CERITAKU 10
Oke, aku benar benar menyesalinya. Sekarang aku dan Rafky
tengah mendapatkan wejangan gratis dari pak Edi. Aku sebisa mungkin
memasang wajah menyesal dan seperti yang aku bilang tadi, aku memang
menyesalinya.
“sebagai sanksi atas kelakuan kalian
tadi, kalian harus membuat artikel tentang kehidupan cacing”. Pak Edi berkata dengan
tegas, seperti tak mau di ganggu gugat. Mati aku!! Bukan apa apa sih, tapi aku
paling phobia dengan cacing. Sumpah! Yakin!
“bisa di ganti dengan yang lain pak?
Katak misalnya? Atau burung mungkin?”, aku berusaha menawar. Ini demi
kelangsungan hidupku masalahnya.
“boleh, tapi babi hutan. Mau?”.Aku
langsung bergidik. Pak
Edi jago bercanda juga ternyata.
“ya udah deh pak cacing aja.
Daripada babi hutan”
“ya sudah kalian boleh keluar dari
ruangan saya. Ingat, tugas kalian harus ada di meja saya lusa!”
“lusa pak? Yakin pak? Nggak becanda
kan?”, aku masih ingin menawar.
“iya lusa!! Atau mau besok saja?”.
Gila ni guru, sekate kate aja ngasih hukuman.
“ya pak besok kami siap buat
ngumpulinnya”, Rafky yang sejak tadi diam kini bersuara. Aku memutar kedua bola
mataku. Ini
anak gila tingkat tinggi. Sarap
tingkat dewa. Sinting
tingkat neraka.
“bagus kalau begitu. Besok saya
tunggu di meja saya”
“baik pak permisi”, kata Rafky
sambil mengajak aku keluar dari ruang guru. Aku hanya diam sepanjang
koridor.
“lu uda janji mau nemenin gua
latihan basket”, kata Rafky begitu kita sudah berada cukup jauh dari ruang
guru.
“kita ada tugas. Dan harus di
kumpulin BESOK”, sengaja aku menekankan kata besok. Siapa tahu Rafky sadar akan
ketololanya dan meminta maaf, setidaknya pak Edi masih ada di ruang guru. Jadi kita
mungkin masih bisa meminta kelonggaran waktu.
“iya gua tau, temenin gua bentar
lha. Cuma satu jam kok! Ya? Temenin ya?”, Rafky memasang wajah terpolosnya.
“tugasnya?”
“gampang lha, Cuma cacing ini kok.
Ya? Temenin? Satu jam? Ya?”, Rafky
emang mempesona, siapa yang bakal tahan?
“oke, satu jam”
“siap!”
Aku dan Rafky menuju lapangan basket
dan di sana sudah ada beberapa anak yang setahuku sih anggota inti semua. Kalo
kaga salah yang rambutnya model mowhack itu namanya Muhadi. Kalau yang manis
putih pendek itu namanya Rehan dan selebihnya aku tak tau. Maklum, aku bukan
anak basket.
“hi, uda lama nunggu ya?”, Rafky
langsung berbaur dengan mereka dan aku memilih untuk nunggu di pinggir
lapangan. Di sini adem. Aneh
dan asing rasanya, berada di antara orang orang yang belum aku kenal. Rasanya aku ingin pulang
saja, tapi niat itu aku urungkan dalam dalam saat melihat Rafky melepas baju
seragamnya dan dengan santai menggantinya dengan kaos. Ya TUhan, dia seksi
mampus!! Oke aku memang berlebihan, tapi dia memang seksi. Nama nama seperti
Paul Walker, Ryan Reynolds, Ryan Kwanten, Chace Craword (yang ini aku kaga
yakin tulisannya benar) seperti terusir dari benakku. Sepertinya Rafky sudah
menduduki peringkat cowok terseksi di dunia, versiku tentunya.
Rafky melakukan slam dunk. Sumpah
keren gila, pantes aja cewek cewek pada teriak teriak kaga jelas di pinggir
lapangan. Rafky
menoleh ke arahku lalu tersenyum. Mereka three on three sekarang.
