Peringatan
keras!!
Cerita
ini penuh dengan adegan fulgar dan seks juga pertumpahan darah. Cieileh!! Jadi
kalo engga suka dengan tema seperti ini harap jangan dibaca. Thanks!
***
Evan
Sutedjo
Here’s
a question, do you remember the last time your boyfriend fucked your hole? Do
you remember what it felt like? Do you remember what he felt like? Sound
familiar? Yah, ini gue ambil dari prolouge film Sex Tape nya Cameron Diaz.
But,
itu lagi gue alami saat ini. Hubungan gue sama Reno yang entah kenapa enggak
ada tanda-tanda bakal baikkan.
Gue
bahkan enggak inget kapan terakhir Reno berhubungan intim sama gue. Mungkin
sudah sebulan yang lalu. How we . . . Oke, maksud gue, bagaimana bisa kita
berantem dalam jangka waktu selama itu? Jangan tanya gue solusinya ya! Reno itu
pacar pertama gue.
Well,
enggak usah pasang tampang simpati. Gue, Evan Sutedjo, yang wajah dan bodinya
enggak jelek-jelek amat, yang berteman karib dengan the hottest guy alive in
Jakarta, masih jomblo hingga usia 26 tahun. Pathetic!
The
hottest guy alive, ya siapa lagi kalau bukan Daniel? Yang by the way, lagi
santai banget nonton Sex and The City dari Season pertama. Itu tv serial emang
enggak pernah bikin bosen. Kayak Friend.
Tapi
gue lagi enggak mood.
“Gue
harus ngapain dong Dan?”
“Kalau
gue sih gue samperin Reno, sebelum dia ngomong, gue bakalan cipok dia duluan,
and then we have sex. After that, baru deh kita ngomongin problemnya. You know
what Van? Cowok itu kelemahannya di perut dan kontol! Use that!” Gue emang
enggak seharusnya mengharapkan advice dari Daniel. Saran-saran dia sudah bisa
sangat dipastikan enggak bakalan bisa gue lakukan.
Pas
SMA, Daniel nyuruh gue ikut join basket. Keren? Buat Daniel iya! Gue?
Mempermalukan diri sendiri.
Daniel
juga pernah maksa gue ikut klub bola. Worse! Kesalahan fatal! Banci tobat kayak
gue mana bisa disuruh main bola? Bola bekel, baru gue jago!
Lalu,
beberapa kali dia berusaha menjodohkan gue. Well, tidak berakhir dengan baik
tentu saja. Terbukti, di umur gue yang ke dua puluh enam, gue masih jomblo. Ah,
haruskah gue sedepresi itu dengan umur gue?
Dan
sekarang, pacar pertama gue masih ngambek gara-gara masalah yang sangat amat
sepele. Kenapa bukan gue aja yang pacaran sama Uki? Kita sama-sama cowok
‘biasa’. Mungkin Reno memang cocoknya sama Daniel, sama-sama glamourous. Pusing
kepala gue!
“Van,
lo beneran sayang sama Reno?” Daniel, mengambil air mineral dari dalam kulkas.
Tumben itu anak enggak minum sama sekali. Minum alkohol, maksud gue.
Gue
menatap Daniel dengan tatapan jengah, “Menurut lo?”
“Kalau
lo cinta, going downstair, minta maaf, and fuck him damn!”
“Ew,
serius ini ya Dan, friend to friend, ew!”
“Nah!
Tapi gimana kalau Reno sebenarnya nungguin elo? Kalau gue lihat sih, ego kalian
itu sama-sama gede. Jadi ya, elo nunggu Reno say hi ke elo duluan, seolah-olah
dia udah maafin lo. In another side, Reno nungguin elo minta maaf ke dia.
Ironis banget sih relationship kalian!”
“Dan!
