Peringatan
keras!!
Cerita
ini penuh dengan adegan fulgar dan seks juga pertumpahan darah. Cieileh!! Jadi
kalo engga suka dengan tema seperti ini harap jangan dibaca. Thanks!
***
Uki
Bagus Walantaga
Aku
masih bingung. Kita bertiga sudah kembali ke apartment. Daniel tengah
membuatkan coklat panas untuk mamanya. Ada rasa bersalah di matanya. Aku masih
berada di depan tv menemani Sophia. Kalian mau tahu kejadian di restoran tadi?
Enggak ada yang spesial kok. Enggak ada berantem-berantemnya. Sophia tidak
membuka mulutnya sama sekali, sehingga Daniel terpaksa mengajak mamanya pulang
dan mengabaikan Ruli. Aku yang harus meminta maaf kepada Ruli.
“Mom,”
Daniel menyerahkan gelas berisi coklat panas itu, lalu merebahkan dirinya di
pelukan Sophia, “I am sorry for being jerk, tonight.” Katanya kemudian dengan
nada lirih. Tangan Sophia meraih kepalaku, membawaku ke pelukannya juga. Aku
dan Daniel bagai dua saudara yang tengah mencari kedamaian di pelukan mamanya.
“Ruli
doesn’t know he had kid from me, Dan.” Tubuh Daniel menegang, aku menggegam
tangannya.
Aku
melihat Daniel tersenyum tipis, “Mom, kalau belum siap buat cerita, Daniel
masih bisa nunggu kok.”
“Gimana
kalau Mommy yang udah kehabisan waktu, Dan?”
“Mommy
jangan ngomong gitu, nanti Daniel sendirian.”
“Tuh
Ki, buruan lamar anak gue, gih! Biar enggak ngerasa sendirian lagi.” Aku hanya
tersenyum menanggapi ucapan Sophia barusan.
“Kamu
tahu kenapa akta lahir kamu atas nama grandma and grandpa?”
Daniel
meringis, “Karena aku lahir diluar pernikahan, Mom.” Aku tersentak. Aku baru
tahu fakta ini, setelah aku memacari Daniel setahun lebih. Kemana saja aku
selama ini? Daniel memang mengatakannya dengan tenang, dengan nada datar.
Tetapi tetap saja, dia pasti merasa sedih. Tanganku menjangkau tubuh Daniel,
menyentuhnya. Ingin mengatakan bahwa aku disini, aku disini untuknya. “Aku anak
haram.” Hatiku tembah teriris mendengar Daniel berbicara seperti itu. Aku yakin
Sophia juga. Karena kami mencintai orang yang sama.
“Tapi
Ruli beneran, you know Mom? Is he my father?” Daniel diam sebentar. Aku
berdiri, berjalan kesampingnya dan memeluknya dari belakang. Katanya, pelukan
bisa sedikit meredakan stress, mengurangi sedikit beban kan? Aku ingin sedikit
melakukannya untuk Daniel, untuk pria yang aku cintai.
“Dia
memperkosa, Mom?” Aku semakin tercekat. Daniel masih mengatakannya dengan nada
datar, namun justru membuat mataku semakin sulit menahan air mataku. Why you
can be so calm, Dan? How you can through all of this?
“Uki,
kamu kok nangis?” Daniel membalikkan tubuhnya, menyeka air mataku yang sudah
mengalir dengan deras. “Kamu kenapa?”
“I
am fine, Dan. I am oke.” Aku memeluknya, “I am in love with you. I can guarrantee
you this.”
“Kok
kayak motor aja sih sayang ada garansinya?” Pertama kali ini aku mendengar
Daniel memanggilku dengan sebutan sayang namun malah semakin membuatku
menangis.
Sophia
membelai rambut Daniel, “You are my son Dan. And I am so proud of you.” Aku
juga bisa mendengar isakkan Sophia. Hanya Daniel yang belum menangis.
Seharusnya dia yang paling sedih, bukan?
Sophia
menarik nafas panjang. “Mom and Ruli, we met in Holand. Mom masih meneruskan
study, Ruli sedang berlibur. We met, we fallen in love. Well, and we got
drunk.” Sophia menyesap coklat panasnya, “Then we did it, had sex.”
“I
am pregnant, Dan. You inside me.” Sophia terkekeh sebentar. “But then, Mom
sadar bahwa Ruli sudah pulang ke Indonesia. Saat Mommy ingin menemui Ruli, he
already planned a wedding.”
