FOLLOW ME

Sabtu, 16 Januari 2016

BOTTOM Last Chapter

Peringatan keras!!
Cerita ini penuh dengan adegan fulgar dan seks juga pertumpahan darah. Cieileh!! Jadi kalo engga suka dengan tema seperti ini harap jangan dibaca. Thanks!
***

Uki Bagus Walantaga
Aku masih bingung. Kita bertiga sudah kembali ke apartment. Daniel tengah membuatkan coklat panas untuk mamanya. Ada rasa bersalah di matanya. Aku masih berada di depan tv menemani Sophia. Kalian mau tahu kejadian di restoran tadi? Enggak ada yang spesial kok. Enggak ada berantem-berantemnya. Sophia tidak membuka mulutnya sama sekali, sehingga Daniel terpaksa mengajak mamanya pulang dan mengabaikan Ruli. Aku yang harus meminta maaf kepada Ruli.
“Mom,” Daniel menyerahkan gelas berisi coklat panas itu, lalu merebahkan dirinya di pelukan Sophia, “I am sorry for being jerk, tonight.” Katanya kemudian dengan nada lirih. Tangan Sophia meraih kepalaku, membawaku ke pelukannya juga. Aku dan Daniel bagai dua saudara yang tengah mencari kedamaian di pelukan mamanya.
“Ruli doesn’t know he had kid from me, Dan.” Tubuh Daniel menegang, aku menggegam tangannya.
Aku melihat Daniel tersenyum tipis, “Mom, kalau belum siap buat cerita, Daniel masih bisa nunggu kok.”
“Gimana kalau Mommy yang udah kehabisan waktu, Dan?”
“Mommy jangan ngomong gitu, nanti Daniel sendirian.”
“Tuh Ki, buruan lamar anak gue, gih! Biar enggak ngerasa sendirian lagi.” Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan Sophia barusan.
“Kamu tahu kenapa akta lahir kamu atas nama grandma and grandpa?”
Daniel meringis, “Karena aku lahir diluar pernikahan, Mom.” Aku tersentak. Aku baru tahu fakta ini, setelah aku memacari Daniel setahun lebih. Kemana saja aku selama ini? Daniel memang mengatakannya dengan tenang, dengan nada datar. Tetapi tetap saja, dia pasti merasa sedih. Tanganku menjangkau tubuh Daniel, menyentuhnya. Ingin mengatakan bahwa aku disini, aku disini untuknya. “Aku anak haram.” Hatiku tembah teriris mendengar Daniel berbicara seperti itu. Aku yakin Sophia juga. Karena kami mencintai orang yang sama.
“Tapi Ruli beneran, you know Mom? Is he my father?” Daniel diam sebentar. Aku berdiri, berjalan kesampingnya dan memeluknya dari belakang. Katanya, pelukan bisa sedikit meredakan stress, mengurangi sedikit beban kan? Aku ingin sedikit melakukannya untuk Daniel, untuk pria yang aku cintai.
“Dia memperkosa, Mom?” Aku semakin tercekat. Daniel masih mengatakannya dengan nada datar, namun justru membuat mataku semakin sulit menahan air mataku. Why you can be so calm, Dan? How you can through all of this?
“Uki, kamu kok nangis?” Daniel membalikkan tubuhnya, menyeka air mataku yang sudah mengalir dengan deras. “Kamu kenapa?”
“I am fine, Dan. I am oke.” Aku memeluknya, “I am in love with you. I can guarrantee you this.”
“Kok kayak motor aja sih sayang ada garansinya?” Pertama kali ini aku mendengar Daniel memanggilku dengan sebutan sayang namun malah semakin membuatku menangis.
Sophia membelai rambut Daniel, “You are my son Dan. And I am so proud of you.” Aku juga bisa mendengar isakkan Sophia. Hanya Daniel yang belum menangis. Seharusnya dia yang paling sedih, bukan?
Sophia menarik nafas panjang. “Mom and Ruli, we met in Holand. Mom masih meneruskan study, Ruli sedang berlibur. We met, we fallen in love. Well, and we got drunk.” Sophia menyesap coklat panasnya, “Then we did it, had sex.”