Gue bukan elo! Lo tahu sendiri, temen gue bisa di itung pakai jari. Gue
introvert, boro-boro buat minta maaf ke Reno, say hi ke dia aja, gue udah
enggak bisa. Bukannya enggak mau ya! Gue pengen juga kali jadi easy going kayak
elo!” Daniel menoleh ke arah gue. Sebelum sesaat kemudian dia keluar dari kamar
kost gue. Eh, apa tadi gue menyinggung perasaan dia ya? Ah, ini Daniel gitu lho,
disinggung secara langsung aja belum tentu sadar, apalagi tadi itu kan gue muji
dia. Secara enggak langsung.
Daniel
enggak ngambek, dia gedor-gedor kamar bawah. Kayaknya, gue tahu kamar siapa
yang dia gedor-gedor. Itu anak ya, spontanitasnya kadang bikin malu, bukan
kadang ding, selalu!!
“Van,
buruan pakai baju! Kita pergi makan sebentar! Buruan! Gue enggak terima
kata-kata penolakkan ya!” Suara Daniel barusan bisa banget ngebangunin seluruh
penghuni kost.
“Kalau
lo enggak cepet, gue bakal teriak-teriak terus.” Aaargh! Berdoa aja, gue besok
enggak dimusuhin anak-anak!
Saat
gue sampai bawah, Daniel dengan muka polos kayak bocah, nyengir ke gue dan
menyuruh gue masuk mobil. Mobilnya Reno by the way, hahaha, gue kalau
memikirkan fakta bahwa sampai saat ini Sophia belum juga membelikan Daniel BMW seperti yang dia
janjikan, bawaannya pengen ketawa! Syukurin lo Dan, kena PHP nyokap lo sendiri!
“Mau
kemana kita Dan? Udah malem ini, gue juga udah makan tadi.” Reno, he’s look so
adorable memakai kaos putih yang gue pilih waktu, well, waktu kita belum
berantem.
“Nasi
Goreng Sabang. Ada favorit gue disana.”
Reno
menahan senyum, “Model majalah Glamourous kayak elo makan nasi goreng pinggir
jalan? Wow.”
Daniel
mengedikkan bahunya, seolah-olah tidak peduli. Khas dia kalau mau flirting.
“You do not know me well, Moreno Rachman.”
“Oke,
warna kesukaan lo apa, kalau gitu?” Jadi, ini gue jadi kayak semacam obat
nyamuk kadaluarsa disini? Hallo? Yang pacarnya Reno itu gue atau Daniel sih?
Hallo? Apakah gue sudah gila, kalau merasa cemburu?
“Gue
suka semua warna Ren. Tapi biru muda, my favorite. Jauhkan orange, ungu sama
hijau dari gue.”
Reno
tertawa lebar. Hal yang sangat jarang dia tunjukkan ke gue. Dengan Daniel, dia
bisa tertawa selebar itu. It’s hurting me, “Itu mah, berarti lo enggak suka
semua warna.” Sepertinya mereka berdua benar-benar lupa kalau ada gue di mobil
ini.
“Gue
mau pulang.”
“Kenapa
Van? Lo kan belom makan dari tadi siang.” Ini Daniel lancar banget ngomongnya.
Kata siapa gue belom makan dari tadi siang? Well, cuman beberapa biskuit sih,
tapi itu sudah termasuk kategori makan kan?
“Gue
enggak nafsu makan.”
Reno
diam. Well, mungkin dia baru sadar betapa membosankannya pacaran sama gue. Gue
bisa jadi sangat menyenangkan, kalau pas barengan Daniel. Tanpa Daniel, gue
membosankan. Entah.
“Kita
tetep makan. Gue laper.” Reno, akhirnya ngomong juga sama gue, atau sama
Daniel?
“Katanya
kamu udah makan tadi?”
“Tapi
kamu belom.”
“Engga
nafsu,” Gimana gue bisa nafsu makan kalau elo Ren, malah cekikikan sama best
friend gue dan mengabaikan gue dari tadi? Jawab pakai otak! Sayang ya, gue
ngumpatnya cuman dalam hati.
