Aku
benar-benar stuck. Tidak berdaya. Walaupun aku sadar bahwa ikatanku semakin
renggang, namun dengan pisau yang tepat berada di dekat leherku, aku tidak bisa
sembrono. Aku harus benar-benar hati-hati jika aku ingin selamat. Dan aku juga
ingin Galih selamat. Pikiranku kalut, namun mencontoh sikap Galih, aku harus
tenang. Jangan tunjukkan ketakutanmu Sen. Jangan tunjukkan ketakutanmu
dihadapan lawanmu Sen! Aku berusaha menyemangati diriku sendiri.
“Wah,
banyak amat keluarnya. Ckckck. Ikat dia yang kenceng Tan, jangan sampai lepas.”
Taufik memandang ke arah sperma yang baru saja disemburkan Galih. Aku mengerjap
beberapa kali. Itu Revan? Aku berusaha fokus dengan penglihatanku. Yup itu
Revan, dia bersama beberapa pemuda tengah bersembunyi di balik dinding kayu
pondok ini. Sesekali kepalanya nongol mengintip dari balik jendela.
“Jagain
mereka berdua, aku mau nyari makan sebentar.”
Taufik berpesan pada si Tan sambil menyeringai kepadaku, “Kita akan
bersenang-senang lagi nanti Dek Angga.”
Tepat
saat si Taufik keluar, aku mendengar suara teriakkan. Dan karena panik si Tan
langsung ikut keluar. Hening, dan jujur aku mulai ketakutan. Aku menoleh ke
arah Galih. Dia menatapku dengan tenang, seolah ingin memberitahuku bahwa
semuanya baik-baik saja.
Pintu
pondok didobrak dan aku tersenyum lega begitu melihat Revan dan beberapa pemuda
yang bekerja di kebun kopi muncul. Revan langsung melepas ikatanku dan
membantuku berdiri. Beberapa pemuda membantu Galih melepas ikatan talinya.
“Thanks,
kok lo bisa tau kita disini Van?”
“Ada
pemuda yang ngeliat Taufik tadi pagi dan nglaporin ke gua. Dan karena lo sama
Galih juga ilang, makanya gua curiga.”
“Taufik
mana?”
“Uda aman
di luar, kita serahin ke kantor polisi yok.” Aku mengangguk lemah. Sebenarnya
pengen juga melayangkan beberapa bogem ke wajahnya yang psiko itu, tapi ya
sudahlah.
***
Aku
merasa aman sekarang. Setidaknya Taufik benar-benar sudah dipenjara. Hendra
sempat panik juga, terlebih lagi dia benar-benar tidak tahu bahwa semalaman aku
disekap Taufik. Toh sekarang semuanya sudah berlalu. Aku mengulet ke kanan lalu
ke kiri sebelum akhirnya bangkit dari ranjang. Hmm, ke kamar Galih ah. This is
Sunday, jadi pasti si Galih masih bobo. Kebiasaan juga dia kalau bobo kan suka
nude.
Agak
weird sih sebenarnya, cuman kalau pas ingat moment Galih dicoliin sama Tan
kemaren aku jadi agak horny. Pas kejadian sih boro-boro.
Aku masuk
ke kamar Galih. Masih gelap dan aku sama sekali tidak berniat untuk membuka
korden atau menyalakan lampu. Masih jam 5 pagi. Korden dibuka pun enggak bakalan terlalu ngefek, jadi aku memutuskan
untuk langsung bergabung bersama Galih di atas ranjang. Gila! Bitchy banget!
Tapi bodo ah, daripada aku pusing ngarepin Herry yang sampai sekarang masih
belum bisa mengingatku? Lagipula, waktu di pondok itu aku belum jadi
berhubungan seks. Ya Tuhan, sudah berapa lama aku tidak ngeseks? Atau bahkan
main tangan?
“Eemmm,”
Galih seperti agak terganggu dengan kehadiranku disampingnya. Apalagi tempat
tidurnya juga gak gede-gede amat. Tanganku menyusup ke balik selimut.
