Peringatan
keras!!
Cerita
ini penuh dengan adegan fulgar dan seks juga pertumpahan darah. Cieileh!! Jadi
kalo engga suka dengan tema seperti ini harap jangan dibaca. Thanks!
***
Joshua
Daniel Pradipta
Well,
I’m not kind person yang bisa pretend baik-baik saja padahal aku benci dan
kesal setengah mati. Itu bisa dikatakan kelebihan sekaligus kekuranganku
memang. Aku bukan Uki, oke? Yang bisa senyum semanis madu even di hadapan orang
yang dia benci. Aku tidak bilang Uki munafik, dia hanya terlalu baik, terlalu
sungkan, yang kadang bikin aku gemas sekaligus kesal. Seperti saat ini, well,
kalian ingat Dorsella? Transgender yang matanya tidak bisa lepas memelototi
selangkanganku? Oh, please, not to be harsh but I don’t like her.
Jadi,
dia mengundangku dan partner dalam tulisannya, untuk datang ke acara buka
bersama. Katanya akan ada pameran beberapa barang artis yang akan dilelang dan
nantinya, hasilnya akan disumbangkan untuk anak-anak panti asuhan. Aku tidak
tertarik untuk membeli barang-barang bekas artis. Kecuali bekasnya Britney sama
Andrew Garfield, bakal aku pertimbangkan.
Balik
lagi ke Uki yang bisa senyum manis dihadapan Rasjid, walaupun aku tahu Uki
membencinya. Aku enggak ngerti kenapa Rasjid bisa berada disini, namun ternyata
dia termasuk dalam daftar ‘artis’ yang menyumbangkan barang bekasnya. Aku
bahkan enggak tahu kalau Rasjid sekarang sudah menjadi seorang selebriti. Well,
aku memang jarang menonton saluran lokal, gak pernah membaca majalah lokal
juga, atau bahkan detik.com pun aku gak update. Tapi, benarkah aku
seketinggalan itu? Dimana Jihan Fahira? Diana Punky? Atau si hot Marcelino? Aku
seperti berada di dunia yang berbeda, aku tua!! Well, kalian angkatan 90’an,
kalian mengerti aku kan? Oke, kalian mau tahu tahun lahirku? 1988. Iya, aku
sudah setua itu. Gilak!
Rasjid,
eumm, dulu dia lebih tinggi dariku. Dulu, sewaktu kita masih pacaran. Sekarang,
dia kalah tinggi. Aku merasa superior di hadapannya. Dan kalau aku ingat air
mata yang aku buang sia-sia untuk si asshole ini, aku jadi ingin menampar diriku
sendiri. He doesn’t deserved it. Sudah berapa lama aku tidak bertemu dengannya?
Bertahun-tahun! Dulu, aku menganggapnya luar biasa tampan, seksi, dan kombinasi
antara nerd and hot. Now? He’s just like an average guys on earth. Nothing
interest on him, except his eyes. Oke, enough.
“Jadi
kalian udah jalan berapa lama?” Rasjid, bertanya sambil meminum anggurnya
dengan cara berkelas. Sengaja mengintimidasi Uki.
Uki
yang hanya minum air mineral, antara enggak ngerti atau memang polos, tetap
memamerkan senyumnya, “Udah setahun lebih.”
“Ooh,
baru setahun.” Perkataan yang meremehkan.
“Yah,
but serious one. I am gonna marry him. Dimana Dan? Holland? Or US?” Kata-kata itu keluar dari bibir Uki dengan
mulus, ditambah gerakan tangannya yang memelukku untuk semakin merapat ke tubuh
pendeknya. Oke, Uki gak pendek, dia hanya seratus enam puluh lima? Tujuh? Yang
pasti gak sampai seratus tujuh puluh. Dibandingkan denganku yang seratus
delapan puluh lebih? Well, kalian simpulkan sendiri.
Aku
tak mengira Uki bisa melakukan ini, seperti yang aku bilang, ini Uki sedang
akting atau memang dia terlalu polos? Kalian tahu kan, tipe-tipe kayak Uki ini
bakat banget jadi aktor.
“Ya
ampun Daniel, yeti sindang juga. Kirain yeti gak bakalan come-come lho.” Ladies
and Gentleman, meet the one and only, transgender yang aku benci but I loved in
the same time. Dorsella. Anggap perkataanku sebelumnya tentang dia hanya bohong
belaka.