“Kamu
itu ya, kalau dibilangin suka bandel! Ntar kalau maagnya kambuh? Aku juga yang
repot kan?”
“Repot
gimana ya? Ngomong ke aku aja kamu enggak mau.”
“Menurut
kamu, yang nyuruh si Anton selalu bawain makan malam ke kamarmu itu siapa?” Eh?
Memang sih, sejak aku berantem sama Reno, Anton tetangga kost gue yang lain,
jadi sering bawain gue makan malam. Bisa siomay, bubur ayam, ayam bakar. Jadi
itu dari Reno?
“Enough
ya, orang-orang paling gengsi sedunia akhirat! Saling cinta, tapi gengsi buat
saling nyapa! Ntar kesamber orang!” Daniel menyuarakan suaranya dengan santai.
“By the way, gue tetep mau ke nasi goreng sabang. Gue laper. Dan kalian berdua,
please deh? Hari gini gengsi? Sama pacar sendiri lagi? Malu sama Vicky Burki!”
“Hubungannya
sama Vicky Burki apaan Dan?” Reno tertawa lagi. Hhh, dia enggak pernah ketawa
selebar itu lho sama gue.
“Enggak
ada! Lo liat deh bini lo Ren! Dia pasti mikir, ini laki gue kok ngakak mulu
kalau barengan Daniel yang ganteng itu, kalau sama gue kok lebih sering
cemberut.” Sialan ini si Daniel! Pas, nyesek, ngena banget!
Reno
diam. Daniel? Si biang keladi malah lagi asik BBMan sama lakinya. Hih!
Reno
melirik gue dari spion depan. Jadi posisi duduknya gini, Daniel dan Reno
didepan, sedangkan gue dibelakang. Iya bener, sendirian! Masak sama setan!
“Aku
minta maaf ya Van,”
Gue
luluh, yaiyalah, sebenarnya kan gue yang salah, malah dia yang minta maaf. “Aku
juga. For being asshole.”
“Nah,
baikkan kan? Traktir gue ya!”
“Dan,
elo serius nasi goreng aja minta traktir? Najis banget lo!”
“Udah
bisa ngeledek gue sekarang lo Van? Ya udah gue minta traktir di Hanamasha aja.
Lagi pengen makanan Jepang gue.”
“Ngelunjak!”
Dan kita bertiga tertawa. Thank you Dan, you are my best friend. You are!
***
Uki
Bagus Walantaga
“Kalau
aku perhatiin, kamu itu kayak cover-cover majalah kesehatan pria, secara real,
and better lho Dan.” Aku menuangkan air panas ke mug yang sudah aku isi dengan
gula, krimer dan kopi.
“Thanks.
Sekarang, aku boleh pakai baju Ki?”
“Biasanya
kamu suka telanjang.” Aku menjawab santai sambil merebahkan tubuhku di atas
sofa. Well, kalian pasti bertanya-tanya, ini beneran pov nya Uki? Bener, ini
aku Uki Bagus Walantaga. Lalu kenapa, terlihat seperti Daniel?
Hahaha,
jadi begini ceritanya. Daniel dan aku taruhan bola. Antara MU dan Chelsea. Aku
boleh saja ya lemah di game, tapi kalau bola, aku jelas lebih tahu dari Daniel.
Dan taruhannya, yang kalah harus menuruti kata-kata dari yang menang, selama
seharian penuh.
Hahaha,
sekarang, gantengku itu agak-agak menyesal.
“Telanjang
bulat, sambil diliatin kamu itu lama-lama bikin jengah.”
Aku
tersenyum samar, kapan lagi bisa menikmati karya Tuhan yang begitu indah ini
tanpa harus dihalangi selembar kain? “Kamu seksi kok, Yang.”
“Aah,
itu mah tanpa kamu kasih tahu aku juga udah ngeh, Ki! Minimal pakai sempak kek!