“Mommy
enggak bisa menjadi wanita ketiga yang merusak kebahagian wanita lain, kan Dan?
Mommy memilih membesarkanmu sendiri. Dengan bantuan Mama dan Papa. Kita pindah
ke Belanda sampai kamu lahir.” Sekarang Sophia tertawa kecil, walau masih
terisak. “Ternyata bercerita tentang Ruli tidak sesulit yang Mommy kira.”
Daniel
memeluk ibunya, “I am sorry Mom. I love you, I will never leave you alone.”
Aku
juga memeluk Sophia, “Can I calling you Mom, too? Aku benar-benar frustasi
ingin memiliki ibu sepertimu, Soph. Thanks for bringing this angel into earth.”
“Mommy
enggak ngelarang kamu untuk bertemu Ruli, Daniel. He’s your father.”
“Enggak
Mom, dia cuman lelaki brengsek. Sudah tahu mau menikah tapi masih berani
nidurin Mom.”
“Lho,
kalau Ruli enggak nidurin Mom, kamu enggak bakalan ada sayang. My precious
son.”
“Group
hug?” Aku menawarkan, dan kita bertiga berpelukan. Lagi, lama, nyaman. I am
sorry Ma, tapi aku ngerasa kalau seperti inilah keluarga, supporting each
other. I can’t thank enough for you Dan, yang udah membuatku bertemu dengan
orang-orang yang luar biasa. Sophia, Maya, Evan. I just, I can’t throw all of
this for my mom. I can’t.
***
Joshua
Daniel Pradipta
Nyokap
udah tidur, Uki juga, tetapi aku belum. Aku enggak bisa tidur. Aku keluar
apartment diam-diam, memacu mobilku dengan kencang. Memarkir mobilku dengan
asal-asalan didepan gerbang kos-kosan Evan. Aku tahu ini sudah malam, aku hanya
butuh sahabatku saat ini. Aku mengetuk kamar kosan Evan agak kencang, Evan
keluar, siap marah namun wajahnya langsung berganti prihatin dan memberiku
pelukan. Aku tahu wajahku pasti mengundang belas kasihan dari siapa saja yang
melihatku.
Tanpa
bicara, Evan membawaku turun setelah menutup kamar kosnya. Membuka kamar kos
milik Reno, mendudukanku diatas kasur, meminta kunci mobilku, lalu memarkirkan
mobilku dengan benar. Kamar Reno kosong, tebakanku Reno tidur di kamar Evan. Maaf
ya Van, sahabat elo ini ngerepotin elo.
Evan
masuk, lalu memelukku lagi. Membiarkanku menangis sejadinya di pelukannya. Aku
tidak bisa menangis didepan nyokap, sementara aku tahu, yang mengalami
penderitaan paling banyak adalah beliau. Membesarkanku sendiri, pergi dari
lingkungan orang yang mengenalnya, start new life, lalu harus kuliah dengan
kondisi membawaku didalam perutnya. Belum lagi gunjingan orang. Mungkin juga
Mommy dulu dibully. Ya Tuhan.
Selama
ini aku mengira bahwa mommy diperkosa, dan keinginanku menemukan ayahku adalah
untuk menghajarnya. Nyatanya, aku malah semakin membenci ayahku. Dia lebih
kejam dari pemerkosa. Dia sudah mau menikah, demi Tuhan! Kenapa dia masih
merayu mommy? Karena mommy tidak tahu? Karena calon istrinya di Indonesia sedangkan
dirinya tengah liburan di Belanda?
Aku
juga tidak bisa menangis didepan Uki. Lelaki sensitif itu, aku tidak bisa
membebani pundaknya dengan lebih banyak lagi. Perang dingin antara dirinya
dengan ibunya disebabkan olehku. Uki jadi tidak bisa sering-sering menemui
kedua adiknya juga karena aku. Kenapa Uki selalu menomor satukan diriku? Dan
aku tidak bisa membebaninya lagi dengan ini. Dia mencintaiku dengan sangat
dalam. Padahal dulunya, aku hanya iseng mendekatinya. Hanya gara-gara taruhan.
Bagaimana
sekarang, kebahagian Uki bisa menjadi prioritas diatas kebahagianku sendiri?