“Hei,
gorgeous.” Balasku.
Dorsella
tersenyum genit sebelum akhirnya mencium pipiku. Lalu kemudian mencium pipi Uki
juga. She knows that Uki is my boyfriend. Well, ada banyak hal yang tidak aku
ceritakan pada kalian sejak pertemuanku dengan Dorsella tempo dulu, akan aku
ceritakan, kalau aku ada waktu. Hahaha.
“Sini,
akika bawa diana bedua ke tempat favorit akika, excuse us ya Rasjid ganteng.”
Rasjid hanya tersenyum ringan, I didn’t care.
Dorsella
membawaku dan Uki naik ke bagian atas dari gedung ini. Angin malam menerpa
wajahku saat Dorsella membuka pintu dan membawaku serta Uki ke tempat terbuka.
Pemandangan kota Jakarta sangat memukau dari tempat ini.
“Acara
lelangnya baru akan mulai jam sembilan. Jadi, kita bisa mengasingkan diri dulu
sebentar.” Kata Dorsella, kalem. Aku ulangi, KALEM.
“Well,
where the akika? Diana word?” Dorsella tertawa terbahak. Sedangkan Uki hanya
tersenyum dikulum.
“Sayang,
kamu kalau senyum jangan dikulum gitu dong! Itu kayak ngode tahu!”
Uki
langsung memerah, haha, I love teasing him, “Ngode apa?”
“You
know exactly what I mean, Hon.”
“Cukup
ya, jangan sampai kalian lanjut ngeseks disini, karna bisa jadi besok kalian
masuk angin.”
“Gue
masih gak familiar lho dengan lo yang enggak pakai bahasa aneh lo itu.”
“Nah,
itu dia Dan, sometimes, I be like, emang aneh ya kalau transgender kayak gue
berlaku selayaknya wanita biasa? Bertutur kata seperti wanita? Bukan seperti
banci? I mean, gue operasi plastik karena gue pengen jadi pere jeung? Bukan
setengah-setengah lagi!”
Aku
mendekat, mengambil air mineral dari tangan Uki, sedikit menuangkannya
ditanganku, lalu membasuhnya di wajah Dorsella.
“Hei,
lo ngapain?”
“Kalau
lo mau orang-orang gak liat lo aneh, hapus rias tebal lo itu. Jadilah kayak
orang kebanyakkan, berlaku seperti orang kebanyakkan, lakuin hal-hal mainstream. Seperti you know,
wanita dilarang pamer dada, paha. Laki-laki dilarang perawatan salon. Like
that, peraturan tak tertulis.”
Dorsella
menatapku lama, “I can’t Dan. Gak mungkin kan gue nyembunyiin tetek gue,
padahal dokter udah susah payah bikinin secantik ini.”
“Nah!
Then, stay weird, stay to be who you are, jangan karena orang-orang pengen A
trus lo berlaku A. People will find way to be your friend. And to be your
boyfriend!!”
Dorsella
tersenyum, lalu menatap Uki, “Pasti berat ya Ki, punya laki model gini?”
Uki
tertawa sambil menatapku, “You don’t even know the childish part.”
Aku
langsung menatap Uki tajam, “Jangan cerita!”
“Kalau
lo sampai ketakutan gitu, aku malah semakin pengen tahu, Come on Ki, we have a
lot of time to sharing.”
“Seriously?
You all wanna do this to me?” Mereka berdua menatapku lalu tertawa.
***
Uki
Bagus Walantaga
Aku
suka Daniel, aku cinta si ganteng, setiap hari, rasanya semakin menumpuk.
Rasanya seperti aku berdiri diatas tumbuhan menjalar. Semakin hari, semakin
bertumbuh, bahkan mungkin hingga menutupi tubuhku. Saat itu terjadi, akan sulit
untuk membabatnya tanpa melukaiku juga. Jadi, mungkinkah aku bisa hidup tanpa
Daniel. Pertanyaan konyol, sudah pasti bisa! Bisakah aku bahagia tanpa Daniel?
Bisa! Namun akan berbeda. Akan ada yang berlubang. Aku sendiri bahkan tak
mengira kalau aku bakalan jatuh cinta segila ini dengan sesama pria! Pernahkah
aku menduga? Tidak!