Rafky, Rehan dan si pria-hitam-tak-tau-namanya melawan Muhadi dan 2 sekutunya
(maaf karena aku tak tau nama mereka, sungguh). Aku benar benar menikmati
menonton latihan basket ini. Bahkan
sampai aku tak menyadari kalau ini sudah kelewat dari satu jam. Tapi apa daya?
Beberapa menit sekali Rafky selalu mengangkat kaosnya untuk mengelap keringat
di wajahnya. Lagi lagi aku akan bilang, eem mungkin kalian sudah bosan tapi
Rafky memang seksi banget. Cukup, daripada nanti pembaca bakalan muak dengan
tulisan ini aku harus bisa mengendalikan diri.
“pulang yok”, kata Rafky begitu di
depanku.
“udahan?”
“he em, capek guanya”
“kaga ganti baju dulu?”, tanyaku
mengingat bajunya yang sudah basah di beberapa bagian.
“kaga usah, ntar juga kering kalau
pas naek motor”. Aku baru ingin menyuarakan keberatanku tepat saat Rafky di
panggil Muhadi.
“bentar ya?”
“okey”. Aku masih menatap punggung
Rafky. Hmm,
so seksi. Well, kalian boleh muntah sekarang. Nyatanya janjiku untuk menahan diri gagal.
“woey”, seseorang menepuk pundakku.
Aku menoleh dan mendapati Rehan yang sudah duduk di sampingku.
“woey juga”, jawabku kemudian. Telat
memang, tapi daripada kaga di jawab sama sekali?
“nungguin sapa?”, anak ini lebih
manis dari Andi. Walaupun lebih pendek dariku. Kok bisa masuk tim basket ya?
Setahuku tim basket kan biasanya tinggi tinggi.
“Rafky”, jawabku singkat.
“owh, lu kelas satu apa?”
“kelas 2 tphp 1”, jawabku tanpa nada
tanpa aksen.
“hehehe, sorry. Gua Rehan”, Rehan
mengulurkan tanganya.
“Nansa”, balasku sambil menggegam
uluran tanganya. Walaupun
sebenarnya aku uda tau namanya. Dia termasuk nama yang banyak di soraki cewek
cewek.
“jadi elu yang namanya Nansa? kirain
yang putih tinggi itu”. Aku sedikit menelengkan kepalaku. Perasaan aku bukan siswa
yang masuk dalam jajaran siswa popular di sekolah. Dan mungkin yang Rehan
maksut barusan adalah Andi.
“maksutnya?”
“lu kan yang tahun lalu jadi juara
umum satu jurusan? Hebat!”.Aku hanya tersenyum.
“emang lu anak mana?”, ganti aku
yang bertanya.
“gua analis”, Rehan tersenyum. Anak
ini manis sekali.
“hha?”, aku sedikit kaget. Bukan apa
apa, tapi anak analis ikut team basket? Ini lebih wow daripada rencana kenaikan
bbm kemaren. Ya, tidak seheboh itu sih tapi tetap bikin orang heran. Di sekolahku ada 3
jurusan. Agro,
TPHP dan analis.
Agro? Istilahnya sih mereka
seperti premannya sekolah, paling semangat jika di suruh membuat huru hara. Dan paling bisa membuat
guru guru angkat tangan. Tapi jangan salah, mereka lha pagar sekolah jika
sekolahku di serang oleh sekolah lain. Dan agro adalah tempat yang tepat untuk
mencari cowok slengekan.
TPHP? Bukannya sombong sih, tapi di
sinilah anak anak gaul berotak encer berkumpul. Pelajaran oke, pergaulan pun
oke. Dan
sepanjang sekolah ini didirikan antara agro dan TPHP sudah terjalin hubungan
yang cukup harmonis. Seperti
lempar lemparan plastic berisi air mungkin ato saling adu bacot kalau sedang
upacara bendera. Atau
saling dorong mendorong saat mereka di kumpulkan bareng di aula.Yah, tidak
terlalu akur sih tapi masih ada komunikasi.