“Gue
udah enggak pengen tahu siapa bokap gue lagi, Van.” Evan masih diam, dia masih
memelukku. Lama-lama, aku capek dan mengantuk sendiri. entah itu kapan, aku
tertidur di pelukannya Evan.
***
Aku
terbangun diatas ranjangku sendiri. Kepalaku pening dan sedikit pusing.
Bukannya semalam aku di kosannya Evan? Di kamarnya Reno? Bagaimana bisa aku
pindah ke kamarku sendiri? Atau semalam itu hanya mimpi? Enggak mungkin, aku
masih ingat dengan jelas kok saat aku menyetir seperti orang gila ke tempatnya
Evan.
“You
up, sleepy head?” Uki muncul, dia membawa gelas berisi susu di tangan kanannya,
“Here.” Aku mengambil gelas itu, meminumnya dengan masih sedikit bingung.
Karena setahuku, aku masih berada di tempat Evan semalam.
“Aku
udah siapin sarapan, kita sarapan bareng ya? Sama Mama kamu juga.” Uki
mengambil gelas yang tadi diberikannya kepadaku, lalu berjalan menuju pintu.
“Ki?”
Panggilku lirih.
“Hmm?”
“Kenapa
aku disini?”
Uki
tersenyum lembut, “Aku yang mindahin kamu. Evan telepon tadi pagi. Well, agak
susah sih karena kamu berat banget. Aku dibantu Reno buat ngangkat kamu ke
mobil.”
“Yang
ngangkat aku dari mobil kesini?”
“Aku
dong,” Uki menekuk lengannya, memperlihatkan bicepnya yang memang terlihat
lebih besar, “I am lot stronger than I look.” Dia nyengir lucu.
Aku
tidak bisa menahan diriku untuk menghambur ke pelukannya. Uki kaget, namun dia
tetap memelukku. “I love you. I am in love with you. I won’t loose you.”
“I
know.” Uki melepaskan pelukanku, “So? Breakfast?”
“Aku
mandi dulu ya?”
Uki
nyengir lagi lalu bernjinjit dan mencium keningku sebentar. Keluar kamar, dan
aku mendengarnya berbicara dengan mamaku. Aku tersenyum lebar. Aku tidak
memerlukan ayahku, I mean, aku punya ibu super yang bisa membesarkanku dari
sejak dari kandungan menjadi sebesar ini, setinggi 186cm. Ganteng lagi.
Dan
Uki, pacar, sahabat, kakak yang luar biasa. Entah kenapa perasaanku lebih
ringan sekarang. Aku mandi dengan cepat, lalu pergi ke dapur. Ada mommy dan Uki
yang tengah tertawa. They are my life, I don’t need anybody else.
“Hey,
are you good? Are we good?” Mommy langsung memelukku sambil bertanya.
“Lha
sejak kapan kita enggak good, Mom?”
Mommy
tertawa, “Oke, Mommy baru saja beres masak dibantu Uki tadi. Kamu pasti suka.”
Aku
tersenyum, merasa bodoh karena selama ini begitu penasaran dengan ayahku,
padahal aku sudah memiliki keluarga yang luar biasa. “Who doesn’t?”
***
“Jadi?”
Maya bertanya, masih sambil sesekali matanya mengawasi Japheth, yang tengah sibuk
dengan mainan pesawat-pasawatnya.
“I
am not fine, but still oke.”
“Jadi
Ruli Dirga itu bokap lo?” Kali ini Evan.
“Technically,
yeah. He is.” Aku menyesap wine ku sebentar, “Can we just not talk about this?
I am just not ready yet.”
“Oke.”
Maya menarik Japheth yang nyaris mau menabrak meja. Mata Maya memang sangat
awas dengan pergerakkan Japheth. Japheth ini setiap harinya tambah aktif saja.
Tenaganya benar-benar tidak ada habisnya.
“Kapan
Uki bakal ngejemput elo?”
“Sebentar
lagi.” Aku melotot kearah Maya, “Lo bisa-bisanya ya sekongkol ama Uki buat
bohong sama gue.”
Maya
mengibas-ibaskan tanganya, “Honestly, gue sama Uki enggak bohong ke elo. Kita
cuman enggak ngasih tahu elo aja.”
“Same
thing.”
“Different
honey. Bohong itu elo enggak mengatakan kejujuran. Yang gue sama Uki lakukan,
kita cuman belom ngasih tahu lo tentang itu rumah. That’s not criminal, at
all.”
