Peringatan
keras!!
Cerita
ini penuh dengan adegan fulgar dan seks juga pertumpahan darah. Cieileh!! Jadi
kalo engga suka dengan tema seperti ini harap jangan dibaca. Thanks!
***
Uki
Bagus Walantaga
Hari
ini adalah malam takbir. Gema beduk terdengar hampir dari segala penjuru. Aku?
Aku berada di rumah, bersama Mama, Papa, Fadil, Kemal, dan juga si pacar,
Daniel. Kalian pasti agak kaget kenapa si ganteng bisa berada disini? Makan
ketupat, membantu mama memasak tadi, bermain game bersama Fadil, lalu mengajari
Kemal cara merayu cewek yang jitu. Well, I laugh lil bit pas part yang itu.
Daniel, ternyata tahu banyak cara how to seduce a girl. Lebih jago dari aku,
malah.
Mama?
Mungkin bisa dibilang berkah Ramadhan, atau mama memang sudah menyerah untuk
memaksaku memilih Daniel atau keluarga. Kemarin, pas aku dan Daniel ke Bandung
untuk bertemu Sophia, mama telepon supaya Daniel diajak merayakan malam
takbiran di rumah kami. Mama juga mengajak Sophia, namun Sophia harus terbang
ke Belanda untuk mengurusi beberapa bisnisnya. Walaupun kata Daniel, mamanya
itu ke Belanda karena ingin bertemu kekasih barunya. Atau, menghindar dari
pertanyaan Daniel. Dan disinilah kita semua berkumpul. Mama bersikap sama seperti
sebelum dia melihatku dan Daniel berciuman beberapa bulan yang lalu itu.
Hangat. Semoga ini bukan trik baru mama lagi, aku capek sungguh.
“Aku
gak mau ketupatnya, mau sate kambingnya aja.” Daniel, memprotes ketika aku akan
membuka dan memotong ketupat baru.
Di
sampingnya, Fadil ikut membeo, “Fadil juga enggak mau ketupat!”
Aku
menggelengkan kepalaku perlahan. Ini nih, setiap Daniel berada di radius yang
sangat dekat dengan Fadil, pasti Fadil akan mulai bertingkah. Papa hanya
tersenyum ringan.
“Pakai
nasi tapi ya?” Aku membujuk.
“Bang
Daniel pake nasi?” Fadil malah bertanya pada Daniel, Daniel menggeleng. Lalu
Fadil ikut-ikutan menggeleng. Agaknya, posisiku sebagai kakak sudah
tergantikan. Ingatkan aku untuk mencekik leher si ganteng nanti. Mencekik
dengan cinta.
“Pa,
Ma, Kemal keluar sebentar ya? Nanti Kemal bakalan nginep di rumahnya Andi.”
“Emang
mau kemana sih?” Mama, selalu mengkhawatirkan anaknya. Walaupun Kemal sekarang
sudah beranjak besar. Tahun depan dia sudah akan masuk SMA.
“Biasa
mah, keliling sama anak-anak yang lain. Oke Ma?” Kemal memeluk Mama, toss
dengan Daniel, mencium tangan Papa dan tanganku, menguyel-uyel rambut Fadil
sebelum kemudian hilang dari balik pintu.
“Kalian
berdua? Gak ikutan jalan-jalan keluar?” Tanya Papa, lebih ditujukan untukku dan
Daniel.
Daniel
meletakkan tusuk sate yang jelas sudah tidak tersisa daging sedikitpun di
kayunya, “Emang biasanya ada apaan, om?”
Aku
melap bibir Daniel yang belepotan kecap bumbu sate. Kebiasaan makannya yang
berantakkan kayaknya bakal ampe tua ini. Kemudian melap bibir Fadil juga.
“Biasanya
sih bakal ada kembang api, arak-arakkan ondel-ondel, rame lho Dan.” Daniel
langsung menatapku bersemangat. Papa, sepertinya aku harus memberitahu beliau,
walaupun Daniel dan Fadil berbeda usia, tingkah mereka tidak berbeda jauh. Jadi
. . .