Sedangkan analis? Mereka cerdas? Ya!
Sangat! Tapi mereka di kenal tak pernah bersosialisasi baik dengan agro maupun
TPHP. Mereka
lebih sibuk dengan urusan akademis. Aku tak pernah menyangka kalau Rehan
anak analis. Mereka
di kenal sebagai ‘anak baik baik’, kalian tau kan maksutku? Jenis siswa yang di
agendanya hanya belajar dan belajar. Lagipula Analis mempunyai ruang
kelas yang terpisah dari agro maupun TPHP. Mungkin karena factor itu
juga mereka seperti tidak membaur dengan agro maupun TPHP. Okey, stop curhatnya. Balik lagi ke cerita.
“kenapa? Kaget banget kayaknya lu”,
Rehan sedikit mengkerutkan keningnya.
“gak kok. Biasa aja, lu kelas
berapa?”.
“ 1 AK 2”. Aku hanya manggut
manggut. Setelah itu aku dan Rehan sama sama diam, aku tak tau harus berbicara
apa dan mungkin sebaliknya juga dengan Rehan. Untung tidak beberapa lama
kemudian Rafky datang.
“yok! Sekarang beneran pulang”,
Rafky berbicara sambil membantuku berdiri.Aku hanya diam sambil menganggukan
kepalaku ke arah Rehan.
“duluan Re”, kata Rafky sambil
berlalu.
***
Aku berada di atas motor Rafky. Dan well, aku harus jujur kalau aku
menyukainya, menyukai aroma Rafky saat berkeringat. Sebelum naik tadi aku
sempat mengajukan keberatanku atas parfum alaminya ini. Apa tanggapanya? Let see.
. .
Kejadian di tempat parkir kurang
lebih setengah jam lalu waktu Ardhinansa. . .
“lu kaga merasa sungkan?”, ini
suaraku saat Rafky menyuruhku untuk naik ke motornya.
“kenapa?”, yang ini adalah
pertanyaan bodoh Rafky. Kenapa? Jelas karena dia berkeringat dan bajunya basah
di beberapa tempat yang well sangat tidak etis. Tapi bukan berarti aku tidak
menyukainya, aku hanya ingin sedikit berdebat supaya Rafky tidak mencapku
sebagai lelaki-doyan-aroma-keringat-Rafky. Walaupun harus aku akui
aku menyukainya. Aroma
yang sangat maskulin.
“bau badan”, kataku. Rafky mengendus
endus tubuhnya sebentar.
“kaga terlalu bau kok. Yakin! Lu
bisa naik sekarang atau gua tinggal?”
Oh, Rafky menggunakan permainan
atau-gua-tinggalnya lagi seperti dulu waktu di pemakaman.
“okey gua naik, tapi jangan salahin
diri lu sendiri kalau ntar gua pingsan di tengah jalan karena aroma keringet
lu”
“sip!! Itung itung ngurangin
populasi”
“sial lu”
Dan kini setengah jam kemudian aku
malah sudah mendekatkan hidungku ke punggung Rafky. Rasanya damai di sini.
“uda sampai”
“gua tau”, aku turun dari motornya
Rafky dan bermaksut mengucapkan terima kasih saat Rafky lebih dulu ngomong.
“lu ganti baju, bawa seragam plus
buku buat jadwal besok. Lu nginep di rumah gua”
“hha?”, yakin! Mulutku hanya bisa
ternganga.
“kita ada tugas, remember? Dan harus
di kumpulin besok!”
“sial! Lu uda rencanain ini kan?
Biar lu bisa tidur seranjang ma gua?”
“jangan Ge eR, ntar lu tidur di
ruang tamu kok”
“sial”, aku berlari kecil masuk rumah.
Mengambil buku buku untuk pelajaran besok lalu keluar rumah lagi setelah
pamitan ke Reno.
“kok masih pake seragam?”