“I am pregnant, Dan. You inside me.” Sophia terkekeh sebentar. “But then, Mom sadar bahwa Ruli sudah pulang ke Indonesia. Saat Mommy ingin menemui Ruli, he already planned a wedding.”
“Mommy enggak bisa menjadi wanita ketiga yang merusak kebahagian wanita lain, kan Dan? Mommy memilih membesarkanmu sendiri. Dengan bantuan Mama dan Papa. Kita pindah ke Belanda sampai kamu lahir.” Sekarang Sophia tertawa kecil, walau masih terisak. “Ternyata bercerita tentang Ruli tidak sesulit yang Mommy kira.”
Daniel memeluk ibunya, “I am sorry Mom. I love you, I will never leave you alone.”
Aku juga memeluk Sophia, “Can I calling you Mom, too? Aku benar-benar frustasi ingin memiliki ibu sepertimu, Soph. Thanks for bringing this angel into earth.”
“Mommy enggak ngelarang kamu untuk bertemu Ruli, Daniel. He’s your father.”
“Enggak Mom, dia cuman lelaki brengsek. Sudah tahu mau menikah tapi masih berani nidurin Mom.”
“Lho, kalau Ruli enggak nidurin Mom, kamu enggak bakalan ada sayang. My precious son.”
“Group hug?” Aku menawarkan, dan kita bertiga berpelukan. Lagi, lama, nyaman. I am sorry Ma, tapi aku ngerasa kalau seperti inilah keluarga, supporting each other. I can’t thank enough for you Dan, yang udah membuatku bertemu dengan orang-orang yang luar biasa. Sophia, Maya, Evan. I just, I can’t throw all of this for my mom. I can’t.
***

Joshua Daniel Pradipta
Nyokap udah tidur, Uki juga, tetapi aku belum. Aku enggak bisa tidur. Aku keluar apartment diam-diam, memacu mobilku dengan kencang. Memarkir mobilku dengan asal-asalan didepan gerbang kos-kosan Evan. Aku tahu ini sudah malam, aku hanya butuh sahabatku saat ini. Aku mengetuk kamar kosan Evan agak kencang, Evan keluar, siap marah namun wajahnya langsung berganti prihatin dan memberiku pelukan. Aku tahu wajahku pasti mengundang belas kasihan dari siapa saja yang melihatku.
Tanpa bicara, Evan membawaku turun setelah menutup kamar kosnya. Membuka kamar kos milik Reno, mendudukanku diatas kasur, meminta kunci mobilku, lalu memarkirkan mobilku dengan benar. Kamar Reno kosong, tebakanku Reno tidur di kamar Evan. Maaf ya Van, sahabat elo ini ngerepotin elo.
Evan masuk, lalu memelukku lagi. Membiarkanku menangis sejadinya di pelukannya. Aku tidak bisa menangis didepan nyokap, sementara aku tahu, yang mengalami penderitaan paling banyak adalah beliau. Membesarkanku sendiri, pergi dari lingkungan orang yang mengenalnya, start new life, lalu harus kuliah dengan kondisi membawaku didalam perutnya. Belum lagi gunjingan orang. Mungkin juga Mommy dulu dibully. Ya Tuhan.
Selama ini aku mengira bahwa mommy diperkosa, dan keinginanku menemukan ayahku adalah untuk menghajarnya. Nyatanya, aku malah semakin membenci ayahku. Dia lebih kejam dari pemerkosa. Dia sudah mau menikah, demi Tuhan! Kenapa dia masih merayu mommy? Karena mommy tidak tahu? Karena calon istrinya di Indonesia sedangkan dirinya tengah liburan di Belanda?
Aku juga tidak bisa menangis didepan Uki. Lelaki sensitif itu, aku tidak bisa membebani pundaknya dengan lebih banyak lagi. Perang dingin antara dirinya dengan ibunya disebabkan olehku. Uki jadi tidak bisa sering-sering menemui kedua adiknya juga karena aku. Kenapa Uki selalu menomor satukan diriku? Dan aku tidak bisa membebaninya lagi dengan ini. Dia mencintaiku dengan sangat dalam. Padahal dulunya, aku hanya iseng mendekatinya. Hanya gara-gara taruhan.
Bagaimana sekarang, kebahagian Uki bisa menjadi prioritas diatas kebahagianku sendiri?
