Aku
kembali memandangi pantulan diriku dalam cermin. Sempurna, menurutku. Aku
melihatnya lebih detail lagi. Aku mewarisi tinggi badan Mamaku, bahkan aku
lebih tinggi dari Mamaku. Dulu, awal aku pindah kesini tinggiku baru 172cm. Aku
yakin sekarang sudah lebih dari itu. Mungkin hampir 180, hampir. Tubuhku juga,
eehm seksi. Weird gak sih, kalau kita mulai terangsang melihat tubuh telanjang
kita sendiri di cermin?
Rambut
hitam yang agak ikal, kulit putih tanpa beset. Aku yakin aku bakalan jadi idola
baru jika masuk tv. Seraut wajah yang aku yakin 100 persen aku peroleh dari
Mama. Bukannya Papaku jelek, aku juga akan bersyukur jika yang kuwarisi adalah
wajah Papaku.
Latihan
karate yang cukup berat juga membuat tubuhku mau tidak mau mulai memunculkan
otot-otot, walau belum sempurna, aku yakin aku masih bisa masuk dalam kategori,
“salah satu cowok idaman untuk dijadikan pacar”. Oh Tuhan, aku mulai menggila!!
Dan, aku
melirik ke bawah perutku yang mulai menampilkan 6 garis samar-samar, lalu turun
lagi hingga menemukan rambut yang mulai tumbuh rapi di selakanganku. My dick is
not bad. Tidak terlalu besar atau panjang memang, namun penisku normal. Tidak
memalukan jika tanpa sengaja terlihat. Penisku normal. Ukuran, fungsi dan
bentuknya simetris.
Oh, aku
beneran gila sekarang!!
Sebelum
pikiranku semakin kacau dan aku tidak bisa menahan keinginan tanganku untuk
mulai bermain-main dengan batang kejantananku, aku mulai berpakaian. Cukup
cepat supaya aku bisa mengabaikan perasaan aneh yang mulai menjalari naluriku.
Aku butuh pelampiasan, dan kali ini aku yang jadi top. Sebelum keluar ruangan,
sekali lagi aku memperhatikan bayanganku di pantulan cermin. Jass yang dibuat
oleh Revan benar-benar keren.
Aku
keluar kamar dan mendapati Mama, Papa, Paman Prie, Lek Tien dan juga Eyang
sudah siap. Aku tersenyum sedikit, acara peresmian gedung baru ini agaknya
memang cukup resmi. Jika dilihat dari penampilan anggota keluargaku tentu saja.
Kita berangkat dengan tiga mobil. Papa, Mama dengan Eyang sedangkan Lek Tien
bersama Paman Prie. Aku? Aku bersama pacarku, Galih. Setidaknya dia yang akan
mengantarku. Sebenarnya aku disuruh bareng Eyang, Mama dan Papa, tapi aku
mengelak dengan seribu satu alasan.
“Adek
ganteng. Wibawanya keliatan.” Aku melirik Galih sekilas dan menyadari bahwa
Galih pun berpakaian rapi. Aku menimang-nimang sebentar, masih ada waktu tidak
jika aku menuntaskan hasratku dulu?
“Mas,
tepiin mobilnya sebentar.”
“Buat apa
Dek?”
“Seno
pengen nusuk Mas.” Galih sedikit tercengang sebelum akhirnya paham. Dan yah,
beruntungnya aku yang mempunyai pacar pengertian sepertinya. Maksutku, kalaupun
dia menolak juga aku tidak akan marah. Tapi?
“Oke,
tumben pengen nusuk? Cepet aja ya Dek, Mas takut waktunya gak keburu.” Aku
mengangguk cepat sambil tanganku melepas celana Galih hingga pantat putihnya
terpampang jelas di depanku.
***
Aku
datang tepat waktu. Sebenarnya terlambat jika mengacu pada waktu yang
ditentukan oleh undangan, namun aku sebut tepat waktu karena acara belum
dimulai. Jadi, yah sepertinya budaya mengaret tidak hanya ada di kota-kota
besar saja. Aku beruntung hidup di Indonesia.
