Peringatan
keras!!
Cerita
ini penuh dengan adegan fulgar dan seks juga pertumpahan darah. Cieileh!! Jadi
kalo engga suka dengan tema seperti ini harap jangan dibaca. Thanks!
***
Uki
Bagus Walantaga
Aku
menuju balkon apartment sambil menjinjing sebotol air mineral. Gak keren, huh?
Seharusnya aku membawa sebotol Jack Daniel atau whiskie atau apalah. Tapi, aku
bukan peminum. Seperti menegaskan lagi bahwa duniaku dan dunia Daniel begitu
jauh berbeda. Sangat berbeda.
Aku
mendengar suara langkah kaki. Aku tahu itu milik Daniel, dia menyusulku.
Dia
duduk disampingku, dengan kakinya diselonjorkan keluar dari pagar besi.
Kemudian menyerahkan handphonenya.
“Aku
rekam tadi percakapanku sama Rasjid di telepon, kalau kamu pengen denger.” Aku
menoleh, menatap wajah Daniel. Matanya sayu, bibirnya merah bengkak.
“Ki,
kamu kenapa? Kalau ada apa-apa cerita dong.”
Aku
menghembuskan nafas. Lalu terdiam lama, “Dibandingin Pak Bimo dan Rasjid, aku
gak ada apa-apanya.”
Kening
Daniel berkerut.
“Kamu
emang pernah ketemu sama Rasjid?”
“Once.”
Daniel
berdiri, memelukku dari belakang. Dan hanya diam. Tidak biasanya Daniel diam.
“Beberapa
hari lagi kamu puasa.” Daniel bergumam lirih.
Aku
membalikkan tubuhku, menatap Daniel bingung. Apa hubungannya puasa dengan apa
yang baru saja terjadi? Enggak ada sangkut pautnya sama sekali, serius!
“Terus
kenapa Dan?”
“Kita
enggak bakal bisa peluk-pelukkan kayak gini lagi. Well, gak bakal cukup
sering.”
Aku
terbahak, “Pelukkan sesama lelaki gak bakalan membatalkan puasa kok sayang.” I
just, well, kemana tadi galauku karena Rasjid? Daniel memang pintar mengganti
topik. Appreciate it.
“Aku
gak yakin penismu yang nakal itu akan berkata sama, Ki.”
Aku
kembali terbahak.
Lalu
termangu sebentar. Rasjid dan Daniel berpacaran cukup lama. Apa Rasjid pernah
menjalani puasa bareng Daniel?
“Dulu,
pas sama Rasjid gimana? Pas kalian pacaran? Di bulan puasa? Rasjid puasa kan?”
Daniel
terlihat berpikir sebentar, “Seingetku Rasjid
cuman puasa dua hari awal dan dua hari akhir. Aku yakin kamu beda dengan
Rasjid, pasti bakal full kan?”
“Insa
Allah. Eh, kata Evan, bukannya Rasjid itu anaknya alim?”
Daniel
menatapku cukup lama, yang membuatku sedikit jengah. “Kutu buku, bukan alim Ki.
Itu dua kata tidak bersinonim ya. Tapi surprised juga, kami gali-gali info
tentang Rasjid ke Evan.”
“Gak
boleh?”
“Boleh,
hak kamu kok. Aku kedalam ya Ki, ngantuk! Sebenarnya aku ngerti kamu mau
menyendiri, tapi aku cuman mau bilang, kamu pacarku, kamu berhak kok
ngelarang-ngelarang aku. Asal gak berlebihan.”
“Aku
gak yakin laranganku bakal kamu patuhi juga ntar.” Aku menyunggingkan senyum.
“Just
try.” Daniel mengedipkan sebelah matanya. Aku menepuk pantat montoknya sebelum
gantengku itu masuk kembali ke apartment.
Aku
merenunginya sekali lagi. Buat apa aku membandingkan diriku dengan Pak Bimo
atau pun dengan Rasjid? Aku memang tak setampan mereka, tak segagah mereka.