Malu tahu lama-lama!”
“Eh,
aku kirain urat malu kamu udah putus Yang.” Si ganteng melempariku dengan
bantal yang dari tadi dia gunakan untuk menutupi penisnya.
“Aah,
mana masih lama lagi jam enamnya!”
Aku
tersenyum lagi, “Kenapa buru-buru pengen jam enam Yang? Eh, aku kelupaan, ada
es krim di mobilku. Ambilin dong Dan!”
Daniel
memelototiku. Dan aku memandanginya dengan mimik polos. Tepat seperti yang
sering dia lakukan padaku. Aku selalu merasa kalau Daniel itu yang memegang
power dalam hubungan kita. Jadi, sekali-kali, aku ingin pegang kendali.
Daniel,
berlalu ke kamar, lalu muncul lagi dengan celana pendek dan kaos. “Lho, yang
nyuruh kamu pakai baju siapa?”
“Eh?
Bukannya kamu minta aku buat ngambilin es krim di mobil kamu?”
“Bener,
tapi aku enggak nyuruh kamu pakai baju kan?” Aku mengedikkan sebelah mataku.
Berani enggak si ganteng menjawab tantanganku.
Daniel,
sekali lagi memelototiku dengan warna matanya yang indah itu, sebelum akhirnya
dia melucuti pakaiannya kembali dan berjalan menuju pintu. Aah, si Daniel emang
enggak gampang ditaklukkan, even, dia sedang jadi slave sekalipun.
“Lho,
kamu ngapain?” Kata Daniel, begitu aku dengan cepat menghadangnya di pintu.
Gila apa! Ngasih orang lain melihat pacarku telanjang bulat! Langkahi dulu
mayatku!
“Aku
baru inget kalau di mobilku udah enggak ada es krim.” Daniel tersenyum, sambil
tangannya meremas kejantananku dengan lembut. Fokus Ki, bisa kalah kendali ini
ntar!
“Aku
enggak bilang kamu boleh nyentuh aku Dan,”
“Maaf
Paduka Uki Bagus Walantaga, kalau begitu ijinkan hamba menambahkan kopi paduka
yang sudah tandas itu.”
“Di
ijinkan.” Kataku sambil mencium pipi Daniel. Kalian enggak usah tertawa, karena
aku memang harus sedikit berjinjit ketika melakukannya. Daniel berlalu ke
dapur, dia melangkah dengan tegap. Aku melanjutkan duduk di sofa sambil bermain
game di Ipad ku.
Daniel
datang dengan mug dan wajah berseri-seri. Dia meletakkan mug nya diatas meja.
“Kok
bukan kopi?”
“Ini
coklat paduka, hamba yang hina ini hanya ingin paduka terlihat rileks.” Aku
tidak bisa menahan senyumku melihat Daniel yang well, sangat menggemaskan.
Aku
meminum coklat hangat yang baru saja dibuatkan Daniel untukku. Not bad. Ya
jelas lah, Ki! Pacar lo kan RnD, wajar kalau dia mahir bikin racikan-racikan
minuman enak. Bisa jadi malah dia jago masak, hanya terlalu malas saja buat
melakukannya. Well, masak kan kadang harus kotor.
“Mau
lagi Ki?” Tanya Daniel begitu minumannya sudah habis.
Aku
menggeleng.
Daniel,
entah kenapa terlihat gusar. “Kok efeknya lama ya?” Shit! Ini Daniel gitu lho,
kok aku enggak curiga sama sekali. Mana mau dia terima yang namanya kekalahan?
“Kamu
kasih apa minumannya? Obat perangsang?”
Daniel
tertawa, “Yaelah Ki, tanpa obat perangsang aja, aku bisa bikin kamu ngaceng.
Why, I need that?”
Mataku
terasa berat. Oh, no way!