Daniel
mempunyai potensi yang sangat besar untuk menjadi seorang model. But, he’s more
than that! He’s more than just handsome. He’s cute, funny, smart, sarcast
sometimes, or being silly and dork. Ah, kalian pasti bosan mendengarkanku yang
hampir setiap saat melontarkan pujian untuk si Ganteng. Tapi ya memang
begitulah dia di mataku. Aku menyukai gerakkan refleks tangannya yang
menggandeng tanganku. Atau memelukku tanpa ragu. Seolah, secara tidak langsung dia ingin mengatakan kepada semua
yang hadir disini, ‘aku miliknya’. Jadi, tidak ada alasan bagiku, untuk tidak
bangga mendapatkannya sebagai seorang kekasih. Even itu harus berhadapan dengan
fans-fansnya.
“Kak
Daniel ya? Aku follower kakak lho di IG, boleh selfie bareng gak?” Itu masih
belum ganggu.
“Eh,
masnya, boleh minta tolong fotoin aku sama kak Daniel gak?”
Yang
satu ini juga masih fine kok.
“Eh,
Kak Daniel sekarang mau jadi artis ya? Udah punya asisten juga.”
Aku
masih rapopo. Seriusan. Karna aku tahu, mereka bukan apa-apa bagi Daniel. Yang
menyita perhatianku adalah Rasjid. Dia pemuda yang mempesona, dan seumuran
dengan Daniel. Plus, pernah menjalin hubungan dengan Daniel bertahun-tahun. Dia
ancamanku. Well, masih ada Hendri juga, atau Jordan. Tapi yang disini adalah
Rasjid, dan dia tidak bisa mengalihkan pandangan matanya dari Daniel. Aku tahu
resiko punya pacar tipe ‘He is so adorable, cute and hot in the same time’.
Kali
ini, begitu aku tahu Rasjid melihat kearahku dan Daniel lagi, aku mencium pipi
Daniel. Daniel menoleh, terkejut sebentar, tersenyum lebar, sebelum akhirnya malah mengulum bibirku
sebentar. Like I said before, cintaku makin numpuk!!
***
Rasjid Sutata
Sulit
buat gue ngejalanin apa yang disuruh Hendri kalau lawannya model-model kayak
Uki. Akting sok polos, tapi di otaknya menyimpan banyak rencana. Dia bukan
Daniel yang sangat mudah ditebak.
Sedari
tadi, gue bahkan hanya sanggup mengobrol ringan dengan Daniel.
Mengompor-ngompori Uki? Kayaknya kagak bakalan berhasil. Gue pernah nglakuin
itu, dan lihat, mereka masih hahahihi sambil sesekali cipokkan.
Daniel,
gak seekspresif itu waktu dulu pacaran sama gue. Daniel memang berubah, seinget
gue, dulu dia tipe anak yang nyebelin abis. Gue pacaran sama dia, karena dia
salah satu anak populer dan well, siapa sih yang gak pengen nyobain pantat
kapten team basket paling hot di kampus? Walaupun dia nyebelin, tapi semua
orang memujanya. Memuja ke atlestisan tubuhnya, paras tampannya, dan kecerdasan
otaknya. Kombinasi yang mematikan, dan hampir semua orang merasa sangat
beruntung kalau Daniel bisa mengingat nama mereka. Daniel congkak, arogan,
semua keinginannya harus terpenuhi. Dia selalu berlagak kalau dia adalah raja
di kampus.
Kepopuleran
gue memang melonjak ketika gue sering hang out bareng Daniel dan ganknya, Evan
dan Maya. Dayang-dayangnya Daniel.
Walaupun
Daniel memperlakukan gue seperti thropi yang baru saja dia menangkan, gue tetap
bertahan hingga hampir tiga tahun.
Lalu,
ketika Andri, wakil kapten team basket yang unyu itu mulai menunjukkan
kertertarikannya untuk gue, gue gak ambil pikir panjang dan mulai merayunya.
Berselingkuh dari Daniel, pasti akan menghancurkan Daniel. Awalnya, gue pengen
ngedeketin Evan, sahabat baiknya. Apa yang akan terjadi dengan Daniel kalau
pacarnya tidur dengan sahabat baiknya?
Tapi
Evan terlalu loyal. Dia menyayangi Daniel seperti saudara sendiri. Dan walaupun
gue tahu Evan juga suka sama gue, tapi dia memilih untuk ngejauhin gue.
Lalu
apakah ego gue terpuaskan saat melihat Daniel hancur? Ya! Saat itu.