Aku
dipandu oleh adik kelas ke tempat duduk paling depan, bergabung bersama
keluargaku. Aku memandang berkeliling dan menemukan fakta bahwa keluargaku
memang diperlakukan berbeda, dari kursi hingga snack yang dihidangkan. Sekali
lagi aku beruntung lahir di keluarga yang cukup dan terhormat. Setidaknya, aku
benar-benar sangat beruntung. Hendra agaknya cukup benar, aku tidak perlu
merengek-rengek untuk sekedar membeli mobil. Sedangkan diluar sana? Sudahlah.
Seperti
yang kalian ketahui, acara resmi seperti ini cukup membosankan.
Sambutan-sambutan yang entah apa isinya karena jelas aku sama sekali tidak
mendengarkan. Bahkan saat Eyangku sendiri yang memberi kata sambutan, aku malah
sibuk memikirkan cara agar aku bisa menyembunyikan kantukku yang sudah sangat
akut. Intensitas menguapku semakin intens.
Dilanjutkan
dengan tari daerah, yang ditampilkan oleh anak-anak kelas satu. Untuk yang ini
aku sedikit melek. Aku menyipitkan mataku, ketika pandanganku bertumpu pada
salah satu penari. Aku ingat, anak itu pernah memberiku surat cinta. Siapa
namanya? Ah, aku bahkan tidak mengingatnya. Dia semakin terlihat manis.
Beberapa kali dia mencuri-curi lihat kearahku. Aku tahu dia menyukaiku.
Sebenarnya, insting saja. Habisnya, dia tidak henti-hentinya melirik ke arahku.
Acara
kemudian dilanjutkan dengan pemotongan pita lalu makan-makan. Aku lapar,
hahaha. Jujur saja, selain mengantuk aku juga lapar. Sepanjang acara makan aku
berusaha menghindari Hendra. Tidak cukup sulit karena dia juga cukup sibuk
sebagai panitia. Aku mengambil dua piring, mengambil ayam bakar, masing-masing
satu lalu kepiting asap kemudian beberapa tempura. Orang akan mengatai aku rakus karena
pada dasarnya piringnya cukup besar, apa peduliku? Mereka tidak akan berani
membicarakanku terang-terangan. Itu tabu, karena aku Seno Prawiro.
Aku
menuju parkiran, menuju mobilku lalu mengetuk kaca jendelanya pelan. Galih
tersenyum lalu keluar dari mobil, aku memberikan satu piringku kepadanya.
“Mas
pasti laper.” Galih meringis sebelum akhirnya memakan ayam bakarnya.
“Ngantuk
juga Dek.” Aku bersender pada mobil sambil menikmati malam cerah ini. Bulan dan
bintang tampak begitu dekat, hal yang tidak mungkin aku lihat di Jakarta.
“Mas,
kayaknya didalem ada tissu basah kan?” Aku bertanya begitu aku sudah melibas
habis makanan yang ada di atas piringku. Tanpa bertanya Galih masuk mobil lagi
sebelum akhirnya keluar dengan tissu basah di tangannya.
Dia
mengambil satu lalu meraih tanganku, menjilati sisa-sisa makanan yang tadi
masih menempel disana, setelah yakin bersih Galih melap tanganku dengan tissu
basah hingga benar-benar bersih. Kemudian dia mulai membersihkan bibirku,
dengan tissu basah, bukan dengan menjilatinya maksutku.
Jujur aku
tercengang, mungkin terkesan jorok. Tapi bagiku ini eksotis. Bahkan mulai
menimbulkan sensasi aneh di pikiranku. Jilatannya tadi benar-benar
merangsangku. Ooh, akhir-akhir ini aku memang mudah terangsang. Aku juga tidak
tahu alasannya.
“Kita
pulang Mas,”
“Acaranya
kan belum selesai Dek?” Aku melirik ke aula yang masih terang karena cahaya
lampu dan juga ramai karena orang masih sibuk bercengkrama satu dengan yang
lain.
“Fuck
them! And I wanna fuck you again.” Untungnya Galih mengerti apa yang aku
ucapkan.
“Tapi
nanti gantian ya?” Galih bertanya sebelum akhirnya melajukan mobil ke arah
rumah.