Evan
sama sekali tidak tertarik dengan obrolan kita berdua. Dia sibuk dengan
brownies, mulutnya sibuk mengunyah, jemarinya sibuk texting. Annoying kadang
itu anak, memang. Aneh.
Kami
lagi sibuk membahas tentang Taylor Kinney yang agaknya gemukkan, ketika Banyu
datang bersamaan dengan datangnya Uki. Uki cute banget hari ini. Dia memakai
celana jeans pendek yang aku belikan kemarin, dipadu sama kaos jersey
bertuliskan nama gue lengkap di belakangnya. Dan angka 88, tahun kelahiranku.
Aku juga tengah memakai kaos Jersey yang sama kok, dengan nama Uki dan angka
86, tahun kelahirannya. Bedanya, aku memadukannya dengan celana joger pendek,
dibawah lutut.
Uki
mencium kening, hidung dan bibirku, lalu mengambil brownies dan menggigitnya
pelan. “Aku ngemil bentar ya, Dan.” Aku mengangguk.
Sedangkan
Banyu, dia menggendong Japheth, mencium istrinya, lalu bergabung dengan Uki
menikmati brownies. This moment is priceless, I can tell you. We laugh, we
share, tanpa harus memakai topeng. Ini yang akan aku sebut dengan ‘teman’.
Setelah
berpamitan dengan Maya, Banyu, Evan dan agak membujuk Japheth yang katanya
masih kangen dengan uncle Uki. Jarang amat ini anak kangen sama Uki, biasanya
juga kangen denganku. Uki membawa mobilnya membelah kepadatan jalan raya
Jakarta. Aish, membelah kapadatan jalan raya Jakarta, enggak ada bahasa yang
lain ya Dan?
Uki
masuk ke pekarangan sebuah rumah yang sepertinya sudah lama dikosongkan.
Memarkirkan mobilnya, mematikan mesin, “Kita udah sampai Dan. Ini rumah masa
depan kita.”
Aku
keluar dari dalam mobil dengan pandangan tidak percaya. Rumah seluas ini hanya
dengan harga dua milyar? Murah amat. Ini Jakarta lho, yang rumah cuman beberapa
petak aja angsurannya mencekik nyawa.
“Kamu
suka? Aku udah mikirin sih rumahnya mau aku gimanain, tapi kalau kamu ada usul,
ntar kita pikirin bareng.”
“Kok
kamu bisa dapet harganya murah gitu sih, Ki?” Tanyaku malah enggak nyambung.
Uki tergelak sebentar. Lalu membawaku masuk, dan aku makin jatuh cinta sama
rumah ini.
“Aku
tawar abis-abisan sih. Lagipula kata pak Burhan, rumah ini angker. Jadi
kebanyakkan pada enggak mau. Udah berbulan-bulan lho, ditinggalin. Katanya
setiap ada yang mau nawar mereka dihantui sama penunggu rumah ini Dan.” Uki
menjelaskannya sambil lalu. Aku enggak peduli, di Alkitab ada tertulis bahwa
manusia itu powernya diatas setan, ngapain juga mesti takut. Ayatnya sama
pasalnya dimana? Jangan tanya, gue lupa. Pokoknya pernah baca aja.
“Kayaknya
kita enggak butuh ruang tamu, Ki. Terus aku mau ada kolam renang.” Aku
merapatkan tubuhku ke tubuh Uki, “Biar kita bisa berenang telanjang terus ngeseks
di kolam tanpa takut diganggu, Ki.” Uki merona, semburat merah jambu menjalari
kulit pipinya yang putih.
“Yang
lainnya terserah kamu aja. Aku cuman usul itu aja kok.” Aku menurunkan bibirku,
agar tepat di telinga Uki, “Bayangin sperma kamu crot didalam air kolam renang,
coba?”
Uki
makin merah. Haha, menggoda Uki memang selalu semenyenangkan ini. Namun sebelum
aku melangkah ingin lebih masuk lebih jauh, Uki sudah menarikku kedalam
pelukannya. “Gimana kalau kita melakukan ritual pengusiran roh jahat di rumah
ini sebelum kita renovasi dan kita pindah kesini?” Aku masih bingung dengan
ucapan Uki barusan sebelum akhirnya dia melumat bibirku dengan lembut.