“Gue udah enggak pengen tahu siapa bokap gue lagi, Van.” Evan masih diam, dia masih memelukku. Lama-lama, aku capek dan mengantuk sendiri. entah itu kapan, aku tertidur di pelukannya Evan.
***

Aku terbangun diatas ranjangku sendiri. Kepalaku pening dan sedikit pusing. Bukannya semalam aku di kosannya Evan? Di kamarnya Reno? Bagaimana bisa aku pindah ke kamarku sendiri? Atau semalam itu hanya mimpi? Enggak mungkin, aku masih ingat dengan jelas kok saat aku menyetir seperti orang gila ke tempatnya Evan.
“You up, sleepy head?” Uki muncul, dia membawa gelas berisi susu di tangan kanannya, “Here.” Aku mengambil gelas itu, meminumnya dengan masih sedikit bingung. Karena setahuku, aku masih berada di tempat Evan semalam.
“Aku udah siapin sarapan, kita sarapan bareng ya? Sama Mama kamu juga.” Uki mengambil gelas yang tadi diberikannya kepadaku, lalu berjalan menuju pintu.
“Ki?” Panggilku lirih.
“Hmm?”
“Kenapa aku disini?”
Uki tersenyum lembut, “Aku yang mindahin kamu. Evan telepon tadi pagi. Well, agak susah sih karena kamu berat banget. Aku dibantu Reno buat ngangkat kamu ke mobil.”
“Yang ngangkat aku dari mobil kesini?”
“Aku dong,” Uki menekuk lengannya, memperlihatkan bicepnya yang memang terlihat lebih besar, “I am lot stronger than I look.” Dia nyengir lucu.
Aku tidak bisa menahan diriku untuk menghambur ke pelukannya. Uki kaget, namun dia tetap memelukku. “I love you. I am in love with you. I won’t loose you.”
“I know.” Uki melepaskan pelukanku, “So? Breakfast?”
“Aku mandi dulu ya?”
Uki nyengir lagi lalu bernjinjit dan mencium keningku sebentar. Keluar kamar, dan aku mendengarnya berbicara dengan mamaku. Aku tersenyum lebar. Aku tidak memerlukan ayahku, I mean, aku punya ibu super yang bisa membesarkanku dari sejak dari kandungan menjadi sebesar ini, setinggi 186cm. Ganteng lagi.
Dan Uki, pacar, sahabat, kakak yang luar biasa. Entah kenapa perasaanku lebih ringan sekarang. Aku mandi dengan cepat, lalu pergi ke dapur. Ada mommy dan Uki yang tengah tertawa. They are my life, I don’t need anybody else.
“Hey, are you good? Are we good?” Mommy langsung memelukku sambil bertanya.
“Lha sejak kapan kita enggak good, Mom?”
Mommy tertawa, “Oke, Mommy baru saja beres masak dibantu Uki tadi. Kamu pasti suka.”
Aku tersenyum, merasa bodoh karena selama ini begitu penasaran dengan ayahku, padahal aku sudah memiliki keluarga yang luar biasa. “Who doesn’t?”
***

“Jadi?” Maya bertanya, masih sambil sesekali matanya mengawasi Japheth, yang tengah sibuk dengan mainan pesawat-pasawatnya.
“I am not fine, but still oke.”
“Jadi Ruli Dirga itu bokap lo?” Kali ini Evan.
“Technically, yeah. He is.” Aku menyesap wine ku sebentar, “Can we just not talk about this? I am just not ready yet.”
“Oke.” Maya menarik Japheth yang nyaris mau menabrak meja. Mata Maya memang sangat awas dengan pergerakkan Japheth. Japheth ini setiap harinya tambah aktif saja. Tenaganya benar-benar tidak ada habisnya.
“Kapan Uki bakal ngejemput elo?”
“Sebentar lagi.” Aku melotot kearah Maya, “Lo bisa-bisanya ya sekongkol ama Uki buat bohong sama gue.”
Maya mengibas-ibaskan tanganya, “Honestly, gue sama Uki enggak bohong ke elo. Kita cuman enggak ngasih tahu elo aja.”
“Same thing.”