“Mas?”
Aku berbisik di telinganya. Aku sengaja gosok gigi dulu sebelum kesini. Kan
kalau ada hawa nafas seger di deket kuping gitu bikin nafsu. Katanya sih gitu.
“Eeem?”
Galih membalikkan posisi tidurnya sehingga sekarang berhadapan denganku.
“Aku
sayang sama Mas Galih.” Aku membisikkan kata-kata itu sambil bibirku merapat
mendekati bibir Galih. Awalnya Galih antara sadar dan tidak sadar sebelum
akhirnya membalas ciumanku dengan brutal. Aku tidak perlu repot-repot melucuti
pakaian Galih karena pada dasarnya hanya selimut yang menutupi tubuh indahnya.
Bibir
Galih turun ke leherku setelah melumat bibirku hingga memerah dan bengkak.
“Saya
udah menantikan ini lama Den.” Tangannya
dengan cekatan melepas singlet bergambar spiderman milikku. Tanpa menunggu lama
bibirnya sudah memburu. Mencari sesuatu yang baru. Aku membiarkannya,
membiarkan Galih mengeksploitasi tubuhku.
Aku tak
kuasa menahan ringkihan pelan dari bibirku keluar, ketika jilatan-jilatan
lembut juga gigitan-gigitan kecil Galih pada putingku. Apalagi ketika bibirnya
terus turun hingga mentok di ban karet celana boxerku. Galih menatapku sekilas.
Matanya yang sayu membuatku terperosok makin gila.
Galih
seperti menemukan mainan baru ketika boxer sekaligus celana dalamku terlepas
dan bergabung bersama singlet spidermanku.
“Mungkin
akan sedikit sakit Den awalnya,” Dan aku hanya tersenyum simpul mendengar
kata-katanya. Iya, sakit-sakit enak.
***
Aku
tersenyum sendiri mengingat kejadian nakal tadi pagi. Maksutku, gilak!! Tadi
pagi itu bukan mimpi, tapi bener-bener real! Aku juga masih ingat dengan sangat
jelas ketika Galih mulai memasukkan pen
. . . Ah sudahlah, aku tidak mungkin membayangkannya kemudian minta nagih lagi.
Setidaknya untuk saat ini aku tidak mau.
Drrt Drrt
Drrt,
“Napa
Hend?” Aku menjawab panggilan telepon dari Hendra tepat pada saat Mamaku masuk
kedalam kamar.
“Temenin
aku nyari peralatan buat perkemahan Sen,” Aku mengernyit pelan. Perkemahan?
Siapa yang mau kemah by the way?
“Dimana?”
“Pasar
Baru sebelum alun-alun. Aku tunggu di depan warung Mie Ayamnya Pak Dahwi ya?”
“Oke.”
Aku mematikan sambungan telepon ku dan menoleh ke Mamaku yang masih duduk
sambil mengamati beberapa fotoku yang sengaja aku pajang di atas meja belajar.
Beberapa di antaranya aku gantung bersisian.
“Kamu
sama Herry sedang ada masalah Sen? Mama sudah jarang lihat dia main ke rumah
sekarang.” Aku berjalan memutar lalu duduk di ranjang, bersisian dengan Lilies
Hartanti Sunaryo, mamaku.
“Kita
beda kelas Ma sekarang, ya wajarlah jadi agak renggang.”
“Bener
cuman itu? Mama khawatir kamu kenapa-napa lagi. Kalau kamu minta kita balik
Tangerang lagi Mama juga setuju. Disini udah berapa kali kamu kena masalah Sen?
Mama takut, kamu anak mama satu-satunya.” Aku memeluk Mamaku, agak lama. Aku
tahu, yang terguncang dengan masalah ini bukan hanya aku, namun juga Mama dan
Papa.
“Nanggung
Ma, satu setengah tahun lagi kan Seno lulus.”