Sekarang
gue melihatnya, begitu banyak berubah. Dia memperhatikan detail-detail kecil
tentang Uki. Tersenyum hangat pada beberapa orang. Walaupun sarkastiknya kadang
muncul begitu saja. Namun entah kenapa itu membuatnya menjadi semakin menarik.
Bukan menyebalkan.
Did
Uki changes him? Or it was me that changed him?
***
Evan
Sutedjo
Gue
memisahkan kulit ayam dari dagingnya untuk gue makan entar. Emang udah
kebiasaan gue sih kayak gini. McD tetep rame ya, even siang-siang gini di bulan
Ramadhan. Agak mengagetkan juga sih.
“Gimana
lelangnya Dan? Lo ada beli something?”
Daniel
yang sedang sibuk melumuri burger nya dengan saos mendongakkan kepalanya, “Gue
beli beberapa jaket bekasnya Mario Lawalata, yang ternyata kekecilan. Lo mau?
Bisa buat Reno tuh.”
“Katanya
lo gak tertarik?”
“Kan
itung-itung berbagi berkat Van. Kalau lo mau ntar lo bisa ambil, kayaknya pas
kalau buat Reno.”
Gue
mengangguk sebelum akhirnya menikmati ayam gue. Daniel pun kembali sibuk dengan
burgernya. Sometime, kita memang begini. Menghabiskan waktu bersama, namun
dalam diam. Bukan sibuk dengan gadget masing-masing, tapi lebih menikmati ‘me
time’. Me time kok berdua? Lha itulah uniknya persahabatan gue ama Daniel, kita
bisa menghabiskan waktu berjam-jam berduaan namun dalam dunia masing-masing.
Tanpa perlu merasa kalau kita berdua sedang mengacuhkan satu sama lain. It’s
just happen naturally.
“Koh
Daniel?” Gue noleh dan mendapati pemuda, mungkin masih SMA atau mahasiswa
semester awal. Chinesse, cute, menatap Daniel dengan tatapan, well, memuja.
Like always people do when ketemu sama Daniel.
“Hi
Jo, makan siang lo?!” Jawaban Daniel ini khas. Pernyataan, bukan pertanyaan. Gak
basa-basi, kayak kebanyakkan orang. Misalanya, ‘Ngapain lo disini?’ Hello? Ini
McD gituloh, ya makan lah, gak mungkin kan dia mau nonton. Orang-orang sekarang
kebanyakkan melontarkan basa-basi yang sebenarnya jawabannya sudah mereka tahu.
Retorik!
“Iya,
sama Papa. Tuh!!” Si Jo menunjuk om-om yang diumurnya yang gue duga sudah
setengah abad, masih terlihat menarik. Ps, gue bukan penyuka gadun ya. Jadi ini
pandangan gue secara objektif.
Si Om-om
yang gue duga berumur setengah abad namun tetap menarik itu langsung
menghampiri gue dan Daniel.
“Tempat
lain penuh, kita berdua makan gabung sini aja, gak papa kan?” Jo nyerocos lagi.
“Oh
ya Van, ini Jordan. Jordan, ini Evan.” Gue melambaikan tangan gue, karena
tangan gue kotor. Belepotan saos dan remahan ayam, jadi gak mungkin gue
melakukan jabat tangan.
“Pah,
makan sini aja. Ini Koh Daniel Pah, yang sering Jordan ceritain.”
“Lo
jahat juga Jo, bokap lo disuruh mesen, sedangkan lo malah ngobrol.” Daniel ini
ya kalau ngomong. “Silahkan om.” Lanjutnya.
“Hahaha,
jadi berasa muda lagi nih kalau ngumpul sama anak-anak muda gini. Jadi ini toh
Daniel, flavouristnya Saviour? Saya sering dengar sepak terjang anda dalam
mengcopy formula perusahaan lawan. Genius.”
“Walah,
jadi bukan karena cerita Jordan om? Jadi gede kepala nih.”
“Please
don’t. Karena saya enggak menyangka kalau kamu itu masih sangat muda. Untuk
menjadi flavourist biasanya harus punya pengalaman dulu sebagai technical itu
tahunan lho.”
“Bakat
kali ya om, may be. Because I love food.”
“Gak
keliatan dari badannya. You look great, diet?”
“Nope,
I ate everything om. Vegetable except. I do not like it.”
“Wah,
gak sehat dong gaya hidupnya? Tapi badan kamu bilang sebaliknya lho Dan.”