“ini seragam buat besok dan aku
pinjem baju lu ntar. Gua kaga mau repot dengan bawa baju ganti”
“oke, ceptan gih naek”. Kali ini
tanpa berdebat aku naik ke atas motornya. Menikmati aroma keringat
Rafky yang jelas masih terasa. Dan mungkin karena saking nikmatnya aku bahkan
tak sadar ketika aku dan Rafky sudah memasuki halaman depan rumah Rafky. Aku
segaera turun, sebelum suara jutek Rafky menegurku duluan.
“laptop gua di atas meja, modemnya
di laci atas. Gua mandi dulu”, itu kata kata pertama yang di ucapkan Rafky saat
aku dan dia masuk ke kamarnya. Harapanku
untuk melihat Rafky hanya berbalut handuk pun kandas karena dia langsung masuk
ke dalam kamar mandi. Mungkin
nanti.
Aku segera menghidupkan laptop milik
Rafky, mencari file file yang tersembunyi sebentar sebelum melakukan browsing.
Siapa tau Rafky menyimpan gambar porno may be? Atau bahkan video? Walaupun pada akhirnya
jerih payahku sia sia karena tak menemukan satu file pun yang aneh. Aku mulai asyik mencari
artikel tentang cacing.Ternyata banyak juga jenis cacing. Guru biologi
sinting!! Kenapa harus kasih tugas sih hukumanya? Kenapa kaga hormat
bendera selama 5 menit? Atau
membersihkan ruang kelas misalnya?
“uda nemu bahan bahan yang mau di
buat artikel?” aku mencium aroma sabun yang segar. Aku menoleh dan keinginanku
terkabul kurang lebih setengahnya. Rafky memakai celana kargo, tapi
masih bertelanjang dada. Kalau Rafky seperti ini terus, maksutku
mendemonstrasikan keseksian tubuhnya di depanku mungkin aku akan bisa melupakan
Andi lebih cepat dari dugaanku sebelumnya. Mungkin.
Bukankah jika terluka oleh pria
obatnya juga pria? Ya Tuhan apa yang ku lakukan? Mencari pembenaran diri atas
apa yang aku lakukan! Dasar murahan!
“belum semua terkumpul, tapi gua
lagi berusaha buat menyusun dari metamorphosis cacing secara umum. Baru nanti
bisa di jelaskan lebih rinci tentang jenis jenisnya, cara perkembangbiakkannya,
habitatnya dll”
“okey, great. Tapi setahu gua cacing
tidak bermetamorphosis”
“bukan methamorphosis seperti kupu kupu atau kecoa tapi mungkin lebih
kepada penjelasan dari larva berubah menjadi cacing? Itu kan butuh proses?”,
aku mengkerutkan keningku. Tugas ini lebih sulit dari yang aku bayangkan.
“gua suka gaya lu”, aku menoleh ke
arah Rafky dan memelototkan mataku. Ini bukan saat yang tepat untuk acara
tembak-aku-kau-ku-terima. Jelas
bukan saat yang tepat.Tugas ini di kumpulkan besok dan bahan bahannya pun belum
dapat.Tapi pelototan mataku tidak bisa maksimal, ingat? Rafky masih bertelanjang
dada. Perut
sixpack itu menggodaku.
“bentar, biar cepat gua juga bakal
cari data”, kata Rafky sambil berjalan keluar dari kamar. 10 menit kemudian
Rafky sudah kembali dengan laptop di tangannya. Ya Tuhan, berapa laptop
yang keluarga ini punya?
“punya Andi”, kata Rafky seolah olah
menjawab rasa penasaranku. Rafky mulai
berkutat dengan laptop milik Andi, beberapa kali melirik ke arahku.
“gua bakal mulai ngetik, enaknya
dari mana?”, tanya Rafky setelah beberapa saat kita asik dengan pekerjaan
masing masing.
“abaikan pendahuluan, kata
pengantar, daftar isi dsb, karena kita membuat artikel bukan laporan”, kataku
tanpa mengalihkan pandanganku dari layar laptop.
“ada flashdisk?”, aku bertanya
sambil mengulurkan tanganku.