Menaikkan Jerseyku, dan menyingkapnya keatas. Melumat, menyesap, kadang
menggigiti puting kanan dan puting
kiriku secara bergantian dengan bernafsu.
“Ki,
please ini lantainya kotor banget lho.”
“Ya
kita lakuinnya sambil berdiri aja. Main cepet aja sayang.”
Well,
ya sudah mari kita berkati rumah yang katanya angker ini dengan spermaku dan
spermanya Uki. Hoho.
***
Uki
Bagus Walantaga
Daniel
menarik diri dari project-nya Ruli Dirga. Well, dia masih tetap support sih,
namun enggan bertemu langsung dengan Ruli. Aku, di lain sisi juga sebenarnya
males. Hanya saja, terkadang kita harus tetap profesional dalam bekerja kan?
“Jadi,
bagaimana kabar Daniel, Ki?” Aku dan Ruli baru saja selesai membahas project
kita. Ingatkan, tea ocha? Iya, itu project kita. Ruli bakalan mulai trial di
salah satu pabriknya di Jatake.
Aku
menyesap tehku, “Dia baik, Pak.” Jawabku sopan.
Pak
Ruli menatapku lama, dengan pandangan intens. “Jadi kamu pacar anak saya?”
Aku
mengangguk mantap.
“Diluar
konteks pekerjaan ini Pak, saya mau tanya kenapa bapak tega ninggalin Sophia? I
mean, kalau bapak memang sudah mau menikah, kenapa bapak masih main api?” Aku
memang agak kurang ajar. Aku tahu, ini klienku. Aku bahkan sadar, bisa saja
Ruli menarik kembali kerjasama perusahaannya dengan Savior. Tapi bodo amatlah.
Aku juga tadi sudah menceritakan kejadian sebenarnya tentang Daniel dan Sophia.
Bukan aku ember, hanya saja aku ingin lelaki ini tahu bahwa dia sudah bersikap
sangat bajingan untuk Sophia dan Daniel.
Ruli
menarik nafas panjang, diam. Cukup lama, hampir sepuluh menit. Dan aku juga
tidak ada alasan untuk memaksanya menjawab. I mean, aku bukan Daniel, kan? Yang
berhak marah kan dia, tapi karena dia pacarku, aku juga rasa-rasanya ingin
marah.
“Saya
enggak pernah tahu kalau Sophia hamil.” Aku diam-diam menghidupkan aplikasi
perekam suara di smartphoneku.
“Kalau
pun tahu, bapak akan menggagalkan pernikahan bapak?” Tanyaku sedikit agak
kasar.
“Ya.”
Ruli menjawab mantap. “Saya ini dijodohkan, Ki. Sewaktu saya kabur ke Belanda,
saat itulah saya jatuh cinta. Terjerat dengan pesona Sophia. Saya benar-benar
mencintai Sophia, bahkan hingga sekarang.” Aku mendengus sinis. Kalau cinta
kenapa tidak diperjuangkan?
“Saya
sangat pengecut waktu itu. Tidak bisa mengatakan tidak pada apa yang sudah
dikatakan orang tua saya.” Ruli diam sebentar, “Tapi kalau saya tahu Sophia
hamil, saya akan melawan.”
Ruli
menatapku, dan aku melihat bola matanya yang basah. Jangan nangis, kumohon. Aku
paling enggak tegaan melihat orang lain menangis. Apalagi pria gagah yang mau
menangis tapi sekuat hati menahannya, aku paling lemah dengan yang begituan.
“Tolong
jagain Daniel dan Sophia buat saya, Ki.”
“Tanpa
bapak suruh, saya juga akan melakukan itu kok.”
Ruli
tersenyum, anjir aku jadi tahu kenapa senyum Daniel itu sangat menawan.
Gabungan jenis senyum menggoda dari Sophia dan senyum adorable dari Ruli.
“Terima kasih.”
***
“Yang
biru ini, yang gambarnya One Piece.” Daniel tengah berbicara dengan Satria.
Interior decorator kita, Afif, temanku dan Daniel di kantor yang
merekomendasikan. And, he’s such a good guy.
“Khusus
buat di kamar utama. Kalau ruangan lain, biar Uki aja yang milih.” Kita lagi
milih paper wall. Tadi sekitar jam sepuluh pagi Satria datang ke apartment
kita. Membicarakan tentang paper wall untuk rumah kita.