“Kayaknya
kamu sebentar lagi bakal terlelap deh Ki. By the way, peraturannya tetap bakal
berakhir jam enam kan? Walau kamunya tertidur pulas? Sayang banget ya Ki? Baru
juga dua jam kamu jadi master. Ckckck.” Lain kali aku harus menyadarkan diriku
sendiri, betapa liciknya pacarku ini. Ah, shit! Kesadaranku mulai hilang.
***
“Morning,
sunshine.” Aku berusaha membuka mataku. Namun ketika aku akan mengucek mataku,
aku merasa tanganku tertahan. Tanganku seperti tidak mau aku gerakkan. Aku
membuka mataku, menyadari dengan setengah terjaga kalau kedua tanganku ternyata
terikat.
Aku
menengadah, melihat Daniel yang tengah tersenyum penuh kemenangan.
“Kamu
ngapain sih Dan?”
“It’s
call revolution, hon.” Ini apa juga pagi-pagi udah bahas revolution?
Daniel
naik keatas ranjang, mencium bibirku. Aku jelas-jelas tidak bisa menolaknya.
Karena kedua tanganku yang terikat, dan karena jujur, ini juga sangat
menyenangkan.
Bibirnya
bergerak turun, secara bergantian menghisap, menggigit-gigit kecil putingku.
Shit! Ini pagi-pagi, aku harus ngadepin makluk buas kayak gini?
Daniel
tersenyum lebar kearahku, “See? Aku gak perlu obat perangsang kalau cuman
pengen kamu ngaceng.” Aku tersipu malu. Karena jelas dibawah, kejantananku itu
sudah berdiri. Eh, kapan Daniel melucuti semua bajuku?
“Tapi,
Uki sayang, I wouldn’t touch your dick, until you begging me.” Daniel kembali
tersenyum sebelum akhirnya menyerbu bibirku lagi.
Dan
benar saja, Daniel sama sekali menghiraukan area selangkangan. Puting, leher,
bibir, area-area itu saja yang dari tadi menjadi bahan eksplorasinya. Sementara
dibawah sana, tititku semakin basah, dan butuh untuk disentuh. Shit! Tapi
memohon Daniel? Big no! Itu anak selalu mendapatkan apa yang dia inginkan. Not
now ya! Lagian, ntar dia juga enggak tahan buat ngoral tititku. Itu kan salah
satu hobinya.
“Shit!
Siapa sih? Ganggu banget pagi-pagi gini!” Daniel mengomel sambil pergi ketika
mendengar ketukan di pintu apartmennya. Aku mempunyai firasat enggak enak nih.
Suara
ribut-ribut di luar mulai terdengar semakin jelas. Gila! Ini Daniel lupa nutup
pintu kamar lagi.
Dan
tepat saat aku sedang berusaha melepaskan ikatan tanganku, mataku dan mata
Sophia bertemu pandang. Sebelum akhirnya wajahnya bersemu merah dan berlalu.
“Dan!
What kind game are you playing with Uki, hah?!” Suaranya lantang. Satu menit
kemudian Daniel muncul sambil cengengesan dan menutup pintu kamar. Dia
melepaskan ikatanku.
“Kamu
bikin malu! Mamamu, tadi melihat . . .” Daniel menutup omelanku dengan ciuman.
Dan sukses. As always.
“Mandi
gih, entar ke pantry ya? Mama mau ngomong penting katanya. I love you, Uki
Bagus.”
Gimana
aku mau ngomel coba? “I love you too.” Daniel mengecup bibirku secara sekilas
sebelum akhirnya keluar kamar.
***
Joshua
Daniel Pradipta
Finally,
BMW yang dijanjikan datang juga ya! Aku melihat Uki yang wajahnya memerah, dan
tengah berjalan menuju ketempatku duduk. Dia menarik kursi, dan tersenyum
canggung ke Mama. Haha, he’s so cute.
Mama
juga gitu, tersipu-sipu malu melihat Uki.
“Mah,
enggak usah bertingkah kayak perawan deh. Seing man in nude condition, it’s not
your first time.”