Tapi pasti ada sesuatu dalam diriku yang tidak mereka punya, ya kan? Well, aku
juga gak bisa melihat bagian itu. Tapi Daniel pasti bisa, buktinya dia
memacariku.
Aku
menutup pintu kaca yang membatasi balkon dan ruangan dalam apartment, kemudian
berjalan menuju kamar. Daniel berbaring dengan mata terpejam.
“I
love you.” Bisikku pelan.
“Uuueeem.”
Daniel menggumam tidak jelas dan tetap terlelap.
***
Joshua
Daniel Pradipta
Aku
berjalan di depan, dengan Uki mengikutiku membawa trolli belanjaan yang hampir
penuh. Isinya? Ada sayur, daging, coklat, telur, macam-macam dah. Besok pagi,
akan menjadi sahur pertamanya Uki. Berlebihan belanjanya? Itu hanya untuk stok
kok. Coklat? Itu untukku, jangan ditanya lagi.
“Mau
nyari apalagi Dan?”
Aku
menoleh ke belakang, “Ovalet sama cream of tartar. Pengen bikin black forest.”
“Buat
siapa? Emang ada moment spesial hari ini?”
Aku
menggeleng.
Jadi,
tadi sehabis pulang kerja, aku dan Uki langsung mampir ke Diamond. Selain
belanja buat kebutuhan sehari-hari juga kebutuhan nanti untuk sahur. Hahaha,
seakan-akan aku bakal ikutan sahur aja. But, well aku bakal berusaha nemenin
Uki sahur sesering aku bisa.
“Buat
dimakan aja lah Yank.” Mbak-mbak pramuniaga yang kebetulan berada di dekat kami
langsung menoleh ke arah kami berdua dan tersenyum gak jelas. Mungkin dia
funjoshi. Eh, bener kagak ini namanya? Atau fundoshi ya? Eh jangan-jangan
fondasi? Haha. Never mind!
“Ntar
buat sahur pertama kamu Yank, aku yang masak deh.”
Uki
melirikku, namun tidak berkata apa-apa. Sudah berbulan-bulan tinggal bersama
sepertinya membuatnya cukup untuk tidak berharap lebih. ‘bangun aja susah,
apalagi mau masak?’ mungkin itu yang berada di dalam pikiran Uki. Kita semua
tahu, Uki itu paling jago memendam sesuatu.
“Lho
Daniel? Tumben ini belanjanya malem?” Guess who? Titris. Dan Bimo dan Damian.
Happy familly. Well, mine too. Pikir kalian dengan menjadi gay, menikah dengan
sesama pria, kalian bakalan enggak bahagia? Terserah dengan pendapat kalian,
yang jelas aku bahagia. Bagaimana dengan anak, untuk yang itu, suatu saat aku
juga akan memiliknya. Teknologi sudah canggih, kita tidak lagi hidup di jaman
batu. Ya kan?
Oke,
aku akui, memang Uki belum menikahiku. Ini hanya soal waktu, calm down, bitch!
“Wah
Mbak, haha, iya nih kebetulan sekalian pulang kantor. Buat persiapan sahur juga
ntar.”
Titris
menampilkan wajah bingung, “Lho kamu ikut puasa, sekarang?”
“Enggak
mbak, my boyfreind do.” Titris melihat Uki dan tersenyum. Terserah ya dia mengartikan
boyfriend itu sebagai teman atau pacar. Her choice.
“Uncle
Daniel udah lama gak main ke rumah Damian.”
Aku
mencubit hidung Damian yang terlihat sangat nyaman dalam gendongan ayahnya.
“Ntar kapan-kapan ya?”
“Promise?”
Damian mengulurkan jari kelingkingnya. Mengajakku untuk berjanji kelingking.
Aku
tersenyum, “Promise.”
“Kalau
gitu aku duluan ya Dan, udah selesai ini.”
“Iya
mbak.”