“Oke,
jadi yang One Piece, khusus buat kamar utama kan?” Daniel mengangguk. Dia tadi
juga sudah memberikan denah dengan ukuran akurat kepada Satria. Beserta
nama-nama ruangannya. Aku sudah memilih wall paper untuk semua ruangan. Daniel
enggak ambil pusing. Dia hanya concern dengan kolam renang dan kamar tidur kita
berdua nantinya. Ruang utama, dapur, dan lainnya, dia menyerahkan sepenuhnya
kepadaku.
Setelah
semua tetek bengek dan detail-detailnya sudah berakhir, Satria pamitan. Dia
akan mulai mengerjakannya bersama anak buahnya minggu depan. Dan karena dia
rekomendasi dari teman kantor, aku dan Daniel mempercayainya.
“God,
all these stuff made my head dizzy.” Daniel mengambil wine dari dalam lemari
es. Dia juga mengambilkan jus leci untukku.
Aku
tersenyum sambil memijit kepalanya. Padahal aku mengurus hampir semuanya.
Pemilihan sofa, meja dapur, kompor, kamar mandi, tapi ya sudahlah. Toh itu
memang kadoku untuk si ganteng. Aku yang repot ya wajar, aku tidak keberatan.
Daniel
tengah memainkan iPhone-ku, dengan earphone terpasang di kupingnya. Aku
sekarang tengah memijit pundaknya. Aku baru saja meletakkan pantatku ke sofa di
sebelah Daniel ketika gantengku itu menoleh kearahku dengan pandangan bingung.
Aku
juga jadi ikutan bingung. Menatapnya dengan pandangan bertanya-tanya. “Kamu
kenapa, Dan?”
Daniel
mengarahkan layar kaca handphoneku kearahku. Dia baru saja mendengarkan percakapanku
dengan Ruli. Namun aku masih menatapnya bingung. Kenapa Daniel seperti shock
begitu? Agaknya perbincanganku dengan Ruli tidak ada yang spesifik.
“Aku
enggak apa-apa.”
“Lidah
kamu bisa kegigit lho kalau kamu mendem apa yang mau kamu omongin.”
Daniel
tersenyum, “Ruli ternyata enggak seburuk yang aku sangka.”
“Oh,
aku kira apa.”
Daniel
tersenyum, namun tangannya bergerilya dibalik kaosku. Hmm, satu hal yang aku
pelajari dari berpacaran dengan Daniel adalah, dia akan menggunakan fantasi
seks liarnya ketika dia marah, galau ataupun sedih. Dan aku rasa, dia akan
melampiaskan fantasi liarnya lagi. Bukan karena dia tengah marah, tapi dia lagi
galau. Gara-gara rekaman suara obrolanku dengan Ruli. Dan karena aku pacarnya,
aku harus siap sedia dijadikan objek fantasinya.
“Kamu
bisa bawa motor, Ki?”
Aku
sedikit waspada, “Bisa.”
“Bagus.”
Daniel bangkit berdiri, “Karena aku enggak bisa.” Daniel lalu berjalan sambil
mengambil smartphone-nya. Sepertinya menghubungi seseorang. Aku memperhatikan
Daniel dalam diam. Please, kali ini fantasinya jangan yang aneh-aneh, please.
“Karena
baik aku ataupun kamu enggak punya motor, aku pinjam punyanya Pak Bimo. Lagian
jarang dipakai juga sama dia.” Daniel tersenyum lebar, aku makin waspada,
“Yuk.”
“Kemana?
Ngapain pakai pinjam motor segala?”
Lagi-lagi
Daniel tersenyum, “Lagi pengen naik motor.”
***
Aku
enggak punya SIM C, dulu punya, namun sudah aku buang. Aku tidak punya motor,
buat apa aku tetap menyimpannya? Untuk ukuran motor yang jarang dipakai,
motornya Bimo ini cukup enak dipakai. Daniel lagi pengen jalan-jalan ke Bogor,
kita mau main ke rumahnya Bu Dini, di Ciomas, Bogor, pakai motor. Kita hanya
mengandalkan waze, karena baik aku maupun Daniel belum pernah kesini,
sebelumnya. FYI, Bu Dini ini adalah perfumer di Savior.