“Fadil
juga ikut!!” Sudah aku duga.
“Nah,
tunggu apa lagi?” Tanya Daniel sambil berjalan ke arah pintu keluar.
Aku
menarik nafas panjang. Ingin rasanya aku berteriak pada Papa keras-keras.
Sepertinya, Papa menggunakanku dan Daniel agar bisa berduaan saja dengan Mama.
“Oke,”
Aku meletakkan lapku ke meja sebelum akhirnya berjalan ke pintu. Daniel dan
Fadil sudah berada di luar, saking semangatnya.
“Mah,
aku keluar sebentar.”
“Oke,
hati-hati ya Ki.”
Aku
keluar pintu dan mengikuti mereka berdua yang seperti anak kecil pergi ke pasar
malam untuk pertama kalinya. Jadi keingat kejadian dulu sewaktu di Semarang.
Daniel yang merengek minta ditemani ke pantai. Walau ternyata pantainya jelek.
“Ah
capek, beli McFlurry yuk Ki?” Daniel berkata, lima menit setelah kita melihat
kembang api, dan beberapa anak muda yang sedang bermain petasan.
“Aah,
Fadil juga mau.” Fadil, lagi-lagi membeo dari dalam gendongan Daniel.
“Dasar
tukang fotocopy!” Kataku sebelum akhirnya merangkul Daniel. “Di dekat sini ada
McD kok.” Lanjutku.
***
“Ini
pertama kalinya aku tidur di kamarmu Ki.” Aku yang baru saja masuk kamar karena
baru beres mandi, menoleh ke arah Daniel, keheranan.
“Kenapa
emangnya?”
“Design
kamarmu ini loh, kaku banget!” Daniel tertawa ringan sambil bangkit dan turun
dari ranjang. Dia berjalan dengan santai ke arahku. Lalu membawaku ke dalam
pelukannya. Daniel hanya memakai boxer pendek, kalau kalian ingin tahu dan
penasaran. “Perut kamu makin keras ya?” Daniel membisikkan kata-kata itu di
telingaku. Bulu-bulu di sekitar tengkukku langsung bergidik. Aku memacarinya
lebih dari satu tahun, kita berpelukan sudah tidak terhitung jumlahnya,
berhungan seks pun, sebentar, biasanya tiga kali seminggu. Pernah seminggu non
stop –Tapi, tak aku hitung disini-, dikali 4 kali ada 12. Lalu dikali 13, uumm,
kita berhubungan seks sudah 156 kali. Benar tidak matematikaku? Well, pasti
lebih sih jumlahnya. Bisa dua kali lipat kalau yang di mobil juga dihitung.
Ngelantur!
Intinya, jantungku masih seperti perawan, yang baru saja disentuh oleh lelaki
yang dicintainya untuk pertama kali. Lucu!
“Aku
kangen, Ki.” Makna kangennya Daniel disini, bukan kangen karna kita sudah lama
tidak bertemu. Bukan itu, kangennya disini, dia ingin berhungan seks denganku.
Sangat jelas terdengar dari nada manjanya.
“Iya.”
Jawabku singkat, sambil melepaskan diri dari pelukan Daniel dan menuju
lemariku.
Daniel
menatapku bingung, sebelum akhirnya dia melepaskan boxernya. Nah, kalau aku
sudah berhubungan seks 156 kali, bisa saja lebih, aku sudah melihat Daniel
telanjang bulat, mungkin di kali tiga dari 156. Angka aktualnya mungkin bisa
lebih dari itu.
Tetap
saja, ketika aku menoleh dan melihat titit tidak disunatnya yang menggelantung
indah, jantungku berdegup tiga kali lebih cepat. “Pakai boxermu, ganteng. Aku
gak bisa.”