“Kamu
yakin mau kuliah di luar negeri? Sudah bulet?” Aku mengangguk kuat. Bukan
karena aku dan Galih sekarang punya hubungan khusus lantas aku memutuskan untuk
tidak kuliah di luar negeri, tidak. Itu cita-citaku, masa depanku.
“Mama
pasti kangen,”
“Masih
lama kali Ma, Seno keluar sebentar ya Ma? Nemenin Hendra buat cari perlengkapan
Camping.” Mamaku tersenyum lembut sebelum akhirnya mengangguk.
***
“Siapa
yang mau camping sih Hend? Anak-anak kelas satu kan uda selesai masa MOSnya.”
“Anak-anak
OSIS. Kita mau naik Gunung.” Aku agak bengong sedikit.
“Bukannya
beda naik gunung sama Camping, lagian ngapain beli peralatan? Peralatan apaan
coba? Tinggal bawa jaket tebel, kaos kaki, uda deh.” Hendra menghembuskan
nafasnya secera perlahan. Tepat seperti jika seorang guru bosan menanggapi
pertanyaan anak didiknya yang sama sekali tidak berbobot.
“Uda
ngikut aja, ndak usah cerewet.” Aku diam, walaupun memang benar jika aku sedikit
bawel, tapi dikatain cerewet itu sedikit banyak menyentil sisi sensitifku.
Maksutku, cowok dibilang cerewet? Itu merendahkan sekali, sungguh.
Aku
membiarkan Hendra menimang-nimang sebuah panci kecil, lalu menawarnya dengan
harga sadis. Buat apa panci? Di gunung kan dingin? Ooh, mungkin buat merebus
mie atau something like that. Itu mah camping merusak alam.
Kali ini
Hendra sibuk dengan kaos kaki model kaos kaki pemain bola, entahlah namanya
apa. Kali ini aku masih bisa mentolerir, yah, digunung kan dingin. Wajarlah.
Akhirnya
semua barang ajaib itu masuk ke dalam mobilku.
“Sekarang?
Where we go now?” aku bertanya pada Hendra sambil menstater mobil.
“Ke
rumahku.”
“Oke, gua
berasa kayak sopir lo nih.”
“Ndak
iklas?” Aku menoleh dan menatap Hendra sekilas.
“Enggak!!”
“Bodo!!”
Tengil kan ini anak lama-lama.
Setelah
basa-basi dengan Ibunya Hendra yang menanyakan kabarku kemaren setelah di culik
Taufik. Good to know kalau hampir semua penduduk di kota kecil ini sudah tahu
kejadian beberapa waktu lalu itu. Mau tidak mau aku juga jadi memikirkan
perasaan Bu Marini, beliau baik. Beliau bahkan minta maaf sampai menangis
sesenggukan. Aku juga tidak bisa meragukan fakta bahwa Bu Marini memang
menganggapku seperti anaknya sendiri. Hanya saja Taufik, ah sudahlah.
“Sen,
sing iki piye? Cocok gak?” Aku mendongak memandang Hendra dari atas hingga
bawah. Sementara membiarkan lamunanku memudar.
“Lo mau
kemana sih? Kata lo camping? Kok dandanan lo kayak mau kondangan gitu?” Hendra
sedikitnya agak tersinggung dengan pemilihan kataku menggunakan kata
‘kondangan’ tadi.
“Kamu gak
tahu?” Aku mengangkat bahu cuek. Emang ada something yang aku lewatkan?
Melihatku yang sepertinya memang bener-bener tidak tahu, Hendra menatapku gemas
lalu menepuk dahinya sendiri. BERLEBIHAN.
“Even
sekolah.”
“Event
bukan even.” Kataku mengkoreksi, “Emang acara apaan? Ulang tahun? Kan masih
lama!”
“Prom
Night.” Aku mengernyit geli.
“Engga
sekalian hallowen?” Hendra malah menimpukku dengan buku yang tadi dia pegang.