***
Aku
melihat mobil itu pergi dengan agak ngebut. Seno sepertinya benar-benar sudah
melupakanku. Aktingku yang seolah-olah hilang ingatan sepertinya manjur untuk
membuat Seno menjauh dan menyerah. Ini demi kebaikkan bersama. Aku dan Seno,
kami tidak akan pernah bersatu. Bahkan jika aku perempuan sekalipun. Dia
seorang priyayi dan aku orang biasa.
Lagipula,
aku dan Seno tidak cocok. Gara-gara aku, dia terlibat dengan Taufik. Seandainya
Seno tidak pernah tahu bahwa aku diancam Taufik kala itu, maka Taufik pun akan
tetap menjadi kakak yang baik untuk Seno.
Aku
menarik nafas dalam-dalam. Perasaan mendamba itu begitu kuat, aku ingin
memeluknya. Menciumi sekujur tubuhnya, kulitnya yang khas.
Melihat
dia tertawa karena kekonyolanku. Kapan hal itu akan terjadi lagi? Kapan? Aku
selalu mengingatkan diriku sendiri bahwa Seno bukanlah milikku, sebesar apapun
aku menginginkannya, sebesar apapun cinta kami. Dulu.
Karena
sekarang, tampaknya yang masih menyimpan cinta itu hanya aku. Seno sudah
mendapatkan gantiku. Tapi semudah itukah?
Aku
menggeram sambil merutukki diriku sendiri, apa yang aku harapkan? Aku
berpura-pura tidak mengenalnya, bersikap seolah-olah tidak ingin tahu
kehidupannya lagi, dan sekarang apa? Aku ingin Seno masih memperjuangkanku? Aku
bahkan mungkin sudah tidak layak menjadi temannya lagi.
“Her?
Ngapain disini?” Aku menoleh dan perasaan bersalah itu semakin menganga. Korban
lain dari tindakanku, Hendra. Aku menggeleng.
“Balik
aula yok, serem disini gelap-gelapan gini.” Aku mengangguk sambil mengikuti
Hendra. Sambil berjalan, aku menoleh ke belakang lagi. Aku mencintaimu Sen,
masih dan akan terus begitu.
***
Aku
memandangi Galih yang sudah terlelap disampingku, tersenyum ke arahnya lalu
mengecup keningnya. Aku memungut satu persatu pakaianku dan memakainya kembali.
Dahiku sedikit berkerut saat aku mengambil jas batikku, Revan pasti akan
mencekikku. Jas itu terkotori oleh beberapa cipratan spermaku dan Galih tadi.
Aku mengambilnya, berjalan sepelan mungkin dan keluar dari kamar Galih.
Aku
meletakkan jas itu di tempat pakaian kotor sedemikian rupa hingga cairan sperma
yang sudah mulai mengering itu tidak terlihat.
Masih jam
4 pagi, aku berjalan ke kamarku. Dan ketika aku baru saja naik ke atas ranjang,
aku melihat foto itu. Aku, Herry dan Hendra. Herry ditengah, dan Hendra tidak
tahu, jika dibelakang tangan Herry meremas bokongku. Seperti film,
potongan-potongan kenanganku bersama Herry berkelebat di pikiranku.
Air
mataku jatuh tanpa aku sadari, apakah aku masih mencintainya? Mencintai
seseorang yang bahkan tidak ingin aku hadir dalam kehidupannya. Aku meletakkan
foto itu lagi di tempat semula aku mengambilnya. Ini membuang waktuku. Masih
jam 4, sepertinya aku masih punya cukup waktu untuk kembali tidur.
***
“Oke,
jadi . . .” Papa dan Mama berpandangan sebelum akhirnya menatapku lagi.
“Kamu
beneran yakin mau kuliah di US Sen?” Oke, jadi masalah ini bakal dibahas secara
serius sekarang. Aku terdiam cukup lama sebelum akhirnya mengangguk.
“Ya
sudah, Mama usahakan cari-cari teman Mama yang ada disana, sekalian nyari
tempat tinggal buat kamu.” Aku melongo. Aku pikir, bakal ada debat seru atau
kek gimana gitu, tapi? Jauh diluar dugaan kedua orang tuaku legowo begitu saja.