“Kamu
impoten, sekarang?” Daniel menggembungkan pipinya. Bagaimana bisa dia masih
terlihat seperti anak belasan tahun? Tidakkah dia menua? Atau dia vampir? “Aku
kangen Ki!!” katanya lagi, kali ini dengan nada merajuk.
“Besok
aku harus sholat Ied, sayang. Please? Ngerti ya? Besok itu Idul Fitri, bukannya
aku enggak pengen juga,” Aku melirik tititnya, lalu menghela nafas. Menenangkan
diriku dan juniorku dibawah sana. “Tapi aku pengen beneran fitri di hari yang
Fitri, ngerti ya?” Mungkin Daniel tidak paham bahasaku. Lagipula, kesannya aku
seperti sedang membujuk anak kecil.
Daniel
menatapku sebentar sebelum akhirnya memakai boxernya kembali. Sepertinya dia
ngambek.
Aku
menyusulnya berbaring diatas ranjang selepas selesai memakai celana pendek dan
kaos. Aku memeluknya dari belakang, karena dia memunggungiku. Aku mengelus dan
membelai rambutnya. Rambutnya yang sudah dia pangkat pendek. Aku menciumi
kepalanya berkali-kali. Ingin menunjukkan, rasa sayangku yang tidak terhingga
padanya. Daniel memang tidak bersuara, namun dia semakin merapatkan tubuhnya
padaku. Ya Tuhan, aku mencintainya. Sudah masuk dalam fase lebay alay se
alay-alaynya.
Aku
mendengar dengkuran halus sesekali keluar dari bibir Daniel, “I love you.”
Bisikku di telinganya.
***
“Aduh,
Uki, tambah gagah ya sekarang.” Aku yang baru saja masuk kedalam dapur, melongo
bingung. “Dulu itu ya, kamu masih kecil banget lho! Udah lama ya gak ketemu
tante?” Someone lightning me, please.
Aah,
doaku langsung dijamah Tuhan. “Ki, ini lho Tante Anes. Inget gak? Pasti gak
inget lho ya. Baru pulang dari Amerika lho tante Anes ini.” Mamaku masuk
kedalam dapur. Sebenarnya, aku ke dapur ingin mengambil makanan untuk si
ganteng. Tadi, sewaktu aku berangkat sholad Ied, dia masih tertidur pulas, dan
aku yakin dia masih belum bangun juga sekarang.
Aku
tersenyum tidak jelas, karena gambaran tante Anes ini sama sekali tidak ada
dalam memori otakku.
“Tante
Anes gak dateng sendiri lho, dia bareng sama anaknya Ki, anak lelakinya.”
“Ponakkan,
jeung!” Potong tante Anes cepat. “Aku mah masih single.” Disambung dengan
tertawa ala sosialita.
Mama
menatapku sebentar, seperti ada keraguan, “Daniel mana Ki? Kok belum
kelihatan?”
“Masih
tidur kayaknya Ma,”
“Bangunin
dong, kita sarapan bareng!”
Aku
dengan perasaan linglung langsung menuju kamarku. Dugaanku salah, ternyata si
ganteng sudah beres mandi. Handuk masih melilit di pinggangnya. Rambutnya
basah. Dia memakai sabunku, dan juga shampoku. Aku tersenyum sendiri, entahlah,
hal-hal kecil ketika Daniel memakai handukku, atau sikat gigiku –sangat sering-
aku merasa kalau ada bagian dalam diriku yang menyatu dengan bagian tubuhnya.
Sudah kubilang kan? Jatuh cintaku masuk dalam tahap lebay alay se alay-alaynya.
“Cepet
pakai baju gih, kita sarapan bareng.” Aku berkata sambil memeluknya dari
belakang.
Daniel
mengangguk, namun tangannya masih sibuk dengan handphonenya. “Aku tunggu di
meja makan ya?”
“Iya,
sayang.” Jawabnya singkat.
Saat
aku masuk kedalam ruang makan, pandanganku tertumbuk pada sesosok pemuda
jangkung berambut pirang, bermata hijau. Agaknya, dialah keponakan tante Anes.