“gua bakal mindahin file file yang
mesti lu copy ke word, gua uda urutin filenya. Jadi lu ntar tinggal perbaiki
hurufnya supaya seragam. Jangan lupa beri sedikit bagan atau gambar, okey?”,
aku menatapnya dan Rafky tersenyum kecil.
“siap komandan”, jawab Rafky mantab.
“sip dah. Emm Raf boleh gua
facebookan bentar?”, Rafky menatapku lama, seakan akan aku adalah spesies yang
akan segera punah dari bumi. Dan yang bikin kesal Rafky tertawa terbahak
setelahnya.
“silahkan bapak Ardhinansa Adiatama”
“terima kasih bapak Muhammad Rafky
Ulinnuha, anda sangat membantu sekali melecehkan saya”. Rafky kembali terbahak
dan aku memutuskan untuk tak menanggapinya.
Mending
facebookan dan membuka situs video porno. Aku melirik Rafky sekilas, anak itu
tengah sibuk memindahkan file yang telah aku copy ke dalam dokumen baru. Okey,
ayo mulai berpetualang. Aku tengah menyaksikan video mesum seorang dokter yang
pura pura tengah memeriksa pasiennya dengan cara tak wajar.
“selesai. Akhirnya, makan yok!”, aku
gugup sesaat langsung mengclose tab porno yang sedang aku lihat tadi.
“makan dimana?”, tanyaku setelah
berhasil menguasai diri.
“ke bawah lha, biasanya sih jam
segini udah pada ngumpul di meja makan”. Aku nervous, ke bawah? Makan malam bareng
keluarga besar Rafky?Aduh, malu.
“atau mau makan di luar aja?”
“di luar aja Raf”, kataku antusias.
“bentar ya, gua pinjemin lu bajunya
Risky bentar. Soalnya kalau lu pake punya gua uda pasti ke gedean”
“sialan lu”
5 menit kemudian Rafky sudah balik
ke kamar membawa celana jeans pendek dan kaos oblong lalu mengulurkanya padaku. Aku dengan tersenyum
kecut menerimanya dan menuju kamar mandi.
“kenapa kaga ganti di sini aja?”,
Rafky bertanya dengan polosnya.
“lagi males buat ibadah, enak di elu
rugi di gua”, jawabku singkat.
***
Sebenarnya aku bisa saja minta antar
pulang sekarang. Baru jam 9 malam dan belum terlalu larut untuk pulang. Tapi
entah kenapa enggan rasanya, lagipula aku sudah terlanjur bilang ke Reno kalau
aku bakalan menginap.
“lu pesen apa?”, tanya rafky sambil
menatapku.
“nasi goreng plus mie. Pedes, tanpa
sayur, tanpa acar. Telornya dua, satu di campur satunya lagi di ceplok”
“buset”
“kenapa?”, kali ini giliranku pasang
wajah polos.
“nggak, gak papa”.
“minumya kopi susu aja”
“lu suka kopi?”, tanya Rafky heran.
Mungkin sama heranya seperti kenapa Tamara Blezenky (aku yakin tulisanya salah)
melepas Mike Lewis begitu saja.
“ya, tapi harus di campur gula atau
creamer”
“owh”, Rafky kembali berkutat pada
hand phonenya.
“Raf?”
“hemm?”
“boleh nanya?”
Rafky mengangkat kepalanya,
menatapku lekat lekat. “apa?”
“keluarga lu kaga marah kita kaga
makan malam bareng mereka?”, aku sedikit khawatir. Takut kalau aku di anggap
memberi pengaruh buruk bagi Rafky.
“santai aja. Papa lagi keluar kota.
Andi juga keluar tadi, jadi kaga perlu khawatir lha. Okey?”.Aku hanya
tersenyum. Kenapa
perasaan tidak bisa di balikkan semudah membalikkan telapak tangan? Aku merindukan Andi,
candanya, senyum usilnya dan tingkah kekanakanya. Apakah Andi juga kangen
padaku? Ingatkah
Andi tentangku?