Yah, memang sih aku juga pernah bilang. Dulu waktu SMP, kalau aku enggak salah
inget, aku juga sering bilang pengen kuliah di US. Jadi ya mungkin Papa dan
Mama uda menyiapkan hati kali ya bakal ditinggal anak satu-satunya.
“Masih
lama kali Ma,” Aku menyuarakan protes yang langsung dijawab hardikkan tajam
papa.
“Ya gak
ada salahnya tho? Jadi pada saatnya ntar, kamu tinggal berangkat. Iya kalau
kamu lolos. Hahaha.”
“Aku kan
pinter Pa, engga bego-bego amat lah.”
“Setau
Mama, Anindita anaknya ada yang di US,” Mama menerawang sebentar. Kalian ingat?
Mamaku itu mantan model, Anindita ini adalah salah satu teman baik Mama.
Sekarang masih juga eksis keluar masuk tv.
“Trus?”
Aku bertanya agak hati-hati.
“Ya kalo
bisa Mama pengen nitip kamu ke dia. Kamu kan kudu dijaga, aduh pergaulan diluar
kan parah Sen. Mama khawatir . . .”
“Seno
bisa jaga diri, lagian emang Seno barang gitu bisa dititipin?”
“Hush!
Kamu tahu kan maksud Mama! Ya udah, mandi sana katanya Eyang mau ngajak kamu
tuh.” Mama membenarkan posisi duduknya merapat ke Papa.
“Kemana?”
pertanyaanku dijawab dengan gelengan kompak kedua orangtuaku. Hhhh.
***
Pemandangan
berupa pepohonan memang sudah sering aku lihat. Tapi kali ini, mobil ini masuk
hutan. Aku melirik berkeliling, aku bahkan tidak tahu jika Eyang punya mobil
jeep sekeren ini. Sebenarnya, seberapa kayanya sih Eyangku ini? Kita
bertiga, aku, Galih dan Eyang sedang
menuju . . . nowhere. Karena aku sendiri juga tidak tahu tujuan kita, begitupun
Galih. Galih hanya mengikuti petunjuk Eyang.
Jalan
yang kita lalui sudah jauh dari jalan besar. Hanya jalan sempit yang hanya bisa
dilewati satu mobil. Kiri kanan pemandangan yang aku lihat hanya pepohonan.
Excuse me, no people here?
Kenyataannya
mungkin memang gitu, sejak mobil ini memasuki jalan sempit ini, aku belum
melihat satu orang pun.
“Kita mau
kemana sih Eyang? Serem banget gini jalannya.” Eyang menoleh ke arahku lalu
mengelus-elus rambutku penuh sayang. Lalu kembali menatap kedepan. Oke, jadi
pertanyaanku enggak di jawab.
Aku
menoleh kesamping, lalu tertegun sesaat. Perkampungan? Aku mengucek-ucek mataku
sebentar kemudian tertegun. Aku tidak salah lihat, ini perkampungan.
Orang-orang yang mulai keluar dari rumah mereka dan mengamati kami. Aku menatap
takjub pada bangunan yang rata-rata masih terbuat dari kayu. Hanya saja,
bangunan ini terlihat begitu alami, begitu menyatu dengan alam sekitar mereka
yang rata-rata masih berupa pepohonan. Oh God, sampai kapan kota kecil ini akan
terus memberiku kejutan? It’s beautifull.
Eyang
menyuruh Galih untuk menghentikan mobil di depan sebuah halaman gedung yang aku
rasa gedung paling besar disini. Eyang turun diikuti aku dan Galih. Pemandangan
selanjutnya hampir tidak bisa aku percaya, para penduduk yang sedari tadi mengamati
mobil kami langsung menyerbu eyang. Berebutan ingin mencium tangan eyang. Lalu
ada orang tinggi, lebih tinggi dariku bahkan, menyela orang-orang tersebut
dengan bahasa yang tidak aku mengerti. Seperti bahasa jawa, tapi aku belum
pernah mendengar bahasa seperti itu sebelumnya.
Aku
melirik Galih, berharap bahwa aku bukan satu-satunya orang yang tidak mengerti
bahasa ini. Oh, aku salah. Galih sepertinya paham. Tamat.