“Bukan
Prom jg, apalagi hallowen! Boro-boro, ini itu lho peresmian gedung yang uda
jadi itu.” Ooh, gedung yang dulu buat mesum Herry dan Taufik itu.
“Emang
dress code nya batik? Kok gua gak tau?”
“Engga,
tapi acaranya formal. Eyang dan orangtuamu kan juga di undang, secara juga yang
sumbangan pertahunnya paling gede kan Eyang Prawiro.” Hening, maksutku
bagaimana aku bisa tidak tahu?
“Masih
Minggu depan acaranya Sen, tapi beneran kamu gak tahu? Kan uda dibagiin surat undangannya kemaren Sabtu.” Aku
menggeleng.
“Kalau
gitu, Eyang belum tahu dong?”
“Kayaknya
sih uda, kan Pak Kepsek sendiri yang nganterin undangannya ke Eyang Prawiro.
Hhhh,” Hendra membuang nafas sesaat sebelum menatapku dalam-dalam.
“Kamu itu
beruntung ya Sen? Ganteng, dari keluarga terpandang, semua yang kamu mau pasti
bisa keturutan.” Aku mendengus sebal pendengar pernyataan Hendra barusan.
“Kalo
gitu bisa gak kita tukeran? Elo juga gantiin gua yang harus berurusan sama
psiko Taufik, beberapa kali ngalamin kecelakaan, dan harus kehilangan Herry!
Coba gantian!” Shit! Mungkin karena agak tersinggung dengan kata-kata Hendra
dan emosi, ucapan yang keluar dari bibirku benar-benar tidak tersaring.
“Herry?
Aku juga ngrasa kehilangan dia.” Hendra kemudian diam, lalu menatapku
ragu-ragu.
“Sen,
kamu sama Herry . . .?”
“Uda ya,
gua balik dulu.” Aku berjalan agak cepat agar Hendra tidak sempat mengejarku
dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin belum siap aku jawab.
***
“Rev, gua
mesti jujur kagak ya sama Hendra kalau gua pernah pacaran sama Herry?” Revan
yang tengah mengambil meteran, itu lho alat yang biasa di pakai tukang jahit
buat ngukur badan. Meteran kan namanya? Auk ah, pokoknya itu. Lagi males
browsing. Hahaha.
“Mau come
out? Yakin dia bakal bisa terima lo?” Aku menggeleng tidak yakin. Jadi, hari
ini Revan akan membuatkan aku jas. Aku pernah cerita kan kalau Revan itu
desaigner? Dia juga punya butik di Jakarta. Tau deh, nasib itu butik sekarang.
Orang yang punya aja malah betah disini, ngurus salah satu perkebunan lagi.
Aduduh.
“Lepas
kaos lo!”
“Lha
ngapain? Perasaan tukang jahit yang lain gak gitu-gitu amat ngukurnya?”
“Ya udah,
buat aja di tempat lain.” Aku mikir-mikir lagi. Waktunya uda mepet, kalau harus
cari tukang jahit lagi, ampun dah bisa cocok apa engga. Sama tukang jahit
langganan Eyang saja aku tidak cocok. Aku dengan sedikit kesal melepas kaosku.
Dan aku bisa melihat seringai licik tersembunyi dari senyum Revan.
“Celana
gua gak sekalian nih?”
“Kalo elo
gak keberatan sih gua gak nolak,” Revan mengerling genit. Ini anak makin parah
ya? Gak inget apa aku ini anak adik ibunya?
Aku
membuat gerakan seolah-olah akan melepas celana jeansku. Yah, hanya pura-pura.
“PHP lo!”
Aku tertawa girang melihat ekspresi kecewa Revan.
“Lagian
elo juga pernah liat gua telanjang waktu itu!” Yap, waktu main kartu pas aku
liburan ke Jakarta.
“Hehehe,
waktu itu kan badan lo belum seseksi sekarang Sen, hahaha.” Revan benar-benar
profesional saat mengukur ukuran tubuhku. Maksutku, dia tidak usil. Tadinya aku
kira dia akan sedikit menyentil-nyentil putingku secara tidak sengaja atau
apalah gitu. Tapi nyatanya tidak. Hey, bukan berarti aku mengharapkannya ya,
sama sekali tidak!