“Different honey. Bohong itu elo enggak mengatakan kejujuran. Yang gue sama Uki lakukan, kita cuman belom ngasih tahu lo tentang itu rumah. That’s not criminal, at all.”
Evan sama sekali tidak tertarik dengan obrolan kita berdua. Dia sibuk dengan brownies, mulutnya sibuk mengunyah, jemarinya sibuk texting. Annoying kadang itu anak, memang. Aneh.
Kami lagi sibuk membahas tentang Taylor Kinney yang agaknya gemukkan, ketika Banyu datang bersamaan dengan datangnya Uki. Uki cute banget hari ini. Dia memakai celana jeans pendek yang aku belikan kemarin, dipadu sama kaos jersey bertuliskan nama gue lengkap di belakangnya. Dan angka 88, tahun kelahiranku. Aku juga tengah memakai kaos Jersey yang sama kok, dengan nama Uki dan angka 86, tahun kelahirannya. Bedanya, aku memadukannya dengan celana joger pendek, dibawah lutut.
Uki mencium kening, hidung dan bibirku, lalu mengambil brownies dan menggigitnya pelan. “Aku ngemil bentar ya, Dan.” Aku mengangguk.
Sedangkan Banyu, dia menggendong Japheth, mencium istrinya, lalu bergabung dengan Uki menikmati brownies. This moment is priceless, I can tell you. We laugh, we share, tanpa harus memakai topeng. Ini yang akan aku sebut dengan ‘teman’.
Setelah berpamitan dengan Maya, Banyu, Evan dan agak membujuk Japheth yang katanya masih kangen dengan uncle Uki. Jarang amat ini anak kangen sama Uki, biasanya juga kangen denganku. Uki membawa mobilnya membelah kepadatan jalan raya Jakarta. Aish, membelah kapadatan jalan raya Jakarta, enggak ada bahasa yang lain ya Dan?
Uki masuk ke pekarangan sebuah rumah yang sepertinya sudah lama dikosongkan. Memarkirkan mobilnya, mematikan mesin, “Kita udah sampai Dan. Ini rumah masa depan kita.”
Aku keluar dari dalam mobil dengan pandangan tidak percaya. Rumah seluas ini hanya dengan harga dua milyar? Murah amat. Ini Jakarta lho, yang rumah cuman beberapa petak aja angsurannya mencekik nyawa.
“Kamu suka? Aku udah mikirin sih rumahnya mau aku gimanain, tapi kalau kamu ada usul, ntar kita pikirin bareng.”
“Kok kamu bisa dapet harganya murah gitu sih, Ki?” Tanyaku malah enggak nyambung. Uki tergelak sebentar. Lalu membawaku masuk, dan aku makin jatuh cinta sama rumah ini.
“Aku tawar abis-abisan sih. Lagipula kata pak Burhan, rumah ini angker. Jadi kebanyakkan pada enggak mau. Udah berbulan-bulan lho, ditinggalin. Katanya setiap ada yang mau nawar mereka dihantui sama penunggu rumah ini Dan.” Uki menjelaskannya sambil lalu. Aku enggak peduli, di Alkitab ada tertulis bahwa manusia itu powernya diatas setan, ngapain juga mesti takut. Ayatnya sama pasalnya dimana? Jangan tanya, gue lupa. Pokoknya pernah baca aja.
“Kayaknya kita enggak butuh ruang tamu, Ki. Terus aku mau ada kolam renang.” Aku merapatkan tubuhku ke tubuh Uki, “Biar kita bisa berenang telanjang terus ngeseks di kolam tanpa takut diganggu, Ki.” Uki merona, semburat merah jambu menjalari kulit pipinya yang putih.
“Yang lainnya terserah kamu aja. Aku cuman usul itu aja kok.” Aku menurunkan bibirku, agar tepat di telinga Uki, “Bayangin sperma kamu crot didalam air kolam renang, coba?”
Uki makin merah. Haha, menggoda Uki memang selalu semenyenangkan ini. Namun sebelum aku melangkah ingin lebih masuk lebih jauh, Uki sudah menarikku kedalam pelukannya. “Gimana kalau kita melakukan ritual pengusiran roh jahat di rumah ini sebelum kita renovasi dan kita pindah kesini?” Aku masih bingung dengan ucapan Uki barusan sebelum akhirnya dia melumat bibirku dengan lembut. Menaikkan Jerseyku, dan menyingkapnya keatas. Melumat, menyesap, kadang menggigiti  puting kanan dan puting kiriku secara bergantian dengan bernafsu.