Dia bukan bule kok, hanya rambutnya di cat dan matanya, aku tidak bisa bilang
itu asli atau memakai softlens. Tebakanku sih softlens. Wajahnya saja Asia
banget.
“Ini
Anton, keponakkan tante.”
Anton
tersenyum padaku, senyum ramah, basa-basi, demi kesopanan. Bukan jenis senyum
menggoda atau bagaimana. Aku tidak pernah diberi senyuman menggoda. Oleh Daniel,
sesekali, namun oleh orang asing? Belum pernah. Tidak seperti si ganteng,
dimana-mana selalu ada orang yang curi-curi pandang ke arahnya. Yang nekad
malah ngajak kenalan dan seperti kataku tadi, memberikan senyuman menggoda,
senyuman kode. Memang beda level sih, tingkat kegantengan dan keseksiannya.
Tapi kan dia milikku.
“Gue
Uki.” Kataku singkat. Sedikit senyum kesopanan juga.
Tante
Anes baru saja akan membuka mulutnya lagi ketika dia mendadak terdiam. Terdiam
namun masih dengan mulut terbuka. Aku menoleh ke belakang dan melihat Daniel
berjalan santai lalu kemudian duduk disampingku. Dia memakai jenis kaos yang
lengannya buntung dan putingnya bisa ngintip kemana-mana itu. Ada tulisan di
depan kaos buntungnya, “Bitch, I Love My Hubby.” Dan senyumku langsung
terkembang.
“Ini
siapa Ki?” Tanya tante Anes setelah bisa menguasai keadaan. Keadaan dirinya
sendiri yang linglung karena melihat cowok ganteng muscle dengan baju setengah
terbuka. Aku mulai tidak suka dengan baju-baju pilihan Daniel ini.
“Daniel,
teman satu kantornya Uki.” Mama muncul dari dapur membawa mangkok lumayan besar
sambil tersenyum. Mama jelas-jelas tidak ingin aku buka mulut. Padahal aku baru
saja ingin mengatakan, Daniel, pacar saya tante. Begitu. Apa-apaan dengan
sebutan ‘teman kantor’? Namun, seperti biasa, aku hanya bisa diam.
“Aduh,
ganteng pisan.” Tante Anes blingsatan seperti cacing kepanasan. Aku melirik
Anton yang duduk disampingnya. Bertingkah sama. Sedangkan Danielnya cuek-cuek
saja. Dia sibuk memainkan handphonenya.
“Bang
Daniel, Fadil minta pangku dong.” Daniel meletakkan Iphonenya ke atas meja
sebelum meraih Fadil dan memangkunya. Beberapa kali gerakan tangan Fadil
membuat kaos yang dipake Daniel tersingkap dan membuat puting merah jambunya
mengintip. Aku bersumpah, aku seperti melihat Anton meneteskan air liurnya.
“Wah,
sarapannya rame ini.” Papa masuk ke ruang makan dan ikut bergabung. Mama masih
sibuk di dapur.
“And
hot.” Bisik tante Anes, pelan, namun aku masih bisa mendengarnya.
Akhirnya,
setelah semua hidangan disiapkan oleh Mama, yang melarang aku untuk membantunya
tadi, kita mulai sarapan ‘rame dan hot’ ini. Aku bisa melihat tangan tante Anes
dan Anton yang sepertinya gatel ingin melap bibir Daniel yang belepotan. Atau
bibirnya Fadil? Karena pada dasarnya mereka berdua sangat mirip saat makan.
Beberapa kali aku menyuapi Fadil, sesekali menyuapi Daniel. Gesture sederhana,
namun aku yakin Anton menyadarinya. Hubunganku dengan Daniel. Aku memang ingin
menunjukkannya, karena aku yakin Anton juga gay. Mana ada cowok straight,
memakai softlens berwarna hijau?
Danielnya
sendiri sih masa bodoh. Dia sibuk makan.