“My
boyfriend always force me to eat sayuran om. Menyebalkan, tapi ya sudahlah.”
Si
tampang om yang belom memperkenalkan diri atau diperkenalkan oleh si Jordan ini
mengeluarkan tampang oooo maklum sambil menatap gue.
“I
am not his boyfriend.” Kata gue tanpa pikir panjang sambil menunjuk ke Daniel.
Gue tahu sih Daniel udah coming out, tapi tetep aja ucapan entengnya ngomong
tentang boyfriend itu masih bikin kaget. I mean, reaksi orang kan bisa beda-beda.
Untung ini si om walau agak kaget tapi masih bisa terima. Gimana kalau ini om
adalah seorang homophobic? Daniel ini emang harus di training tentang mikir
dulu baru ngomong deh kayaknya.
Si
om geleng-geleng kepala, “Sorry, I thought. Well, nevermind. Oya, kantor kalian
dekat dari sini?”
“Yup,
cuman lima menitan pake mobil.”
“Kalau
om kebetulan baru tadi ada acara di kampusnya Jordan, kebetulan lewat sini,
makan sekalian deh.”
Dari
cara si Om –yang by the way, belum dikenalkan juga oleh Jordan- menatap Daniel,
seperti ada something. Well, bukan nafsu atau sejenisnya. Dilihat dari cara
ngomong aja, gue udah ngeh kalau Ayahnya Jordan ini pria baik-baik.
“You’re
remind me of someone.”
Daniel
mendongak, gue juga. Gak ngeh sih ini si om ngomong ke siapa? Gue? Gak mungkin.
Antara Jordan sama Daniel. Dan karna Jordan sama sekali kayak gak sadar,
berarti mungkin untuk Daniel.
“Me?”
Daniel bertanya ragu. Gue melanjutkan makan ayam goreng gue, walau tetap
menyimak dalam diam.
“Ya,
sama cinta pertama om.”
“Papa
gay?” Jordan iseng nyeletuk yang bikin gue batuk-batuk keselek. Daniel kayaknya
cuek aja.
Si
om ketawa ringan, well, mungkin ini om bisa masuk dalam salah satu daftar the
hottest gadun di Jakarta. “Bukan gitu Jo, wajahnya si Daniel ini mirip Sophia,
papa udah pernah cerita kan?”
Kali
ini Daniel terlihat tertarik. “Sophia Pradipta? She’s my mom.”
Ada
suasana akward yang mendadak tercipta. Selama ini Sophia selalu merahasiakan
identitas ayah Daniel. Well, belum tentu juga si om ini adalah ayah Daniel kan?
Kemungkinan itu sangatlah jarang, mendekati enggak mungkin. Namun, tetap ada
kemungkinan kan? Maksud gue, kalau Tuhan pengen mempertemukan Daniel dengan
ayahnya, siapa yang bisa menghalangi coba?
***
Uki
Bagus Walantaga
Aku
pulang ke apartment dan mendapati si ganteng sedang melamun. Di tangan kanannya
dia memegang apel yang baru digigit sedikit. Hari ini aku ada visiting ke salah
satu klien di Cikupa, jadi agak pulang telat. Berangkat sebelum makan siang,
jadi bisa dibilang aku seharian ini gak ketemu sama si ganteng.
Aku
melonggarkan dasiku, lalu melepasnya dan menaruhnya di sofa panjang tepat di
depan televisi, bersamaan dengan tas kerjaku yang ngomong-ngomong beratnya luar
biasa karena berisi botol-botol sample.
Pergi
ke dapur, mengambil air putih, bersama pisau lalu menyusul Daniel yang ternyata
masih melamun di balkon.
Aku
mengambil apel yang baru satu gigitan itu, memotongnya kecil lalu menyuapkannya
ke bibir Daniel. Daniel memakannya dan mengunyahnya asal.
“Hey,
how are you?” Aku mengelus pipi Daniel pelan.
Daniel
menatap mataku, sebelum akhirnya merebahkan kepalanya di pundakku. “I’m good.”
Tanganku
memeluk tubuh Daniel yang sudah menempel ke tubuhku. Mencium aroma khas Daniel
sehabis mandi ini laksana aroma terapi. Penghilang capek. “Are you, oke?” Tanyaku
sekali lagi.
Daniel
hanya menjawab dengan anggukan. I know, that he isn’t oke.