“Ki, please ini lantainya kotor banget lho.”
“Ya kita lakuinnya sambil berdiri aja. Main cepet aja sayang.”
Well, ya sudah mari kita berkati rumah yang katanya angker ini dengan spermaku dan spermanya Uki. Hoho.
***

Uki Bagus Walantaga
Daniel menarik diri dari project-nya Ruli Dirga. Well, dia masih tetap support sih, namun enggan bertemu langsung dengan Ruli. Aku, di lain sisi juga sebenarnya males. Hanya saja, terkadang kita harus tetap profesional dalam bekerja kan?
“Jadi, bagaimana kabar Daniel, Ki?” Aku dan Ruli baru saja selesai membahas project kita. Ingatkan, tea ocha? Iya, itu project kita. Ruli bakalan mulai trial di salah satu pabriknya di Jatake.
Aku menyesap tehku, “Dia baik, Pak.” Jawabku sopan.
Pak Ruli menatapku lama, dengan pandangan intens. “Jadi kamu pacar anak saya?”
Aku mengangguk mantap.
“Diluar konteks pekerjaan ini Pak, saya mau tanya kenapa bapak tega ninggalin Sophia? I mean, kalau bapak memang sudah mau menikah, kenapa bapak masih main api?” Aku memang agak kurang ajar. Aku tahu, ini klienku. Aku bahkan sadar, bisa saja Ruli menarik kembali kerjasama perusahaannya dengan Savior. Tapi bodo amatlah. Aku juga tadi sudah menceritakan kejadian sebenarnya tentang Daniel dan Sophia. Bukan aku ember, hanya saja aku ingin lelaki ini tahu bahwa dia sudah bersikap sangat bajingan untuk Sophia dan Daniel.
Ruli menarik nafas panjang, diam. Cukup lama, hampir sepuluh menit. Dan aku juga tidak ada alasan untuk memaksanya menjawab. I mean, aku bukan Daniel, kan? Yang berhak marah kan dia, tapi karena dia pacarku, aku juga rasa-rasanya ingin marah.
“Saya enggak pernah tahu kalau Sophia hamil.” Aku diam-diam menghidupkan aplikasi perekam suara di smartphoneku.
“Kalau pun tahu, bapak akan menggagalkan pernikahan bapak?” Tanyaku sedikit agak kasar.
“Ya.” Ruli menjawab mantap. “Saya ini dijodohkan, Ki. Sewaktu saya kabur ke Belanda, saat itulah saya jatuh cinta. Terjerat dengan pesona Sophia. Saya benar-benar mencintai Sophia, bahkan hingga sekarang.” Aku mendengus sinis. Kalau cinta kenapa tidak diperjuangkan?
“Saya sangat pengecut waktu itu. Tidak bisa mengatakan tidak pada apa yang sudah dikatakan orang tua saya.” Ruli diam sebentar, “Tapi kalau saya tahu Sophia hamil, saya akan melawan.”
Ruli menatapku, dan aku melihat bola matanya yang basah. Jangan nangis, kumohon. Aku paling enggak tegaan melihat orang lain menangis. Apalagi pria gagah yang mau menangis tapi sekuat hati menahannya, aku paling lemah dengan yang begituan.
“Tolong jagain Daniel dan Sophia buat saya, Ki.”
“Tanpa bapak suruh, saya juga akan melakukan itu kok.”
Ruli tersenyum, anjir aku jadi tahu kenapa senyum Daniel itu sangat menawan. Gabungan jenis senyum menggoda dari Sophia dan senyum adorable dari Ruli. “Terima kasih.”
***

“Yang biru ini, yang gambarnya One Piece.” Daniel tengah berbicara dengan Satria. Interior decorator kita, Afif, temanku dan Daniel di kantor yang merekomendasikan. And, he’s such a good guy.
“Khusus buat di kamar utama. Kalau ruangan lain, biar Uki aja yang milih.” Kita lagi milih paper wall. Tadi sekitar jam sepuluh pagi Satria datang ke apartment kita. Membicarakan tentang paper wall untuk rumah kita.