“Andai
elo bukan sepupu gue, uda gua terkam lo Sen!!” Kata-kata itu diucapkan sambil
lalu oleh Revan. Sepertinya dia bakalan mulai ngerjain buat ngegarap jas ku.
Jas batik yang keren! Aku pernah melihat beberapa karya Revan dan jujur, dia
berbakat. Entah alasan apa yang bikin dia gak balik Jakarta lagi. I know he
love fashion. A lot.
“Kok gak
pake baju?” Galih muncul dari balik pintu dan tersenyum manis.
“Ikut Mas
yuk, temenin bentar.” Aku bingung. Jarang-jarang Galih mengajakku duluan. Tapi
ya kapan lagi bisa kencan kek gini? Oke, tiap hari kencan sih karena Galih yang
mengantarkan aku ke sekolah. Tapi kan, tapi kan,
“Emang
mau kemana Mas?” Tanyaku begitu mobil sudah melewati pagar rumah.
“Ada deh,
adek pasti suka.” Sejak kejadian pagi mesum waktu itu, Galih biasa memanggilku
‘Adek’ jika sedang berduaan saja.
Aku
memutuskan diam. Karena walaupun aku terus-terusan bertanya, toh Galih pasti
tidak akan memberitahu. Jadi ya sudahlah, surprised!! Dan entah kenapa aku
mulai tidak menyukai yang namanya surprised!!
***
Aku
pernah kesini. Waktu itu aku dengan Hendra dan Herry, yap! Salah satu
perkebunan teh milik Eyang. Di dataran tinggi Wonosobo, hawanya adem dan bikin
ngantuk. Beberapa pegawai yang pernah melihatku langsung menyapaku, ada juga
beberapa yang berbisik-bisik sambil sesekali melihat ke arahku. Mungkin mereka
sedang mengagumi ketampananku? Hahaha.
“Aden
kayak gak terkejut gitu.”
“Aku
pernah kesini Mas.” Galih tidak bisa menyembunyikan rasa kecewanya, entahlah,
hal apa yang membuat dia harus merasa kecewa.
“Eem,
ikut Mas bentar kesini. Pasti Aden belom pernah.” Aku membuang nafas agak
tertahan. Aku pernah bilang kan kalau aku benci kebun? Oke, jadi aku tidak
perlu menjelaskan kepada kalian kenapa aku kurang eksited. Oya, tambahan
beberapa hal buruk menimpaku juga terjadi di kebun.
“Gimana?”
Karena sibuk mendumel dari tadi, aku tidak sadar jika aku sudah keluar dari
perkebunan. Hutan pinus? Karena banyak pohon pinus disini, atau yah yang aku
anggap itu pohon pinus.
“Ini apa
mas?”
“Kebun
karet, tuh lihat ada beberapa wadah yang ditempelin di pohonnya. Itu namanya
penyadapan Den.” Karena aku tidak tahu, aku mengangguk-angguk saja. Aku menoleh
berkeliling sebelum akhirnya menemukan batu agak besar dan memutuskan untuk
duduk disitu.
Galih
melihatku dan menatapku agak lama hingga membuatku mau tidak mau menjadi
tersipu. Maksutku, aku paling tidak tahan dilihat seseksama itu dalam waktu
yang relatif cukup lama.
“Adek
capek? Gak seneng?”
“Aku gak
suka kebun Mas, dan ya aku capek.” Galih menghembuskan nafasnya secara perlahan
sebelum akhirnya memutuskan untuk duduk disampingku. Galih merebahkan badannya
dan memberiku kode agar merebahkan tubuhku di atas tubuhnya dan berbantalan
lengannya.