Begitu
kita sampai di rumahnya, Bu Dini cukup surprised. Ya iyalah, kita belum pernah
main kesini sebelumnya. Begitu mau main, dadakan lagi tanpa kabar-kabar. Bu
Dini ini kabarnya mempunyai indra keenam gitu, bisa melihat makhluk-makhluk
supernatural. Aku sih percaya-percaya saja, Daniel kayaknya dulu enggak ambil
peduli.
“Aduh
kok enggak bilang-bilang mau main, sih kasep? Ini untung lho aku enggak lagi
keluar.”
“Sendirian
aja, Bund?” Daniel mengabaikan pertanyaan bu Dini. Karena Bu Dini ini adalah
wanita tertua di Savior, sekitar empat puluh tahunan lebih, Daniel suka
memanggilnya dengan sebutan Bunda. Kadang eyang, suka-suka Daniel pokoknya. Si
ganteng emang suka begitu, ngasih nikname seenak jidat.
“He
eh, mas Fiva lagi ada kerjaan di kantor.” Aku menyalami Bu Dini.
Daniel
melepas sandalnya dan langsung masuk rumah begitu saja, “Sabtu-sabtu gini?
Masih ada ya kantor yang buka hari Sabtu gini?” Bu Dini dan aku mengikuti di
belakangnya.
“Dulu
Bunda kan pengen ngelihat aku sama Uki berhubungan seks kan? Masih pengen?”
Ha?
Ini ganteng apa-apaan sih? Sama sepertiku, Bu Dini juga hanya bengong.
Aku
menarik Daniel untuk menjauh, “Kamu apa-apaan sih? Enggak lucu tahu! Kamu
kelewatan kali ini!”
Bukannya
menjawab, Daniel malah menciumku. Dan aku blank. Ciuman Daniel itu memabukkan.
Ketika Daniel melepas kaosku, aku juga sadar kalau saat ini aku tengah berada
di dapurnya Bu Dini.
Dan
saat Daniel melepas celana pendekku, aku melihat bu Dini sudah melihat kita
berdua dengan sangat antusias. Jadi siapa saja orang-orang di kantor yang sudah
tahu hubunganku dengan Daniel? Aku enggak peduli juga sih, tapi bukan berarti
harus ditonton begini kan?
“Daniel!
Enough! Keterlaluan kamu!” Enak banget dia masih berpakaian lengkap begitu, aku
hanya tinggal celana dalam. Sesak lagi karena tengah ereksi.
Daniel
melepaskan pelukannya, tersenyum sebentar. “Nah, sekali-kali ngelawan dong.
Enggak semua keinginanku harus terpenuhi kan?” Daniel mencium pipiku, lalu
berjalan kearah bu Dini, “Bund, aku mau jus jambu dong. Katanya punya banyak.”
Aku
masih kaget, namun dengan segera memakai celana dan kaosku lagi. “Kamu kenapa
sih, Dan?”
“Enggak
papa, maaf ya.”
“Enggak
papa. Selagi aku bisa, aku turutin kok fantasi kamu.” Aku menatapnya lama,
“Tapi kan kamu tahu aku enggak bisa tolerir kalau ada orang lain ngelihat kamu telanjang.”
“Iya,
aku tahu.”
***
Si
ganteng galau. Beneran galau sekarang. Antara pengen ketemu dan ngobrol sama
pak Ruli atau mengacuhkannya. Ruli sedang berada di kantor Savior sekarang, di
ruangannya Bimo. Dugaanku sih, dia memang kesini ingin bertemu anak dari wanita
yang dia cintai. Anaknya. Aku percaya kok dengan apa yang dibilang Ruli bahwa
dia masih mencintai Sophia.
Ada
beberapa gesture yang diwarisi Daniel dari ayahnya. Kharisma, enggak gampang di
intimidasi. Elang tetap akan melahirkan Elang, kan? Ini dia ngobrol sama Bimo
lho, di ruangannya Bimo. Namun sama sekali tidak merasa terancam.
Aku
melirik kearah ruangan Bimo yang memang terbuat dari kaca, sebelum aku keluar
dan naik ke lantai tiga. Lantai tiga sepi, hanya ada Daniel yang tengah
memainkan smartphonenya. Aku tahu, efek galau kayak gini, Daniel bisa saja
minta sesuatu yang aneh-aneh.
“Kalau
kamu mau keluar kantor, aku temenin.” Kataku begitu berada sangat dekat dengan
Daniel.