“Oke, jadi yang One Piece, khusus buat kamar utama kan?” Daniel mengangguk. Dia tadi juga sudah memberikan denah dengan ukuran akurat kepada Satria. Beserta nama-nama ruangannya. Aku sudah memilih wall paper untuk semua ruangan. Daniel enggak ambil pusing. Dia hanya concern dengan kolam renang dan kamar tidur kita berdua nantinya. Ruang utama, dapur, dan lainnya, dia menyerahkan sepenuhnya kepadaku.
Setelah semua tetek bengek dan detail-detailnya sudah berakhir, Satria pamitan. Dia akan mulai mengerjakannya bersama anak buahnya minggu depan. Dan karena dia rekomendasi dari teman kantor, aku dan Daniel mempercayainya.
“God, all these stuff made my head dizzy.” Daniel mengambil wine dari dalam lemari es. Dia juga mengambilkan jus leci untukku.
Aku tersenyum sambil memijit kepalanya. Padahal aku mengurus hampir semuanya. Pemilihan sofa, meja dapur, kompor, kamar mandi, tapi ya sudahlah. Toh itu memang kadoku untuk si ganteng. Aku yang repot ya wajar, aku tidak keberatan.
Daniel tengah memainkan iPhone-ku, dengan earphone terpasang di kupingnya. Aku sekarang tengah memijit pundaknya. Aku baru saja meletakkan pantatku ke sofa di sebelah Daniel ketika gantengku itu menoleh kearahku dengan pandangan bingung.
Aku juga jadi ikutan bingung. Menatapnya dengan pandangan bertanya-tanya. “Kamu kenapa, Dan?”
Daniel mengarahkan layar kaca handphoneku kearahku. Dia baru saja mendengarkan percakapanku dengan Ruli. Namun aku masih menatapnya bingung. Kenapa Daniel seperti shock begitu? Agaknya perbincanganku dengan Ruli tidak ada yang spesifik.
“Aku enggak apa-apa.”
“Lidah kamu bisa kegigit lho kalau kamu mendem apa yang mau kamu omongin.”
Daniel tersenyum, “Ruli ternyata enggak seburuk yang aku sangka.”
“Oh, aku kira apa.”
Daniel tersenyum, namun tangannya bergerilya dibalik kaosku. Hmm, satu hal yang aku pelajari dari berpacaran dengan Daniel adalah, dia akan menggunakan fantasi seks liarnya ketika dia marah, galau ataupun sedih. Dan aku rasa, dia akan melampiaskan fantasi liarnya lagi. Bukan karena dia tengah marah, tapi dia lagi galau. Gara-gara rekaman suara obrolanku dengan Ruli. Dan karena aku pacarnya, aku harus siap sedia dijadikan objek fantasinya.
“Kamu bisa bawa motor, Ki?”
Aku sedikit waspada, “Bisa.”
“Bagus.” Daniel bangkit berdiri, “Karena aku enggak bisa.” Daniel lalu berjalan sambil mengambil smartphone-nya. Sepertinya menghubungi seseorang. Aku memperhatikan Daniel dalam diam. Please, kali ini fantasinya jangan yang aneh-aneh, please.
“Karena baik aku ataupun kamu enggak punya motor, aku pinjam punyanya Pak Bimo. Lagian jarang dipakai juga sama dia.” Daniel tersenyum lebar, aku makin waspada, “Yuk.”
“Kemana? Ngapain pakai pinjam motor segala?”
Lagi-lagi Daniel tersenyum, “Lagi pengen naik motor.”
***

Aku enggak punya SIM C, dulu punya, namun sudah aku buang. Aku tidak punya motor, buat apa aku tetap menyimpannya? Untuk ukuran motor yang jarang dipakai, motornya Bimo ini cukup enak dipakai. Daniel lagi pengen jalan-jalan ke Bogor, kita mau main ke rumahnya Bu Dini, di Ciomas, Bogor, pakai motor. Kita hanya mengandalkan waze, karena baik aku maupun Daniel belum pernah kesini, sebelumnya. FYI, Bu Dini ini adalah perfumer di Savior.