“Yok
Dan, Ki” Bimo menatapku lama sambil menepuk bahuku. Dan mengangguk pada Uki.
“Pak
Bimo masih cinta kamu. Aku bisa lihat dari cara dia natap kamu setiap hari di
kantor. Barusan juga.”
Aku
mengedikkan bahuku, “Mau dibahas sekarang?”
Uki
hanya menghembuskan nafasnya secara perlahan, kemudian menggeleng.
***
“Aku
enggak tahu ya motif kamu masak hanya dengan kain yang bahkan enggak sukses
buat nutupin pantat kamu itu.” Aku berbalik dan tersenyum pada Uki yang baru
saja beres mandi. Jangan tanya padaku kenapa dia harus mandi dulu sebelum
sahur. You know? We just did a little bit sin. Oh, the big one, I am forgot.
“Apa
emang karena di dapur panas, atau kamu sengaja biar aku enggak ikut puasa
pertama hari ini?”
Aku
menggeram pelan, sebelum akhirnya mengambil boxer dan memakainya. “Puas?”
Uki
tersenyum lalu memelukku. “Jadi aku sahur apa hari ini?”
“Roti
panggang isi daging sapi, plus telur mata sapi. Eum, aku bikin jus jeruk juga.
Dan ada susu. Well, baiknya kamu makan buah dulu.”
“Gak
kebayakkan tuh?”
“Aku
udah itung semua kalorinya, dan enggak, kamu gak bakalan ngerasa kekenyangan.
Trust me, karena aku anak tekhnologi pangan, oke?”
Kerutan
di dahi Uki terlihat makin dalam. Kurang ajar! Dia gak percaya dengan kemampuan
pacarnya menghitung kalori? Eh, tapi aku juga asal sebut sih. Lagian, kalau aku
yang makan segitu, itu belum kenyang. Itu sudah aku sesuaikan dengan kebutuhan
tubuh Uki yang hanya 165cm an itu.
“Teknologi
pangan bukannya beda sama gizi ya?”
“Kita
mau berdebat, atau kamu mau sahur?”
Uki
tersenyum lebar, mencium pipiku sebentar lalu mulai menyantap menu sahurnya.
Oke, janjiku adalah menemaninya sahur sebanyak yang aku bisa kan? Bukan ikutan
makan? Eh, atau ikutan makan ya? Aku lupa dengan janjiku sendiri!
“Kamu
gak ikutan makan?”
Aku
menggeleng sebagai bentuk jawabanku.
“Kenapa?”
Uki menghentikan aktifitas makannya sebentar, kemudian menatapku. Aku
menyukainya. Aku suka ketika Uki fokus denganku saat dia tengah bertanya
padaku.
“Gak
lapar. Lagian ntar pagi aku juga sarapan.” Aku bangkit berdiri. “Ki, aku
beneran mau nemenin kamu makan tapi aku bener-bener ngantuk. Aku boleh tidur
lagi gak sekarang?”
“Go
ahead, my lovely sleepy head.” Uki berkata sambil menoel pantatku.
“Puasa!”
“Not
yet. Hahaha.”
***
Evan
Sutedjo
“Menurut
gue, puasa itu sekarang udah jadi kayak ritual tiap tahun.” Daniel dan Maya
sama sekali tidak mengindahkan omongan gue sama sekali. Mereka berdua masih
sama-sama mengagumi detil-detil otot yang ditampilkan oleh –well, gue gak tahu
nama aktornya-, but di film ini tuh aktor hampir jarang banget pakai baju.
“Emang
ritual tiap tahun kan? Lagian kayak lo ikutan aja.” Suara Maya. Setelah lima
menit mereka diam tidak menjawab pertanyaan gue.
“Bukan
gitu, hanya saja dulu pas gue masih kecil, puasa itu lebih ke sesuatu yang
well, lebih spiritual. Apa ya bahasanya, khidmatnya tuh dapet. Sekarang? Ya
mereka puasa, tapi ya itu, cuman puasa, sekedar you know, menjalankan
kewajiban, bukan karena mereka love to do it.”