Daniel
mendongak, “Enggak usah, Ki. Aku disini aja.”
“Yakin?”
Aku mengambil kursi milik Acha. Mumpung orangnya tengah mengurus surat halal ke
MUI. Daniel mengangguk.
Lalu
tanpa pikir panjang, aku menciumnya. Di bibir. Yeah, you hear me right.
Masalahnya Andi dan Herman juga tidak ada. Acha juga tidak ada. Jadi hanya ada
aku dan Daniel di ruangan ini.
Daniel
balas menciumku, dia bahkan melepas kancing kemejaku, lanjut ikat pinggang
beserta kait celana panjangku. “Kebetulan, aku lagi pengen ngisep kamu, Ki.”
Aku
menelan ludah. Kan aku cuman pengen nyium Daniel doang, kenapa si ganteng malah
minta nambah? Gimana kalau tiba-tiba Andi dan Herman masuk? Tuhan, tititku udah
dikeluarin lagi dari dalam celana, pindah ke mulut Daniel.
Shit!
Aduh! Mana kalau pas dioral gini aku keluarnya lama lagi.
“Dan,
udah dong.”
“Kwe
nwa pwa?” Aduh, Daniel menjawabnya masih dengan tititku berada di dalam
mulutnya. Membuatku makin kegelian.
“Jadi
ini laboratorium Flavour. . . ” Aku langsug menjatuhkan tubuhku. Tiarap, begitu
mendengar suara Bimo. Crap! Dengan cepat memasukkan penisku kembali. Daniel
hanya nyengir. Kenapa dia selalu kebagian enaknya? Bajunya cuman kusut sedikit
begitu. Aku bahkan belum sempat mengancingkan bajuku ketika Bimo dan Ruli
memasukki ruangan Daniel.
“Tadi
ada serangga masuk ke bajunya Uki.” Daniel berbicara santai sambil maju ke
depan. “Hey Dad, how are you?”
Ha?
Daniel memanggil Ruli dengan sebutan Dad?
Bug!
Aku
berdiri ketika aku mendengar suara pukulan itu.
“That’s
for my mom.”
Bug!!
Daniel meninju pipi kanan Ruli sekarang, tadi pipi kirinya.
“That’s
for me.” Ruli diam saja. Bimo bingung, namun juga diam saja. Aku sibuk
mengancingkan bajuku.
“Don’t
you assume that I am allready forgiving you.” Daniel berdiri sejajar dengan
Ruli, “Tapi enggak ada alasan untuk selamanya kita bermusuhan kan?”
Daniel
menoleh kearahku, “Makan siang yuk, Ki.”
Aku
dan Daniel berjalan keluar, sambil mulutku komat-kamit ke Bimo, bahwa akan aku
jelaskan nanti. Belum juga kita berdua keluar ruangan, Daniel menoleh lagi
kearah Ruli. “Dad, aku lagi pengen Lexus hybrid ES 350.” Daniel mengedipkan
matanya kearah Ruli.
Damn,
itu kan mobil mahal.
“Kalau
itu mobil udah ada, mungkin kita bisa ngobrol lebih lanjut.” Aku dan Daniel
keluar ruangan.
“Itu
kan mobil mahal, Dan.” Karena tidak tahan, aku menanyakannya saat kita berdua
tengah berada di lift. “Emang kamu beneran mau berdamai sama papa kamu?”
Daniel
tersenyum, “Ngehancurin orang itu kan enaknya dari dalam, Ki. Rasanya lebih
sakit, ntar.”
Damn,
aku enggak bakalan menjadikan Daniel musuhku. Enggak bakalan. Sampai kapanpun
dia harus jadi pacarku. Dia serem kalau jadi musuh.
***
Finally, ini adalah cerita BOTTOM
terakhir yang aku upload di blogg. Artinya? Akan ada beberapa kelanjutan di
wattpad. Tentu saja dalam bentuk short begitu.
Kapan? Saat BOTTOM di wattpad juga
mencapai chapter 21.
Kan pasti penasaran, kapan exactly
Daniel benar-benar memaafkan ayahnya? Ya kan?
Terus apa balas dendamnya?
Enggak penasaran? Ya bodo sih.
Tinggal BARISTA, dan mungkin blogg ini
bakalan vakum.
Thank you, buat para pembaca ceritaku.
Terima kasih.