“Seing
my son boyfriend naked? That my first time!” Wajah Uki makin merah. Aargh, I
want him to fuck me right now. Wajahnya
yang lagi malu-malu gitu adorable banget!
“Ki,
kamu mau kopi?”
Uki
menatapku, “Enggak dikasih obat tidur lagi kan?
Aku
terbahak. “Daniel, kamu ngasih Uki obat tidur? Biar apa coba?” Aduh, berabe ini
kalau Mama udah mau ngomel. Bisa enggak kelar sampai ntar jam makan siang.
Aku
menuangkan kopi, krimer dan gula. Takaran sendoknya sudah aku hapal. I mean, we
are dating for delapan bulan gitu. Dan aku hampir tiap pagi membuatkannya kopi.
So?
“Biar
Uki tidurnya lelap Ma,”
“Supaya
kamu bisa bebas grepe-grepe?” Lanjut Mama.
Aku
mengedikkan bahuku, “Aku enggak perlu obat tidur kalau cuman mau grepe-grepe
Uki, Mah!”
“Kita
bisa ganti topik? Kata Daniel, Mama mau ada yang diomongin penting.” Uki
berdeham. Sepertinya dia risih dengan topik personal kayak gini. Aneh. Eh, atau
aku yang aneh? Well, menurutku, dan aku di didik seperti itu, aku merasa wajar
menceritakan pacarku ke Mamaku. Aku bahkan menceritakan detail hubunganku dulu
dengan Rasjid ke Mama.
Eh,
by the way, sejak kapan ya Uki manggil ibuku dengan sebutan Mama?
“Kapan
kalian mau menginjak sebuah hubungan yang serius? I mean, Dan, kamu itu
satu-satunya anak Mama. Mama enggak bakalan bisa ninggal kamu, kalau kamunya
masih aja seperti anak-anak gini. Dan bukan dengan orang yang tepat.”
Aku
kurang suka arah pembicaraan ini. Seolah-olah Mamaku itu akan meninggal besok
pagi. She’s young! “Kalau gitu Mama jangan tinggalin Daniel dong.”
“Sayang,
Mama enggak bisa terus-terusan jagain kamu kan?” Mamaku berkata sambil
mengalihkan pandangannya ke Uki. “Kalian berdua sudah dewasa, Mama cuman
berharap, ini bukan hubungan sementara. Hubungan iseng sebelum akhirnya kamu
menemukan calon istri yang tepat Ki.”
“Aku
serius sama Daniel, Ma. I won’t hurt him. Trust me.”
Mamaku
tersenyum samar mendengar perkataan Uki, walau kalau aku perhatikan, beliau
masih ragu. Aku juga. Aku tahu Uki, sifatnya yang ‘enggak enakkan itu. Apalagi
kalau urusan keluarga. Aku enggak yakin Uki bisa membantah kata-kata ibunya.
“Ya
udah, Mama masak buat kita bertiga sarapan ya.”
“Uki
bantuin ma.”
Aku
melihat Mamaku dan Uki yang sudah bersiap-siap akan menjadi kitchen ninja.
“Well, kalau gitu Daniel ngegame dulu ya? Kabari kalau ntar udah mateng.”
Uki
dan Mama saling berpandangan sebelum akhirnya geleng-geleng kepala.
***
“Ini
One Piece yang paling baru kan? Jatah gue atau elo yang beli?” Evan bertanya
padaku sambil mengacungkan Once Piece Volume 73.
“Gue
heran deh, udah pada gede bacaannya komik!” Maya, sambil menggendong Japheth
melihat kita berdua dengan tatapan ngeri. Ngeri antara fakta aku dan Evan yang
maniak anime atau ngeri karena dia udah pegel dari tadi gendong Japheth ya?
“Japheth,
sama uncle Dan sini?” Aku mengulurkan tanganku yang langsung disambut Japheth.
Dia langsung menelusupkan kepalanya ke dadaku. Aah, jadi pengen punya anak.