Orang
itu, mengobrol dengan Eyang, menepuk-nepuk bahu Eyang secara akrab dan
melirikku beberapa kali. Aku pura-pura mengabaikannya, juga pura-pura
mengabaikan lirikkan orang-orang disekitarku dan mengeluarkan smartphoneku.
Stupid! No signal here. Dengan kecewa, aku memasukkan kembali barang berupa
logo buah-buahan itu ke saku.
“Iki lho
putuku Wo,” Oh, akhirnya Eyangku notice juga kalau aku masih disini dan menjadi
satu-satunya yang tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Orang itu
memandangiku beberapa lama lalu tersenyum lebar. Ganteng!
“Jarwo,”
Orang itu menggenggam tanganku erat. Tipikal pemimpin, dan mungkin dia memang
ketua suku disini. Hahahaha.
Percaya diri,
dan seksi.
“Arseno,”
Balasku kemudian.
“Wah,
ganteng tenan lho putumu Las,” Oh, akhirnya dia bisa berbahasa yang aku
mengerti. Sebenarnya nama Eyangku itu Lasmi Pratini, Prawiro itu nama Eyang
kakung. Dan melihat orang ini, si Jarwo ini yang memanggil Eyang hanya dengan
nama saja, sepertinya orang ini teman dekat Eyang. Tapi masa sih? Jarwo ini
kelihatan seperti masih awal 30 an.
“Jarwo
ini orang kepercayaan Eyang disini.” Aku manggut-manggut saja sambil memasuki
bangunan, yang aku duga adalah rumah Jarwo. Di dalam bangunan, aku masih dibuat
terkejut lagi. Kursi-kursi dari kayu yang diukir sedemikian rupa, dan semua
perabotan yang masih begitu alami? Oh, aku tidak ingin menggunakan kata
ketinggalan jaman. Karena pada kenyataannya, perabotan-perabotan ini terlihat
begitu artistik.
“Kamu
makan dan istirahat dulu, nanti agak sorean baru Eyang ajak kamu ke suatu
tempat.” Aku mengangguk. Jarwo dan beberapa pemuda juga beberapa
gadis-gadis mulai mengeluarkan beberapa
makanan. Secara malu-malu beberapa gadis itu melirikku atau Galih.
Aku dan
Galih memang agak berbeda dengan para penduduk sini yang kesemuanya berkulit
gelap, sepanjang yang aku lihat aku belum menemukan yang berkulit terang.
Bahkan mungkin kulit cokelat eyangku pun masih terbilang putih disini.
Mungkin,
hanya mungkin mereka belum pernah melihat orang berkulit terang sepertiku atau
Galih. Apalagi aku beberapa tingkat lebih putih dari Galih. Bukan mereka
jelek-jelek, bagiku mereka malah terlihat eksotis. Ditambah beberapa pemuda
hanya mengenakan semacam sarung yang hanya sebatas paha. Aku tidak tega
menyebut itu rok mini, hanya memang mirip. Dan pikiran nakalku mulai merayapi
otakku, mereka pakai sempak gak ya? Buahahaha.
***
Eyang
mengajakku berjalan beberapa menit, dan lagi-lagi membuatku berdecak kagum. Kami
hanya bertiga, Galih disuruh istirahat di rumah Jarwo oleh Eyang. Dan lihat apa
yang aku temukan disini, kuda? Di hamparan lahan hijau yang lumayan luas ini
terdapat beberapa kuda yang dibiarkan bebas, walau pagar kayu mengelilingi
mereka. Jarwo bersiul cukup kencang dan ada dua kuda yang langsung mendekat.
“Yang ini
Lucca,” Oh, jadi Jarwo juga bisa ngomong Indonesia? Sejak tadi kek. Kuda yang
ditunjuk Jarwo berwarna hitam pekat. Terlihat gagah dan angkuh.
“Kalo ini
Lucci.” Aku agak tersenyum geli dengan cara Jarwo memberi nama kedua kuda ini
yang terdengar sangat cute.
“Cukup,
Eyangmu yang memberi nama, bukan aku.”
“Maaf,”
aku mengucapkannya dengan tulus walau senyum geli belum memudar dari bibirku.
