniel
menarik tubuhku agar bersandar di dadanya. Aku menggeser tubuhku, sehingga
posisi kepalaku tepat di dada Daniel, sedangkan bokongku bergesekkan dengan
penis Daniel di bawah.
“Lagi
ada masalah Ki?” Daniel bertanya sambil memijat bahuku dengan kedua tangannya.
“Eeem,
cuman lagi kepikiran Mama aja.” Dasar pembohong! Aku merutukki diriku sendiri.
Daniel
diam. Selanjutnya, hanya tangan dan bibirnya yang bergerak. Awalnya, tangan
Daniel secara tidak niat membelai paha atasku. Mulutnya mengulum daun
telingaku, sedangkan lidahnya berusaha untuk masuk. Weird, tapi ada perasaan
janggal bercampur enak. Jemari Daniel, sekarang sudah menggenggal kejantananku
yang sudah ereksi sempurna. Selalu seperti itu. Selalu tidak butuh waktu lama,
untuk bisa ikut panas bersama Daniel.
Aku
berbalik badan. Menciumi bibir merah Daniel. Bibir yang tidak pernah bisa
membuatku terpuaskan. Selalu meminta untuk dicium, lagi dan lagi. aku menghisap
puting merah mudanya bergantian. Membuat Daniel menggelinjang, menyebut namaku
berkali-kali.
Aku
mengangkat tubuh Daniel, sehingga sekarang, kakinya dikeluarkan dan menggantung
di sisi kanan dan kiri bathtub. Penis dan bokongnya terekspos. Aku mengambil
shower, membersihkan sisa busa dari kemaluan Daniel sebelum akhirnya
melumatnya. Sementara jemariku bermain-main dengan lubang pantatnya.
“Shit!
Damn, Ki!”
Yeah,
sebut namaku terus-menerus Dan! Aku merangkak ke atas lagi. menemukan bibir
Daniel lalu menerkamnya lagi.
“Sayang,
kita mau pindah ke ranjang, atau mau dituntaskan disini?”
“Disini
aja Ki.”
Pandanganku
turun ke bawah, dimana kedua kaki Daniel yang menggantung keluar dari kedua
sisi bathtub untuk menopang agar bokongnya tidak masuk dalam air.
“Kamu
gak sakit? Gak pegel gitu?” Daniel terlihat berpikir sebentar.
“Eeum,
kita bilas dulu deh Ki, baru pindah ke ranjang.” Aku tersenyum geli, sebelum
akhirnya mengikuti Daniel keluar dari bathtub dan membilas diri dari busa
dibawah shower.
Aku
menundukkan kepala Daniel sebelum melumat lagi bibirnya. Seperti kataku tadi,
bibir Daniel itu seperti candu. Kalian tidak akan pernah terpuaskan. Penis
Daniel yang sudah tegang, menusuk-nusuk perutku.
“Mau
pindah ke ranjang atau dibawah shower aja?” Kali ini Daniel yang bertanya? Aku
tertawa, menepuk bokong penuh Daniel dan menyuruhnya berjalan keluar kamar
mandi.
Daniel
menjatuhkan dirinya diatas ranjang. Merentangkan kedua pahanya. Aku menelan
ludah.
Aku
menindihnya, menciuminya seperti sudah lama aku tidak melakukan hal tersebut.
Hingga
akhirnya, aku melihat handphone milik Daniel bergetar-getar dengan nama Rasjid
terpampang disitu.
Daniel
masih menyimpan nomor Rasjid?
Daniel
termangu sesaat, bingung, kenapa tiba-tiba aku berhenti. Padahal tadi tengah
panas-panasnya.
“Ki?
Sayang?”
“Mantan
kamu telepon itu.” Kataku datar sebelum akhirnya keluar dari kamar. Aaaaaarrgh!
TBC
. . .