Maya
langsung tersenyum. “Thanks ya Dan.”
Aku
tersenyum.
“Jadi?
Gue yang beli atau elo?” Evan nih ya, dih!
“Lo
aja.” Aku berkata kepada Evan, lalu menoleh kearah Maya yang tengah sibuk
mengetikkan entah apa di komputer pencarian, “Emang lo mau nyari apa sih May?
Tumben banget kan elo maennya ke Gramedia? Bukannya ke Mango.”
“Hih!
Serusak itu ya image gue depan lo! Gue mau nyari 50 Shades of Grey nih. Kemarin
udah nonton filmnya, penasaran gue pengen baca novelnya.” Maya mendongakkan
kepalanya. “Itu laki lo! Makin ganteng ya, kalau gue lihat-lihat.”
“Efek
pacaran ama gue. Gantengnya gue kan nular.”
“Beuh!
Samperin gih!”
“Japheth
gue bawa ya? Ntar ketemu di Starbuck bawah? Oke?”
Maya
dan Evan serempak menganggukan kepalanya.
Uki
tersenyum lebar, sambil melambaikan tangan pada Maya dan Evan. “Kok baru
sampai?” tanyaku begitu sampai didepan Uki.
Uki
mengusap pipi Japheth yang sedang berada di gendonganku dengan lembut, “Iya.
Macet Yang.”
“Hei,
Japheth mau es krim enggak?” Japheth ngangguk dengan semangat. Si Japheth ini
beda dengan Fadil. Dia agak malu-malu kalau ketemu anak baru. Beda banget ama
sifat emaknya ya.
Uki
menyerahkan sebatang, aduh enggak enak banget pakai sebatang, sebungkus aja.
Oke, Uki menyerahkan sebungkus corneto ukuran sedang ke tangan Japheth.
“Ayo,
bilang apa ke uncle Uki?”
Japheth
dengan malu-malu memamerkan gigi-gigi ompongnya, “Makasih uncle.” Uki dengan
gemas membelai rambut Japheth lalu mencium pipinya.
“Eh,
ke Ace dulu ya?”
Aku
bingung. Bukannya mau ke Melawai tadinya, “Ngapain?”
“Mau
nyariin rak buat kamu. Koleksi komik sama novel kamu kan banyak. Berantakkan
gitu cuman taruh di meja.”
“Kalau
gitu ke Melawai dulu aja kali Yang. Repot tahu ntar bawa barang-barang dari Ace
ke Melawai.”
Uki
nyengir, “Hehehe, iya, ya?”
Jadi,
Uki mau memeriksakan matanya. Katanya pemandangannya mulai agak kabur. Sekalian
mau menggunakan fasilitas baru kantor. Tiga juta per tahun untuk pemeriksaan
mata dan kacamata. Sayang kan kalau enggak digunakan? Sayangnya, enggak bisa
dicairkan jadi duit kalau tidak digunakan. Males banget!
Pemandangannya?
Wkwkwk, temenku ngakak masa pas baca itu.
***
Chek
mata? Done. He’s look cuter than before with that new glasses.
Beli
rak di Ace? Done! Cuman masih wonder aja, ntar Uki bisa enggak masangnya?
Buahaha.
Kita
berdua bener-bener udah kayak pasangan homo paling bahagia. Apalagi aku yang
masih gendong Japheth. Berasa anakku dan Uki saja. Manjanya Japheth itu lho,
jadi pengen punya anak model ginian.
“Uncle,
that’s a Elsa? Japheth mau dong uncle.” Jadi ada cosplay –beneran cosplay kan
tulisannya? *googling* iya bener- dan ada yang berpakaian ala-ala Elsa tapi
agak maksa gitu.
“Mau
foto bareng?” Japheth mengangguk.
Akhirnya
kita bertiga foto bareng Elsa gadungan. Aku maksa Uki buat ikutan. Sementara di
belakangku, banyak yang bisik-bisik enggak jelas.