“Maaf,”
“Gak papa
kali Mas, cuman Seno emang agak gak suka kebun. Mas kan tahu sendiri beberapa
kejadian gak enak terjadi di kebun.” Aku membalikkan tubuhku ke kiri sehingga
aku bisa dengan jelas melihat wajah Galih. Seraut wajah tampan yang terawat
dengan baik. Aku juga heran, kenapa wajahnya seolah-olah mengindikasikan kalau
Galih ini dari keluarga berada dan dari kota? Maksutku, lihat Herry! Dia juga
ganteng, tapi aura desanya kental banget. Kalau dia ke Jakarta, orang juga ngeh
kalau dia bukan orang kota. Galih? Dia sama sekali tidak ada desa-desanya. Aduh,
susah menjelaskan tapi kalian mengerti kan maksutku?
“Sini
Dek, agak deketan ke Mas.” Aku mencodongkan bibirku ke arah bibirnya. Dan
begitu bertemu dengan bibir Galih aku melumatnya lembut. Lidahku beberapa kali
bertaut dengan lidahnya. Aku memutuskan untuk berguling dan berada di atas
tubuh Galih. Dengan tidak sabar aku meloloskan kaos yang dipakai Galih. Lalu
menyerbu kedua putingnya secara bergatian. Menjilat, menggigit-gigit kecil lalu menekan-nekannya dengan lidahku
bergantian. Aku melakukannya agak lama hingga dada Galih berbekas kemerahan.
Galih
mendorongku hingga aku jatuh ke rerumputan. Melepas kancing-kancing kemejaku
lalu menanggalkannya secara cepat. Melepas celana jeans hingga celana dalamku
hingga aku tidak berbalut secarik kain pun. Aku terlalu bernafsu, hingga lupa
bahwa ini bukan kamar Galih. Bukan juga kamarku. Ini kebun karet, bisa saja
tiba-tiba ada orang lewat. Tapi dalam kondisiku yang sekarang, apa peduliku?
Galih
mengeksplore tubuhku. Memberikan rangsangan-rangsangan yang membuatku tak
henti-hentinya mengeluarkan desahan dari bibirku. Aku suka cara Galih
memperlakukan kejantananku, dia mahir membuatnya sekeras batu dan setegak
tiang.
Beberapa
kali Galih meludahi jarinya dan menstimulus diriku agar siap menerima
kejantannya bersatu dengan tubuhku.
“Cepetan
Mas, masukkin.” Galih tersenyum simpul sebelum akhirnya bibirnya kembali
menggumuli bibirku, sedangkan adik kecilnya mulai menggumuli bibir bawahku.
Buahahaha, aku tertawa sendiri membaca kalimat terakhir ini.
“Mas
sayang sama Seno,”
***
Aku baru
saja selesai mengancingkan kemeja ku kembali. Oke, aku sudah berpakaian
lengkap. Tepat setelah aku orgasme tadi, pikiran jernihku muncul hingga aku
langsung bergegas memakai semua bajuku. Aku hanya ingin mengantisipasi kalau
ada orang yang tiba-tiba saja lewat. Galih? Dia masih tiduran di atas
rerumputan wearing nothing.
“Pake
baju donk Mas,”
“Bentar,
enak tahu menikmati alam dengan telanjang gini.”
“Jangan-jangan
Mas kaum nudist ya?” Kataku sambil kembali merebahkan diriku ke atas tubuh polosnya.
“Apa itu
kaum nudist?”
“Yang
sukanya telanjang.” Galih tertawa yang membuat dadanya bergetar.
“Hahaha,
adek juga suka lihat Mas telanjang kan?” Aduh, ini pembahasannya ngarah kesana
lagi. Jangan-jangan bakal ada ronde dua nih. Seenggaknya, untuk saat ini aku
ingin menikmati momen ini. Aku memeluk Galih semakin erat.
“Dek,
punya Mas bangun lagi tuh.” Aku melihat Galih dengan sebal sebelum akhirnya
bibirku menuju objek yang sedang sangat butuh untuk dipuaskan. Hahahaha.
Bersambung,
deng deng deng deng . . . . .