“Boo,
lo kenapa sih? Reno bukannya enggak puasa juga ya? Why you so busy talking
about something that you never inside it?” Daniel berbicara sambil menatap gue
tajam. Well, dia emang bukan tipe yang mau berpikir rumit. Dia suka, dia
lakukan. Dia benci, dia jauhi. He’s so simple. As that.
Tapi
bener juga sih, gue kan emang belum pernah puasa. I am should not judging.
“Ini
film apa sih?” Gue akhirnya nyerah dan bergabung dengan mereka duduk diatas
sofa dan mengamati sang aktor yang sekarang tengah menampilkan titit tembemnya
secara frontal.
Maya
mengibas-kibasan tangannya, “Film gak jelas. Dari Prancis. Eh, Dan, kemarin gue
gak sengaja ketemu Hendri.”
“Trus?”
Daniel menjawab tanpa menolehkan kepalanya.
Shit,
film apa yang mengijinkan aktornya masturbasi tanpa sensor seperti ini?
“Dia
nanyain elo tuh. Kayaknya masih ngarep ya? Udah berbulan-bulan juga kan lo gak
kontakan sama dia?” Maya berkata sambil mengambil remote. “Serius ya, kita
ganti aja nontonnya. Lama-lama gue bisa becek sendiri nih!”
Gue
dan Daniel langsung ngakak barengan. Padahal, dia sendiri yang ngebet pengen
nonton ini film tadi. Katanya dapet dari OB di kantornya. Dasar geblek! Mungkin
itu koleksi bokep kali ya? Tapi ada ceritanya.
Maya
mengambil kantong kresek dan mengeluarkan seluruh isinya. Dia memperlihatkan
beberapa cover CD yang well, isinya sangat amat tidak menjanjikan.
“Tuh,
yang Asian aja. Kayaknya Thailand kalo gak Filiphina deh.” Daniel menunjuk
salah satu cover yang dipegang tangan kiri Maya. Gambar covernya? Dua cowok
hanya memakai sempak putih.
Maya
melihat CDnya dengan detil, sebelum akhirnya memasukkannya ke DVD player.
“Well, gak ada yang doyan vagina juga diantara kita bertiga. That’s why I love
watching bokep sama kalian berdua.”
Gue
dan Daniel langsung memutar kepala secara barengan.
“Trus
gimana Dan?” Maya bertanya lagi.
Kali
ini Daniel menoleh ke arah Maya, “Gimana apanya May?”
“Hendri,
sama elo. Gimana?” Maya menatap lurus kearah layar tv, “Ih, gue heran ya kenapa
kalau Thai sama Jepang biasanya jemberewinya kemana-mana. Geli gak sih?”
“Hahaha,
emang punyanya Banyu, jemberewinya gak kemana-mana?” Gue nanya iseng.
Maya
mendelik kearah gue, “Gue selalu memastikan jembrewi laki gue, agar terlihat
rapi dan enak dilihat oleh gue.” Maya mengalihkan pandangannya ke Daniel,
“Gimana Dan? Jangan pura-pura gak tahu lagi ya apa yang gue tanyain ke elo
tadi.”
“Ya
gak gimana-gimana May. Kalau gue ngarep sebuah hubungan sama dia, gue pasti
bakal jawablah semua sms, BBM, Line yang rajin banget dia kirim tiap pagi.
Malesin! Gue mau fokus ngurus laki gue nih!”
“Cuman
mau ngingetin aja Dan, sifat Hendri itu agak sedikit dangerous. Dia kaga bakal
nyerah, selama apa yang dia mau belum dia dapetin. Rumornya sih gitu, that’s
why, dia sukses. He’s arrogant and know exactly what he wants.”
Daniel
mencium puncak kepala Maya, “Thanks sister.”
“Kalian
berdua ini kan emang adek-adek gue yang wajib dan mesti gue jaga.”