Tapi
ada yang kedengaran, kurang lebih bilang gini, “Itu pasti yang pendek yang
battemnya.” Wkwkwk, fisik bukan jaminan kali sekarang boo! Cuss!
***
Uki
Bagus Walantaga
“Mah,
ini bawangnya mau di iris tipis atau di cincang aja?”
“Iris
tipis aja Ki, kan mau digoreng.” Aku mengangguk lalu diam. Membantu mama masak
itu sebenarnya bukan kebiasaanku. Aku hanya menginginkan sesuatu.
Aku
menghirup nafas dalam-dalam. “Mah, aku mau serius sama Daniel.”
Diam.
Tidak ada reaksi. Mama masih menggoreng tempe, melanjutkan aktifitasnya seperti
aku tidak pernah berbicara tentang Daniel. Mama masih mau denial kalau aku
memang gay? Oke, mungkin biseks, apa bedanya? Toh, yang aku cintai adalah
laki-laki sekarang.
“Aku
cinta Daniel Ma.”
“Anak
kecil tahu apa tentang cinta?!” Nada bicara Mama yang getir membuatku
merinding. “Kalau kamu cinta, kamu akan menikah dengan perempuan, punya anak,
dan hidup bahagia layaknya orang normal.”
“Aku
normal ma. Kebetulan yang aku pilih sama-sama lelaki.” Aku masih berusaha untuk
berbicara lembut.
Mama
menatapku, matanya merah, siap menangis. “Itu bukan cinta! Itu nafsu! Cinta itu
sama perempuan Ki!!” Mama hampir berteriak. Aku takut ucapan Mama akan
terdengar oleh Fadil atau Kemal.
“Kalau
aku menikah sama perempuan, siapa yang bahagia? Mama kan? Kalau mama meninggal?
Tinggal Uki yang menderita karena egoisnya mama! Kalau mama meninggal, tinggal
Uki yang menyesal setengah mati karena kehilangan Daniel!”
Plak!
Pipiku panas. Mama menamparku.
“Kamu
bukan Uki anak mama. Anak mama enggak bakal berbicara menyakitkan hati seperti
itu.” Hatiku panas.
“Terus-terusan
aja Ma kalau Mama mau denial! Uki capek, ini Uki! Dan Uki bahagia mencintai
Daniel.” Aku menguatkan hati untuk mengabaikan Mamaku yang mulai terisak. Aku
benci dengan dunia ini. Kenapa seakan-akan aku selalu salah hanya karena
kebetulan mencintai sesama pria? Agama, budaya, sosial, semunya bersekutu
membenciku! Membenci cintaku!
Aku
dengan serampangan mengepak sebagian baju. Di apartment Daniel, sebenarnya
bajuku sudah banyak. Jadi aku hanya membawa tas ransel.
Aku
perlu kabur, bukan untuk lari dari masalah. Lebih untuk menguatkan hati. Aku
pasti akan menghadapi keluargaku. Pada saat aku sudah memantapkan hati. Pasti.
***
Daniel
menatapku bingung, begitu aku sampai di depan pintu apartmentnya. Mungkin
mataku sudah memerah. Daniel menarikku masuk dan menutup pintu.
“Kamu
kabur dari rumah Ki?”
Aku
menggeleng, “Enggak.”
“Terus?”
“Lagi
pengen liburan aja.” Daniel tersenyum tipis mendengar jawabanku.
“Belum
makan kan? Aku ceplokkin telur bentar ya?” Aku menatap Daniel, lalu memeluknya.
Seumur-umur, Daniel belum pernah menawarkan dirinya untuk memasakkan sesuatu
untukku.
“Kenapa
Ki? Jangan takut, telur ceplokku enggak bakal membunuhmu kok.” Aku tertawa.
Yah! Daniel worth it, he’s worth it. Dia pantas untuk aku perjuangkan.
TBC
. . .