Begitu kita sampai di rumahnya, Bu Dini cukup surprised. Ya iyalah, kita belum pernah main kesini sebelumnya. Begitu mau main, dadakan lagi tanpa kabar-kabar. Bu Dini ini kabarnya mempunyai indra keenam gitu, bisa melihat makhluk-makhluk supernatural. Aku sih percaya-percaya saja, Daniel kayaknya dulu enggak ambil peduli.
“Aduh kok enggak bilang-bilang mau main, sih kasep? Ini untung lho aku enggak lagi keluar.”
“Sendirian aja, Bund?” Daniel mengabaikan pertanyaan bu Dini. Karena Bu Dini ini adalah wanita tertua di Savior, sekitar empat puluh tahunan lebih, Daniel suka memanggilnya dengan sebutan Bunda. Kadang eyang, suka-suka Daniel pokoknya. Si ganteng emang suka begitu, ngasih nikname seenak jidat.
“He eh, mas Fiva lagi ada kerjaan di kantor.” Aku menyalami Bu Dini.
Daniel melepas sandalnya dan langsung masuk rumah begitu saja, “Sabtu-sabtu gini? Masih ada ya kantor yang buka hari Sabtu gini?” Bu Dini dan aku mengikuti di belakangnya.
“Dulu Bunda kan pengen ngelihat aku sama Uki berhubungan seks kan? Masih pengen?”
Ha? Ini ganteng apa-apaan sih? Sama sepertiku, Bu Dini juga hanya bengong.
Aku menarik Daniel untuk menjauh, “Kamu apa-apaan sih? Enggak lucu tahu! Kamu kelewatan kali ini!”
Bukannya menjawab, Daniel malah menciumku. Dan aku blank. Ciuman Daniel itu memabukkan. Ketika Daniel melepas kaosku, aku juga sadar kalau saat ini aku tengah berada di dapurnya Bu Dini.
Dan saat Daniel melepas celana pendekku, aku melihat bu Dini sudah melihat kita berdua dengan sangat antusias. Jadi siapa saja orang-orang di kantor yang sudah tahu hubunganku dengan Daniel? Aku enggak peduli juga sih, tapi bukan berarti harus ditonton begini kan?
“Daniel! Enough! Keterlaluan kamu!” Enak banget dia masih berpakaian lengkap begitu, aku hanya tinggal celana dalam. Sesak lagi karena tengah ereksi.
Daniel melepaskan pelukannya, tersenyum sebentar. “Nah, sekali-kali ngelawan dong. Enggak semua keinginanku harus terpenuhi kan?” Daniel mencium pipiku, lalu berjalan kearah bu Dini, “Bund, aku mau jus jambu dong. Katanya punya banyak.”
Aku masih kaget, namun dengan segera memakai celana dan kaosku lagi. “Kamu kenapa sih, Dan?”
“Enggak papa, maaf ya.”
“Enggak papa. Selagi aku bisa, aku turutin kok fantasi kamu.” Aku menatapnya lama, “Tapi kan kamu tahu aku enggak bisa tolerir kalau ada  orang lain ngelihat kamu telanjang.”
“Iya, aku tahu.”
***

Si ganteng galau. Beneran galau sekarang. Antara pengen ketemu dan ngobrol sama pak Ruli atau mengacuhkannya. Ruli sedang berada di kantor Savior sekarang, di ruangannya Bimo. Dugaanku sih, dia memang kesini ingin bertemu anak dari wanita yang dia cintai. Anaknya. Aku percaya kok dengan apa yang dibilang Ruli bahwa dia masih mencintai Sophia.
Ada beberapa gesture yang diwarisi Daniel dari ayahnya. Kharisma, enggak gampang di intimidasi. Elang tetap akan melahirkan Elang, kan? Ini dia ngobrol sama Bimo lho, di ruangannya Bimo. Namun sama sekali tidak merasa terancam.
Aku melirik kearah ruangan Bimo yang memang terbuat dari kaca, sebelum aku keluar dan naik ke lantai tiga. Lantai tiga sepi, hanya ada Daniel yang tengah memainkan smartphonenya. Aku tahu, efek galau kayak gini, Daniel bisa saja minta sesuatu yang aneh-aneh.
“Kalau kamu mau keluar kantor, aku temenin.” Kataku begitu berada sangat dekat dengan Daniel.