Daniel
melirik gue dan membuat senyum sinis. Well, gue tahu Daniel sayang sama Maya,
sebesar gue sayang sama dia. Begitu pun sebaliknya. Persamaan diantara kita
bertiga, sama-sama anak tunggal.
***
Uki
Bagus Walantaga
Godaan
puasa hari kesembilan. Harus ke customer bareng Pak Bimo. Well, ada Pak Jaswoyo
juga sih, sopir kantor. Tapi tetap saja, Pak Jaswoyo fokus di jalan. Lha aku?
Masak mau diem-dieman saja sepanjang perjalanan?
“Ki,
gimana sama Coca Cola? Saya denger project kita gak goal ya?” Thanks Bimo bahas
topik kerjaan, instead ‘Kamu sama Daniel gimana?’ mati aku kalau sampai dia
nanyain itu.
“Iya
Pak, belum sepenuhnya cancel. Tapi mereka menginginkan sesuatu yang agak
berbeda. Fruitty soda.”
“Daniel
gak bisa bikin?”
Sebenarnya
wajar bawa-bawa nama Daniel. Dia technicalnya. Tapi kok, aku merasa Bimo
sengaja nyerempet-nyerempet ya?
“Ini
colournya Pak. Bukan aplikasi sweet.” Apa aku terlihat membela Daniel? Enggak
ah. karena faktanya memang begitu. Daniel sudah lepas tangan dari divisi colour
beberapa bulan yang lalu. Dia sekarang fokus dengan sweet dan savory.
Bimo
mengambil nafas dalam. “Pak Hans kan masih technical baru. Kamu harus bantu dia
juga Ki, Daniel juga.”
Sabar.
Sabar. Sabar.
Aku
paling tidak tahan jika ada yang menyalahkan Daniel, even itu memang salahnya.
Iya, sebuta itu cintaku buat Daniel. Tapi disini, aku tidak melihat pointnya
Pak Bimo menyudutkan Daniel.
“Bukannya
Pak Hans sebelumnya berpengalaman di Firmoney? Secara usia juga bukannya Pak
Hans lebih senior dari Daniel?” Okay, aku hanya mengucapkan kalimat itu dalam
hati. Iya, aku memang sepengecut itu. Daftar perbedaanku dengan Daniel agaknya
bertambah lagi.
“Iya
Pak.” Akhirnya hanya itu yang keluar dari bibirku.
Pak
Bimo menolehkan kepalanya, menatapku. “So, how are things with Daniel?”
Weleh,
si Bimo ini sekarang udah gak basa-basi. Langsung nanya. Tapi ya, dia patut
membenciku. Aku ngerebut pacarnya. Aku memang merebut Daniel, aku tidak akan
menyangkalnya. Aku mulai mendekati Daniel disaat mereka berdua masih bersama.
Aku orang ketiganya. Aku setannya.
“Just
answer in English, so the driver won’t know.” Tambahnya.
“Everything’s
fine, Pak.” Jawabku. Dan, kalau Bapak ngasih THR dua kali lipat lebaran besok,
pasti bakal lebih dari fine.
“It’ll
be serious one? Or you still hope end up with woman?”
“Well,
I have met Daniel’s mother, and he has met mine. But . . .” Aku langsung
menghentikan ucapanku. Jangan jadi malah curhat!
Pak
Bimo masih menatapku. Aku jadi tidak bisa menyalahkan Daniel kalau dia sempat
jatuh cinta pada Pak Bimo. Kegantengan dan kharismanya itu lho, bahaya!
“But,
what?”
“Nothing.”
Aku menjawab cepat. Aku tidak akan menceritakan ke Pak Bimo kalau ibuku masih
melarang keras hubunganku dengan Daniel.
Pak
Bimo mengambil nafas panjang, “Ki, I really feel happy for you both. But on the
other hand, I also feel a bit disappointed and angry about Daniel choice over
you instead me.”
“But
sometimes we just have to make choices, right, Pak?” Kataku.