“Cucumu
menyebalkan Las,” Tawa Eyangku pecah. Aku terhenyak, belum pernah aku melihat
Eyang selepas ini. You know? Selama ini Eyangku selalu bersikap layaknya ratu,
anggun dan ramah namun membuat orang sungkan. Sekarang? Eyang bertingkah
seperti gadis belasan tahun!
Eyang
memang masih cantik, aku akui itu. Wajah dan tubuhnya memang masih terlihat
seperti 50an. Dan kali ini Eyang memakai celana panjang dan kaos. Aku belum
pernah melihat Eyang berpakaian seperti ini sebelumnya. Membuatnya terlihat
begitu muda dan energik. Hahaha.
“Ayo,
kenalan sama Lucci.” Jarwo membuyarkan lamunanku. Aku mengamati kuda putih yang
tengah mengamatiku itu. Aku menjulurkan tanganku dan kemudian kepala kuda itu
diturunkan agar aku leluasa mengelus kepalanya. Ini pertama kalinya aku
menyentuh kuda. And, it’s amazing!! Rasanya aku jadi tidak heran dengan
beberapa orang yang rela mengeluarkan duit jutaan rupiah hanya untuk mencari
kuda ras murni. Mereka begitu indah.
“Hahaha,
dasar kuda genit! Lihat cowok ganteng langsung suka.” Lucci menggeram pelan
seperti protes dengan ucapan Jarwo barusan.
“Ayo kamu
naik, bakalan capek kalau jalan kaki.” Jarwo berkata sambil membantu Eyangku
naik kuda bersamanya. Jadi mereka satu kuda berdua? Licik sekali, sepertinya
dugaan ku benar nih. Tapi masa iya? Maksutku, Jarwo bahkan lebih muda dari
Papaku, anak Eyang!
Aku
memandangi Lucci, gimana cara naiknya? Sepertinya Jarwo tahu kegalauanku karena
dia turun lagi dari Lucca.
“Ayo aku
bantu,”
“Aku blom
pernah naek kuda sebelumnya, kalo jatuh gimana?”
“Pelan-pelan
aja, kata Lasmi kamu suka tantangan? Lagipula, Lucci suka sama kamu, dia kuda
baik gak bakalan nyelakain kamu. Yakin!” Aku mengangguk lemah dan dengan
bantuan Jarwo aku menaikki Lucci. Begitu diatas Lucci, secara insting aku
mengelus-elus kepala kuda itu lagi. Kayaknya, aku juga mulai menyukai Lucci.
Jarwo memberiku instruksi bagaimana cara agar sang kuda mulai berjalan.
Aku
mengikuti Jarwo dan Eyang yang awalnya berkuda pelan, namun sejurus kemudian
agak kencang. Aku tertantang untuk menyusulnya, ngebutpakai mobil aja aku
berani, kenapa pakai kuda enggak? Aku menurunkan kepalaku hingga segaris dengan
telinga Lucci, membisikkan sesuatu. Kalau tempo dulu aku bisa komunikasi dengan
ular kenapa dengan kuda enggak? Kan harus dicoba.
Seperti
mengerti instruksiku, Lucci menambah kecepatan walau masih terbilang pelan.
Sepertinya dia tidak ingin membahayakanku sebagai penunggangnya.
Setelah
agak lama, aku baru bisa menyusul Jarwo dan Eyang yang ternyata sudah berhenti
di depan, PEMAKAMAN? Aku melihat tulisan Prawiro di nisannya.
“Ini
makam Eyang Buyut?” Eyang hanya mengangguk. Makam itu begitu sederhana, tapi
terawat. Tidak ada modifikasi atau dibuat seperti rumah-rumahan.
Jadi ini
makam Eyang Buyut, kenapa begitu jauh disini?
“Eyang
Buyut kamu lahir disini Sen,” Kata Eyang seperti tahu kebingunganku. Aku melihat ada yang aneh dari kuburan Eyang Buyut.
Aku
seperti melihat kumpulan asap hitam dari kuburan Eyang buyut, sebelum
kesadaranku yang entah kenapa semakin hilang. Dan akhirnya aku roboh.
Bersambung
lagi . . .