“hy, you okay?”
“ya, gak papa kok”
“nasinya uda jadi tuh”, kata Rafky
sambil menunjuk sepiring nasi goreng yang ada di depanku.
“ya thanks”
***
Sialnya, esok harinya aku dan Rafky sama sama bangun terlambat.
Agaknya kita memang mirip dalam hal ini. Dan beruntungnya aku punya
kesempatan mandi bareng dengannya, walaupun aku tak bisa lama lama memandangi
perkakasnya namun melihat bentuknya yang yummy sudah sedikit membuatku merasa
lebih baik. Sungguh,
aku jujur kali ini.
Tugas tinggal cetak dan kembali aku
dalam boncengan Rafky. Kalian ingin tau apa yang terjadi semalam? Yakin ingin
tau? Sayangnya kalian akan kecewa. Tidak ada adegan pura pura tidur dan di raba
raba.Tidak ada juga adegan pemaksaan (untuk yang satu ini aku sempat mengharapkanya,
namun akhirnya kecewa juga), bahkan adegan saling peluk pun tak terjadi. Rafky menepati janjinya
bahwa aku tidur terpisah darinya.Tidak di kamar tamu memang, namun di kamar
Risky. Dan
aku masih waras untuk tidak mengrepe grepe anak 15 tahun. Itu sama saja seperti
aku meng grepe grepe Reno. tidak, aku tidak gila.
“sendirian aja?”, tanya seseorang
sambil menepuk bahuku. Aku sedang berada di kantin. Jam pertama bahasa
Indonesia dan aku sedang malas untuk mengikutinya.
“he em”, jawabku singkat. Jujur aku
agak terkejut, masalahnya anak yang menyapaku tadi Rehan. Dan ini masih jam
pelajaran berlangsung. Bahkan saat istirahatpun anak anak Analis jarang ke
kantin, katanya sih mereka bawa bekal dari rumah.
“pelajaran kosong?”, tanyaku sewajar
mungkin.
“kaga, lagi males aja”. Anak Analis
Kimia males belajar? Dunia sudah terbalikkah? Atau sedang menuju
kiamat?
“owh”, hanya itu tanggapanku. Karena
setelah aku pikir pikir, kata kata seperti ‘tumben amat anak AK bolos?’ atau
‘kerasukan setan apa lu bisa nekat bolos?’ dan mungkin ‘lu anak agro ya?’
terkesan agak terlalu akrab padahal aku dan Rehan baru kenal kemaren.
“lu sendiri ngapain di sini?”, tanya
Rehan balik.
“sama kayak lu”
“owh”, sekarang gantian dia yang ber
‘owh’. Aku
masih menikmati jus jambuku, sedangkan Rehan Nampak gelisah.
“eem Nan, boleh gua nanya sesuatu?”
“boleh”
“tapi lu janji kaga bakal
tersinggung?”
“oke gua janji”, anak ini aneh. Kita
baru kenal kemaren dan dia nanya nanya yang sangat dia yakin bakal menyinggung
perasaanku.
“lu ada hubungan apa sama Rafky?”.
Aku tersedak, kali ini sungguhan aku tersedak. Bukan acting atau pura
pura.
“lu nanya apa tadi?”
“lu sama Rafky”. Aku harus mencerna
ulang pertanyaan Rehan. Apa
aku ngondek sehingga langsung ketahuan kalau aku gay? Tapi temen temenku biasa
aja tu. Atau aku terlalu mesra dengan Rafky? Kayaknya kaga dah.wah, ni
anak ngaco nih.
“maksut lu gua homo homoan gitu ma
Rafky?”. Tanyaku blak blakan.
“ye jangan marah lha, gua kan Cuma
nanya”. Pertanyaan tolol, batinku.
“gua Cuma temenan ma Rafky”
“kalau gitu bantuin gua deket ma
Rafky ya?”, kalau gelas ini bisa ketelen mungkin sudah aku telen barusan.
“hha? Serius? Lu gay?”
“iya dan gua suka Rafky”
Tbc. . .