“True,
I just hope you and Daniel made the best decision. Have you thought about your
future? Would you have babies with him? Holand is not too far if you want to
marry.”
“Not
just yet, Pak.”
“Really?
You are so organizing person. I thought you already done.” Aku hanya tersenyum.
Karena aku sendiri masih bingung.
***
Aku
mengabari Daniel bahwa aku tidak bisa berbuka di rumah. Ini sudah jam enam dan
aku baru balik dari customer. Belum lagi aku harus mengerjakan laporan tentang
seberapa potensial keuntungan yang akan kita dapat dari calon customer baru.
“Ki,
ini aku tadi beli kolak di depan. Kamu mau? Aku sengaja beli dua. Kamu belum
buka kan?”
“Oh,
makasih ya Hit. Udah sih tadi minum teh manis. Ini juga abis kelar sholat.”
Hita
tersenyum, “Lembur nih?”
“Kayaknya
bakalan iya. Mau enggak mau.”
“Aku
juga. Ada beberapa jadwal pengiriman yang belum aku report. Eh, aku sholat dulu
ya Ki.” Aku jawab dengan anggukan.
Aku
memperhatikan punggung Hita yang menjauh dan hilang dibalik pintu. Lalu
perkataan Bimo kembali terngiang. Wanna have babbies? Hita pasti akan menjadi
calon ibu yang hebat. Sholehah, pintar, dan sopan. Ya Tuhan, apa sih yang
tengah aku pikirkan? Buruan kerjain reportnya biar cepat pulang!
Aku
hampir selesai mengerjakan laporanku ketika aku mendengar pekikan pelan dari
meja sebrang, Hita.
“Kenapa
Hit?”
“Ini
Ki, komputerku error. Keyboardnya gak mau berfungsi.”
“Biarin
aja dulu. Terlalu heavy mungkin. Atau restart aja.”
“Aduh,
ntar datanya gak ke save dong? Masak harus mulai dari awal?” Ujarnya. Suaranya
perpaduan antara frustasi dan mau nangis.
Aku
melangkah menghampiri mejanya, “Sini aku lihat.”
Dan
tepat disaat posisi seperti itu, Hita duduk, aku setengah berdiri dibelakangnya.
Kalau dilihat sekilas seperti tengah memeluk dari belakang, pintu terbuka dan
munculah Daniel. Kalian tahu? Aku selalu membenci adegan didalam sinetron yang
selalu menampilkan slow motion. Tapi sekarang, aku merasakannya. Seakan-akan,
semua hal disekelilingku berjalan dengan lambat. Aku melihat rahang Daniel
mengeras sebentar. Lalu kemudian tersenyum lebar.
“Eh,
jadi yang lembur cuman berdua nih?” Suara Daniel wajar. Namun, aku bisa
merasakan sinis didalamnya.
“Iya.
Sama security dibawah Dan. Elo sendiri lembur juga?” Hita yang menjawab. Aku
masih syok.
Daniel
menggeleng, “Enggak. Tadi mampir Beard Papa trus mau ngambil sesuatu yang
ketinggalan di kantor.”
“Beard
Papanya buat aku?” Aku tidak sengaja nyeletuk. Kesalahan.
Daniel
menatapku, bibirnya tersenyum. “Gue balik dulu Ki. Ayo Hit, duluan.” Gue?
Daniel memakai ‘gue’ tadi?
“Iya
Dan, hati-hati di jalan ya.”
“Oke.”
Aku
masih terpaku. Aku ingin mengejar Daniel, namun sepertinya hanya akan
meninggalkan kecurigaan untuk Hita.
“Eh,
udah bisa lagi nih Ki, makasih ya.” Kali ini Hita benar-benar memelukku.
Mungkin karena dia saking senengnya atau apalah. Dan sialnya, Daniel masih
sempat melihatnya. Mampus aku!