“Anton
ini calon dokter lho Dan.” Mama, tiba-tiba mengeluarkan suaranya. Aku heran,
untungnya apa memberitahu Daniel kalau Anton ini calon dokter?
“Aaah
tante, baru juga mulai kok, kuliahnya.” Ooh, masih bocah ingusan. Seriusan ya,
aku ingin sekali menyumpal mulut Anton yang seperti serigala kelaparan melhat
Daniel. Matanya dipenuhi nafsu.
“Dokter?
Emang berani lihat darah?” Daniel nyeplos begitu saja. Masih sambil makan. Puding
yang jadi korbannya sekarang. Aku tidak habis pikir dengan kebutuhan perutnya
yang luar biasa itu, tapi masih bisa tampil fit dan seksi. Kemana semua makanan
yang dia konsumsi? Kenapa tidak jadi lemak? Yeah, meskipun dia sharing dengan
Fadil.
“Bukan
masalah kecil, bahkan setelah kuliah gue selesai, gue pengen ambil spesialis bedah
jantung.” Ada kesombongan yang enggak bisa disembunyikan disana.
Daniel
menatap Anton dengan seksama. Mengamati apakah banci tampil ini bakalan sanggup
membedah jantung seseorang. Wait, aku masih pasang tampang ramah kok. Hanya
pikiranku saja yang berkecamuk ingin nyekik lehernya Anton.
“Good
luck.” Daniel tersenyum, membuat Anton langsung ke ge eran, “Moga aja pasiennya
tenang disana dan gak balas dendam ke elo ntarnya pas ketemu di alam baka.” Tuh
kan, andai saja Tuhan, mulutku bisa setajam mulutnya Daniel.
Aku
bisa mendengar gumaman tante Anes yang berkata, “Pedes amat bibirnya, untung
gantengnya di atas rata-rata.”
Dan
aku tersenyum samar. Dulu, sebelum aku pacaran dengan Daniel, aku juga kurang
menyukainya. Bibirnya itu bisa bikin mati berdiri saking tajamnya. Tapi sejak
aku menjadi pacarnya, aku baru tahu kalau bibirnya juga bisa memberikan
kenikmatan tiada tara.
***
Joshua
Daniel Pradipta
Aku
sibuk dengan ponselku. Chating dengan Jordan, mencari tahu informasi sebanyak
mungkin tentang ayahnya. Aku tidak mungkin menanyakannya pada Mamaku, kemarin
aku ingin mencoba, tapi ketika tahu Mama sedang bahagia karena telah menemukan
cintanya kembali. Iya, mamaku kasmaran lagi. Puber season dua kali. Dan aku
tidak ingin merusak kebahagian mamaku. Jadi, aku belum membahasnya sama sekali
dengan Mamaku.
“Sayang,
beneran kamu mau balik ke apartment?”
Aku
menoleh ke arah Uki dan tersenyum lalu mengangguk pelan. “Kamu kan perlu
silahturahmi ke tempat saudara-saudara kamu Ki. Aku malas ikutan, mending
tidur.”
“Oke,
ntar aku pulangnya agak sorean, biar bisa masakkin dinner buat kamu.”
“Thank
you.” Kataku sambil fokus kembali ke handphoneku.
Uki
hanya mengantarku sampai di pinggir jalan. Repot kalau harus masuk juga. Aku
mencium bibirnya lembut, sebelum akhirnya turun dari mobil. Aku menunggu hingga
mobil Uki hilang dari pandanganku.
Pandangaku
terpaku pada sosok yang sekarang tengah berdiri karena melihat kedatanganku.
“Gue kira lo pulang ke Bandung, gue tungguin lo agak lama, udah hampir pulang
malah. Untung gue agak bersabar.”
Aku
masih hapal wajah dan suara renyahnya. “ Hendri.” Aku menulusuri penampilannya
yang hanya mengenakan celana jeans, kaos dan sepatu kets. “Lo gak lebaran?”
Tanyaku.
Hendri
menggeleng, “Enggak, lagipula gak ada saudara juga yang bisa gue kunjungi.”