“Udah
makan? Wanna grab something?”
Kali
ini Daniel menggeleng.
“Gelengan
itu buat jawaban udah makan atau grab something?”
“Both.”
Kali
ini aku yang menggelengkan kepalaku. Si ganteng antara marah padaku, atau
manjanya kumat atau dia ada masalah yang tidak ada sangkut pautnya denganku.
Well, aku sama sekali tidak bisa menebak yang mana. I mean, pagi tadi kita
masih baik-baik saja kok.
“Ya
udah, aku teraweh dulu ya?” Mungkin ada baiknya aku biarkan si ganteng untuk
sendirian dulu.
Si
ganteng mengangguk. Well, mungkin dia sariawan. Aku meletakkan apel yang sudah
aku potong kecil-kecil kedalam piring kecil.
“Apelnya
diabisin ya Dan,” Kataku sembari meninggalkan Daniel larut dalam pikirannya.
***
Di
Masjid aku masih kepikiran. Beneran deh, gak biasanya kan si bawel itu diam?
Selepas teraweh aku memutuskan pulang sebentar, sekedar melepas kangen untuk
Fadil dan Kemal. Melajukan mobilku dengan batas wajar. Ada rasa ragu, maju mundur,
saat sudah berada di depan rumah. Mau turun atau mending balik saja? Jujur saja
aku juga merindukan Mama walau Fadil dan Kemal lebih memenuhi prioritasku
sekarang.
Aku
sering menjemput mereka sepulang dari sekolah kok. Atau kadang weekend main
bareng di time zone.
Aku
melihat ruang tengah yang masih terang, menandakan mereka belum tidur. Aku
menghembuskan nafas perlahan sebelum akhirnya turun dari mobil. Rasa deg-degan
itu masih ada, semakin kencang dengan seiringnya aku semakin mendekati pintu
depan.
“Assalamu’alaikum.
. .” Rasanya sudah lama sekali aku tidak mengucapkan salam ini.
Fadil
yang pertama berlari ke pintu depan. Memelukku erat dan minta digendong, “Mah,
Pah, ini Bang Uki pulang.”
“Lho
Ki, enggak bilang-bilang mau pulang?” Papa bertanya sewaktu aku tiba di ruang
tengah. “Udah makan kamu?” Sambung beliau.
Sepertinya
aku belum makan besar. Hanya sempat makan gorengan saja tadi. Aku menggeleng
lemah.
“Ya
udah makan dulu sana, Mamamu kebetulan masak makanan favorit kamu. Kangen kamu
tadi dia bilang.” Aku tersenyum ke arah Papa sebelum melempar tatapanku ke arah
Mama yang sedari tadi masih diam. Sepertinya memang masih marah padaku.
“Kemal
dimana Ma?” Tanyaku, sekedar basa-basi. Aku tahu adikku yang satu itu jarang di
rumah. Yang nginap di rumah temannya lah, ada kegiatan sekolah lah.
Hening.
Tidak ada jawaban.
“Bang,
kok Abang enggak ngajak Bang Daniel? Fadil kan kangen sama Bang Daniel!” Fadil
berkata sambil menelusupkan kepalanya ke leherku.
“Bang
Danielnya lagi sibuk Dil.”
“Dil,
kamu turun dulu. Biar abangmu itu makan dulu.” Aku hampir tidak percaya dengan
pendengaranku sendiri. Tadi itu benar Mama yang ngomong kan?
Fadil
dengan menggerutu turun dari gendonganku, “Mama ih, gak asik!” Katanya sambil
ikut bergabung dengan Papa menonton televisi lagi.
“Jam
segini kok belum makan? Kamu puasa kan? Maag kamu ntar kambuh lho. Suka susah
kamu makannya memang dari dulu.” Aku tersenyum. Apakah Mama sudah berubah?
“Tadi
udah makan gorengan kok Ma,”
“Tetep
aja enggak sehat itu. Udah makan dulu!”
Jujur,
aku hari ini makan malam sambil nahan tangis. Rasanya aku kangen sekali dengan
suasana seperti ini. Sepertinya air mataku ingin berlomba-lomba keluar. Dan aku
menahannya mati-matian. Aku tidak ingin terlihat cengeng.
Aku
membawa piring dan sendok kotor bekas makanku barusan ke wastafel di dapur.