***
Aku
membereskan pekerjaanku. Lalu agak sedikit ngebut. Untungnya, di bulan ramadhan
seperti ini, jalanan agak sepi kalau sudah sedikit larut malam. Memarkir mobil
dengan asal-asalan dan langsung naik ke atas. Sedikit mengutuk lift yang terasa
lama.
Hatiku
mencelos begitu masuk kedalam apartment. Tidak ada kehadiran Daniel disana.
Sepi. Aku berjalan masuk ke kamar. Berharap Daniel sudah terlelap disana. Namun
nihil. Daniel tidak pulang.
Aku
lebih berharap mendapat omelan Daniel daripada ditinggalkan seperti ini.
Rasanya perih.
Iphoneku
bergetar. Evan.
“Ki,
Daniel nginep tempat gue. Gue kasih tahu lo biar lo gak khawatir.”
“Oke,
gue kesana deh.”
“Mending
jangan. Lo tahu kan kalau Daniel maunya A ya A? Nah dia pengen nginep di tempat
gue, jadi biarin gitu aja. Lagi ada masalah?”
Aku
menghembuskan nafas perlahan, “Salah paham.”
“Ya
udah, gue masuk dulu. Takut Danielnya curiga. Bye.”
“Bye,
thanks ya Van.”
“Oke.”
Klik. Sambungan telepon dimatikan. Apa mungkin aku masih galau? Masih belum
tahu siapa yang benar-benar aku cintai? Karena jujur, saat dipeluk Hita tadi,
rasa-rasanya luar biasa.
Namun,
begitu aku masuk apartment dan menyadarri Daniel tidak berada disini, ada
sesuatu yang perih.
***
Evan
Sutedjo
Gue
sudah pernah bilang belum kalau gue iri sama bentuk tubuh Daniel yang selalu
hot, even dia makannya kayak orang gak makan dua hari? Sepuluh biji beard papa
ludes. Dan sekarang, mulutnya sedang mengunyah martabak manis. Buset kan? Tetep
saja six pack! Envy gue!
“Dan,
lo beneran mau nginep sini? Uki gimana besok sahurnya?”
“Dia
bisa masak kok.” Daniel menjawab acuh tak acuh, “Toh, biasanya memang dia yang masak
kan?”
Gue
putar otak. Sahur sendiri itu pasti enggak enak banget. Dan gue gak mau cowok
sebaik Uki, yang seharusnya bisa sahur bareng keluarganya malah sahur sendiri
karena keegoisan Daniel. Entah apa masalah diantara mereka berdua.
“Dan
lo gak mau cerita ke gue masalah lo sama Uki?”
“Kita
baik-baik aja Van. Jangan lebay deh.”
“Halah,
kalau baik-baik aja, gak mungkin lo nginep disini. Ada anak orang noh yang
mesti lo urusin.”
“Jadi
gue gak boleh nginep sini?”
Gue
nahan ketawa. Daniel ini kalau ngambeknya level menengah, ya kayak gini. Kayak
anak kecil. “Terserah lo deh Dan. Kayak gue baru kenal lo satu dua tahun aja.”
“Gue
lihat Uki sama Hita peluk-pelukkan, gila gak?”
“Trus?”
Gue menjawab sekenanya.
“Ya
gue bete. Gue udah bela-belain beliin beard papa buat dia ya! Eh, malah dia
indehoy di kantor sama Hita! Bikin males banget gak, menurut lo?”
Gue
melirik sepuluh biji beard papa yang sekarang sudah tidak menyisakan sisanya
sama sekali. Gue rasa, Uki juga belum makan itu beard papa. “Bukannya dihabisin
sama elo beard papanya?”
“Menurut
lo? Gue udah dibikin bete, trus gue masih gitu ngasih beard papanya ke dia?
Mulia banget gue.”
Jahat,
kok bangga. “Dan, Uki itu jauh dari keluarganya lho. Dia itu anak rumahan,
butuh sesuatu yang hangat. Dia bukan tipe orang yang bisa survive kalau hidup
sendirian. Gue sih liatnya gitu. Dan satu-satunya orang yang dia percayai buat
hangatin hati dia kan elo? Apalah arti Hita jika dibandingin dengan Daniel
Pradipta, ya kan? Gak ada apa-apanya lah Dan! Teteknya aja gedean punya lo!”