Aku
masih terpaku di tempatku. Hanya tidak menyangka jika Hendri bisa berada
disini. Maksutku, kita sudah tidak bertemu dalam kurun waktu yang cukup lama.
Dan tiba-tiba dia show up disini.
“Gue
ganggu waktu lo gak? Kalau iya, gue bisa balik.”
Aku
menggeleng pelan. “Enggak.”
Hendri
mengikutiku dalam diam, aku sama sekali tidak tahu tujuannya datang kemari.
Aku
masuk dan melempar tubuhku diatas sofa di depan televisi. Hendri masih berdiri
di hadapanku, mengamati apartmentku dengan cermat. “Apartment lo rapi ya? Gue
kira bakal berantakkan atau seenggaknya ada kolor nangkring di sofa.”
“Dulu,
iya! Tapi sejak Uki tinggal disini, dia selalu memastikan kalau semua barang
akan berada di tempat dimana mereka seharusnya berada.” Aku menoleh kearah
Hendri, “Gue gak pernah pakai kolor kalau sedang berada didalam rumah.”
“Dan
jangan karena ada gue, lo jadi sungkan. Biasa saja Dan.”
Aku
tertawa sebentar, “Kalau gue tahu lo ini straight, gue bakalan biasa saja. Tapi
karena lo gay, dan temen bobo lo yang banyaknya sama persis dengan warga
Kampung Pulo, gue mesti sedikit lebih berhati-hati. Gue ganti baju dulu ya.”
Hendri
tersenyum, “Ok.”
“Kalau
lo mau minuman dingin atau juice something, ambil aja di kulkas. Well, jangan
anggap rumah sendiri ya? Tahu sopan santunlah.”
Hendri
tertawa, “I’ll do kok Dan.”
***
Hendri
Subakti
Mata
gue agak panas melihat foto Daniel dan Uki yang terpajang di dinding, di
samping tv dan juga di depan pintu kulkas. Gue melihatnya tadi sewaktu mau
mengambil minuman dingin.
Betapa
beruntungnya itu cowok bisa memliki cowok seperti Daniel.
Gue
menelan ludah dengan agak susah ketika Daniel keluar dari kamarnya dan berjalan
ke arah gue. Dia memakai singlet berwarna putih, dan celana pendek diatas
lutut. Gue menebak, dia tidak memakai celana dalam. Bayangan penisnya sedikit
tecetak jelas di celana pendeknya.
“Dari
banyaknya minuman didalam kulkas, lo milih air putih?” Daniel bersidekap, lalu
menggelengkan kepalanya.
“Kata
lo, gue gak boleh seperti di rumah sendiri?”
Daniel
tertawa, “Yeah, you should not.”
Dia
berjalan menuju kulkas, sedikit nungging dan membuat penis gue ereksi seketika.
Gue harus akui, mungkin Daniel adalah lelaki tampan dengan bokong terindah
diatas bumi. Bukan tipe bokong besar model Kim K. Tapi bokong yang penuh
melekuk dengan indah. Bukan kesamping, tapi lekuknya ke belakang. Menonjol, menantang
untuk gue remas-remas. Pasti putih mulus seperti warna kulit yang tidak
tertutupi baju itu. Atau mungkin lebih putih?
“Lo
ngapain main kesini?” Tanya Daniel to the point. Gue belajar sesuatu, untuk
mendapatkan tipe cowok seperti Daniel ini, lo juga mesti cablak dan
blak-blakkan seperti dia.
“Kangen
aja sama lo.” Jawabku singkat. Daniel hanya tertawa ringan sambil duduk di
sofa, disamping sofa yang sedang gue dudukki. Kalau kakinya ngangkang, bakal
ada kesempatan gue ngelihat kontolnya ngintip. Yah, semoga saja kesempatan itu
ada ntar. Hahha.
Daniel
menyesap minumannya sebentar, “Lo masih berhubungan sama Jordan?”