Daniel mendongak, “Enggak usah, Ki. Aku disini aja.”
“Yakin?” Aku mengambil kursi milik Acha. Mumpung orangnya tengah mengurus surat halal ke MUI. Daniel mengangguk.
Lalu tanpa pikir panjang, aku menciumnya. Di bibir. Yeah, you hear me right. Masalahnya Andi dan Herman juga tidak ada. Acha juga tidak ada. Jadi hanya ada aku dan Daniel di ruangan ini.
Daniel balas menciumku, dia bahkan melepas kancing kemejaku, lanjut ikat pinggang beserta kait celana panjangku. “Kebetulan, aku lagi pengen ngisep kamu, Ki.”
Aku menelan ludah. Kan aku cuman pengen nyium Daniel doang, kenapa si ganteng malah minta nambah? Gimana kalau tiba-tiba Andi dan Herman masuk? Tuhan, tititku udah dikeluarin lagi dari dalam celana, pindah ke mulut Daniel.
Shit! Aduh! Mana kalau pas dioral gini aku keluarnya lama lagi.
“Dan, udah dong.”
“Kwe nwa pwa?” Aduh, Daniel menjawabnya masih dengan tititku berada di dalam mulutnya. Membuatku makin kegelian.
“Jadi ini laboratorium Flavour. . . ” Aku langsug menjatuhkan tubuhku. Tiarap, begitu mendengar suara Bimo. Crap! Dengan cepat memasukkan penisku kembali. Daniel hanya nyengir. Kenapa dia selalu kebagian enaknya? Bajunya cuman kusut sedikit begitu. Aku bahkan belum sempat mengancingkan bajuku ketika Bimo dan Ruli memasukki ruangan Daniel.
“Tadi ada serangga masuk ke bajunya Uki.” Daniel berbicara santai sambil maju ke depan. “Hey Dad, how are you?”
Ha? Daniel memanggil Ruli dengan sebutan Dad?
Bug!
Aku berdiri ketika aku mendengar suara pukulan itu.
“That’s for my mom.”
Bug!! Daniel meninju pipi kanan Ruli sekarang, tadi pipi kirinya.
“That’s for me.” Ruli diam saja. Bimo bingung, namun juga diam saja. Aku sibuk mengancingkan bajuku.
“Don’t you assume that I am allready forgiving you.” Daniel berdiri sejajar dengan Ruli, “Tapi enggak ada alasan untuk selamanya kita bermusuhan kan?”
Daniel menoleh kearahku, “Makan siang yuk, Ki.”
Aku dan Daniel berjalan keluar, sambil mulutku komat-kamit ke Bimo, bahwa akan aku jelaskan nanti. Belum juga kita berdua keluar ruangan, Daniel menoleh lagi kearah Ruli. “Dad, aku lagi pengen Lexus hybrid ES 350.” Daniel mengedipkan matanya kearah Ruli.
Damn, itu kan mobil mahal.
“Kalau itu mobil udah ada, mungkin kita bisa ngobrol lebih lanjut.” Aku dan Daniel keluar ruangan.
“Itu kan mobil mahal, Dan.” Karena tidak tahan, aku menanyakannya saat kita berdua tengah berada di lift. “Emang kamu beneran mau berdamai sama papa kamu?”
Daniel tersenyum, “Ngehancurin orang itu kan enaknya dari dalam, Ki. Rasanya lebih sakit, ntar.”
Damn, aku enggak bakalan menjadikan Daniel musuhku. Enggak bakalan. Sampai kapanpun dia harus jadi pacarku. Dia serem kalau jadi musuh.
***


Finally, ini adalah cerita BOTTOM terakhir yang aku upload di blogg. Artinya? Akan ada beberapa kelanjutan di wattpad. Tentu saja dalam bentuk short begitu.
Kapan? Saat BOTTOM di wattpad juga mencapai chapter 21.
Kan pasti penasaran, kapan exactly Daniel benar-benar memaafkan ayahnya? Ya kan?
Terus apa balas dendamnya?
Enggak penasaran? Ya bodo sih.
Tinggal BARISTA, dan mungkin blogg ini bakalan vakum.

Thank you, buat para pembaca ceritaku. Terima kasih.