“Sialan
lo ya! Tetep aja punya dia meki, gue punya kenti. Beda! Udah ah, gue mau
molor.”
Gue
menghembuskan nafas perlahan. Susah memang membujuk anak kecil.
***
Uki
Bagus Walantaga
Hatiku
masih nelangsa sama seperti saat semalam aku pulang dan mendapati Daniel tidak
berada di rumah. Aku tidak bisa tidur. Untungnya hari ini hari Sabtu, jadi aku
tidak perlu repot-repot ke kantor. Aku pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka
dan menggosok gigi, sebelum sahur. Sendirian. Well, biasanya juga sendirian.
Karena Daniel akan masak, nemenin sebentar, habis itu dia tidur lagi. Namun
kali ini, tidak ada dia sama sekali. Nelangsa itu semakin terasa, menohok
keluar.
Mataku
langsung melek kedalam level maksimum ketika aku melihat ada ayam goreng, sop
daging, tempe goreng, nasi putih hangat. Makanan Indonesia. Siapa? Gak mungkin
Daniel kan? Dia gak bisa masak sop. Apalagi tempe goreng. Padahal itu lebih
simple ketimbang bikin steak.
“Aku
nyiapin sahur, bukan berarti kita udah baikan ya. Aku tetep masih marah.” Ucapan
Daniel mengagetkanku. Namun perasaan bahagia yang menerpaku hampir-hampir
membuatku ingin menitikkan air mata.
Aku
berbalik kemudian memeluknya erat. Memeluk gantengku ini, “Makasih sayang.”
Daniel
diam.
“Aku
cemburu. Rasanya gak enak, ngeliat kamu dipeluk begitu sama orang lain. Rasanya
ada yang sesak Ki.”
Aku
memeluknya makin erat. “Maafin aku Dan.” Aku terdiam sesaat, “Temenin sahur ya?
Menunya banyak banget.”
“Oke,
aku juga laper. Tapi bukan aku yang masak. Aku beli didepan kostnya Evan. Kata
Evan sih enak.” Sudah aku duga.
“Makasih
udah mencintaiku Daniel.”
Daniel
berbalik dan menatapku lama, “Imsaknya masih lama gak? Kalau misalnya, kita
main cepet lima belas menit trus kamu harus mandi, masih harus sahur juga,
keburu gak?”
Aku
sama sekali tidak suka mengubur dalam-dalam imajinasi Daniel, tapi waktunya
tidak akan cukup.
“Ya
udah deh, ciuman aja.” Kata Daniel sebelum akhirnya bibirnya melumatku.
Pelajaran
hari ini yang aku dapat adalah, cara orang mencintai seseorang itu
berbeda-beda. Ada yang mencintai dengan cara simple, seperti Daniel.
Menunjukkan dengan perkataan dan perbuatan. Dia dibesarkan dengan kasih sayang
full dan terungkap oleh Sophia. Dan begitulah cara dia mencintai seseorang
juga.
Ada
juga yang sepertiku. Malu-malu. Jarang bisa mengutarakan perasaan di depan
umum. Bukan malu, tapi karena tidak terbiasa. Aku tidak di didik untuk bilang I
love you segampang bilang aku mau makan. Namun, aku benar mencintai Daniel.
P.S.
jangan pernah memaksa seseorang untuk mencintaimu dengan cara yang sama seperti
kamu mencintainya. Setiap orang punya caranya sendiri. Lihat matanya, karena
mata adalah jendela hati, bukan? Dia akan menatapmu dengan cara berbeda dengan
orang lain. Kamu akan merasa istimewa hanya dengan ditatap olehnya. Kalau dia
benar-benar mencintaimu, tentu saja.
Bersambung
. . .