Gue,
terkejut sebentar. Gue enggak tahu darimana Daniel tahu tentang Jordan, tapi
agaknya Jakarta memang tidak seluas yang orang bilang. “Gue udah enggak bareng
dia Dan, gue kan nungguin lo.”
Daniel
menatap gue dengan pandangan menilai sebelum akhirnya fokus kembali ke
handphonenya. “Nungguin gue sambil ngentotin Rasjid? Atau Ngentotin Rasjid
sambil nungguin gue?” Daniel meletakkan Iphone 6 nya. “Lo ngejar gue itu karena
lo penasaran sama gue. Setelah lo bisa boboin gue, lo bakalan nglepeh gue.
Titik, ending deh.”
“Lo
itu spesial Dan.”
“Is
that what you told to all your victims?” Gue terkekeh sebentar mendengar nada
sarkas dalam suara Daniel. Alasan kenapa Daniel tidak mudah ditaklukkan karena
dia biasa menaklukkan. Jadi, jika dia tidak tertarik dengan buruannya,
semenarik apapun buruannya, Daniel tidak akan memburu. Itulah hasil observasiku
selama ini. Uki, contohnya! Daniel belum pernah menaklukkan yang tipe-tipe
seperti Uki, makanya Daniel terobsesi untuk memburunya. Agak surprised hubungan
mereka berjalan satu tahun lebih. Nah, satu hal yang harus aku lakukan adalah,
menjadikan diriku sendiri mangsa yang ingin diburu Daniel. That’s it!!
Masalahnya,
jika gue menjadi diri gue sendiri kecil kemungkinannya Daniel bakalan tertarik
sama gue. Dia pasti udah sering ngeburu tipe buaya darat macam gue. Jadi, gue
harus nyari tahu, tipe mana yang belum pernah diburu oleh Daniel.
“Mau
makan Dan? Dibawah tadi gue lihat ada yang jual siomay. Di pinggir jalan sih.”
Daniel
menatap gue, agak lama. “Oke, lapar juga ini gue.”
Dan
dia keluar masih dengan singlet putih dan celana pendeknya. Dia sengaja atau
bagaimana sih?
***
Uki
Bagus Walantaga
“How
yours day?” Daniel menanyakkannya sambil merebahkan kepalanya di dadaku. Kita
berdua tengah menonton The Lord of The Rings. Bagian pertama, dimana aku
menemukan fakta bahwa Cate Blanchett tidaklah begitu cantik namun mempunyai
kharisma tersendiri.
“Awfull,
yours?” Tanyaku balik.
Daniel
meraih tanganku untuk memeluk pinggangnya, “Same.”
Aku
menelusupkan tanganku kedalam kaos yang dipakai Daniel, “Tell me.”
Daniel,
menggesek-gesekkan kepalanya di dadaku. Seperti kucing, apa ya istilahnya, uum,
ndusel. Begitulah.
“This
is feel wrong?” Daniel bergumam pelan. Namun aku masih bisa mendengarnya. “This
is feel wrong?” Ulangnya sekali lagi.
“This
entire time, I am completly in love with you. And I felt my love for you, was
real.”
“It’s
real, ganteng.”
“It
isn’t, Uki. I am not a good guy, remember? I am selfish, keras kepala, selalu
pengen menang sendiri. With me, you have no future Ki.” Aku menghela nafas
panjang. Pasti ada sesuatu. Enggak mungkin si ganteng tiba-tiba ngajak berantem
gini kalau enggak ada pemicunya.
“Your
mother sent me this.” Daniel menyerahkan iPhonenya. Disitu ada obrolan Daniel
dan mama dalam whatsapp. Dan ada foto Anton shirtless. Aku menggeram pelan.
Daniel
bangkit berdiri, mondar-mandir sebentar. “You are not gay, Uki. I am gay. I am
not do the right things selama ini, now I have to do, but you. I am bad for
you, Uki Bagus Walantaga.”
“Aku
ngerti.” Ucapku pelan. Masih sedikit terkejut, ternyata itu rencana Mama.