Disana, aku melihat Mamaku yang sedang memasak sesuatu. Atau mungkin menyiapkan
makan untuk sahur besok. Jadi besok tinggal dipanasi saja. Aku mencuci piring
dan sendokku dalam diam. Bukan apa-apa juga, namun lebih karena aku tidak tahu
harus memulai mengobrol darimana.
“Gimana
dengan Daniel, Ki?”
Aku
tergagap sebentar, “Daniel baik-baik aja Ma.”
“Kamu
sering-sering dong pulangnya. Biar ini rumah enggak terlalu sepi.”
Lagi-lagi
aku tersenyum gagu, “Iya Mah.”
***
Hatiku
masih diliputi kegembiraan ketika aku pulang ke apartment. Seenggaknya, ada
kemungkinan bahwa mama akan berubah. Well, aku masih belum yakin juga.
Masalahnya, kadang Mama suka unpredictable. Jangan-jangan beliau menyimpan
strategi jahat? Well, aku juga gak boleh securiga itu juga sih.
Namun
kebahagiaanku tidak bertahan lama ketika melihat posisi Daniel belum bergeming
dari posisi tadi aku meninggalkannya. Walaupun apel di atas piring kecil sudah
habis. Rasanya hatiku jadi ikut pilu juga. Aku belum pernah melihat Daniel
seperti ini sebelumnya.
Aku
meletakkan makanan yang tadi mama bungkuskan untukku. Untuk sahur katanya.
Berjalan
mendekati Daniel lalu memeluknya, tanpa berkata apa-apa. Daniel adalah type
orang yang keras kepala. Jadi, kalau dia tidak mau cerita, sekeras apapun usaha
yang aku lakukan, dia akan tetap menutup mulutnya rapat-rapat. Memeluknya,
menyadarkannya bahwa dia tidak sendirian, bahwa dia mempunyai aku disini. Itu
yang bisa aku lakukan sekarang.
“Ki.
. .”
Aku
merebahkan kepala Daniel ke dalam leherku, “Hmmm?”
“Kalau
aku tanya-tanya ke Mama, tentang Papa, walau aku tahu itu akan membuat Mama
sedih, aku durhaka enggak?”
Aku
memeluk si ganteng makin erat. Enggak tahu harus menjawab dengan bagaimana.
“Aku,
kayaknya tahu siapa Papaku Ki.” Daniel semakin merapatkan tubuhnya, “Tapi aku
gak yakin.”
Aku
merasakan kulit leherku basah. Daniel, menangis?
“Rasa-rasanya
aku dulu sering iri ketika teman-temanku dijemput ayah mereka. Bisa main
permainan laki-laki bersama ayah mereka. I knew my Mom were great. She’s
amazing. But today, I just . . .”
Kamu
adalah pemain basket yang luar biasa, ingin sekali aku membisikkan kata-kata
itu ke telinga si ganteng. Tapi bibirku kelu. Yang bisa aku lakukan hanyalah
memeluknya. Aku merasa di posisi sebagai pacar yang sama sekali tidak berguna
sekarang. Merasa bodoh. Tidak bisa memberi kata-kata yang membuat si ganteng
semangat. Aku malah . . .
“Ki?”
Daniel mendongakkan kepalanya. “Kok kamu nangis?”
“Karena
lihat kamu kayak gini, dan aku gak bisa apa-apa buat bisa bikin kamu
mendingan.”
Daniel
merekahkan bibirnya, memamerkan sederatan gigi putihnya, tersenyum menatapku.
“You are the most sensitive guy that I’ve ever dated.”
“Is
that good?” Tanyaku ragu.
“I
love you, thanks for being my boyfriend. Aku sayang kamu.” Jawaban Daniel sama
sekali tidak menjawab pertanyaanku, walaupun melambungkan egoku tinggi.
This,
the most beautifull creature on earth is my boyfriend.
Bersambung
. . .
Sorry,
that aku agak lama updatenya. Kerjaan kantor yang well, gak sibuk-sibuk amat.
Namun ide-ideku yang mendadak mampet. Oke, mungkin kalau kalian bisa
merekomendasikan novel lucu atau bacaan romantis ringan untuk memancing ideku?
Boleh tinggalkan di komen, atau well, kalau kalian punya kontakku bisa langsung
chat. Thanks untuk tetap setia menunggu update tan cerita dariku.
Jakarta, 25 Oktober 2015 dan tengah bosan dengan
rutinitas sehari-hari.
Ardhinansa Adiatama