Seharusnya aku curiga kenapa bisa ada Anton tadi pagi di rumah yang tanpa
mengaktifkan gay radar, semua orang akan tahu kalau dia gay. Aku tak habis
pikir, mamaku bisa melakukan hal itu. Mungkin beliau tahu kalau aku tak pernah
bakal bisa meninggalkan Daniel, sekarang dia menyerang Daniel supaya
meninggalkanku. Well done, Mom. But you will fail again.
“And
why you’re still here?”
“Because
I love you, Daniel Pradipta. Mungkin aku bukan tipe cowok yang bisa dapetin
semua cewek, atau semua gay bakal netesin air liurnya kalau ngeliat aku
telanjang. But, I made my choice, 13 month ago that I choosed you. And I stand
with my choice.”
“Kamu
gak bakalan ngerti rasanya deg-degan sebagai seorang ayah nungguin istrinya
melahirkan. Gak ngerti rasanya ngadepin istri yang ngidam aneh-aneh biar anakmu
enggak gumoh.”
“Aku
tanggung resikonya.”
“Gimana
kalau suatu saat aku bosan sama kamu trus aku ninggalin kamu?”
“Will
you do that?”
“I
have no idea, Ki! Siapa sih yang bisa ngejamin masa depan kita bakalan kayak
gimana? Seenggaknya kalau kamu nikah sama perempuan, bakal ada pemikiran ulang,
pengadilan panjang, hak asuh anak. With me? Nothing.”
“Udah
aku bilang, aku tanggung resikonya.”
“You
have no idea what you into for, honey.”
“You
sound like my Mom,” Aku menahan emosiku. Emosi untuk ibuku, bukan untuk Daniel,
heran apa saja yang sudah ibuku katakan pada Daniel di balik punggungku, “Apa
kamu pikir kalau aku pisah dari kamu, ninggalin kamu sekarang, aku bakal
seneng? Kamu pikir, aku bakalan ecxited nungguin istriku melahirkan sementara
yang aku pikirin adalah kamu? Do you still love me?”
“I
love you, it’s hurt.”
“Kalau
gitu, jangan bahas ini lagi ya sayang? Karena kalaupun suatu saat kamu
ninggalin aku karena kamu jatuh cinta dengan orang lain, aku akan berusaha
ikhlas. Tapi aku gak bakal cari pengganti kamu, baik laki-laki maupun
perempuan.”
Daniel
terhenyak sebentar sebelum akhirnya jatuh ke pelukanku. “I am just thinking
what your Mom said to me, Ki.”
Aku
mengelus kepalanya dengan sayang.
“Aku
gak bisa ngasih kamu banyak hal, Ki.”
“You
already gave me everything Dan.” Sesuatu petualangan yang bahkan belum pernah
aku bayangkan sebelumnya. And I thank for it.
Tiba-tiba
Daniel tergelak, “Well, dari sekian banyak cowok ganteng diluar sana, kenapa
mamamu memilih Anton? I mean, I can guarantee, that he’s a bottom!! Not my
type, at all.”
“Aku
juga dulu bukan tipe kamu, ya kan?” Aku nyeletuk.
Daniel
termangu sebentar, “Iya juga ya.”
Aku
semakin mengeratkan pelukanku. Aku memang bukan pure gay, aku masih bisa ereksi
kok kalau ngelihat teteknya Jupe. Berbeda dengan Daniel dan Evan yang sibuk
ngomentarin bajunya Jupe, bukan malah fokus sama belahan dadanya. Iya, aku
berbeda dengan Daniel. Tapi aku mencintainya, aku bisa jamin yang itu.
Jika
aku bisa mengabaikan perintah agamaku sejauh ini, kenapa aku tidak bisa
mengabaikan perintah ibuku juga? Persetan dengan neraka. Biarlah aku di neraka
asal bersama Daniel. Aah, nah kan! Cintaku memang tengah berada di level lebay
alay sealay-alaynya.
Bersambung
. . .